|
Sanggahan terhadap Dialog 85-88
Murid yang baik itu begitu kagum pada jawaban sang guru.
Ia melihat suatu kemukjizatan yang luar biasa dalam jawaban
itu, yang mampu mendekatkan sesuatu yang tadinya dipandang
jauh oleh sang murid dalim Dialog 83. Sang murid menerima
kebathilan al-Musawi, tanpa membantah dan tanpa sikap
kritis. Bahkan dia meminta tambahan jawaban, yang membuat
al-Musawi semakin jauh dari kebenaran, semakin bergelimang
dosa, dan semakin terhalang dari rahmat Tuhan.
Pada Dialog 86, al-Musawi menjawab ajakan Syeitan ini
dengan mengemukakan kebohongan baru kepada orang banyak yang
mengandung motif untuk menguatkan kedustaan-kedustaan yang
telah dikemukakannya sebelumnya dalam Dialog 84, dengan
berdalil dengan apa yang disebut sebagai "Tragedi Hari
Kamis".
Dalil yang dimaksud ialah suatu riwayat yang dikemukakan
Imam Bukhari melalui sanadnya dari Ibn 'Abbas, katanya:
Ketika ajal Nabi telah hampir, dan di rumah beliau berkumpul
banyak orang, beliau bersabda: "Mari kutuliskan bagimu suatu
surat (wasiat), agar sesudah itu kamu tidak akan sesat".
Lalu salah seorang dari mereka berkata: "Sakit Nabi telah
semakin gawat dan parah, sedangkan al-Qur'an ada pada
kalian; cukuplah itu bagi kita". Maka terjadilah
perselisihan diantara yang hadir, dan mereka pun bertengkar.
Sebagian berkata: "Sediakanlah apa yang diminta Nabi, agar
beliau menuliskan (mendiktekan) bagi kamu apa yang akan
menghindarkan kamu dari kesesatan!" Tetapi yang lain
mengatakan sebaliknya, sehingga terjadi ribut-ribut dan
pertengkaran di hadapan Nabi saw, dan beliau pun bersabda:
"Pergilah kamu semua dari tempat ini!" Ubaidillah mengutip
perkataan Ibn 'Abbas dalam mengomentari peristiwa tersebut,
sebagai berikut: "Sebesar-besar malapetaka ialah kejadian
yang menghalangi Rasulullah saw menuliskan pesan terakhirnya
itu". (Lihat Kitab al-Maghazi, jilid 8,hal.132), yang
dikutip dari Fathul Bari. Imam Bukhari meriwayatkan hadits
ini dalam banyak tempat dalam Sahihnya, dengan redaksi yang
hampir sama.
Akan tetapi telah menjadi kebiasaan al-Musawi jika ia
hendak beristidhal dengan hadits sahih, ia menunjukkan
sumber dalil itu dalam kitab-kitab Sahih dan Sunan; lalu
menjadikannya sebagai landasan untuk memberikan
tambahan-tambahan yang dha'if dan palsu serta takwil yang
rusak.
Dalam mengemukakan riwayat ini, al-Musawi mempunyai
maksud-maksud seperti berikut ini:
1. Menuduh para sahabat, terutama 'Umar ibn
al-Khaththab, tidak mau menjalankan perintah Nabi ketika
beliau bersabda: "Mari kutuliskan bagimu sebuah surat wasiat
"'Umar melarang orang-orang yang hadir untuk mendatangkan
apa yang diminta Nabi, sehingga beliau tidak dapat
mendiktekan apapun. Al-Musawi memandang hal ini sebagai
pembangkangan 'Umar terhadap perintah Nabi, dan penentangan
terhadapnya. 'Umar, demikian al-Musawi, bermaksud menutup
kesempatan terakhir bagi kekhalifahan 'Ali ibn Abi
Thalib.
