Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 77-78

Permintaan Syeikh al-Bisyri dalam Dialog 77 kepada al-Musawi untuk menjelaskan segi-segi yang menyebabkan hadits Ummu Salamah lebih patut diutamakan daripada hadits 'A'isyah, merupakan kesempatan bagi al-Musawi untuk melepaskan dendamnya terhadap 'A'isyah, yang didorong oleh rasa iri dan benci yang lahir dari akidahnya yang rusak dan menyeleweng. Ia pun menuduh 'A'isyah dengan bermacam-macam tuduhan; menganggapnya sebagai wanita yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan syara', tidak pernah menegakkan perintah-perintah Allah dan Rasul Nya. 'A'isyah tak ubahnya seperti syeitan yang selalu durhaka kepada Allah, na'udzu billahi min dzalik. Tindakan, ini dilakukan al-Musawi untuk menipu Rasul Allah dan kaum Mu'minin dan merusak kehormatan mereka. Demikianlah al-Musawi menggambarkan 'A'isyah dalam Dialog 78.

Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan al-Musawi itu mengungkapkan kepercayaan kaum Rafidhah, termasuk al-Musawi sendiri, tentang sahabat-sahabat Nabi pada umumnya. Mereka menyatakan bahwa para sahahat Nabi adalah orang-orang kafir, calon penghuni neraka, dan yang terkemuka diantara mereka adalah 'A'isyah Ummul Mu'minin, yang mereka tuduh dengan hal yang keji. Padahal Allah telah membersihkannya dari tuduhan itu, sebagaimana dinyatakan dalam ayat-ayat-Nya yang terang, yang akan terbaca sampai akhir aaman.

Maka tidaklah mengherankan, jika al-Musawi mengatakan apa saja yang ingin dikatakannya tentang 'A'isyah. Bahkan akan mengherankan jika ia tidak berkata demikian, atau mengatakan sebaliknya, karena hal itu akan berlawanan dengan akidah dan pokok pokok keimanan kaum Rafidhah.

Adapun kaum Ahlus Sunnah, mereka meyakini bahwa semua Ahlu Badr pasti masuk surga. Demikian pula istri istri Nabi, baik 'A'isyah maupun lainnya. Sedangkan Abu Bakar, 'Umar 'Utsman, 'Ali, Thalhah dan Zubair, mereka adalah pemuka-pemuka penghuni surga setelah para nabi. Menurut Ahlus Sunnah, penghuni surga tidak mesti bebas dari kesalahan dan kelalaian, juga tidak disyaratkan harus bebas dari dosa. Seseorang mungkin saja berbuat dosa, lalu Allah mengampuninya lantaran ia bertaubat, atau berbuat kebajikan-kebajikan, atau dengan adanya musibah yang diturunkan Allah kepadanya.

Kaum Sunni tidak pernah menyatakan seseorang sebagai penghuni surga, kecuali jika ada dalil Syar'i yang menyatakannya. Adapun sahabat-sahabat Nabi, Rasulullah saw telah menyatakan bahwa mereka adalah calon penghuni surga. Karena itu, orang tidak di benarkan menyangkal jaminan surga untuk mereka, dengan adanya perbuatan-perbuatan yang tidak mesti membawa mereka masuk mereka, atau dengan adanya dosa-dosa yang masih mungkin diampuni oleh Allah SWT.

Orang yang tahu tentang sanjungan Allah kepada para sahabat umumnya, dan 'A'isyah khususnya, dan tahu akan adanya jaminan surga untuk mereka sebagaimana tersebut dalam al-Qur'an dan hadits-hadits, pasti tidak akan menyanggah keyakinan mereka itu --yang didukung oleh dalil-dalil yang sahih-- dengan hal-hal yang tidak jelas (musytabihat), seperti dalil-dalil yang tidak diketahui kesahihannya, dalil yang sudah nyata kedustaannya, dan peristiwa yang tidak jelas kapan dan bagaimana terjadinya. Atau dengan adanya kesalahan-kasalahan yang sesungguhnya bisa dimaafkan, atau perbuatan-perbuatan yang sudah diketahui bahwa pelakunya telah bertaubat darinya, atau dengan kesalahan-kesalahan yang telah tertebus dengan kebajikan-kebajikan pelakunya. (Lihat, Minhaj, jilid 2, hal. 184).

Sebagai contoh, apa yang dikemukakan al-Musawi tentang 'A'isyah, --kalaupun kita terima kesahihan sebagian dalilnya-- tidaklah dapat dijadikan alasan untuk mendha'ifkan riwayat 'A'isyah dan menguatkan riwayat Ummu Salamah. Demikian menurut pendapat para ahli di bidang riwayat hadits. Akan tetapi al-Musawi dengan pernyataannya itu --memang berkehendak untuk mencaci maki 'A'isyah, seperti telah dikemukakan sebelumnya.

Setelah menanggapi secara global pernyataan al-Musawi dalam Dialog 78 ini, kami ingin menanggapinya pula secara terinci, dengan tidak lupa memohon taufik kepada Allah:

