Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 85-88

Murid yang baik itu begitu kagum pada jawaban sang guru. Ia melihat suatu kemukjizatan yang luar biasa dalam jawaban itu, yang mampu mendekatkan sesuatu yang tadinya dipandang jauh oleh sang murid dalim Dialog 83. Sang murid menerima kebathilan al-Musawi, tanpa membantah dan tanpa sikap kritis. Bahkan dia meminta tambahan jawaban, yang membuat al-Musawi semakin jauh dari kebenaran, semakin bergelimang dosa, dan semakin terhalang dari rahmat Tuhan.

Pada Dialog 86, al-Musawi menjawab ajakan Syeitan ini dengan mengemukakan kebohongan baru kepada orang banyak yang mengandung motif untuk menguatkan kedustaan-kedustaan yang telah dikemukakannya sebelumnya dalam Dialog 84, dengan berdalil dengan apa yang disebut sebagai "Tragedi Hari Kamis".

Dalil yang dimaksud ialah suatu riwayat yang dikemukakan Imam Bukhari melalui sanadnya dari Ibn 'Abbas, katanya: Ketika ajal Nabi telah hampir, dan di rumah beliau berkumpul banyak orang, beliau bersabda: "Mari kutuliskan bagimu suatu surat (wasiat), agar sesudah itu kamu tidak akan sesat". Lalu salah seorang dari mereka berkata: "Sakit Nabi telah semakin gawat dan parah, sedangkan al-Qur'an ada pada kalian; cukuplah itu bagi kita". Maka terjadilah perselisihan diantara yang hadir, dan mereka pun bertengkar. Sebagian berkata: "Sediakanlah apa yang diminta Nabi, agar beliau menuliskan (mendiktekan) bagi kamu apa yang akan menghindarkan kamu dari kesesatan!" Tetapi yang lain mengatakan sebaliknya, sehingga terjadi ribut-ribut dan pertengkaran di hadapan Nabi saw, dan beliau pun bersabda: "Pergilah kamu semua dari tempat ini!" Ubaidillah mengutip perkataan Ibn 'Abbas dalam mengomentari peristiwa tersebut, sebagai berikut: "Sebesar-besar malapetaka ialah kejadian yang menghalangi Rasulullah saw menuliskan pesan terakhirnya itu". (Lihat Kitab al-Maghazi, jilid 8,hal.132), yang dikutip dari Fathul Bari. Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam banyak tempat dalam Sahihnya, dengan redaksi yang hampir sama.

Akan tetapi telah menjadi kebiasaan al-Musawi jika ia hendak beristidhal dengan hadits sahih, ia menunjukkan sumber dalil itu dalam kitab-kitab Sahih dan Sunan; lalu menjadikannya sebagai landasan untuk memberikan tambahan-tambahan yang dha'if dan palsu serta takwil yang rusak.

Dalam mengemukakan riwayat ini, al-Musawi mempunyai maksud-maksud seperti berikut ini:

1. Menuduh para sahabat, terutama 'Umar ibn al-Khaththab, tidak mau menjalankan perintah Nabi ketika beliau bersabda: "Mari kutuliskan bagimu sebuah surat wasiat "'Umar melarang orang-orang yang hadir untuk mendatangkan apa yang diminta Nabi, sehingga beliau tidak dapat mendiktekan apapun. Al-Musawi memandang hal ini sebagai pembangkangan 'Umar terhadap perintah Nabi, dan penentangan terhadapnya. 'Umar, demikian al-Musawi, bermaksud menutup kesempatan terakhir bagi kekhalifahan 'Ali ibn Abi Thalib.

