52. 'Abdurahm'an ibn Shaleh al-Azdi
al-Ataki1
Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn
Hanbal. Dikatakan hal itu kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata:
"Maha Suci Allah! ia seorang yang mencintai keluarga Nabi.
Ia adil."
Menurut Yahya ibn Mu'in, ia tsiqat, jujur, dan syi'ah.
Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit
lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata.
Abu Hatim menilai Ibn Shaleh sebagai orang yang jujur. Musa
ibn Harun berkata: "Ia tsiqat, yang bercerita tentang
kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para
sahabat:" Abu al-Qasim berkata: "Aku mendengar Ibn Shaleh
berkata: "Orang paling utama setelah Nabi Muhammad adalah
Abu Bakar dan 'Umar." Shaleh ibn Muhammad berkata: "Ia orang
Kufah, yang mencerca 'Utsman, tetapi ia jujur."
Abu Dawud berkata: "Aku tidak berminat untuk mendaftar
hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam
sahabat-sahabat Rasul" Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam
kitab ats-Tsiqat. Ibn Adi berkata: "Ibn Shaleh sangat
dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada orang yang
menyatakan haditsnya dha'if. Hanya saja ia sangat menonjol
dalam berpaham Syi'ahnya.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
Ibn Shaleh bukan orang yang suka berdusta. Para ahli sepakat
mengenai kejujurannya. Namun, mereka mengakui dan mencatat
sikapnya yang condong ke Syi'ah. Sungguhpun demikian, sifat
yang ditunjukkan Ibn Shaleh, seperti dikemukakan para ulama,
tidaklah sampai pada batas rafadh. Sebab, Ibn Shaleh tidak
mengutamakan 'Ali atas Abu Bakar dan 'Umar. Dan kalau benar
bahwa ia menulis sebuah buku mengenai kekurangan-kekurangan
para sahabat Nabi, maka hal itu menjadi dasar untuk menilai
ia sebagai pembid'ah. Akan tetapi ia tidak menghalalkan
sikap dusta untuk menguatkan pahamnya. Karena itu, ulama
hadits tetap menjadikan haditsnya sebagai hujjah, karena ia
dikenal sangat jujur dan anti kebohongan. Wallahu a'lam.
Hal di atas menunjukkan konsistensi ulama Sunni terhadap
sistem dan metodologi ilmiah yang mereka ciptakan sebagai
dasar al-jarh wat-ta'dil, (pertimbangan kekuatan dan
keadilan rawi), 'ilm ar-rijal (ilmu tentang perawi-perawi
hadits), dan dalam qabulur-riwayat wa rafdhiha (diterima
atau ditolaknya riwayat).
Catatan kaki:
1 Mizan al-I'tidal 2569;
Tahdzib at-Tahdzib, 6/197.
|