Tuduhan ini dapat ditanggapi dari berbagai sudut sebagai
berikut:
a. Perintah Nabi itu diberikan, di waktu beliau
dalam keadaan sakit parah. Di satu pihak hal ini menimbulkan
rasa iba yang mendalam di hati para sahabat. Juga rasa
kasihan terhadap Nabi dipihak lain. Ketika Nabi meminta
kertas untuk mendiktekan surat wasiat, mereka merasa kasihan
kepada beliau, dan tak mau membebani beliau dengan sesuatu
yang merepotkannya, sedang beliau dalam keadaan seperti itu.
Apalagi mereka mengetahui bahwa tidak semua perintah itu
wajib dilaksanakan secara mutlak. Sebab, kadang-kadang
terdapat qarinah-qarinah (konteks) yang mengeluarkan
perintah itu dari maknanya yang asal. Mereka telah menyadari
akan kesempurnaan Islam dengan adanya ayat "Alyauma akmaltu
lakum dinakum waatmamtu 'alaikum ni'mati, wa-radkitu
lakumul-islama dina (QS, al-Ma'idah, 5:3) dan hadits
Nabi:
"Aku tinggalkan untukmu sesuatu yang jika kamu berpegang
teguh padanya, kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu
Kitab Allah" Qarinah-qarinah ini menunjukkan bahwa
permintaan Nabi akan kertas dan tinta itu, tidaklah bersifat
ilzam (wajib). Dan bahwa pesan yang akan ditulis dalam surat
itu, hanyalah penjelasan tambahan atas apa yang terdapat
dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Bukti yang
menunjukkan hal itu ialah sikap Nabi yang mengurungkan
niatnya untuk menulis wasiat dan menyuruh mereka keluar
ketika mereka ribut dan bertengkar. Juga tidak adanya
perintah ulang dari Nabi, kendatipun beliau masih sempat
hidup berhari-hari setelah peristiwa itu.
Seandainya perintah itu merupakan perintah yang wajib,
Nabi pasti menyampaikannya lagi walaupun ada perselisihan
dan pertengkaran para sahabat. Pertengkaran kadang-kadang
memang menyebabkan penundaan tabligh hingga situasi menjadi
lebih tenang, tetapi tidak sampai menyebabkan dibatalkannya
perintah sama sekali. Sementara kenyataan yang terjadi pada
Nabi, adalah beliau meninggalkannya sama sekali, bukan
menundanya. Ini memperkuat anggapan bahwa apa yang hendak
didiktekan Nabi itu bukanlah perkara yang wajib (Wallahu
a'lam!). Karena itu, setelah adanya perselisihan mereka,
Nabi menyampaikan wasiatnya secara lisan.
Mengenai pendapat yang menyatakan bahwa pertentangan itu
mengakibatkan tidak terlaksananya salah satu dari
kewajiban-kewajiban Islam atau suatu kewajiban dalam
penyampaian materi tabligh yang penting, dan dengan begitu,
mengakibatkan kekurangan pada agama Islam, maka tidak dapat
disangkal lagi bathilnya pendapat ini, sebagaimana bathilnya
pemikiran yang mendasarinya.
Apa yang menyebabkan al-Faruq 'Umar ibn Khaththab dan
sebagian sahabat yang hadir di rumah Nabi ketika itu
menganggap bahwa penulisan pesan Nabi itu tidak wajib
dilakukan adalah sebab-sebab yang telah disebutkan di atas
(Wallahu a'lam).
b. Al-Musawi menjelaskan dalam dialog yang
terdahulu bahwa tidak dipenuhinya permintaan Nabi akan
kertas dan tinta itu dimaksudkan untuk meniadakan kesempatan
Nabi menulis wasiat bagi khilafah 'Ali setelah wafat beliau.
Dakwaan al-Musawi ini tidak dapat dibenarkan ditinjau
dari-berbagai segi:
Bagaimana al-Musawi tahu bahwa Nabi bermaksud menulis,
dalam surat itu, wasiat khilafah bagi 'Ali? Apakah ia tahu
barang ghaib? Ataukah ia mendapat jaminan langsung dari sisi
Tuhan? Jika Rasulullah saw meninggal dunia tanpa mendiktekan
surat wasiat yang sempat menjadi perselisihan itu, lalu dari
mana al-Musawi mengetahui isinya?!
