|
KATA PENGANTAR TERJEMAHAN
INDONESIA
Oleh: Drs. Armahedi Mahzar, MSc.
Tak ada satu agama pun yang berkembang di muka bumi ini
yang dalam sejarahnya tak terbelah. Islam, walaupun suatu
agama samawi tak luput dari takdir ini. Kristen terbelah
menjadi Katolikisme dan Protestanisme, Hindu terbelah
menjadi Waishnawa dan Syaiwa, Budhisme terbelah menjadi
Mahayana dan Hinayana, dan Islam terbelah menjadi Sunni dan
Syi'ah.
Kalau berbagai keterbelahan dianalisa, maka akan tampak
bahwa bagaimanapun transendentalnya sumber suatu agama,
pemahaman dan penghayatannya tak lepas dari keterbatasan
fitrah manusia dalam menerimanya. Keterbelahan Sunni-Syi'ah
adalah bukti gamblang tentang hal itu. Memang penganut satu
belahan yang ekstrim akan mengaku bahwa kalangannyalah yang
benar dan menganggap yang lain sebagai sesat dan musuh.
Tetapi dalam sejarah, ekstrimitas ini bukanlah sesuatu yang
mendominasi. Misalnya saja pada sejarah kontemporer,
kalangan Syi'ah secara de facto masih diakui sebagai kaum
Muslim, bukan kafir. Buktinya, sampai sekarang pun,
orang-orang Syi'ah masih diijinkan untuk melakukan ibadah
haji di tanah suci Makkah, walaupun radikalisme politik
Syi'ah Iran telah menyebabkan penguasa konservatif Sunni di
Saudi Arabia membatasi jumlah para penziarah Iran. Sementara
itu usaha-usaha pendamaian antara Iran yang Syi'ah dan Iraq
yang Sunni itu juga memberikan ungkapan yang konkrit akan
pengakuan ini.
Walaupun demikian, kecurigaan kalangan Sunni terhadap
Syi'ah dan sebaliknya tampaknya tak berkurang dan mungkin
takkan pernah berkurang di masa depan. Soalnya dasar dari
keterbelahan tersebut adalah emosionalisme. Kecintaan yang
besar kalangan Syi'ah terhadap Ahlul-Bait mempunyai pasangan
berupa kehormatan yang luar biasa di kalangan Sunni terhadap
para shahabat Rasulullah. Perbedaan sentimentalitas ini
telah menyebabkan perbedaan mendasar dalam penentuan sumber
hukum sekunder Islam yaitu Hadits. Kaum Syi'ah menganggap
ucapan atau khabar dari Ahlul Bait dan para imam mereka
sebagai sumber kedua yang terjamin karena keyakinan mereka
tentang 'ishmah atau kemaksuman para imam. Sedangkan, kaum
sunni tentunya tak bisa menerima ketentuan ini dan
menentukan syarat kesinambungan (mutawatir) penyampaian dan
integritas (tsiqat) setiap penyampai (perawi) hadits sebagai
landasan kedua bagi penentuan hukum syari'ah. Sebagai
konsekuensinya sumber ketiga bagi hukum Islam, ijma atau
konsensus, berbeda pulalah pengertiannya.
Bagi kaum syi'ah, ijma' tidak lain konsensus para imam
mereka, sedangkan bagi kaum sunni, ijma' berarti konsensus
para sahabat. Ujung-berujung, tentu saja sumber hukum
keempat yaitu ijtihad, juga punya pengertian lain. Bagi kaum
syi'ah, ijtihad hanya bisa dilakukan ayatullah yang
berkaliber marja'i taqlid. Sedangkan bagi kaum sunni,
ijtihad bisa dilakukan oleh siapa saja yang memenuhi
persyaratan mujtahid, bagaimana pun beratnya.
Tampaknya, kalau hanya, karena perbedaan visi religius,
skisma Sunni-Syi'ah tidak akan meruncing menjadi suatu
perpecahan. Malangnya, sejarah berkisah lebih lanjut. Skisma
religius ini kemudian berimpitan dengan skisma politis.
Siapa pengganti sayidina 'Ali ra sebagai khalifah adalah
pokok pangkalnya. Apakah Hasan ra, cucunda Rasulullah, atau
Mu'awiyyah keluarga Sayidina 'Utsman ra? Lalu siapakah
seharusnya pengganti Mu'awiyyah. Yazid putera Mu'awiyyah
atau Husein ra, cucunda kedua Rasulullah. Kematian Husein
yang mengenaskan di tangan tentara Yazid di medan Perang
Karbala adalah tragedi Ummat yang berdampak paling luas.
Muncul aqidah syi'ah tentang taqiyyah, yang membolehkan
penganutnya untuk menyembunyikan keyakinannya dalam keadaan
darurat, dan diterapkannya sekali pun terhadap sesama
Muslim. Demikian pula 'aqidah raj'ah, yang dianggap menghina
shahabat Sayidina Abu Bakar ra dan Sayidina 'Umar. ra,
mungkin merupakan reaksi emosional terhadap kewajiban
mengutuk 'Ali dalam khutbah-khutbah Jum'at selama
pemerintahan Daulah 'Ummayyah. Kaum syi'ah sebagai oposisi
politik minoritas yang tertindas, wajar saja jika mengambil
kedua 'aqidah itu sebagai pengukuh moral perlawanan mereka.
