|
Tanggapan atas Dialog 79-82
Dalam Dialog 79, Syeikh al-Bisyri berhujjah bahwa
kekhalifahan Abu Bakar adalah hasil ijma' (kesepakatan)
ummat, dan dalam dialog berikutnya, (80), al-Musawi
menyanggah adanya ijma' tersebut, dan menyatakan
kekhalifahan Abu Bakar tersebut terjadi dengan bai'at oleh
sekelompok ummat saja. Mereka melaksanakannya dengan cara
memaksa Ahlul-halli wal 'Aqdi untuk berbai'at kepada orang
yang mereka bai'at (Abu Bakar). Al-Musawi menjelaskan hal
ini dengan kata-katanya; "Bai'at tersebut dilakukan oleh
Khalifah kedua ('Umar), Abu Ubaidah, dan sekelompok orang
bersama mereka. Setelah itu, mereka menghadapkannya secara
fait accompli kepada Ahlul-halli wal 'Aqdi, dan dengan
bantuan situasi dan kondisi yang menguntungkan saat itu,
mereka berhasil mencapai tujuannya.
Bahwa sanggahan al-Musawi terhadap ijma' ummat atas
kekhalifahan Abu Bakar, adalah sanggahan yang nyata
bathilnya, dapat dilihat dari berbagai segi:
1. Sanggahannya itu bertolak dari prinsip-prinsip
dan akidah sesat yang diyakininya serta sikap negatip yang
apriori terhadap dalil-dalil yang tak dapat disangkalnya.
Dalam hal ini, sikap al-Musawi tidak berbeda dengan
ulama-ulama Rafidhah lainnya.
Dalam bahasa lain yang lebih jelas, dalil-dalil umum yang
dijadikan hujjah oleh kaum Rafidhah ada 4:, al-Kitab,
khabar, ijma', dan akal. Akan tetapi akidah mereka yang
menyimpang telah memberikan pengertian yang menyimpang pula
kepada keempat istilah itu.
Bagi mereka, al-Kitab bukanlah al-Qur'an seperti yang ada
pada kaum Muslimin, tapi adalah apa yang diterima melalui
perantaraan imam yang ma'shum. Adapun alasan mereka tidak
mau berdalil dengan al-Qur'an adalah karena adanya
perubahan-perubahan didalamnya dan adanya surah-surah yang
dihilangkan darinya. Hal lain yang menyebabkan mereka
menolak al-Qur'an, adalah anggapan mereka bahwa para
periwayat al-Qur'an adalah orang-orang munafik dan penipu
(na'udzu billah). Maka akidah mereka yang menyimpang telah
memberikan pengertian al-Kitab mana yang dijadikan hujjah di
kalangan mereka.
Demikian pula tentang ijma'. Mereka tidak mengakui sama
sekali, kehujjahan ijma', kecuali ijma' yang mencakup
pendapat imam yang ma'shum. Jadi inti kehujjahan ijma' itu
adalah pendapat sang imam, bukan ijma' itu sendiri. Adapun
sumber pengertian yang salah tentang ijma' ini ialah
pendapat mereka mengenai kema'shuman para imam.
2. Cara pelaksanaan bai'at terhadap Abu Bakar
bukanlah seperti yang dipaparkan al-Musawi. Apa yang
dikemukakannya itu justru berlawanan dengan apa yang
terdapat dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim dan
kitab-kitab hadits lainnya. Di dalam kitab Sahihnya, Bukhari
dan Muslim meriwayatkan bahwa 'Umar ibn Khaththab, sekembali
dari ibadah haji, berpidato kepada orang banyak. Dalam
pidatonya itu, 'Umar berkata: "Aku telah mendengar bahwa ada
seseorang diantara kamu yang berkata: "Demi Allah, jika
'Umar meninggal dunia, aku akan membai'at si Fulan. Maka
hendaklah jangan sampai seseorang diperdayakan oleh
pikirannya sendiri dan berkata bahwa bai'at Abu Bakar telah
berlangsung secara tiba-tiba dan tanpa perencanaan yang
matang; dan meski begitu, ia telah berlangsung dengan
sempurna. Memang sebetulnya ia telah berlangsung seperti
yang dikatakan mereka, namun Allah telah memelihara ummat
dari akibat buruknya. Dan tidaklah ada sekarang ini, orang
yang banyak mendapat dukungan seperti halnya Abu Bakar.