1. Mengenai kecaman al-Musawi terhadap 'A'isyah dengan perkataannya: Ummu Salamah tidak pernah dinyatakan oleh al-Qur'an sebagai telah menyimpang hatinya dari keikhlasan kepada Rasulullah saw, dan karena itu, tidak diperintahkan agar bertaubat. Ia menunjuk pada firman Allah dalam surat at-Tahrim: "Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah (itu lebih baik), karena sungguh hati kamu berdua telah menyimpang …" Jawaban atas tuduhan ini telah dikemukakan pada tanggapan Dialog 76. Kesimpulannya, apa yang dilakukan 'A'isyah dalam soal ini, tidak lebih hanyalah suatu tipu daya (hiylah) yang ditujukan kepada Zainab, madunya. Hal itu dilakukannya karena didorong oleh rasa cemburu, yang memang menjadi tabiat kaum wanita. Dengan tipudayanya itu, ia tidaklah bermaksud menyakiti hati Nabi sebagaimana yang dituduhkan al-Musawi. Sebagai bukti, Nabi tidak marah akan kecemburuan 'A'isyah ataupun istri-istrinya yang lain. Sebab Nabi tahu bahwa sifat cemburu itu memang merupakan tabiat setiap wanita. Dan tidak ada tuntutan (siksaan) atas sesuatu yang bersifat watak atau karakter. Dalam sebuah hadits sahih diceritakan bahwa salah seorang istri Nabi cemburu kepada istri Nabi yang lain, ketika yang disebut belakangan ini mengirimkan kepada beliau makanan yang merupakan kesukaan beliau. Dan, Nabi waktu itu berada di rumah istri yang cemburu itu. Yang disebut belakangan ini mengambil piring yang berisi makanan kiriman itu dari tangan pembantunya, dan dilemparkannya ke tanah, sehingga pecah dan isinya tumpah. Rasulullah mengumpulkan kembali makanan yang tumpah bertaburan itu, seraya berkata: "Ibu kalian lagi cemburu!" Rasulullah tidak mencela dan memarahi istrinya yang cemburu itu, sebab ia tidak melakukan hal yang menyalahi syara'. Demikian itulah yang terjadi pada 'A'isyah. Ia membuat tipu daya terhadap Zainab dengan sesuatu yang tidak menyakiti hati Nabi.

Mengenai kemarahan Nabi, hal itu disebabkan karena dibocorkannya rahasia Nabi oleh Hafsyah binti 'Umar, sebagaimana tersebut dalam hadits yang diriwayatkan ad-Daruquthni dari Ibn 'Abbas melalui sanad yang sahih. Di dalam hadits ini diceritakan bahwa Rasulullah menggauli Maria al-Qibthiah di rumah Hafshah, pada hari gilirannya dan di tempat tidurnya. Ketika Hafshah masuk ke rumahnya, ia menemukan Maria. Maka memuncaklah kemarahannya. Katanya: "Wahai Rasulullah, mengapa anda membawa dia ke rumahku, dan menggaulinya di tempat tidurku?" Lalu Nabi berkata untuk menyenangkan Hafshah: "Sungguh aku mengharamkannya atas diriku, tapi jangan engkau ceritakan hal ini kepada siapa pun"! Ketika Rasulullah saw pergi meninggalkan Hafshah, Hafshah pun pergi menemui 'A'isyah dan menceritakan kepadanya tentang rahasia Nabi itu. Maka Nabi pun marah dan bersumpah tidak akan menggauli dan menjauhi istri-istrinya selama satu bulan. Kemudian turunlah ayat: Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah untukmu. Engkau mencari kerelaan istri-istrimu … (QS, at-Tahrim, 66:1.).

Adapun kisah al-Maghafir, walaupun sanadnya sahih karena terdapat dalam kitab Bukhari Muslim, namun riwayat yang pertama tadi lebih dikenal di kalangan para mufassir sebagai penyebab turunnya ayat tersebut di atas. Al-Imam ibn Hajar merajihkan pendapat ini ketika ia menafsirkan ayat tersebut di dalam kitabnya, Fathul Bari.

Satu hal yang lebih menguatkan riwayat yang pertama itu sebagai sebab turunnya ayat tersebut, ialah karena tindakan Nabi mengharamkan salah seorang istrinya mempunyai tujuan untuk memperoleh kerelaan istri-istrinya yang lain, sedangkan pengharaman (minum), madu tidak memiliki tujuan seperti itu. Adanya ancaman terhadap istri-istri Nabi dengan cerai dan penggantian mereka dengan wanita-wanita lain yang lebih baik, menunjukkan adanya persaingan dan saling cemburu diantara mereka. Ini juga menjelaskan ayat: "Dan ingatlah ketika Nabi mempercayakan suatu rahasia kepada salah seorang istrinya dan seterusnya" (QS, at-Tahrim, 66:3-6). Ibn Katsir setelah merajihkan riwayat ini, menyatakan bahwa riwayat tentang Nabi minum madu itu sangat jauh untuk bisa menjadi penyebab turunnya ayat-ayat ini. Ia berkata: "Tentang kisah Nabi minum madu sebagai asbabun-nuzul, masih memerlukan penelitian."

Di dalam kitab Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna 'Asyariyah disebutkan kesepakatan para mufassir bahwa orang yang membocorkan rahasia Nabi adalah Hafshah, bukan orang lain. Penulis kitab tersebut mengemukakan kisah Hafshah dengan Maria al-Qibthiyah, lalu berkata: "Rasulullah saw memandang tindakan Hafshah itu sebagai penentangan, suatu kemaksiatan, dan ia telah bertaubat dari dosanya itu. Keterangan ini terdapat dalam kitab-kitab tafsir kaum Syi'ah, seperti Majma' al-Bayan, karya ath-Thabrasyi."

Kalaupun kita terima pendapat bahwa peristiwa Nabi minum madu adalah sebab turunnya ayat-ayat surat at-Tahrim itu, kami ingin menyatakan bahwa dilalah ayat 4 surah at-Tahrim itu bagi dosa kedua orang istri Nabi tidaklah lebih kuat dibanding dilalahnya bagi perintah kepada keduanya agar bertaubat, dan dilaksanakannya taubat itu oleh keduanya. Lalu kenapa anda menutup mata akan makna yang ditunjuk oleh ayat itu (perintah bertaubat) dan hanya menunjuk pada terjadinya dosa mereka saja dan berhenti sampai di situ saja, jika anda bukan orang yang fanatik dan menuruti keinginan hawa nafsu?