Tuduhan ini dapat ditanggapi dari berbagai sudut sebagai berikut:

a. Perintah Nabi itu diberikan, di waktu beliau dalam keadaan sakit parah. Di satu pihak hal ini menimbulkan rasa iba yang mendalam di hati para sahabat. Juga rasa kasihan terhadap Nabi dipihak lain. Ketika Nabi meminta kertas untuk mendiktekan surat wasiat, mereka merasa kasihan kepada beliau, dan tak mau membebani beliau dengan sesuatu yang merepotkannya, sedang beliau dalam keadaan seperti itu. Apalagi mereka mengetahui bahwa tidak semua perintah itu wajib dilaksanakan secara mutlak. Sebab, kadang-kadang terdapat qarinah-qarinah (konteks) yang mengeluarkan perintah itu dari maknanya yang asal. Mereka telah menyadari akan kesempurnaan Islam dengan adanya ayat "Alyauma akmaltu lakum dinakum waatmamtu 'alaikum ni'mati, wa-radkitu lakumul-islama dina (QS, al-Ma'idah, 5:3) dan hadits Nabi:

"Aku tinggalkan untukmu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh padanya, kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah" Qarinah-qarinah ini menunjukkan bahwa permintaan Nabi akan kertas dan tinta itu, tidaklah bersifat ilzam (wajib). Dan bahwa pesan yang akan ditulis dalam surat itu, hanyalah penjelasan tambahan atas apa yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Bukti yang menunjukkan hal itu ialah sikap Nabi yang mengurungkan niatnya untuk menulis wasiat dan menyuruh mereka keluar ketika mereka ribut dan bertengkar. Juga tidak adanya perintah ulang dari Nabi, kendatipun beliau masih sempat hidup berhari-hari setelah peristiwa itu.

Seandainya perintah itu merupakan perintah yang wajib, Nabi pasti menyampaikannya lagi walaupun ada perselisihan dan pertengkaran para sahabat. Pertengkaran kadang-kadang memang menyebabkan penundaan tabligh hingga situasi menjadi lebih tenang, tetapi tidak sampai menyebabkan dibatalkannya perintah sama sekali. Sementara kenyataan yang terjadi pada Nabi, adalah beliau meninggalkannya sama sekali, bukan menundanya. Ini memperkuat anggapan bahwa apa yang hendak didiktekan Nabi itu bukanlah perkara yang wajib (Wallahu a'lam!). Karena itu, setelah adanya perselisihan mereka, Nabi menyampaikan wasiatnya secara lisan.

Mengenai pendapat yang menyatakan bahwa pertentangan itu mengakibatkan tidak terlaksananya salah satu dari kewajiban-kewajiban Islam atau suatu kewajiban dalam penyampaian materi tabligh yang penting, dan dengan begitu, mengakibatkan kekurangan pada agama Islam, maka tidak dapat disangkal lagi bathilnya pendapat ini, sebagaimana bathilnya pemikiran yang mendasarinya.

Apa yang menyebabkan al-Faruq 'Umar ibn Khaththab dan sebagian sahabat yang hadir di rumah Nabi ketika itu menganggap bahwa penulisan pesan Nabi itu tidak wajib dilakukan adalah sebab-sebab yang telah disebutkan di atas (Wallahu a'lam).

b. Al-Musawi menjelaskan dalam dialog yang terdahulu bahwa tidak dipenuhinya permintaan Nabi akan kertas dan tinta itu dimaksudkan untuk meniadakan kesempatan Nabi menulis wasiat bagi khilafah 'Ali setelah wafat beliau. Dakwaan al-Musawi ini tidak dapat dibenarkan ditinjau dari-berbagai segi:

Bagaimana al-Musawi tahu bahwa Nabi bermaksud menulis, dalam surat itu, wasiat khilafah bagi 'Ali? Apakah ia tahu barang ghaib? Ataukah ia mendapat jaminan langsung dari sisi Tuhan? Jika Rasulullah saw meninggal dunia tanpa mendiktekan surat wasiat yang sempat menjadi perselisihan itu, lalu dari mana al-Musawi mengetahui isinya?!