Barangsiapa berani memberikan bai'at kepada orang lain
--tanpa permusyawaratan umum sebelumnya-- maka janganlah
diberikan dukungan kepada keduanya, sebab mereka berdua
telah melanggar kepentingan umum, dan karenanya patut
dibunuh atas perbuatannya itu. Adapun yang kami lakukan
ketika Rasulullah saw wafat, sebabnya ialah karena kaum
Anshar telah memisahkan diri dari kami dan mereka semuanya
berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah; demikian pula 'Ali,
Zubair dan kawan-kawan mereka telah memisahkan diri dari
kami. Adapun kaum Muhajirin telah bersepakat kepada Abu
Bakar. Aku berkata kepada Abu Bakar "Hai Abu Bakar,
sebaiknya kita pergi menemui saudara-saudara kita, Kaum
Anshar!" Maka kami pun pergi dengan maksud menemui mereka.
Setelah kami hampir tiba, dua orang laki-laki yang shalih
menyongsong kami.
Mereka pun menuturkan kepada kami tentang pembicaraan
yang ada pada suatu kaum. Mereka bertanya: "Anda sekalian
hendak ke mana?" Jawab kami: "Kami akan menemui
saudara-saudara kami, kaum Anshar" ! Mereka pun menyahut:
"Tidak, kalian jangan mendekati mereka, selesaikanlah urusan
kalian sendiri," sambungnya. Aku ('Umar) berkata: "Demi
Allah, kami akan mendatangi mereka, maka kami pun pergi
sampai bertemu dengan mereka di Saqifah Bani Sa'idah".
Di tempat itulah Abu Bakar dan 'Umar mendengarkan
pernyataan-pernyataan kaum Anshar, yang berakhir dengan
ucapan mereka: "Dari pihak kami seorang pemimpin, dan dari
pihak kalian seorang pemimpin".
'Umar berkata: "Maka terjadilah keramaian dan kegaduhan
sehingga menimbulkan perselisihan. Aku pun berkata kepada
Abu Bakar. "Bentangkan tanganmu", dan ia membentangkannya.
Maka aku pun membai'atnya yang segera disusul oleh kaum
Muhajirin, dan kemudian kaum Anshar membai'atnya pula".
Kemudian 'Umar berkata pula: "Demi Allah, kami tidak
menemukan sesuatu yang lebih tepat, selain membai'at Abu
Bakar. Kami khawatir --jika kami meninggalkan orang banyak
itu tanpa terjadi bai'at-- mereka akan membai'at seseorang
dari mereka sendiri setelah kami pergi. Maka ada kemungkinan
kami akan turut membai'at mereka atas apa yang tidak kami
sukai; dan mungkin juga kami akan menentang mereka, dan
terjadi kerusakan". (Lihat Fathul Bari, jilid 12, hal.
144).
Riwayat ini menetapkan bahwa telah terjadi perdebatan
antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar tentang khilafah,
sebelum terjadi pembai'atan terhadap Abu Bakar. Adapun pihak
yang berinisiatif dalam perdebatan tersebut adalah kaum
Muhajirin di bawah pimpinan Abu Bakar dan 'Umar. Riwayat ini
juga menetapkan kesepakatan kaum Muhajirin atas berhaknya
Abu Bakar memangku jabatan khalifah. Kesepakatan ini tidak
dihapuskan oleh kelambatan 'Ali dan Zubair dalam berbai'at.
Riwayat ini juga menetapkan bahwa kaum Anshar tidak
menyanggah berhaknya Abu Bakar memangku jabatan khalifah.
Juga tidak menentang kesepakatan ini, kelambatan Sa'ad ibn
Ubadah, dan perkataan Hubab ibn al-Mundzir: "Dipihak kami
seorang pemimpin, dan dipihak kalian seorang pemimpin."
Akan tetapi pandangan sebagian kaum Anshar telah
menimbulkan kegaduhan dan kekacauan, yang menyebabkan banyak
orang dari kaum Anshar dan Muhajirin selain yang telah
disebutkan tadi, ingin segera memutuskan dan menyelesaikan
fitnah yang menimpa mereka itu, dengan membai'at seseorang
yang tidak didukung oleh banyak orang. Pandangan mereka ini
tidaklah menyangkal atas lebih berhaknya Abu Bakar memangku
jabatan khalifah, akan tetapi disebabkan oleh hal-hal
lain.
