Sanggahan terhadap Dialog 97-100
Dalam Dialog 97, Syeikh al-Bisyri meminta dituturkan
kejadian-kejadian lain (mengenai ketidak-patuhan para
sahabat, peny.) supaya pengetahuan beliau bertambah dalam
soal ini Maka dalam Dialog 98, al-Musawi memenuhi,
permintaan itu. Akan tetapi kali ini, al-Musawi mencukupkan
diri dengan mengemukakan beberapa peristiwa yang terjadi
dalam sejarah Nabi, dan sejumlah hukum-hukum yang menjadi
perselisihan antara kaum Rafidhah dan Ahlus Sunnah
wal-Jama'ah. Al-Musawi menganggap pendapat kaum Rafidhah
adalah pendapat yang benar sebagaimana yang dipegangi oleh
Nabi, sedang madzhab Ahlus Sunnah dipandangnya keluar dari
sunnah Nabi, dan mengikuti pendapat Abu Bakar dan 'Umar.
Sesungguhnya persoalan-persoalan ini telah terkenal di
dalam kitab-kitab hadits, dan para ahli hadits telah
menerangkan dan menjelaskannya. Mereka telah mengupas
masalah-masalah tersebut dan memisahkannya dari hal-hal yang
meragukan, sehingga persoalannya menjadi terang benderang
bagi orang yang ingin mengetahuinya. Barangsiapa yang ingin
mengetahuinya, hendaklah membacanya dalam kitab-kitab hadits
dan kitab-kitab yang muktabarh di bidang fiqh (hukum Islam),
sebab akan terlalu panjang jika dikemukakan di sini.
Pada akhir Dialog 98, al-Musawi menuduh Abu Bakar dan
'Umar tidak hanya meninggalkan nash-nash tentang khilafah,
tetapi juga tidak memegang teguh dan mengamalkan semua nash
yang berkenaan dengan 'Ali dan Keluarga Suci Nabi.
Dan al-Musawi melangkah makin jauh lagi, ketika ia
berdusta bahwa para sahabat telah melakukan hal-hal
bertentangan dengan nash-nash itu. Dan pada Dialog 99,
Syeikh al-Bisyri tetap berprasangka baik kepada Abu Bakar
dan 'Umar dari segala hal yang dituduhkan al-Musawi
sebelumnya. Kemudian Syeikh al-Bisyri meminta al-Musawi
menuturkan nash-nash yang sudah diisyaratkan pada dialog
sebelumnya.
Dan dalam Dialog 100, semakin terlihat kejahatan
al-Musawi ketika ia menolak sikap Syeikh al-Bisyri yang
tetap berprasangka baik kepada Abu Bakar dan 'Umar meskipun
beliau percaya dan menerima segala yang dikemukakan
al-Musawi. Al-Musawi memandang pernyataan Syeikh al-Bisyri
sebagai keluar dari objek pembicaraan. Kemudian al-Musawi
memenuhi permintaan Syeikh al-Bisyri dengan menuturkan
nash-nash yang beliau minta pada dialog sebelumnya (99).
Di sini al-Musawi mulai dengan menyebutkan sejumlah
kebohongan yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam
kitab-kitab hadits atau kitab-kitab muktabar menurut para
ulama yang perkataan dan riwayatnya dapat dijadikan pegangan
dan hujjah. Al-Musawi --semoga Allah membinasakannya--
berkata: "Anda tentu mengetahui bahwa banyak diantara para
sahabat yang membenci 'Ali dan memusuhinya: Mereka
memencilkannya, mengganggu, mencaci dan bertindak zalim
terhadapnya, melawan dan memeranginya, serta menghunus
pedang di depan wajahnya dan wajah Ahlu-Bait-nya serta
pendukung-pendukungnya, semata-mata karena menuruti hawa
nafsu dan kepentingan pribadi mereka, dan menentang
nash-nash yang berkenaan, dengan keutamaan Ahlul-Bait dan
perintah untuk mematuhi dan tidak mendurhakai mereka".
Selanjutnya al-Musawi mengemukakan sejumlah hadits
maudhu' dan dha'if. Kami telah menjelaskan keadaan
hadits-hadits tersebut dalam tanggapan terhadap
dialog-dialog yang terdahulu.
Mengenai hadits Ghadir Khumm yang disebut berulang-ulang
oleh al-Musawi, maka lafazhnya di dalam kitab Sahih Muslim
dari Zaid ibn Arqam adalah sebagai berikut: "Rasulullah saw
berpidato di hadapan kami di Ghadir Khumm. Beliau berkata:
"Aku tinggalkan untukmu sesuatu yang jika kamu berpegang
teguh kepadanya, kamu tidak akan tersesat selamanya, yaitu
Kitabullah." Mengenai kata kata wa-'ithrati, kata-kata ini
terdapat dalam riwayat Tirmidzi. Kata-kata ini hanya
diriwayatkan oleh Zaid ibn Hasan al-Anmathi saja dari Ja'far
ibn Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir. Sedang al-Anmathi
menurut Abu Hatim, haditsnya mungkar. Lihat biografinya
dalam kitab Mizan karya adz-Dzahabi.
Adapun hadits Perahu Nuh, adalah hadits yang tidak sahih
(al-Muntaqa, hal. 471). Demikian pula hadits "Aku adalah
musuh orang yang memusuhimu", adalah hadits maudhu' yang
tidak ada dasarnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang
dikenal. Juga tidak diriwayatkan melalui isnad yang dikenal
pula (al-Muntaqa, hal. 274). Demikian pula hadits
"Bintang-bintang itu merupakan petunjuk keselamatan bagi
penduduk dunia", hadits ini maudhu', tidak ada dasarnya sama
sekali.
Mengenai kutukan, sesungguhnya hal itu datang dari kedua
belah pihak. Masing-masing kelompok melaknat pemuka-pemuka
kelompok lainnya. Dan peperangan yang terjadi antara kedua
pihak, sungguh lebih berat dan lebih besar daripada saling
melaknat tersebut.
Dan yang mengherankan ialah bahwa kaum Rafidhah menolak
kecaman terhadap 'Ali, tapi membolehkan diri mereka sendiri
melontarkan kecaman terhadap Abu Bakar dan 'Umar, dan
memberi keduanya julukan jibt dan Thaghut. Mereka juga
membolehkan mengutuk 'Utsman dan Mu'awiyah, bahkan
mengkafirkan mereka. Padahal Mu'awiyah dan
pendukung-pendukungnya tidak mengkafirkan 'Ali, walaupun
mengecamnya. Yang mengkafirkan 'Ali adalah kaum Khawarij,
yang keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari
busurnya.
|