Tentu saja ini mendongkolkan kalangan Sunni yang serta merta
menuduh mereka sebagai kaum Rafidhah alias sempalan. Di
kalangan Sunni tersebar keyakinan bahwa aqidah syi'ah itu
adalah buatan 'Abdullah bin Saba, orang Yahudi yang masuk
Islam pada masa Khalifah 'Utsman ra. Kaum Rafidhah pun
disebut sebagai penyebar hadits palsu. Lalu terjadilah
konfrontasi Sunni-Syi'ah yang berkepanjangan. sementara di
kalangan-Syi'ah sendiri terjadi keretakan-keretakan.
Salah satu firqah Syi'ah yaitu Kaum Isma'iliah akhirnya
berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara yaitu,
Daulah Fathimiyah, yang bersama-sama dengan Daulah 'Umayyah
yang Sunni di Eropa Selatan dan Daulah 'Abbasiyyah juga
Sunni di Timur Tengah merupakan tiga imperium Muslim yang
membangun peradaban Islam kurun pertama sampai jatuhnya
ketiga imperium tersebut di tangan serbuan tentara Mongol
dari Timur dan tentara Salib dari Barat. Firqah Syi'ah yang
lain, yaitu 'Imamiyah berhasil membangun Daulah Shafawiyah,
di Iran, sebagai salah satu dari tiga besar soko guru
peradaban Islam kurun kedua, di samping Daulah 'Utsmamiyah
yang Sunni di Anatolia dan Dinasti Moghul yang Sunni di
India. Ketiga imperium Islam itu kemudian berantakan dengan
serbuan imperialisme modern Eropa dari Barat. Abad ke-20
mencatat pembebasan negeri-negeri kaum Muslimin -dari
cengkeraman Barat yang mungkin merupakan fase politis dari
awal kebangkitan peradaban Islam kurun ketiga di masa yang
akan datang. Dalam kurun ini kaum syi'ah berhasil mengubah
kerajaan tradisional Persia menjadi negara modern Iran
melalui Revolusi Konstitusi di tahun 1906. Negara ini
kemudian mengalami revolusi politik menjadi Republik Islam
Iran di tahun 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Ruhullah
Khomeini almarhum. Sikap radikal Ayatullah Khomeini terhadap
Barat yang berlawanan dengan sikap moderat penguasa kerajaan
Arab Saudi di satu pihak dan perangnya melawan serbuan Iraq
dalam sengketa perbatasan menyebabkan hubungan koeksistensi
Sunni-Syi'ah didalam dua kurun peradaban Islam yang
terdahulu berubah kembali menjadi hubungan konfrontasi
politis.
Situasi konfrontatif global ini menimbulkan perluasan
konfrontasi politis kembali menjadi konfrontasi religius di
berbagai negara yang didominasi kaum sunni. Negeri kita
tercinta tak terkecuali. Terjemahan buku Dialog
Sunnah-Syi'ah Karangan 'Abdul Husayn al-Musawi dan buku-buku
tulisan pengarang Syi'ah lain serta merta mendorong
terbitnya buku-buku yang menyerang ajaran keagamaan Syi'ah.
Maka luka lama ummat pun terkuak kembali. Emosionalisme
religius di awal skisma ummat itu pun muncul berulang dalam
bentuknya yang paling kasar. Tuduhan ajaran Syi'ah sebagai
ajaran kafir dan kaum penganut Syi'ah sebagai pendusta
adalah bentuk ekstrim daripada emosionalisme itu. Buku Sunni
yang Sunni, yang anda baca ini tidak lepas dari
emosionalisme semacam itu, tetapi bukan berarti dia tidak
memiliki nilai intelektualitas yang mencerahkan skisma
religius tersebut. Rujukan pada sumber-sumber Sunni yang
dikutip dalain Dialog Sunnah-Syi'ah yang lepas dari
konteksnya diluruskan kembali dalam buku ini. Inilah yang
penting bagi peletakan dasar-dasar ukhuwah yang lestari.
Para pembaca yang berpikir dewasa akan segera bisa
melepaskan diri dari nada emosional buku ini untuk mencari
obyektivitas mengenai skisma Sunni-Syi'ah yang
berkepanjangan ini. Mudah-mudahan buku ini menyadarkan kita
bahwa untuk dialog diperlukan adanya kesamaan dasar
pemikiran dan kesamaan ini tampaknya sulit dicari di bidang
aqidah Sunni dan Syi'ah. Kita memerlukan dasar lain untuk
dialog. Mungkin dasar itu dapat kita cari dalam penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi bersama, baik oleh kaum syi'ah
maupun kaum sunni. Masalah bersama itu adalah masalah
bagaimana mengisi kemerdekaan negara-negara Muslim itu
dengan ruh kebangkitan peradaban Islam ketiga. Peradaban ini
diharapkan akan menyelesaikan problematika dunia yang dibawa
oleh dominasi peradaban Barat modern seperti misalnya
masalah kesenjangan ekonomi global, ketergangguan ekologi
bumi, keliaran perkembangan teknologi, kesempitan wawasan
sains modern dan kecenderungan materialistis budaya modern
yang mengakibatkan keporak-porandaan psikis dan sosial yang
kini menghantui kita semua.
Semoga dialog baru tersebut dapat mengubah hubungan
konfrontatif revolusioner tadi menjadi hubungan kompetitif
evolusioner di antara kedua paham dalam usaha mencari
ridha-Nya, dengan berlomba-lomba menunjukkan keunggulan
Islam sebagai agama samawi terakhir guna memecahkan krisis
peradaban yang dihadapi oleh manusia modern dewasa ini dan
di masa mendatang. Saya percaya ini pulalah yang merupakan
motivasi PUSTAKA menerbitkan buku ini. Semoga Allah SWT
meridhai usaha kita semua. Amin ya Rabbal 'Alamin. '
Bandung, 30 Safar 1410 H, 30 September 1989
M
|