Hal lain yang memperkuat taubat mereka ialah tingginya derajat mereka, dan bahwa mereka berdua ('A'isyah dan Hafsyah) adalah istri Nabi kita di surga. Mereka (istri-istri Nabi) telah memilih Allah dan Rasul Nya ketika Allah menyuruh mereka untuk memilih antara Allah dan Rasul dengan kehidupan dunia dan kesenangannya. Karena itu, Allah lalu mengharamkan Nabi-Nya mengganti mereka dengan wanita-wanita lain.

Kalaupun dikatakan bahwa dalam konteks tersebut terdapat dosa bagi 'A'isyah dan Hafsyah, maka kedua wanita itu telah bertaubat dan menyesali dosanya. Lalu, setelah taubat, masihkah ada dosa bagi mereka, yang membuat mereka patut mendapat kecaman dan caci maki, seperti yang dilakukan kaum Rafidhah dan dilontarkan oleh al-Musawi?

2. Mengenai perkataan al-Musawi "Allah tidak membuat perumpamaan bagi Ummu Salamah dengan istri Nuh dan istri Luth", jawaban atas pernyataan ini adalah sebagai berikut:

Pertama. Sesungguhnya Allah tidak membuat perumpamaan istri Nuh dan istri Luth sebagai misal bagi 'A'isyah, tapi bagi orang-orang kafir yang hidup bersama dengan kaum Muslimin, sebagai penjelasan dari Allah bahwa hubungan pergaulan itu tidaklah mendatangkan manfaat bagi orang-orang kafir di sisi Allah, manakala tidak disertai dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, Allah membuat perumpamaan dengan istri Nuh dan Luth itu. Ini ditunjukkan dengan jelas oleh firman Allah: "Allah menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh diantara hamba-hamba Kami, lalu keduanya mengkhianati suami-suaminya. Maka kedua suaminya itu tak dapat membela mereka sedikit pun dari (siksa) Allah …" (QS, at-Tahrim, 66:10). Ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki makna yang sama banyak sekali, diantaranya ayat: "Bahwa seseorang tidak akan bisa menanggung dosa orang lain, dan bahwa manusia hanya akan memperoleh apa, yang diusahakannya" (QS, an-Najm, 53:38-39); "Hari ketika seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain, dan segala urusan pada hari itu ada dalam kekuasaan Allah." (QS, al-Infithar, 82:19 ); "Setiap diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya" (QS, al-Muddatstsir, 74:38).

Juga sabda Nabi: "Hai Fathimah putri Muhammad, mintalah apa saja yang kamu sukai dari hartaku, tetapi aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari (siksaan) Allah". Juga sabda Nabi: "Barangsiapa lambat amalnya, ia tidak akan bisa ditolong (dipercepat) oleh nasabnya." Dan masih banyak lagi ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang menjelaskan bahwa manusia akan dibalas berdasarkan iman dan amalnya, bukan dengan melihat kerabat dan handai taulannya.

Apa yang dikatakan al-Musawi bahwa Allah menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi 'A'isyah, adalah perkataan yang dusta dan dibuat-buat. Sebab tidak ada seorang pun dari para ahli yang berkata demikian. Juga tidak terdapat dalam kitab-kitab yang muktabar. Bahkan pernyataan itu berlawanan dengan kesepakatan para ahli, baik ahli tafsir maupun ahli hadits.

Al-Musawi tahu bahwa pendapat demikian hanyalah pendapat kaum Rafidhah sendiri, yang hanya bisa dijumpai dalam kitab-kitab mereka sendiri. Karena itu, ia tidak menyandarkannya pada satu kitab pun, hatta yang tidak muktabar sekalipun di mata para ahli.

Di dalam pendapat al-Musawi itu terkandung unsur penyamaan (wajah syabah) antara istri Nuh dan istri Luth disatu pihak dengan 'A'isyah Ummul Mu'minin di pihak lain. Kalau kita tanyakan: "Apa segi persamaannya menurut antara kedua pihak itu?, maka kita tidak akan menemukan jawaban yang jelas dalam perkataan al-Musawi.

Al-Qur'an menceritakan bahwa kedua wanita itu menjadi istri kedua hamba Allah yang salih, tetapi kedua wanita itu mengkhianati mereka. Konsekuensi logis dari pengkhianatan mereka itu dinyatakan oleh ayat terkait, yaitu bahwa mereka termasuk ahli neraka. Dan tidak ada artinya sama sekali status mereka sebagai istri nabi.

Tidak ada perselisihan pendapat mengenai pengkhianatan mereka itu dengan adanya penjelasan dari Allah tentang hal itu. Tetapi, pengkhianatan dalam bentuk apa? Para ahli tafsir sependapat bahwa pengkhianatan mereka adalah dalam bidang akidah dan penerimaan risalah. Mereka tidak mengikuti suami mereka untuk beriman kepada Allah, dan tidak pula membenarkan risalah yang dibawa oleh suami mereka. Pengkhianatan di sini bukan dalam bentuk perbuatan asusila seperti zina.

Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut berkata: "Kata-kata Maka mereka berdua. mengkhianati suaminya maksudnya dalam keimanan. Mereka berdua tidak mengikuti suami mereka beriman, dan tidak pula mereka membenarkan risalah yang dibawa oleh suami mereka. Bukanlah yang dimaksud firman Allah itu pengkhianatan berupa perbuatan asusila atau perbuatan keji, tetapi khianat dalam bidang agama. Sebab istri para nabi itu terjaga (ma'shum) dari perbuatan mesum, demi terjaganya kehormatan para nabi itu.

Ibn 'Abbas berkata: Adapun pengkhianatan istri Nuh ialah bahwa dia mengisukan bahwa Nuh adalah orang gila. Sedang pengkhianatan istri Luth ialah bahwa dia menunjukkan kepada kaumnya tamu-tamu Luth.