Jika 'Ali, si penerima wasiat yang dianggapkan itu,
meninggal dunia tanpa mengucapkan satu kata pun yang
menjelaskan hakekat surat wasiat itu, atau bahwa dia
mengetahui hakekatnya, lalu dari sumber mana kaum Rafidhah
mengetahuinya?
Jika setelah, terjadinya pertengkaran para sahabat di
hadapan Nabi itu, beliau menyampaikan tiga wasiat kepada
mereka sebagaimana dituturkan oleh berbagai riwayat di dalam
Sahih Bukhari yang dijadikan, hujjah oleh al-Musawi.
Pertama, wasiat agar mengeluarkan kaum Musyrikin dari
jazirah Arab; kedua, memberikan hadiah kepada utusan-utusan
asing sebagaimana Nabi biasa melakukannya; dan dia (perawi
hadits ini) berdiam mengenai wasiat yang ketiga), maka
mengapa al-Musawi tidak menganggap bahwa ketiga wasiat
inilah yang sesungguhnya hendak didiktekan oleh Nabi dalam
surat wasiat itu, sebagaimana yang dipahami oleh para ulama?
Kenapa ia mengabaikan keterangan ini, yang nota bene adalah
hadits?
Kalaupun kita terima kesahihan pernyataan al-Musawi itu,
maka bagaimana al-Faruq 'Umar ibn Khaththab dan
kawan-kawannya mengetahui isi wasiat itu sebelum didiktekan
oleh Nabi? Padahal ia masih termasuk barang ghaib jika
dinisbatkan kepada mereka semua?
Semua pertanyaan di atas tidak bisa dijawab oleh
al-Musawi, juga oleh orang Rafidhah lainnya. Ini membuktikan
kedustaan dan kontradiksi pemikiran mereka. Juga membuktikan
bahwa mereka berkata atas nama Allah dan Rasul-Nya tanpa
ilmu.
c. Adapun para ahli hadits, mereka berbeda
pendapat tentang hakekat surat itu, dan mereka tidak
menganggap final suatu pendapat seperti kaum Rafidhah.
Sebagian mereka berkata: Rasulullah saw hendak menuliskan
wasiat yang berisikan nash tentang hukum-hukum, supaya tidak
terjadi perselisihan. Sebagian yang lain berkata: Bahkan
Rasulullah saw hendak menetapkan (dengan nash) nama-nama
khalifah setelah beliau, supaya tidak terjadi perselisihan
diantara mereka. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Muslim
dalam Sahihnya. Dalam riwayat ini dikatakan bahwa pada awal
sakitnya, Nabi yang ketika itu berada di sisi 'A'isyah
bersabda: "Datangkanlah kemari ayah dan saudaramu agar
kudiktekan sebuah pesan (surat), sebab aku khawatir akan ada
orang yang berangan-angan, dan yang mengatakan yang
bukan-bukan, sementara Allah dan kaum Mukminin tidak
menerima selain Abu Bakar." Imam Bukhari juga mempunyai
hadits yang isinya serupa, namun tidak dituliskannya (Fathul
Bari, jilid 1, hal. 209).
2. Al-Musawi hendak menisbatkan kepada 'Umar suatu
perkataan yang tidak dikatakan oleh 'Umar. Maksudnya tidak
lain kecuali untuk meremehkan 'Umar, mengecam dan
merendahkan kedudukannya, sesuai dengan keyakinan kaum
Rafidhah terhadap 'Umar dan sahabatnya Abu Bakar. Al-Musawi
menisbatkan kepada 'Umar perkataan "Rasulullah telah
mengigau". Dengan ini, al-Musawi mengisyaratkan bahwa 'Umar
telah mengatakan perkataan yang tidak sesuai dengan martabat
Nabi. Ini jelas merupakan tuduhan yang tidak dapat
dibenarkan menurut para ahli hadits, bahkan bertentangan
dengan pendapat yang telah disepakati para ahli. Berikut ini
kami kemukakan beberapa penjelasan:
2.1. Dalam riwayat-riwayat yang sahih dan yang
berbilang salurannya untuk hadits ini, tidak ada perkataan
yang disandarkan kepada 'Umar, selain perkataan "Rasulullah
telah gawat sakitnya, dan pada kalian ada al-Qur'an.