Jika 'Ali, si penerima wasiat yang dianggapkan itu, meninggal dunia tanpa mengucapkan satu kata pun yang menjelaskan hakekat surat wasiat itu, atau bahwa dia mengetahui hakekatnya, lalu dari sumber mana kaum Rafidhah mengetahuinya?

Jika setelah, terjadinya pertengkaran para sahabat di hadapan Nabi itu, beliau menyampaikan tiga wasiat kepada mereka sebagaimana dituturkan oleh berbagai riwayat di dalam Sahih Bukhari yang dijadikan, hujjah oleh al-Musawi. Pertama, wasiat agar mengeluarkan kaum Musyrikin dari jazirah Arab; kedua, memberikan hadiah kepada utusan-utusan asing sebagaimana Nabi biasa melakukannya; dan dia (perawi hadits ini) berdiam mengenai wasiat yang ketiga), maka mengapa al-Musawi tidak menganggap bahwa ketiga wasiat inilah yang sesungguhnya hendak didiktekan oleh Nabi dalam surat wasiat itu, sebagaimana yang dipahami oleh para ulama? Kenapa ia mengabaikan keterangan ini, yang nota bene adalah hadits?

Kalaupun kita terima kesahihan pernyataan al-Musawi itu, maka bagaimana al-Faruq 'Umar ibn Khaththab dan kawan-kawannya mengetahui isi wasiat itu sebelum didiktekan oleh Nabi? Padahal ia masih termasuk barang ghaib jika dinisbatkan kepada mereka semua?

Semua pertanyaan di atas tidak bisa dijawab oleh al-Musawi, juga oleh orang Rafidhah lainnya. Ini membuktikan kedustaan dan kontradiksi pemikiran mereka. Juga membuktikan bahwa mereka berkata atas nama Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.

c. Adapun para ahli hadits, mereka berbeda pendapat tentang hakekat surat itu, dan mereka tidak menganggap final suatu pendapat seperti kaum Rafidhah. Sebagian mereka berkata: Rasulullah saw hendak menuliskan wasiat yang berisikan nash tentang hukum-hukum, supaya tidak terjadi perselisihan. Sebagian yang lain berkata: Bahkan Rasulullah saw hendak menetapkan (dengan nash) nama-nama khalifah setelah beliau, supaya tidak terjadi perselisihan diantara mereka. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Muslim dalam Sahihnya. Dalam riwayat ini dikatakan bahwa pada awal sakitnya, Nabi yang ketika itu berada di sisi 'A'isyah bersabda: "Datangkanlah kemari ayah dan saudaramu agar kudiktekan sebuah pesan (surat), sebab aku khawatir akan ada orang yang berangan-angan, dan yang mengatakan yang bukan-bukan, sementara Allah dan kaum Mukminin tidak menerima selain Abu Bakar." Imam Bukhari juga mempunyai hadits yang isinya serupa, namun tidak dituliskannya (Fathul Bari, jilid 1, hal. 209).

2. Al-Musawi hendak menisbatkan kepada 'Umar suatu perkataan yang tidak dikatakan oleh 'Umar. Maksudnya tidak lain kecuali untuk meremehkan 'Umar, mengecam dan merendahkan kedudukannya, sesuai dengan keyakinan kaum Rafidhah terhadap 'Umar dan sahabatnya Abu Bakar. Al-Musawi menisbatkan kepada 'Umar perkataan "Rasulullah telah mengigau". Dengan ini, al-Musawi mengisyaratkan bahwa 'Umar telah mengatakan perkataan yang tidak sesuai dengan martabat Nabi. Ini jelas merupakan tuduhan yang tidak dapat dibenarkan menurut para ahli hadits, bahkan bertentangan dengan pendapat yang telah disepakati para ahli. Berikut ini kami kemukakan beberapa penjelasan:

2.1. Dalam riwayat-riwayat yang sahih dan yang berbilang salurannya untuk hadits ini, tidak ada perkataan yang disandarkan kepada 'Umar, selain perkataan "Rasulullah telah gawat sakitnya, dan pada kalian ada al-Qur'an. Cukuplah kitabullah sebagai pegangan kita!" Perkataan 'Umar tidak lebih dari ini. Maka adakah dalam perkataan ini, sesuatu yang mendukung pendapat al-Musawi? Adakah dalam perkataan itu sesuatu yang tidak senonoh dan kurang sopan terhadap Nabi? Tentu, tak seorang pun akan berpendapat demikian kecuali orang yang dengki dan pongah! Perkataan 'Umar itu justru keluar dari mulut seorang yang berbudi luhur dan mulia, yang memiliki rasa kasih yang tak terhingga kepada Nabi.

Adapun riwayat yang didalamnya terdapat perkataan: 'Rasulullah mengigau", maka perkataan tersebut tidaklah dinisbatkan kepada 'Umar, ataupun sahabat lain yang tertentu sebagaimana yang didakwakan al-Musawi. Dalam riwayat itu hanya dikemukakan kata ganti orang dalam bentuk jamak, (plural): "Mereka berkata:

"Kenapa Rasulullah? Apakah dia mengigau?". Kata mereka: "Nabi mengigau". Ini diterangkan dalam bab al-Maghazi dan al-Jihad dalam Sahih Bukhari.

2.2. Dakwaan al-Musawi itu bertentangan dengan pendapat yang dipegangi oleh para peneliti dari kalangan ulama hadits yang menjelaskan beberapa riwayat hadits ini. Barangsiapa meneliti secara cermat riwayat-riwayat hadits ini, baik dalam kitab Sahih, Sunan, maupun di dalam kitab syarah-syarahnya, niscaya ia tidak akan menemukan seorang ulama pun yang menisbatkan perkataan tersebut kepada 'Umar ibn Khaththab. Bagaimana mereka dapat menisbatkannya, sedangkan riwayat-riwayat itu tidak menyatakannya?

Berikut ini kami kemukakan pendapat para ulama sebagaimana yang diringkas oleh Ibn Hajar dari perkataan al-Qurthubi. Ibn Hajar berkata: Mengenai perkataan sahabat, hajara, maka menurut pendapat yang kuat (rajih), ia mesti ditambah dengan hamzah istifham yang dibaca fathah hingga berbunyi ahajara (Apakah dia mengigau?) dalam bentuk fi'il madhi. Sebagian berpendapat, bunyinya adalah ahujran (Apakah igauan?) dengan anggapan bahwa kata h-j-r itu merupakan isim maf'ul dari fi'il yang tersimpan. Jadi kalimat lengkapnya adalah "Dia berkata: hujran (igauan)." Al-hujru berarti al-hadzyanu, yang berarti perkataan orang sakit yang keluar secara tidak sadar dan tidak teratur (mengigau). Dan perkataan demikian tidak diperhitungkan, lantaran tidak ada artinya. Namun perkataan seperti ini tidak mungkin terjadi pada diri Nabi. Sebab beliau ma'shum, baik di kala sehat maupun sakitnya. Allah berf'irman: "Dan tidaklah dia berbicara atas dorongan hawa nafsunya. (Ucapannya) itu tak lain adalah wahyu yang diwahyukan" (QS, an-Najm, 53:3-4). Rasulullah juga bersabda: "Aku tidak berkata, kecuali yang hak, baik diwaktu marah maupun rela." Jika demikian, maka orang yang mengatakan "Apakah igauan? (ahujran) hanyalah bermaksud menyanggah orang, yang tidak mau melaksanakan perintah Nabi untuk mendatangkan kertas dan tinta. Seakan-akan orang itu berkata: "Mengapa anda diam saja (tidak segera melaksanakan perintah). Apakah anda mengira Nabi meracau dalam sakitnya, seperti orang lain? Laksanakanlah perintahnya, dan datangkan apa yang beliau minta. Nabi tidak pernah berkata kecuali yang haq". Ibn Hajar berkata: "Inilah pendapat yang paling bagus!" Katanya lagi: "Mungkin juga bahwa sebagian sahabat mengatakan "Nabi mengigau" karena merasa ragu-ragu. Tetapi sangat tidak mungkin sahabat-sahabat yang lain tidak menyanggahnya, sedang mereka adalah sahabat-sahabat terkemuka. Dan seandainya mereka menyanggahnya, pasti ada keterangan mengenai hal itu. Bisa juga, orang yang mengatakan itu lantaran panik atau bingung, seperti dialami banyak orang ketika Rasulullah saw berpulang ke rahmatullah.