Jadi bai'at 'Umar terhadap Abu Bakar yang kemudian
diikuti oleh bai'at kaum Muhajirin dan Anshar di Saqifah
Bani Sa'idah, adalah bai'at Ahlul-halli wal' Aqdi. Kemudian
bai'at umum dilakukan di mimbar Masjid Nabi. Ini berbeda
dengan apa yang dikemukakan al-Musawi, bahwa bai'at itu
dilakukan oleh 'Umar dan Abu 'Ubaidah, lalu mereka memaksa
Ahlul-halli wal 'Aqdi melakukan bai'at.
Mengenai perkataan Abu Bakar yang dikemukakan al-Musawi,
"Sesungguhnya bai'atku telah berlangsung secara spontan",
adalah perkataan yang tidak ada, sumbernya dan tidak
tersebut dalam salah satu kitab yang muktabar. Adapun pidato
'Umar, memang benar dan sahih. Hanya saja al-Musawi
menafsirkannya menurut pendapat dan akidahnya sendiri. Ia
menganggap pidato 'Umar itu sebagai pengakuan bahwa bai'at
Abu Bakar merupakan faltah --yakni kekeliruan, karena tidak
dilakukan dengan musyawarah dan pembai'atan oleh Ahlul-halli
wal 'Aqdi.
Mengenai komentar al-Musawi atas perkataan 'Umar:
"Barangsiapa berani memberikan bai'at kepada seseorang
--tanpa musyawarah-- janganlah diberikan dukungan kepada
keduanya, dan mereka berdua patut dibunuh." Ia mengatakan:
"Sebagai konsekuensi dari sifat adil yang sering disandarkan
pada 'Umar, seharusnya ia menerapkan hukum itu atas dirinya
sendiri dan kawannya (Abu Bakar) sebagaimana ia
memberlakukannya atas orang lain."
Dengan perkataannya ini, al-Musawi telah mengecam
keadilan 'Umar dengan menuduh 'Umar telah melakukan sesuatu
yang dilarangnya untuk orang lain. Ia melarang orang untuk
membai'at seseorang, tanpa musyawarah dengan Ahlul-halli wal
'Aqdi, sementara dia sendiri (sebelumnya) telah membai'at
Abu Bakar dengan cara yang ia larang itu.
Akan tetapi pemahaman yang benar mengenai perkataan 'Umar
itu ialah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama
ketika membahas pidato 'Umar tersebut.
Ibn Hajar berkata: "Al-Faltah itu bermakna al-lailah
(malam) di mana belum ada kepastian, apakah ia termasuk
bulan Rajab, Sya'ban, Muharram, atau Shafar. Pada
bulan-bulan yang mulia ini, bangsa Arab tidak melakukan
peperangan. Maka orang yang punya hak untuk melakukan
pembalasan, haruslah menunggu. Jika malam faltah itu tiba,
ia dapat memanfaatkannya sebelum bulan haram jelas-jelas
berakhir. Dengan demikian, ia bisa melakukan penyerangan,
dan ia sendiri bebas dari pembalasan. Dan bencana yang
ditimbulkannya bisa menimpa banyak orang. Karena itu, 'Umar
menyerupakan masa kehidupan Nabi dengan bulan-bulan haram,
dan menyerupakan malam faltah dengan kerusuhan yang
ditimbulkan oleh orang-orang yang murtad. Dan Allah telah
menyelamatkan ummat dari keburukannya dengan adanya bai'at
kepada Abu Bakar, yang kemudian bangkit memerangi dan
menumpas kekuatan mereka." (Fathul Bari, jilid 12, hal.
145).
Ibn Taimiyah berkata: Yang dimaksud dengan perkataan
'Umar itu ialah bahwa bai'at Abu Bakar itu berlangsung
secara mendadak, tanpa dipersiapkan sebelumnya, karena Abu
Bakar adalah orang yang sudah ditentukan untuk memangku
jabatan khalifah itu. Untuk membai'atnya tidak perlu semua
orang dikumpulkan, sebab semua orang sudah tahu bahwa Abu
Bakar adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah.
Selain. Abu Bakar, tidak ada orang yang disepakati oleh
begitu banyak orang mengenai keutamaan dan haknya menjadi
khalifah. Maka barangsiapa mau menyendiri dengan membai'at
seseorang tanpa persetujuan khalayak kaum Muslimin, maka
bunuhlah dia. 'Umar tidak meminta perlindungan dari
kejahatan yang dapat ditimbulkannya, tetapi mengatakan bahwa
Allah telah menghindarkan kejahatan fitnah tersebut dengan
adanya ijma' untuk membai'at Abu Bakar. (Baca Minhaj
as-Sunnah, Ad 4, hal. 216).