Al-Aufi mengutip perkataan Ibn 'Abbas demikian: "Pengkhianatan kedua wanita itu ialah bahwa mereka tidak mengikuti agama suami mereka. Adapun istri Nuh, ia suka mencari tahu rahasia Nuh. Jika ada orang yang beriman kepada ajaran Nuh, maka ia segera memberitahukannya kepada penguasa negeri yang menindas. Sedang istri Luth, jika Nabi Luth sedang kedatangan seorang tamu, ia segera mengabarkannya kepada penduduk kotanya yang biasa berbuat kejahatan".

Adh-Dhahhak menceritakan dari Ibn 'Abbas; ia berkata: "Tidak seorang pun istri nabi yang serong (melacur). Pengkhianatan istri Nuh dan istri Luth adalah di bidang agama."

Setelah kita mengetahui secara pasti, bentuk pengkhianatan istri Nuh dan istri Luth, yaitu di bidang agama, bukan di bidang susila, lalu adakah dalam sejarah 'A'isyah Ummul Mu'minin unsur persamaan dengan perjalanan hidup kedua wanita itu, sehingga keduanya bisa dijadikan perumpamaan bagi 'A'isyah sebagaimana dikatakan al-Musawi?

Tentu, tidak ada seorang muslim yang berakal dan jujur, yang akan menyatakan demikian. Bahkan tidak ada orang yang akan berkata demikian kecuali orang yang rusak agama atau akalnya. Adakah dalam perjalanan hidup 'A'isyah' sesuatu yang menyimpang dari akidah tauhid yang dibawa oleh suaminya, Rasulullah saw? Bagaimana mungkin, sedang ia adalah pengajar kaum lelaki, penyebar petunjuk kenabian, dan penyampai risalah Islam, baik di masa hidup Nabi maupun sesudahnya?

Adakah dalam perjalanan hidupnya sesuatu yang menunjukkan bahwa imannya tidak tulus? Adakah sesuatu yang menunjukkan bahwa ia berada di pihak musuh-musuh Nabi, membocorkan rahasia Nabi kepada mereka, dan membantu mereka melawan Nabi atau melawan salah seorang dari kaum Mu'minin seperti yang dilakukan oleh istri Nuh dan istri Luth?

Kalaupun perkataan al-Musawi itu dipandang sahih, tentu akan berlawanan dengan kepercayaan Ahlus Sunnah dan juga kaum Rafidhah sendiri, tentang kema'shuman Rasulullah saw. Bagaimana ia tetap menjadikan 'A'isyah sebagai istri, sedang ia mengkhianati agamanya? Bagaimana Nabi bisa bersaksi bahwa ia adalah calon penghuni surga, sedang ia termasuk penghuni neraka, --semoga Allah menjauhkan kita dari ucapan seperti itu-- sebagaimana istri Nuh dan istri Luth?.

Adapun jika al-Musawi, menyatakan segi persamaan antara istri Nuh dan istri Luth di satu pihak dengan 'A'isyah Ummu al-Mu'minin di pihak, yang lain adalah dalam hal perbuatan keji dan asusila, maka hal ini tidak mengherankan, sebab kaum Rafidhah --semoga Allah membinasakan mereka-- memang berpendapat bahwa zina itu mungkin saja bagi istri, seorang nabi dengan dalil ayat 10 surah at-Tahrim itu. Mereka menuduh 'A'isyah telah berbuat zina, karena Allah telah menjadikan kedua orang wanita dalam ayat tersebut sebagai perumpamaan baginya dalam hal sama-sama terjerumus dalam kekejian sebagaimana dinyatakan al-Musawi. Dalam hal ini kaum Rafidhah sama dengan orang-orang munafik dan fasiq semisal 'Abdullah ibn Ubay ibn Salul dan lainnya yang menuduh 'A'isyah telah berbuat keji dan tidak menarik kembali tuduhan itu kendatipun Allah telah menurunkan ayat-ayat yang menerangkan terbebasnya 'A'isyah dari tuduhan itu. Mengenai mereka Rasulullah saw bersabda: "Siapakah yang mau membebaskan aku dari (kejahatan) seorang lelaki yang telah menyakiti hatiku dalam persoalan keluargaku? Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui tentang keluargaku, kecuali kebaikan. Dan sungguh orang-orang telah menyebut-nyebut tentang seorang lelaki yang demi Allah, aku tidak pernah mengetahui tentang dia, kecuali kebaikan."

Dalam kitab Minhaj as-Sunnah, jilid 2, hal. 192, Ibn Taimiyah berkata: "Kita semua telah memaklumi bahwa tindakan yang paling menyakiti hati seseorang adalah fitnah terhadap istrinya. Misalnya dikatakan bahwa istrinya itu pelacur, atau dikatakan kepada seorang wanita bahwa suaminya suka melacur. Perbuatan demikian merupakan penghinaan yang paling besar diantara sesama manusia. Allah menetapkan hukuman dera bagi tuduhan berbuat zina (yang tak terbukti), karena sakitnya hati yang diakibatkan oleh tuduhan itu bagi yang tertuduh jauh melebihi sakit hati akibat tuduhan-tuduhan lainnya."

3. Tentang perkataan al-Musawi: (Dan tidak pula Ummu Salamah menyebabkan Nabi sampai berbicara di atas mimbar beliau sambil menunjuk kearah kamarnya, dan berkata: "Di sinilah sumber fitnah, di sinilah sumber fitnah, di sinilah sumber fitnah, dari mana tanduk syeitan akan muncul". Jawaban atas perkataan ini adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya hadits "Di sinilah sumber fitnah" adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui saluran yang berbeda-beda. Beberapa saluran yang terpenting akan dikemukakan, agar para pembaca memahami dan mengetahuinya. Dari situ akan tampak kesalahan al-Musawi dan keburukan pemahamannya, serta bengkoknya akidahnya.