Mengomentari berbagai kemungkinan itu, Ibn Hajar berkata: "Dari tiga kemungkinan yang dikemukakan al-Qurthubi itu, kemungkinan ketiga itulah yang paling rajih menurut pemikiranku. Dan mungkin orang yang mengatakan itu, ialah orang yang baru masuk Islam, dan dia beranggapan bahwa orang yang sakitnya parah, sangat sulit untuk menyatakan apa yang ingin dikatakannya, karena mungkinnya hal itu terjadi. (Fathul Bari, jilid 8, hal. 133).

3. Kemudian al-Musawi menuduh para ulama hadits sebagai tidak amanah dalam meriwayatkan hadits. Berkata dia: "Mereka melakukan pengubahan dalam hadits ketika mereka meriwayatkan maksudnya saja, untuk menutupi keburukan kata-kata didalamnya dan meminimalkan kecaman orang terhadap kata-kata tersebut." Di tempat lain, al-Musawi berkata: "Hal lain yang menunjukkan ketidakjujuran para ahli hadits ialah bahwa manakala mereka tidak menyebutkan nama orang yang menentang perintah Nabi itu, maka mereka menukil redaksi kata-katanya dengan jelas." Maksud pernyataan al-Musawi ini ialah bahwa para ahli hadits itu mempermainkan lafazh hadits. Manakala nama 'Umar al-Faruq disebut dengan jelas, maka mereka menukil kata-katanya secara maknawi (maksudnya) saja. Tetapi jika nama 'Umar tidak disebutkan, mereka menukil redaksi kata-katanya dengan lengkap dan jelas. Tanggapan atas tuduhan ini, dapat dikemukakan sebagai berikut:

  1. Tuduhan ini bathil, tidak berdalil sama sekali, dan tidak tersebut dalam kitab yang muktabar menurut penilaian para ahli hadits.
  2. Karena tuduhan itu tidak diperkuat oleh dalil yang mendasarinya, maka kita dapat menyatakan yang sebaliknya. Sebab, pada dasarnya manusia bersifat adil, kecuali jika telah kelihatan jelas sifat zalimnya. Ini adalah sifat manusia biasa. Maka bagaimana pula halnya dengan para ulama yang sudah disepakati semua orang tentang keadilannya, sehingga mereka mencapai puncak kemasyhuran yang tidak diperdebatkan lagi.
  3. Tidak ada alasan yang mendorong para ahli hadits yang adil dan tsiqat itu untuk bermain-main dengan hadits ini ataupun hadits lainnya. Seandainya dikatakan bahwa sebagian mereka berbuat tidak jujur itu karena takut kepada 'Umar ibn Khaththab, sebagaimana diyakini oleh kaum Rafidhah, maka apa kata mereka mengenai perawi-perawi hadits yang hidup sesudah masa 'Umar? Dan andaikata dikatakan bahwa sebagian mereka berbuat curang itu karena fanatik, tentu kecurangan itu akan merata dalam hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Dan jika demikian, tentu akan diketahui adanya orang yang menentang mereka.
  4. Akhirnya kita katakan kepada al-Musawi: Bagaimana anda bisa berhujjah dengan riwayat mereka, sedangkan anda mengecam keadilan mereka. Ini adalah kontradiksi yang amat buruk.


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.