Mengenai perkataan 'Umar: "Tetapi Allah telah memelihara
ummat dari akibat buruknya", Ibn Hajar berkomentar:
"Maksudnya Allah telah menyelamatkan ummat dari keburukan
yang biasanya terjadi akibat tindakan yang tergesa-gesa. Dan
'Umar telah menjelaskan alasan mengenai tindakan mereka yang
tergesa-gesa dalam membai'at Abu Bakar, yaitu karena mereka
khawatir kaum Anshar akan membai'at Sa'ad ibn 'Ubadah. Abu
'Ubaidah berkata: "Mereka buru-buru membai'at Abu Bakar,
karena khawatir kekacauan akan tersebar luas, dan
kekhalifahan akan jatuh pada orang yang tidak berhak
mendapatkannya, dan karenanya lalu timbul bencana."
Menurut al-Karabisi --sahabat asy-Syafi'i-- yang dimaksud
dengan al-Faltah itu ialah bahwa Abu Bakar dan
kawan-kawannya terlalu tergesa-gesa mendatangi kaum Anshar,
membai'at Abu Bakar di hadapan mereka. Dan diantara kaum
Anshar itu terdapat orang-orang yang tidak mengerti
kewajibannya berbai'at, hingga mengatakan: "Di pihak kami
seorang pemimpin, dan di pihak kalian seorang pemimpin."
Jadi yang dimaksud dengan Al-Faltah adalah ketidaksetujuan
kaum Anshar dengan pendapat Abu Bakar dan 'Umar, dan
keinginan mereka untuk membai'at Sa'ad ibn Ubaidah.
Ibn Hibban berkata: Yang dimaksud dengan al-Faltah itu
ialah bahwa bai'at itu tidak berasal dari kelompok orang
yang banyak. Sesuatu yang keadaannya demikian disebut dengan
Al-Faltah. Dalam kasus seperti itu biasanya timbul sesuatu
yang tidak diharapkan akibat ketidaksetujuan orang-orang
yang menentang. Jadi Allah telah memelihara kaum Muslimin
dari akibat buruk yang biasanya timbul dalam kasus seperti
itu. Jadi yang dimaksud bukanlah bahwa dalam bai'at Abu
Bakar itu terdapat keburukan. (Fathul Bari, jilid 12, hal.
150).
3. Adapun perkataan al-Musawi: "Suatu hal yang
dengan sendirinya diketahui adalah bahwa pada saat itu tak
seorang pun dari Ahlul Bait, keluarga Nabi dan pusat risalah
beliau, yang ikut hadir dalam peristiwa pembai'atan itu.
Mereka tidak ikut pergi ke Saqifah, tapi berkumpul di rumah
'Ali bersama Salman al-Farisi, Abu Dzar, Miqdad, Ammar ibn
Yasir, Zubair, Khuzaiman ibn Tsabit, Ubai ibn Ka'ab, Farwah,
al-Barra' ibn 'Azib, Khalid ibn Said, dan banyak lagi yang
lainnya". Perkataan ini adalah dustaan dan bohong belaka,
yang mengatasnamakan mereka semua itu. Sebab adanya bai'at
mereka kepada Abu Bakar demikian terkenal dan tak bisa
diingkari. Hal ini sudah disepakati oleh para ahli, baik
ahli hadits, ahli sejarah, maupun Ali riwayat.
Semua anggota Banu Hasyim, sebagaimana disepakati oleh
semua orang, membai'at kepada Abu Bakar. Tak seorang pun
yang meninggal dunia dari mereka, kecuali telah membai'at
kepadanya. Hanya ada yang mengatakan bahwa bai'at 'Ali
berlangsung 6 bulan kemudian. Ada pula yang mengatakan bahwa
'Ali berbai'at dua hari kemudian. Bagaimanapun, juga, mereka
semua telah berbai'at kepada Abu Bakar secara sukarela,
tanpa paksa. Dan keterlambatan bai'at 'Ali, bukan karena dia
mengingkari keutamaan Abu Bakar dan lebih berhaknya dia akan
jabatan khalifah, tetapi karena dia tidak diajak
bermusyawarah lebih dulu, sebagaimana dijelaskan oleh
riwayat riwayat yang sahih.
