Sanggahan terhadap Dialog 93-96
Dialog 93 menampakkan kepada kita bahwa Syeikh al-Bisyri
merasa bosan dengan pembicaraan yang panjang lebar mengenai
Sariyah Usamah dan tentang Tragedi Hari Kamis. Sebab
kebenaran mengenai kedua masalah tersebut sudah jelas bagi
setiap orang yang mau berpikir.
Karena itu, Syeikh al-Bisyri minta kepada al-Musawi agar
tidak memperpanjang lagi pembicaraan mengenai kedua masalah
tersebut; dan beliau meminta agar pembicaraan dan pembahasan
dialihkan pada kejadian-kejadian lain, yang akibatnya malah
mengantarkan al-Musawi ke jurang neraka.
Al-Musawi memenuhi permintaan itu, dengan mengemukakan
sebuah hadits dalam kitab Musnad Imam Ahmad. Ia menjadikan
hadits ini sebagai sarana untuk menjelek-jelekkan para
sahabat, dengan memberi interpretasi yang tidak dapat
dibenarkan baik menurut pendekatan bahasa, logika, maupun
syara'.
Berikut ini adalah nash hadits yang terdapat di dalam
Musnad Ahmad dari Abi Said al-Khudri. Diceritakan bahwa Abu
Bakar datang kepada Nabi, dan berkata: "Ya Rasulullah, saya
melewati lembah anu, dan saya lihat di sana seorang
laki-laki yang bagus perawakan dan wajahnya, sedang shalat
dengan khusyu'nya." Mendengar, itu, beliau segera berkata
kepadanya: "Pergi dan bunuhlah ia!" Perawi hadits itu
melanjutkan: Maka pergilah Abu Bakar, tetapi ketika ia
melihat orang itu dalam keadaan seperti semula, ia merasa
enggan membunuhnya. Dan ia kembali kepada Rasulullah saw.
Maka beliau pun berkata kepada 'Umar: "Pergilah dan bunuhlah
orang itu!" Dan 'Umar pun pergi dan mendapati orang itu
dalam keadaan seperti yang dilihat oleh Abu Bakar, dan ia
pun merasa enggan membunuhnya, lalu kembali kepada
Rasulullah saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, kulihat ia
sedang shalat dengan khusyu', maka aku tidak sampai hati
membunuhnya". Lalu Rasulullah saw bersabda: "Hai 'Ali,
pergilah engkau dan bunuhlah orang itu!"
Dan 'Ali segera pergi, tapi ia tidak menjumpai orang itu,
lalu ia pulang dan berkata kepada beliau: "Ya Rasulullah,
aku tidak melihatnya" Mendengar itu, Rasulullah saw
bersabda: "Sesungguhnya orang ini dan kawan-kawannya membaca
al-Qur'an, namun bacaan mereka tidak melampaui
kerongkongannya. Mereka itu lepas dari agama seperti anak
panah lepas dari busurnya dan tidak kembali kepadanya
sehingga anak panah dapat kembali ke busurnya lagi Karena
itu, binasakanlah mereka, sebab mereka adalah sejahat-jahat
manusia".
Perhatikanlah, betapa jauh al-Musawi menjadikan hadits
ini sebagai dalil bahwa Abu Bakar dan 'Umar tidak mau
melaksanakan perintah Nabi dan beribadah kepada Allah dengan
menjalankan perintah itu. Mereka justru mendahulukan
pendapat mereka atas perintah Nabi itu. Hakekat inilah
sesungguhnya yang ingin dikokohkan al-Musawi dalam
dialog-dialognya yang terdahulu maupun yang belakangan,
untuk dibawa pada kesimpulan bahwa Abu Bakar dan 'Umar
menolak wasiat imamah Nabi kepada 'Ali ibn Abi Thalib dengan
jalan mentakwilkan nash-nash dan mengutamakan
pemikiran-pemikiran mereka atas nash-nash tersebut, suatu
hal yang sering mereka lakukan dalam setiap perintah yang
diberikan kepada mereka.
Padahal yang benar adalah bahwa mereka adalah
sahabat-sahabat yang paling berpegang teguh pada petunjuk
Nabi saw. Ini adalah kenyataan yang tak dapat diingkari.
Semua kitab hadits mengatakan demikian. Andaikata tidak
demikian halnya, tentu mereka tidak akan menjadi orang yang
paling dekat kepada dan dicintai Nabi saw, yang didahulukan
Nabi dari orang-orang lain dalam segala hal, dan yang lebih
dahulu diajak musyawarah oleh Nabi dalam segala urusan, dan
yang dinyatakan keutamaannya oleh Nabi dengan adanya jaminan
surga bagi mereka. Dan andaikata tidak demikian halnya,
tentu para sahabat tidak akan mengakui keutamaan dan
ketinggian martabat mereka, termasuk Keluarga Suci Nabi,
dengan pemukanya 'Ali ibn Abi-Thalib.
Sesungguhnya dalam hadits ini tidak ada sesuatu yang
mendukung pendapat al-Musawi. Mengenai perkataannya:
"Sesungguhnya perintah Nabi kepada mereka untuk membunuh itu
adalah perintah wajib", tidak dapat dibenarkan ditinjau dari
berbagai segi:
1. Tidak semua perintah (amr) memiliki pengertian
wajib, meskipun memang demikian halnya dalam pengertian
asalnya akan tetapi, kadang-kadang suatu perintah keluar
dari pengertian asalnya, hingga menjadi anjuran (sunnah,
nadb) atau kebolehan (ibakah), Karena adanya bukti-bukti dan
bukti-bukti seperti itu ada dalam hadits ini:
Diantaranya, Nabi tidak mencela 'Umar atau Abu Bakar
ketika mereka kembali kepada Nabi tanpa melaksanakan
perintahnya, yaitu membunuh lelaki yang berada di lembah
itu. Andaikata perintah itu adalah perintah wajib, tentu
Nabi telah mencela mereka dengan keras. Ini menunjukkan
bahwa perintah Nabi kepada mereka untuk membunuh orang
tersebut adalah perintah sunnah, bukan wajib
Diantaranya lagi, laki-laki itu tidak menampakkan hal-hal
yang menyebabkan dia wajib dibunuh. Bahkan justru
sebaliknya, ia sedang shalat dengan khusyu'nya.
Bukti lainnya, ialah tidak dijelaskannya hikmah
pembunuhan ini, sedang ia dalam keadaan seperti itu. Hadits
tersebut memang menerangkan hikmahnya, tetapi keterangan itu
diberikan setelah perintah membunuh diberikan, bukan
sebelumnya.
Diantaranya lagi, Nabi melepaskan begitu saja laki-laki
itu. Beliau tidak membicarakannya lagi dan tidak menyuruh
mengejarnya serta membunuhnya setelah 'Ali kembali dan tidak
menemukannya. Ini menunjukkan bahwa perintah Nabi untuk
membunuh orang itu, hukumnya tidak wajib.
2. Pernyataan al-Musawi bahwa amr dalam hadits ini
hanya mengandung arti wajib, bertentangan dengan madzhabnya
sendiri dalam soal ini. Di dalam kitab ad-Dur wa al-Ghurur,
al-Murtadha menjelaskan bahwa tidak semua perintah
mengandung pengertian wajib. (Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna
Asy'driyah, hal. 240).
|