Cukuplah kitabullah sebagai pegangan kita!" Perkataan 'Umar
tidak lebih dari ini. Maka adakah dalam perkataan ini,
sesuatu yang mendukung pendapat al-Musawi? Adakah dalam
perkataan itu sesuatu yang tidak senonoh dan kurang sopan
terhadap Nabi? Tentu, tak seorang pun akan berpendapat
demikian kecuali orang yang dengki dan pongah! Perkataan
'Umar itu justru keluar dari mulut seorang yang berbudi
luhur dan mulia, yang memiliki rasa kasih yang tak terhingga
kepada Nabi.
Adapun riwayat yang didalamnya terdapat perkataan:
'Rasulullah mengigau", maka perkataan tersebut tidaklah
dinisbatkan kepada 'Umar, ataupun sahabat lain yang tertentu
sebagaimana yang didakwakan al-Musawi. Dalam riwayat itu
hanya dikemukakan kata ganti orang dalam bentuk jamak,
(plural): "Mereka berkata:
"Kenapa Rasulullah? Apakah dia mengigau?". Kata mereka:
"Nabi mengigau". Ini diterangkan dalam bab al-Maghazi dan
al-Jihad dalam Sahih Bukhari.
2.2. Dakwaan al-Musawi itu bertentangan dengan
pendapat yang dipegangi oleh para peneliti dari kalangan
ulama hadits yang menjelaskan beberapa riwayat hadits ini.
Barangsiapa meneliti secara cermat riwayat-riwayat hadits
ini, baik dalam kitab Sahih, Sunan, maupun di dalam kitab
syarah-syarahnya, niscaya ia tidak akan menemukan seorang
ulama pun yang menisbatkan perkataan tersebut kepada 'Umar
ibn Khaththab. Bagaimana mereka dapat menisbatkannya,
sedangkan riwayat-riwayat itu tidak menyatakannya?
Berikut ini kami kemukakan pendapat para ulama
sebagaimana yang diringkas oleh Ibn Hajar dari perkataan
al-Qurthubi. Ibn Hajar berkata: Mengenai perkataan sahabat,
hajara, maka menurut pendapat yang kuat (rajih), ia mesti
ditambah dengan hamzah istifham yang dibaca fathah hingga
berbunyi ahajara (Apakah dia mengigau?) dalam bentuk fi'il
madhi. Sebagian berpendapat, bunyinya adalah ahujran (Apakah
igauan?) dengan anggapan bahwa kata h-j-r itu merupakan isim
maf'ul dari fi'il yang tersimpan. Jadi kalimat lengkapnya
adalah "Dia berkata: hujran (igauan)." Al-hujru berarti
al-hadzyanu, yang berarti perkataan orang sakit yang keluar
secara tidak sadar dan tidak teratur (mengigau). Dan
perkataan demikian tidak diperhitungkan, lantaran tidak ada
artinya. Namun perkataan seperti ini tidak mungkin terjadi
pada diri Nabi. Sebab beliau ma'shum, baik di kala sehat
maupun sakitnya. Allah berf'irman: "Dan tidaklah dia
berbicara atas dorongan hawa nafsunya. (Ucapannya) itu tak
lain adalah wahyu yang diwahyukan" (QS, an-Najm, 53:3-4).
Rasulullah juga bersabda: "Aku tidak berkata, kecuali yang
hak, baik diwaktu marah maupun rela." Jika demikian, maka
orang yang mengatakan "Apakah igauan? (ahujran) hanyalah
bermaksud menyanggah orang, yang tidak mau melaksanakan
perintah Nabi untuk mendatangkan kertas dan tinta.
Seakan-akan orang itu berkata: "Mengapa anda diam saja
(tidak segera melaksanakan perintah). Apakah anda mengira
Nabi meracau dalam sakitnya, seperti orang lain?