Bukhari meriwayatkan dari 'A'isyah bahwa Fathimah
mengirim surat kepada Abu Bakar, meminta harta warisan yang
ditinggalkan nabi, berupa harta fay' yang ada di Madinah dan
Fadak, serta sisa jatah 1/5 dari kebun Khaibar. Abu Bakar
berkata: "Rasulullah saw telah bersabda: "Kami (para rasul)
tidak mewariskan harta benda. Apa yang kami tinggalkan
adalah sedekah." Keluarga Muhammad hanya dapat memakan dari
harta ini. Demi Allah, aku tidak akan mengubah sedikit pun
sedekah Nabi dari keadaannya semula sebagaimana di masa
Nabi. Aku akan berbuat seperti yang dilakukan Nabi." Maka
Abu Bakar (demikian kata 'A'isyah, perawi hadits ini),
menolak permintaan Fathimah, dan tidak memberikan kepadanya
sedikit pun dari harta-harta itu. Fathimah menjadi marah
kepada Abu Bakar karenanya, dan tidak mau berbicara
kepadanya sampai ia (Fathimah) meninggal. Fathimah sempat
hidup selama enam bulan setelah wafat Nabi. Ketika ia
meninggal, 'Ali -suaminya-- menguburnya di waktu malam. Abu
Bakar tidak diberitahu tentang hal ini, dan ia (setelah
tahu) melakukan shalat atasnya. Semasa hidup Fathimah, ada
niat sekelompok orang untuk membai'at 'Ali. Namun
sepeninggal Fathimah, 'Ali melupakan niat orang-orang itu,
dan berdamai serta berbai'at kepada Abu Bakar. Selama enam
bulan itu ia memang belum berbai'at. Ia mengirim surat
kepada Abu Bakar, memintanya datang ke rumahnya, tanpa
disertai siapa pun. Abu Bakar memenuhi permintaan itu dan
menemui mereka (Ahlul Bait). 'Ali membaca syahadat dan
berkata: "Kami sungguh mengetahui keutamaan anda, dan
kebajikan yang Allah berikan kepada anda. Kami tidak iri
hati dengan kebaikan yang Allah berikan kepada anda. Akan
tetapi anda telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami
dalam urusan (kekhalifahan) ini. Kami berpendapat bahwa kami
mempunyai bagian (hak) dalam hal ini mengingat dekatnya
kekerabatan kami dengan Rasulullah saw." Kedua mata Abu
Bakar berkaca-kaca, dan setelah mendapat kesempatan
berbicara, ia berkata: "Demi Allah yang jiwaku ada di
tangannya, sungguh kerabat Rasulullah lebih kucintai
daripada kerabatku sediri. Mengenai harta yang menjadi
perkara antaraku dengan bahan ini, sungguh aku tidak
bergeser sedikit pun dari kebaikan. Aku tidak akan
meninggalkan suatu perkara yang dilaksanakan oleh Rasul
mengenai harta itu." 'Ali berkata: "Aku akan membai'atmu
malam nanti". Setelah Abu Bakar shalat Dhuhur, ia naik ke
atas mimbar. Ia membaca syahadat dan menuturkan perihal
keterlambatan bai'at 'Ali dan alasan-alasannya yang bisa
diterima orang banyak. Lalu 'Ali beristighfar dan membaca
syahadat dan memuliakan hak Abu Bakar. Ia mengatakan bahwa
apa yang diperbuatnya selama ini bukanlah karena iri dan
dengki kepada Abu Bakar, juga tidak karena mengingkari
anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Hanya saja,
katanya: "Kami berpendapat bahwa kami mempunyai hak dalam
persoalan ini --maksudnya permusyawaratan, sebagaimana yang
dikehendaki atau ditunjukkan oleh riwayat-riwayat yang
lain-- tetapi ia telah bertindak sewenang-wenang terhadap
kami. Maka kami merasa tidak senang." Dengan kata-kata 'Ali
itu kaum Muslimin menjadi gembira. Mereka berkata: "Benar
engkau, hai 'Ali". Kaum Muslimin menjadi dekat kembali
dengan 'Ali setelah ia menyelesaikan masalahnya dengan
baik.
