|
Sanggahan terhadap Dialog 83-84
Dalam Dialog 83, Syeikh al-Bisyri meminta kepada
al-Musawi agar mengkompromikan dua hal yang berkontradiksi
menurutnya, yaitu tetapnya nash yang menerangkan keimaman
'Ali langsung setelah wafat Nabi dan tindakan para sahabat
yang tidak mengikuti nash tersebut. Permintaan ini dilakukan
dengan cara seperti permintaan seorang murid yang baik
kepada gurunya yang terhormat. Seakan-akan Syeikh al-Bisyri
telah meyakini tetapnya nash mengenai keimaman 'Ali itu, dan
memandangnya sebagai kebenaran yang tidak diperselisihkan
lagi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Tidak ada
riwayat yang telah tetap dari Nabi saw bahwa beliau dengan
tegas dan terang menyatakan kekhalifahan salah seorang dari
sahabat-sahabatnya, baik 'Ali, 'Abbas ataupun Abu Bakar.
Jabatan khalifah tidak bisa ditetapkan bagi seorang
khalifah kecuali dengan bai'at dan hasil pemilihan yang
dilakukan oleh Ahlul-halli wal 'Aqdi. Ummat Islam telah
sepakat mengenai hak khilafah Abu Bakar setelah wafat Nabi,
karena mereka mengetahui keutamaan Abu Bakar dan tingginya
kedudukan Abu Bakar yang tidak seorang pun bisa menyamainya.
Juga karena jatuhnya pilihan Nabi kepada Abu Bakar untuk
menjadi imam shalat ketika beliau sakit yang membawa
wafatnya itu, Para sahabat berkata: "Rasulullah saw telah
berkenan memilih Abu Bakar untuk urusan agama kita. Mengapa
kita tidak rela memilih dia untuk urusan dunia kita"?
Dalil yang paling jelas mengenai tidak adanya nash
tersebut adalah pidato yang disampaikan 'Ali di mimbar Nabi
pada hari kedua kekhalifahannya, bertepatan dengan hari
Jum'at, 25 Dzulhijah tahun 35 Hijriyah. Adalah ath-Thabari
yang berhasil mengumpulkan teks pidato 'Ali tersebut dalam
bukunya, jilid 1, hal. 3077 dan jilid 6 hal. 157. Disebutkan
bahwa 'Ali berkata: "Saudara-saudara, sesungguhnya ini
adalah urusan anda semua. Tak seorang pun yang mendapatkan,
hak didalamnya, kecuali orang yang kalian angkat sebagai
pemimpin. Kemarin kita telah berselisih mengenai soal ini
(maksudnya bai'at kepada 'Ali). Maka jika kalian
menghendaki, aku akan menjadi pemimpinmu. Dan jika tidak,
aku tidak akan memaksa." Dengan ini, 'Ali menyatakan bahwa
ia tidak meminta dukungan bagi kekhalifahannya berdasarkan
sesuatu yang lampau (wasiat Nabi), tetapi ia meminta
dukungan dengan bai'at ummat yang dilakukan ummat secara
sukarela.
Dalam Dialog 84, maka guru yang agung --dalam hal dusta
dan mengada-ada-- ini memenuhi permintaan sang murid untuk
mengkompromikan dua hal yang bertolak belakangan. Hal ini
dilakukannya dengan menunjukkan kepada kita berbagai tuduhan
terhadap para sahabat, terutama Khulafa'ur-Rasyidin yang
tiga, yaitu Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman. Tuduhan-tuduhan
tersebut dapat dirangkum seperti berikut ini:
- Mereka (para sahabat) membeda-bedakan nash-nash
syara' dan membaginya atas dua bagian. Pertama, nash-nash
yang berhubungan dengan persoalan keagamaan dan kehidupan
(sehari-hari). Nash-nash jenis ini mereka terima dan
amalkan. Kedua, nash-nash yang berhubungan dengan
persoalan politik dan kekuasaan pemerintahan. Mereka
tidak tunduk pada nash-nash ini dan tidak pula
memeganginya. Karena itu, mereka tidak menerima nash yang
menetapkan keimaman 'Ali, karena nash itu tergolong jenis
politik.
- Mereka tidak tunduk dan patuh pada nash-nash yang
berhubungan dengan persoalan politik dan pemerintahan,
kecuali oleh paksaan kekuatan. Maka ketika kekuatan yang
bisa memaksa mereka, mereka itu tidak untuk mengamalkan
nash mengenai keimaman 'Ali itu tidak ada, maka mereka
berpaling dari nash itu.
- Mereka menaruh dendam kepada 'Ali karena sikapnya
yang keras dalam membela kebenaran, suatu hal yang juga
mendorong mereka untuk menggeser 'Ali dari jabatan
khalifah, kendatipun ada nash yang menetapkannya.
- Mereka iri hati atas anugerah Allah yang dilimpahkan
kepada 'Ali ibn Abi Thalib. Ini juga mendorong mereka
untuk melakukan tipu daya terhadap 'Ali, dan
menjauhkannya dari jabatan khalifah, walaupun itu telah
ditetapkan oleh nash.
- Ambisi mereka untuk berkuasa dan memerintah mendorong
mereka untuk menyanggah nash mengenai keimanan 'Ali, atau
mentakwilkannya. Sebab jika mereka tidak berbuat
demikian, tidak ada jalan bagi mereka untuk bisa
berkuasa, sebab setelah 'Ali, keimaman tersebut akan
berada di tangan anak keturunannya yang ma'shum.
- Mereka tidak suka kenabian dan khilafah berada di
tangan dalam satu keluarga, yaitu Bani Hasyim. Ini juga
merupakan pendorong bagi mereka untuk menggeser khilafah
dari Bani Hasyim dan menetapkannya bagi rumpun keluarga
yang lain.
Untuk menolak tuduhan-tuduhan ini, kita tidak perlu
berbicara panjang. lebar. Sebab semua tuduhan itu palsu dan
tidak berdasar sama sekali di mata para ahli. Juga tidak
terdapat dalam kitab yang muktabar menurut penilaian para
ulama. Semua itu merupakan tuduhan yang dibuat-buat oleh
al-Musawi, didorong oleh keyakinannya yang buruk terhadap
sahabat-sahabat nabi. Padahal mereka dinyatakan oleh
al-Qur'an dan Sunnah sebagai orang-orang yang penuh keimanan
dan kebajikan.
Seandainya apa yang dituduhkan al-Musawi itu benar
adanya, hal itu justru akan semakin mengkritik 'Ali. Sebab
bagaimana bisa ia melihat semua itu terjadi pada
saudara-saudaranya para sahabat, dan ia tidak mencegah dari
mereka satu sifat pun dari sifat-sifat yang buruk itu, yang
berlawanan dengan keimanan mereka kepada Allah dan
Rasul-Nya? Bagaimana bisa 'Ali melihat mereka melakukan tipu
daya untuk melepaskan diri dari kepemimpinan 'Ali dan
menegasikan nash yang menetapkan kekhalifahan itu baginya,
dan ia tidak mengingatkan mereka dengan peringatan yang
keras? Bahkan bagaimana ia bisa membai'at Abu Bakar, padahal
ia (Abu Bakar) menentang nash dan menegasikannya? Dan
bagaimana ia bisa menafikan pesan nabi mengenai imamah,
sedang ia berada di Kufah dan mempunyai kekuatan di tempat
itu?
Semua pertanyaan di atas, mengungkapkan kepalsuan dan
kedustaan al-Musawi serta kontradiksi pemikirannya. Coba
anda pikirkan, pasti anda melihatnya dengan jelas.
|