Di dalam Bab Furudh al-Khumus, Bukhari meriwayatkan dari Nafi' dari 'Abdullah dari Ibn 'Umar ra; ia berkata: Rasulullah saw berdiri berbicara, lalu ia menunjuk tempat tinggal 'A'isyah seraya berkata: "Di sinilah sumber fitnah (diulang tiga kali), dari arah mana tanduk syeitan akan muncul".

Di dalam Bab al-Fitan, Bukhari meriwayatkan melalui sanadnya dari Nabi saw bahwa beliau berdiri, di atas mimbar sambil berkata: "Sumber fitnah di sini, sumber fitnah di sini, dari arah mana tanduk syeitan akan muncul atau Nabi berkata "tanduk matahari".

Di dalam Bab al-Fitan pula, Bukhari meriwayatkan melalui salurannya dari Ibn 'Umar ra. bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda ketika beliau sedang menghadap ke arah timur (al-Masyriq): "Ingatlah, bahwa sumber fitnah itu di sini, dari mana akan muncul tanduk syeitan".

Di dalam Bab itu pula, Bukhari meriwayatkan melalui sanadnya dari Ibn 'Umar bahwa ia berkata Rasulullah saw berdoa, "Ya Allah, berilah kami keberkahan di negeri kami Syam; Ya Allah, berilah kami keberkahan di negeri kami Yaman." Para sahabat berkata: "Juga negeri kami Nejd, wahai Rasulullah?" Nabi berkata: "Ya Allah, berilah kami keberkahan di negeri kami Syam, Ya Allah berilah, kami keberkahan di negeri kami Yaman. Para sahabat berkata: "Juga di negeri kami Nejd, Wahai Rasulullah?" Aku kira (kata perawi hadits ini) beliau berkata setelah para sahabat memintakan negeri Nejd untuk ketiga kalinya: "Di sana akan ada goncangan dan huruhara (az-zilzal wal-fitan) dan di sana akan muncul tanduk syeitan."

Di permulaan Bab al-Fitan, Bukhari meriwayatkan melalui sanadnya dari 'Utsman ibn Zaid ra; ia berkata: "Rasulullah saw pernah memandang salah satu bangunan yang tinggi di Madinah, lalu berkata: "Apakah kamu melihat apa yang aku lihat?" "Tidak", jawab para sahabat. Beliau berkata: "Aku melihat fitnah akan terjadi di sela-sela rumah kalian, sebagaimana hujan turun (dari langit)".

Imam Muslim meriwayatkan hadits di dalam Bab al-Fitan wa Isyaratis-Sa'ah melalui sanadnya dari Ibn 'Umar, katanya: Aku dengar Rasulullah, ketika beliau sedang menghadap ke arah timur berkata: "Ketahuilah sumber fitnah berada di sini dari arah mana tanduk syeitan akan muncul".

Di dalam bab yang sama Imam Muslim meriwayatkan dari Ibn 'Umar bahwa Rasulullah berdiri di depan pintu rumah Hafshah sambil menunjuk ke arah timur, dan berkata: "Sumber fitnah di sini, dari mana tanduk syeitan akan muncul". Nabi (kata perawi hadits ini) mengucapkan itu dua atau tiga kali.

Di dalam bab yang sama, Imam Muslim meriwayatkan dari Salim ibn 'Abdillah dari ayahnya bahwa Rasulullah saw bersabda, sementara beliau sedang menghadap ke arah timur: "Ketahuilah, di sini tempat fitnah, di sini tempat fitnah, dari mana tanduk syeitan akan muncul".

Di dalam bab yang sama, Muslim meriwayatkan melalui salurannya dari Ibn 'Umar, ia berkata: Rasulullah saw keluar dari rumah 'A'isyah dan berkata: "Sumber kekufuran dari sini, dari mana tanduk syeitan akan muncul". Maksudnya, arah timur.

Muslim juga meriwayatkan dari Ibn 'Umar: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda sambil menunjuk ke arah timur: "Ketahuilah sumber fitnah dari sini (Rasulullah saw mengulang tiga kali), dari mana tanduk syeitan akan muncul".

2. Dari berbagai riwayat yang dikemukakan dalam kitab Sahih Bukhari-Muslim tersebut, jelaslah beberapa hal berikut ini:

a. Sesungguhnya tidak ada petunjuk yang jelas mengenai tempat di mana Rasulullah menyampaikan sabdanya di dalam hadits-hadits tersebut, apakah beliau menyampaikannya di atas mimbar, di depan pintu rumah Hafshah, ketika keluar dari rumah 'A'isyah, atau ketika beliau sedang memandang salah satu bangunan yang tinggi di Madinah sebagaimana tersebut dalam riwayat-riwayat sahih yang telah kami kemukakan.

Soal waktu dan tempat di mana Rasulullah saw menyampaikan sabdanya dalam hadits ini, sesungguhnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan makna hadits. Karena itu perbedaan riwayat mengenai penyebutan tempat, tidak berpengaruh pada pengertian hadits ini. Dan di sini tidak ada kontradiksi, sebab unsur tempat bukanlah yang ditekankan dalam hadits ini. Yang ditekankan adalah penjelasan arah datangnya fitnah, yaitu arah timur. Semua ahli hadits telah sepakat mengenai makna dan pengertian ini. Faedah dari berbilangnya tempat di mana Nabi mengucapkan hadits tersebut adalah untuk pengulangan, yang menghasilkan penekanan (ta'kid) bahwa fitnah itu sungguh-sungguh akan datang dari arah timur, bukan arah lainnya.