Kiranya pembaca bisa merenungkan riwayat yang sahih ini
dan apa yang terkandung didalamnya, yaitu pengakuan 'Ali
akan keutamaan Abu Bakar dan hak khilafahnya, alasan
terlambatnya berbai'at, dan kesediaannya mencabut kembali
pendiriannya terhadap sekelompok kaum Muslimin, tanpa adanya
paksaan dari siapa pun. Jika anda merenungkan hal ini dengan
baik, maka akan nyata bagi anda kedustaan al-Musawi. Dan
kedustaan itu akan lebih tampak lagi jika anda tahu bahwa
yang dimaksud dengan kata al-istibdad dalam riwayat 'A'isyah
mengenai ucapan 'Ali itu, ialah bahwa 'Ali tidak diajak
serta dalam permusyawaratan. Maka ucapan 'Ali kepada Abu
Bakar "Istabdadta" berarti "Anda tidak mengajak kami
bermusyawarah." Pengertian demikian ini disepakati oleh para
ahli, dan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
riwayat-riwayat yang sahih. Ad-Daruquthni meriwayatkan
melalui saluran yang banyak bahwa 'Ali dan Zubair berkata
kepada Abu Bakar: "Hanya saja kami ditinggalkan dalam
permusyawaratan. Kami sesungguhnya berpendapat bahwa Abu
Bakar adalah orang yang paling berhak atas khilafah".
Al-Mazari berkata: (Istabdadta'alaina), perkataan ini
menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak berunding kepada 'Ali
dalam persoalan khilafah. Namun Abu Bakar, demikian
al-Mazari, mempunyai alasan, yaitu bahwa dia khawatir bahwa
pengunduran bai'at (pemilihan khalifah) itu dapat
menimbulkan pertikaian, mengingat sikap keras kaum Anshar,
sebagaimana tersebut dalam hadits Saqifah. Karena itu Abu
Bakar dan kawan-kawannya tidak menunggu 'Ali.
Al-Qurthubi berkata: Barangsiapa yang merenungkan dialog
yang terjadiantara Abu Bakar dan 'Ali di mana keduanya
saling mengkritik, saling mengemukakan alasan tindakan
masing-masing dengan penuh kejujuran dan objektifitas, akan
mengetahui bahwa kedua pihak saling mengakui kelebihan dan
keutamaan masing-masing, dan bahwa keduanya sama-sama saling
menghormat dan mencintai. Hanya kadang-kadang tabiat mereka
sebagai manusia biasa, muncul. Tetapi kecenderungan seperti
ini segera dikalahkan oleh semangat keagamaan mereka. Semoga
Allah melimpahkan taufik !
Ibn Hajar berkata: Kaum Rafidhah berpegang teguh pada
kenyataan bahwa 'Ali tidak membai'at Abu Bakar sampai
Fathimah --istrinya-- meninggal dunia. Dan dalam hal ini,
mereka terkenal asal bunyi saja. Di dalam hadits ini,
terdapat keterangan yang membantah hujjah mereka. (Fathul
Bari, jilid 7, hal. 494-495).
Adapun Khalid ibn Said, dia adalah na'ib
(wakil/pengganti) Nabi. Ketika Rasulullah saw wafat, ia
berkata: "Aku tidak akan menjadi na'ib untuk selain beliau."
ia pun melepaskan jabatannya, tetapi tidak menolak untuk
membai'at Abu Bakar. Babkan ia termasuk orang dekat dalam
masa pemerintahan Abu Bakar. (Al-Minhaj, jilid 4, hal.
230).
Mengenai pendapat yang menyatakan bahwa tidak seorang pun
dari Bani Hasyim yang memberikan bai'at, al-Baihaqi
memandang pendapat ini sebagai riwayat yang dha'if. Sebab
riwayat ini berasal dari ucapan az-Zuhri, dan ia tidak
menyandarkannya kepada siapa pun. Lagi pula riwayat itu
bertentangan dengan riwayat Ibn Hibban dan lainnya dari
hadits Abu Sa'id al-Khudri dan lainnya, yang menerangkan
bahwa 'Ali membai'at Abu Bakar sejak awal pemilihannya
sebagai khalifah.
Sebagian ulama mengkompromikan dua riwayat itu. Mereka
mengatakan bahwa 'Ali melakukan dua kali bai'at: pertama,
bai'at pada awal kekhalifahan. Abu Bakar, dan kedua, bai'at
yang dilakukannya setelah wafat istrinya, Fathimah
az-Zahra'. Bai'at kedua ini dimaksudkan untuk menghilangkan
ketegangan yang terjadi karena soal warisan. Wallahu a'lam!
(Fathul Bari, jilid, 7, hal. 490).