Laksanakanlah perintahnya, dan datangkan apa yang beliau
minta. Nabi tidak pernah berkata kecuali yang haq". Ibn
Hajar berkata: "Inilah pendapat yang paling bagus!" Katanya
lagi: "Mungkin juga bahwa sebagian sahabat mengatakan "Nabi
mengigau" karena merasa ragu-ragu. Tetapi sangat tidak
mungkin sahabat-sahabat yang lain tidak menyanggahnya,
sedang mereka adalah sahabat-sahabat terkemuka. Dan
seandainya mereka menyanggahnya, pasti ada keterangan
mengenai hal itu. Bisa juga, orang yang mengatakan itu
lantaran panik atau bingung, seperti dialami banyak orang
ketika Rasulullah saw berpulang ke rahmatullah.
Mengomentari berbagai kemungkinan itu, Ibn Hajar berkata:
"Dari tiga kemungkinan yang dikemukakan al-Qurthubi itu,
kemungkinan ketiga itulah yang paling rajih menurut
pemikiranku. Dan mungkin orang yang mengatakan itu, ialah
orang yang baru masuk Islam, dan dia beranggapan bahwa orang
yang sakitnya parah, sangat sulit untuk menyatakan apa yang
ingin dikatakannya, karena mungkinnya hal itu terjadi.
(Fathul Bari, jilid 8, hal. 133).
3. Kemudian al-Musawi menuduh para ulama hadits
sebagai tidak amanah dalam meriwayatkan hadits. Berkata dia:
"Mereka melakukan pengubahan dalam hadits ketika mereka
meriwayatkan maksudnya saja, untuk menutupi keburukan
kata-kata didalamnya dan meminimalkan kecaman orang terhadap
kata-kata tersebut." Di tempat lain, al-Musawi berkata: "Hal
lain yang menunjukkan ketidakjujuran para ahli hadits ialah
bahwa manakala mereka tidak menyebutkan nama orang yang
menentang perintah Nabi itu, maka mereka menukil redaksi
kata-katanya dengan jelas." Maksud pernyataan al-Musawi ini
ialah bahwa para ahli hadits itu mempermainkan lafazh
hadits. Manakala nama 'Umar al-Faruq disebut dengan jelas,
maka mereka menukil kata-katanya secara maknawi (maksudnya)
saja. Tetapi jika nama 'Umar tidak disebutkan, mereka
menukil redaksi kata-katanya dengan lengkap dan jelas.
Tanggapan atas tuduhan ini, dapat dikemukakan sebagai
berikut:
- Tuduhan ini bathil, tidak berdalil sama
sekali, dan tidak tersebut dalam kitab yang muktabar
menurut penilaian para ahli hadits.
- Karena tuduhan itu tidak diperkuat oleh dalil yang
mendasarinya, maka kita dapat menyatakan yang sebaliknya.
Sebab, pada dasarnya manusia bersifat adil, kecuali jika
telah kelihatan jelas sifat zalimnya. Ini adalah sifat
manusia biasa. Maka bagaimana pula halnya dengan para
ulama yang sudah disepakati semua orang tentang
keadilannya, sehingga mereka mencapai puncak kemasyhuran
yang tidak diperdebatkan lagi.
- Tidak ada alasan yang mendorong para ahli hadits yang
adil dan tsiqat itu untuk bermain-main dengan hadits ini
ataupun hadits lainnya. Seandainya dikatakan bahwa
sebagian mereka berbuat tidak jujur itu karena takut
kepada 'Umar ibn Khaththab, sebagaimana diyakini oleh
kaum Rafidhah, maka apa kata mereka mengenai
perawi-perawi hadits yang hidup sesudah masa 'Umar? Dan
andaikata dikatakan bahwa sebagian mereka berbuat curang
itu karena fanatik, tentu kecurangan itu akan merata
dalam hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Dan jika
demikian, tentu akan diketahui adanya orang yang
menentang mereka.
- Akhirnya kita katakan kepada al-Musawi: Bagaimana
anda bisa berhujjah dengan riwayat mereka, sedangkan anda
mengecam keadilan mereka. Ini adalah kontradiksi yang
amat buruk.
|