Ibn Hajar berkata: Kaum Isma'ili menyanggah bahwa soal tempat tidak relevan dengan apa yang dimaksud oleh Nabi, sebab di dalam hadits itu tidak ada perbedaan antara pemilik barang (al-malik) dan peminjam (at-musta'ir) dan yang selain keduanya.

b. Semua riwayat sependapat bahwa arah datangnya fitnah tersebut ialah arah timur dipandang dari kedudukan Nabi pada waktu itu, yaitu Madinah, Makkah dan daerah Hijaz di sekitarnya. Dan ke arah itulah Nabi menunjuk dengan tangannya, dan beliau menghadap ke arah itu pula ketika berbicara kepada sahabat-sahabatnya di dalam hadits ini. Coba anda lihat riwayat-riwayat itu, pasti anda menemukan makna ini dengan jelas.

Adapun tempat yang membatasi Hijaz di sebelah timur, ialah Nejd dan Irak. Di dua tempat inilah fitnah akan muncul dan di situ pula akan muncul tanduk syeitan. Suatu hal yang memperkuat makna ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn 'Umar dimana. Rasulullah saw berdoa kepada Allah agar memberkahi tanah Syam dan Yaman, dan beliau tidak mendoakan tanah Nejd, walaupun para sahabat mengingatkan dan meminta Nabi untuk mendoakannya: Kemudian Nabi berkata: "Di sana ada goncangan dan fitnah, dan di sana pula tanduk syeitan akan muncul". Perkataan ini merupakan penolakan Nabi kepada orang yang memintanya untuk berdoa, dan merupakan penjelasan mengapa Nabi tidak mau berdoa, serta gambaran mengenai peristiwa yang akan terjadi di sana.

Mengenai masuknya Irak dalam katagori "timur", di mana, fitnah akan lahir dan dari mana tanduk syeitan akan muncul, hal ini diterangkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Fitnah dari Ibn Fudhail dari ayahnya; ia berkata: Aku mendengar Salim ibn 'Abdillah ibn 'Umar berkata: Hai penduduk Irak, mengapa kalian meributkan soal kecil, tapi berani melakukan dosa besar? Aku mendengar ayahku 'Abdullah ibn 'Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sungguh fitnah akan datang dari sini," sambil beliau menunjuk ke arah timur, dari mana tanduk syeitan akan muncul. Dan kalian semua saling membunuh, satu sama lain.

c. Al-Musawi telah berbuat dusta atas Allah dan Rasul-Nya, dan menentang hadits-hadits yang sahih ketika ia menganggap tempat lahirnya fitnah yang diisyaratkan Nabi itu ialah rumah 'Aisyah, bukan arah timur, yaitu daerah Nejd dan Irak.

Argumentasi al-Musawi bagi pendapatnya dengan mengemukakan riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah saw ketika berbicara menunjuk ke rumah 'A'isyah, merupakan argumentasi yang lemah dan bathil, lebih lemah dari rumah labah-labah, dan menunjukkan kebodohan serta kedengkiannya. Sebab Rasulullah saw ketika berbicara di atas mimbarnya kepada para sahabatnya, pastilah beliau menghadap ke utara, membelakangi kiblat. Hal ini tak dapat disangkal mengingat posisi menghadapnya mimbar nabi. Maka ketika nabi menunjuk ke arah timur, dari mana fitnah dan tanduk syeitan akan muncul, maka tunjukan Nabi itu tertuju ke rumah-rumah Ummahatul Mu'min yang semuanya berada di sebelah kanan alias sebelah timur mimbar Nabi. Hal ini tak dapat diperdebatkan lagi, sebab rumah-rumah Nabi sampai sekarang masih ada dan tetap dalam posisinya dulu. Sedangkan ar-Raudhah terletak diantara rumah Nabi dan mimbarnya. Mengenai ar-Raudhah ini, beliau berkata: "Tempat yang terletak diantara rumahku dan mimbarku adalah salah satu dari taman-taman surga".

d. Seandainya 'A'isyah itu fitnah, dan di rumahnya tanduk syeitan akan muncul, maka bagaimana Nabi tetap menjadikan dia sebagai istri, sedang beliau tahu bahwa dia adalah fitnah? Bagaimana beliau masih tetap bersamanya dan tidak menjauhinya, sementara beliau memperingatkan setiap orang tentang fitnah itu? Bagaimana beliau bisa berdiam di tempat atau rumah yang didalamnya tanduk syeitan akan muncul? Demi Tuhan, sungguh ini merupakan bentuk kedustaan yang paling besar atas Rasulullah saw. Bahkan ia merupakan kecaman terhadap risalah dan kenabian Nabi Muharnmad saw. (Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan keji itu!).

Bagaimana bisa disesuaikan antara perkataan al-Musawi dengan apa yang dinyatakan dalam hadits-hadits tentang kecintaan Nabi kepada 'A'isyah, serta kemanisan pergaulan yang beliau dapatkan di rumah 'A'isyah dan di malam (giliran)nya, sampai-sampai beliau meminta. izin kepada istri-istrinya yang lain untuk menjalani sakitnya di rumah 'A'isyah sampai beliau meninggal dunia dan dimakamkan didalamnya.

4. Mengenai perkataan al-Musawi bahwa Ummu Salamah tidak pernah, bersikap tidak senonoh dengan melempangkan kakinya di hadapan Nabi ketika beliau sedang shalat, karena menghormati Nabi dan shalat Nabi, maka perkataan demikian berarti menuduh 'A'isyah dengan berperilaku buruk terhadap Nabi, dan tidak menghormati shalat sebagaimana mestinya. Tuduhan ini dapat ditanggapi sebagai berikut:

  1. Pemahaman dan interpretasi seperti ini merupakan pemaham khas kaum Rafidhah. Tak seorang pun dari ahli ilmu yang menyerupainya, dan pemahaman demikian juga tidak dijumpai dalam kitab-kitab yang muktabar. Kami tidak dapat menerima jika al-Musawi menyatakan bahwa pemahaman demikian juga terdapat di luar buku-buku mereka yang penuh dusta dan kebohongan itu.
  2. Wahai al-Musawi, anda tidaklah lebih banyak ghirah terhadap Nabi daripada Nabi terhadap dirinya sendiri. Anda juga tidak lebih banyak ghirah atas shalat dan kemuliaannya dibanding Nabi saw. Bahkan anda tidaklah memiliki penghormatan dan kecintaan terhadap Nabi lebih besar dibanding istri Nabi, yang mencintainya dan dicintai beliau. Tidak pula perhatian anda terhadap shalat lebih besar dibanding perhatian 'A'isyah, sehingga anda patut mengecamnya dengan perbuatannya itu.
  3. Bahwa diamnya Nabi atas perbuatan 'A'isyah, dan tidak adanya teguran Nabi terhadapnya setelah beliau usai melaksanakan shalat, merupakan bukti yang kuat atas terbebasnya 'A'isyah dari apa yang dituduhkan al-Musawi. Juga merupakan bukti yang nyata bahwa dalam soal ini pemahaman al-Musawi menyimpang dari kebenaran dan keluar dari akidah Islam. Jika tidak, mengapa ia menentang 'A'isyah atas sesuatu yang Rasulullah saw sendiri tidak menyanggahnya. Ini berarti menentang Nabi, dan menyerang sifat 'ishmah beliau, serta menuduh beliau telah memanjakan 'A'isyah dalam soal agamanya.

5. Tentang perkataan al-Musawi, "Dan tidak pula ia (Ummu Salamah) mengobarkan amarah orang banyak terhadap diri Khalifah 'Utsman dan berkomplot menentangnya, dan tidak pula ia menjulukinya dengan julukan na'tsal (orang tua yang pandir dan bodoh), maka tulisan Ibn Taimiyah dalam Minhaj as-Sunnah, jilid 2, hal. 188, adalah jawaban yang paling tepat bagi perkataan al-Musawi itu. Berikut ini akan kami kemukakan secara ringkas dengan sedikit perubahan redaksi.

Menolak tuduhan tersebut, Ibn Taimiyah berkata:

  1. Adakah riwayat ats-Tsabit dari 'A'isyah sendiri tentang hal itu?
  2. Hadits yang diriwayatkan dari 'A'isyah justru mendustakan tuduhan itu, dan menjelaskan bahwa 'A'isyah menentang pembunuhan 'Utsman dan mengecam orang yang membunuhnya. Ia mengajak saudaranya Muhammad dan orang-orang lain untuk menyertai sikapnya.
  3. Katakanlah bahwa salah seorang sahabat -'A'isyah atau orang lain-- mengeluarkan kata-kata yang keras dalam keadaan marah, lantaran menentang sesuatu. Tapi perkataan tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, dan tidak pula menodai iman orang yang mengatakannya maupun iman orang yang dikata-katainya. Bahkan bisa jadi keduanya termasuk wali Allah dan termasuk ahli surga. Salah seorang dari mereka mengira boleh membunuh yang lainnya, karena ia dituduh kafir. Dan ternyata perkiraan itu tidak benar, sebagaimana yang diceritakan dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim, yang bersumber dari 'Ali dan lainnya mengenai Hathib ibn Balta'ah ketika ia mengirim seorang wanita dengan sepucuk surat kepada orang-orang Quraisy, menceritakan kepada mereka tentang rencana penyerbuan Nabi ke Makkah. Kisah ini amat terkenal di kalangan ulama tafsir dan sejarah. Dan mengenai hal itu Allah menurunkan awal surah al-Mumtahanah.
  4. Mengenai perkataan yang dikutip dari 'A'isyah yang berisi kecamannya terhadap 'Utsman, terdapat dua kemungkinan. Pertama, kecaman itu benar. Kedua, kecaman itu keliru. Jika kecaman itu benar, maka 'A'isyah, tidak bisa disalahkan. Dan jika kecaman itu tidak benar, maka 'Utsman juga tidak salah. Dengan demikian, maka mengkaitkan kemarahan 'A'isyah dengan (terbunuhnya) 'Utsman merupakan sesuatu yang bathil. Kecuali itu, 'A'isyah memperlihatkan keprihatinannya atas kematian 'Utsman, mengecam para pembunuhnya dan menuntut balas kepada mereka.

6. Mengenai perkataan al-Musawi "Ia (Ummu Salamah) tidak pula mengendarai unta yang bernama Askar, menuruni lembah dan menaiki bukit, sampai disambut oleh gonggongan anjing-anjing Hau'ab. Padahal Rasulullah saw telah memperingatkannya akan hal itu, namun ia tidak menjadi sadar dan tidak membatalkan niatnya memimpin pasukan untuk melawan Imam ('Ali ibn Abi Thalib), maka perkataan ini dapat dijawab sebagai berikut:

  1. 'A'isyah dan sahabat-sahabat yang mengikutinya tidaklah keluar kecuali untuk menuntut kepada 'Ali yang menjabat sebagai Khalifah, agar menegakkan hukum atas komplotan pembunuh 'Utsman yang berlindung kepada pasukan 'Ali ketika itu. Tatkala para pembunuh itu merasa khawatir akan dijatuhkannya hukuman qishash atas diri mereka oleh 'Ali manakala salah seorang dari mereka telah terbukti bersalah, maka mereka segera menyulut api peperangan diantara kedua belah pihak.
    Di dalam kitab Fathul Bari, jilid 14/41-144, al-Hafidz ibn Hajar berkata: "Tidak seorang pun yang pernah mengutip dari 'A'isyah dan orang-orang yang menyertainya, ucapan yang menyatakan bahwa mereka menentang kekhalifahan 'Ali. Mereka juga tidak mendorong salah seorang dari mereka untuk menduduki kursi kekhalifahan. Mereka hanya menentang sikap 'Ali yang menghalangi penumpasan para pembunuh 'Utsman, dan tidak segera mengkishas mereka. 'Ali sendiri menunggu keluarga 'Utsman untuk meminta hukum kepadanya. Jika salah seorang diantara mereka terbukti telah membunuh 'Utsman, 'Ali pasti akan mengkisasnya. Mereka berselisih paham dalam soal ini dan mereka yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan, itu merasa takut bahwa semua pihak akan bersepakat untuk membunuh mereka. Maka mereka segera menyulut api peperangan diantara kedua belah pihak --kelompok 'Ali dan kelompok 'A'isyah-- hingga perang pun terjadi." Dengan demikian, berhasillah komplotan pembunuh 'Utsman itu menyebarkan fitnah dengan meletusnya Perang Jamal. Maka selamatlah mereka, sementara korban-korban berguguran diantara kaum Muslimin dari kedua belah pihak.
  2. Adapun hadits tentang anjing-anjing Hau'ab, ia tidak tersebut dalam kitab-kitab yang muktabar. Hadits itu diriwayatkan oleh ath-Thabari dari Isma'il ibn Musa al-Fazari (Menurut Ibn 'Adi, para ulama menentang (riwayatnya), karena ia Syi'ah (ekstrim). Isma'il yang Syi'ah ini mendapatkan hadits itu dari 'Ali ibn Abis al-Arzaq. (Menurut an-Nasa'i, ia dha'if. 'Ali menerimanya dari Abul Khithab al-Hijry. (Menurut Hafidz dalam kitab Taqrib at-Tahdzib, ia majhul). Dan al-Hijri yang majhul ini menerimanya dari Shafwan ibn Qubaishah al-Ahmasy. (Menurut adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, ia majhul). (Baca Mukhtashar at-Tuhfah at-Itsna al-'Asyariyah, hal.270).
    Adapun hadits Hau'ab seperti yang terdapat dalam Musnad Ahmad, jilid 6, hal. 52, 97, dan Mustadrak karya al-Hakim, jilid 3, hal. 120, adalah hadits mungkar, karena di dalam sanadnya terdapat Qais ibn Abi Hazim. (Yahya ibn Sa'id berkomentar tentang dia: "Haditsnya mungkar". Kemudian disebutkan kepadanya anjing-anjing (desa) Hau'ab termasuk jenis hadits ini".) (Lihat, Mizan, jilid 3, hal. 392).

7. Mengenai kisah yang dikemukakan al-Musawi tentang orang-orang hitam yang bermain-main dengan perisai dan tombak mereka di masjid, dan bahwa 'A'isyah bersama Nabi menyaksikan permainan itu, juga kisah dua orang budak perempuan yang menyanyikan balada perang Bu'ats di dekat 'A'isyah, dan kisah perlombaan lari antara 'A'isyah dan Nabi, dan seringnya 'A'isyah bermain-main dengan anak-anak perempuan, maka jawaban atas semua itu adalah sebagai berikut:

7.1. Hadits-hadits itu tidak ada kaitannya dengan hadits 'A'isyah yang menerangkan bahwa Rasulullah saw meninggal dunia dalam keadaan kepala beliau bersandar di atas dada 'A'isyah. Dari segi materi atau maudhu'-nya antara keduanya tak dapat dianalogkan. Demikian pula tidak ada hubungan antara keduanya dari segi sanad. Masing-masing hadits tersebut mempunyai sanadnya sendiri. Dan semuanya diriwayatkan melalui sanad yang sahih.

Hanya saja al-Musawi dan kaumnya sama sekali tidak mau menerima hadits 'A'isyah. Ini merupakan konsekuensi dari kepercayaan mereka tentang 'A'isyah seperti yang kami kemukakan di permulaan tanggapan atas dialog ini. Karena itu, al-Musawi menghubung-hubungkan sebagian hadits-hadits 'A'isyah dengan sebagian yang lain, dan memandangnya sama-sama bathil.

7.2. Kami katakan kepada al-Musawi: "Penolakan atau penerimaan suatu riwayat harus tunduk pada metoda ilmiah yang tetap dan diakui oleh para ahli hadits. Adakah anda mengikuti metoda ini?

Anda tergolong orang-orang yang tidak paham ilmu ini, bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Anda tergolong orang-orang yang hanya menuruti hawa nafsu, yang menolak setiap riwayat yang berlawanan dengan akidah dan madzhab mereka!

7.3. Sesungguhnya riwayat-riwayat yang anda tolak itu, baik riwayat tentang permainan silat orang-orang hitam di masjid maupun riwayat tentang nyanyian dua orang budak perempuan, semuanya adalah hadits-hadits tsabit dengan sanad-sanad yang sahih. Jika anda melihat didalamnya hal-hal yang mendatangkan aib, atau mengurangi tatakrama dan kemuliaan, maka pendapat anda tertolak oleh kenyataan bahwa Nabi menyaksikan dan mendengarkan permainan-permainan itu. Dengan begitu, anda telah menyanggah sesuatu yang diakui (tidak ditentang) oleh Rasulullah, dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh beliau.

Selanjutnya, cerita Nabi melihat permainan orang-orang kulit hitam dengan perisai dan pedangnya di masjid, terjadi sebelum turunnya ayat hijab. Istri-istri Nabi dan wanita lainnya ketika itu biasa keluar rumah tanpa hijab, sampai-sampai Fathimah membasuh luka Nabi yang terkena tembakan panah musuh pada perang Uhud di depan Sahal ibn Sa'ad dan sekelompok sahabat lainnya. Dan 'A'isyah ketika itu, masih belum baligh dan belum mukallaf. Jika anak perempuan seperti dia melihat suatu permainan, di mana letak kesalahannya? Apalagi jika dia tertutup, melihatnya dari belakang punggung Nabi saw. Kecuali itu, permainan tersebut dimaksudkan untuk belajar perang. Karena itu, tidak dilarang melihatnya. Kalau tidak demikian, tentu Nabi sudah melarang mereka melakukan permainan itu.


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.