Dari keterangan dan penjelasan di atas, tampaklah dengan
jelas kesepakatan ummat dalam membai'at Abu Bakar. Sebab
orang yang semula tidak membai'at, ternyata kemudian
membai'at. Tak seorang pun yang tidak membai'at, kecuali
Sa'ad ibn Ubadah al-Anshari. Dan semua orang tahu mengapa
Sa'ad tidak mau membai'at. Ia berkehendak untuk diangkat
sebagai pemimpin. Dan ia ingin membagi barisan ummat Islam
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Anshar dan Muhajirin,
masing-masing dengan pemimpinnya sendiri. Kemauan Sa'ad ini
berlawanan dengan al-Kitab, Sunnah dan ijma' ummat. Jika
sudah nyata demikian, maka sikap Sa'ad ini dapat dipandang
sebagai penyendirian (syudzudz) dari jama'ah yang tidak
merusak keabsahan ijma' ummat dalam membai'at Abu Bakar.
Sebab tuntutan Sa'ad tidak didukung oleh hujjah syar'iyah,
hingga tanggapan dan sanggahannya tidak dapat
dipertimbangkan. Adalah ketetapan para ahli Ushul bahwa
pendapat dari satu orang tidak diperhitungkan manakala
berlawanan dengan pendapat jumhur ulama dan kesepakatan
mereka dalam suatu persoalan, kecuali jika orang itu dapat
mengemukakan dalil syar'i, baik dari al-Kitab maupun
Sunnah.
Ibn Taimiyah berkata: Tak perlu diragukan lagi bahwa
ijma' yang muktabar dalam soal imamah, tidak menjadi rusak
hanya karena adanya satu orang, dua orang, atau sekelompok
kecil penentang. Sebab kalau penentangan seperti itu harus
diperhitungkan, maka ijma' dalam masalah imamah tidak pernah
akan terjadi. Sebab imamah merupakan masalah yang sudah
pasti wajibnya (mu'ayyan). Dalam hal ini kadang-kadang ada
orang yang tidak setuju hanya karena ambisi pribadi seperti
halnya Sa'ad. Ia ingin diangkat sebagai pemimpin dari pihak
kaum Anshar. Namun keinginannya itu tidak tercapai, tapi
hawa nafsu tetap ada dalam hatinya. Dan barangsiapa yang
meninggalkan sesuatu karena hawa nafsu, maka tindakannya itu
tidak berpengaruh apa-apa. Ini berbeda dengan ijma' dalam
hukum-hukum yang umum (bukan soal imamah), seperti hukum
wajib, haram dan mubah.
Ibn Taimiyah berkata: Sa'ad mengharapkan ummat Islam
mengangkat seorang imam dari kalangan Anshar. Padahal banyak
nash-nash dari Nabi yang menyatakan bahwa imam harus dari
suku Quraisy. Jika orang yang menentang itu berasal dari
suku Quraisy, dan ia berpegang teguh dengan sikapnya itu,
maka ia dipandang syubhat. 'Ali memang dari suku Quraisy,
tetapi riwayat yang mutawatir menyatakan bahwa ia membai'at
Abu Bakar dengan taat dan atas kehendaknya sendiri. (Minhaj,
jilid 4, hal. 231-232).
4. Kalaupun kita terima perkataan al-Musawi bahwa
ada sahabat-sahabat Nabi yang tidak membai'at Abu Bakar,
maka hal itu juga tidak merusak tetapnya kekhalifahan Abu
Bakar. Sebab tetapnya khilafah tidaklah bersyaratkan
kesepakatan umum, melainkan kesepakatan Ahlusy-Syaukah
(pemilik kekuatan) dan jumhur yang mempunyai wewenang dalam
soal itu, sebagaimana dikemukakan Ibn Taimiyah. Dan hal ini
sudah terdapat pada Abu Bakar sejak semula, di mana
pemuka-pemuka sahabat Anshar dan Muhajirin telah
membai'atnya di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka adalah
Ahlul-halli wal 'Aqdi dan Ashabusy-Syaukah. Kemudian bai'at
untuk umum dilakukan di mimbar Masjid Nabawi. Kelompok yang
disebut belakangan inilah jumhur dari kaum Muhajirin dan
Anshar yang mempunyai kewenangan menetapkan khalifah.
5. Jika al-Musawi mengingkari kesepakatan ummat
atas kekhalifahan Abu Bakar yang telah dibai'at oleh ummat
Islam, termasuk didalamnya al-Ithrah 'ath-Thahirah (keluarga
Nabi), maka lebih tidak bisa dibenarkan lagi bagi al-Musawi
maupun orang Rafidhah lainnya untuk berhujjah atas
kekhalifahan 'Ali dengan ijma'. Sebab ijma' ummat atas 'Ali
tidak sebesar ijma' mereka atas Abu Bakar.
Ibn Taimiyah berkata: Sesungguhnya ijma' ummat atas
kekhalifahan Abu Bakar jauh lebih besar dibanding ijma'
mereka dalam membai'at 'Ali. Kurang-lebih sepertiga ummat
Islam tidak membai'at 'Ali, bahkan memeranginya. Sepertiga
yang lain tidak ikut berperang bersamanya, dan diantara
mereka ini ada pula orang-orang yang tidak membai'atnya.
Diantara orang-orang yang tidak membai'atnya terdapat
orang-orang yang memeranginya dan orang-orang yang tidak
memeranginya. Jika imamah harus rusak karena adanya sebagian
ummat yang tidak membai'at, maka kerusakan tersebut tentu
lebih besar lagi dalam keimaman 'Ali. (Minhaj, jilid 4, hal.
232).
6. Mengenai anggapan al-Musawi bahwa 'Ali dan
sahabat-sahabatnya membai'at Abu Bakar karena takut ancaman
pedang dan pembakaran rumah mereka, itu adalah dusta dan
bohong semata-mata. Anggapan itu tidak diakui oleh para
ahli, baik ahli sejarah, hadits maupun riwayat. Bahkan
anggapan itu berlawanan dengan hadits-hadits sahih yang
terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim. Kami telah
mengemukakan riwayat 'A'isyah dalam Sahih Bukhari dan
Muslim, yang didalamnya dijelaskan bahwa 'Ali berdamai dan
berbai'at kepada Abu Bakar. Dan 'Ali melakukan hal ini
dengan sukarela dan menurut kehendaknya sendiri di hadapan
jumhur sahabat dari kaum Anshar dan Muhajirin di Masjid
Nabawi.
Anggapan seperti itu juga berlawanan dengan apa yang
diketahui orang mengenai keberanian 'Ali dan Zubair dalam
membela kebenaran, suatu hal yang tidak dipungkiri oleh kaum
Rafidhah maupun Ahlus Sunnah. Seandainya Abu Bakar tidak
berada dalam kebenaran, pasti 'Ali akan menentangnya,
sebagaimana ia menentang dan memerangi Mu'awiyah, yang
memiliki kekuatan jauh lebih besar dibanding Abu Bakar. Jika
'Ali tidak peduh dengan kekuatan Mu'awiyah yang besar itu,
mengapa ia harus peduli dengan kekuatan Abu Bakar? Padahal
ketika itu, Abu Bakar tidak memiliki kekuatan seperti yang
dimiliki 'Ali.
Pernyataan seperti itu juga berlawanan dengan kepercayaan
mereka (kaum Rafidhah) akan keberanian 'Ali dalam membela
kebenaran. Pernyataan al-Musawi itu justru menggambarkan
Sa'ad ibn Ubadah jauh lebih berani dan lebih perkasa dalam
membela kebenaran daripada 'Ali. Sebab ia tidak gentar dan
tidak mundur meskipun diintimidasi, sementara 'Ali lemah dan
tidak berdaya. Silahkan anda renungkan hal ini, pasti anda
akan melihatnya dengan jelas.
Al-Musawi juga berkontradiksi dengan dirinya sendiri
ketika ia memandang bai'at 'Ali kepada Abu Bakar lantaran
sikap 'Ali yang mendukung pihak penguasa. Dalam hal ini,
al-Musawi berkata: "Sebab Ali dan imam-imam yang ma'shum
dari keturunannya mempunyai pendirian yang sudah cukup
dikenal dalam membantu pemerintah Islam". Kalau benar
demikian, maka bai'at 'Ali adalah karena kehendaknya untuk
membantu pemerintah. Kemudian di akhir Dialog 82, al-Musawi
menarik kembali pendapatnya itu dan berkata: "Mereka tunduk
dan menyerah semata-mata karena dipaksa oleh kekuatan
kekuasaan waktu itu. Maka apakah anda berpendapat bahwa
melakukan sesuatu karena takut pada tajamnya pedang, atau
hukuman dengan api, berarti meyakini sahnya pembai'atan?".
Anda lihatkan kontradiksi yang memalukan ini, yang menjadi
ejekan orang-orang bodoh, apalagi orang-orang pintar?
|