|
Sanggahan terhadap Dialog 75-76
Dalam Dialog 75, Syeikh al-Bisyri menyatakan bahwa
'A'isyah tidak terpengaruh oleh dorongan emosinya ketika ia
menegasikan wasiat Nabi kepada 'Ali sebagaimana yang
dituduhkan al-Musawi kepadanya. Tetapi Syeikh al-Bisyri
tidak menolak tuduhan itu sebagaimana mestinya. Kami tidak
mengerti, apakah Syeikh tidak mengemukakan penolakan itu,
lantaran bodoh dan tidak mengetahui cara-cara penolakan yang
lazim terhadap tuduhan semacam itu, ataukah karena ia segan
dan malu pada al-Musawi dan keilmuannya yang dibangun atas
dasar-dasar yang bathil dan keyakinan yang rusak? Atau ia
tidak menjawabnya karena mengakui dari memperkuat tuduhan
al-Musawi? Jika demikian, maka adanya penyanggahan al-Musawi
(terhadap pernyataan 'A'isyah bahwa Nabi saw meninggal dunia
di atas dadanya) dikemukakan al-Musawi karena permintaan
(dari Syeikh al-Bisyri) agar diberi keterangan dan
penjelasan tentang masalah itu. Demikianlah al-Musawi
menampakkannya dalam dialog-dialognya. Coba anda perhatikan,
tentu anda akan menemukan hal ini.
Karena itu, pada Dialog 76, al-Musawi segera memperkuat
tuduhannya terhadap 'A'isyah, dengan dalil-dalil palsu. Dan
Syeikh al-Bisyri tidak berbuat apa-apa dalam dialog
berikutnya kecuali menerima saja apa yang dikemukakan
al-Musawi. Untuk itu kami mesti memberikan tanggapan atas
dalil-dalil al-Musawi itu, dengan pertolongan kepada Allah
SWT:
1. Al-Musawi telah menuduh 'A'isyah, Ummul
Mu'minin, dan istri Nabi yang paling dicintainya, sebagai
telah menentang wasiat Nabi kepada 'Ali, untuk menjadi imam
setelah Nabi. karena telah takluk pada dorongan emosi, dan
menuruti hawa nafsunya.
Tetapi kecenderungan emosional dan hawa nafsu yang mana
yang dituduhkan al-Musawi? Sungguh, al-Musawi tidak mampu
menyebut satu pun darinya. Dan kami tidak melihat, tujuan
apa yang tersembunyi dibalik pengingkaran 'A'isyah terhadap
wasiat itu, seandainya wasiat itu memang ada.
Tuduhan al-Musawi bahwa 'A'isyah menyanggah wasiat itu,
sesungguhnya berlawanan dengan keyakinan al-Musawi sendiri
bahwa 'A'isyah tidak mengetahui wasiat itu. Sebab wasiat itu
disampaikan Nabi menjelang wafatnya dikala beliau berada di
atas dada saudara dan walinya, yaitu 'Ali ibn Abi Thalib,
bukan di atas dada istri yang dicintainya yaitu 'A'isyah.
Padahal tuduhan menyanggah dan ingkar, hanyalah tepat untuk
orang yang mengetahui suatu perintah lalu menyembunyikannya.
Berbeda dengan orang yang tidak mengetahuinya; maka tidak
tepat ia disebut sebagai orang yang jahat dan ingkar.
Jika tuduhan ingkar dan jahat itu dibenarkan, berarti
tertolaklah pendapat kaum Rafidhah --termasuk al-Musawi--
bahwa Nabi meninggal dunia di atas dada,'Ali ibn Abi Thalib,
dan menyampaikan wasiat kepada 'Ali tentang khilafah.
Jika benar perkataan Kaum Rafidhah bahwa Nabi meninggal
dunia di atas dada 'Ali, maka batallah tuduhan al-Musawi
bahwa 'A'isyah telah menyembunyikan dan menyanggah wasiat
itu Sebab 'A'isyah tidak mengetahui wasiat itu. Jika anda
renungkan kontradiksi ini, akan semakin nyata kebathilan
tuduhan al-Musawi!
Semoga Allah membinasakan hawa nafsu, betapa ia telah
menyudutkan pemiliknya, dan menyeretnya kejurang kenistaan.
Hawa nafsu juga membawa orang pada pandangan yang penuh
kontradiktif, yang hanya akan menjadi bahan tertawaan
orang-orang berakal, apalagi para ulama.
Namun tak perlu diherankan jika al-Musawi terjebak dalam
posisi seperti. itu, sebab memang begitulah keadaan setiap
pemilik akidah yang sesat (rusak). Selanjutnya, pada
permulaan Dialog ke 76, al-Musawi memandang Syeikh al-Bisyri
sebagai orang yang bertaklid dan terikat oleh ikatan
tradisional dan emosionalnya ketika ia memandang 'A'isyah
terbebas dari dorongan emosinya dalam pandangannya tentang
wasiat. Karena itu, al-Musawi mengharapkan Syeikh bersedia
melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisional dan emosional
tersebut, dan menilai kembali watak dan prilaku 'A'isyah.
Al-Musawi lantas menuturkan sifat-sifat 'A'isyah yang tidak
pernah tersebut di dalam kitab-kitab yang standar dan
muktabar menurut pandangan para ahli. Untuk menunjukkan
kedustaan al-Musawi mengenai pelbagai tuduhannya terhadap
'A'isyah, cukuplah dengan melihat kitab yang dirujuknya,
yaitu Nahjul Balaghah.
Adapun dalil-dalil yang dikemukakan al-Musawi bahwa
'A'isyah seringkali tunduk pada emosinya, dan yang
disandarkannya pada kitab-kitab sunnah, maka jawabannya
sebagai berikut, semoga Allah memberi taufik:
Adapun cerita yang dikemukakan al-Musawi bahwa 'A'isyah
membenarkan berita bohong yang berasal dari para pembuat
fitnah mengenai Maria al-Qibthiah dan anaknya Ibrahim
(Al-Mustadrak, jilid 4, hal. 39), maka jawabannya adalah
bahwa berita itu berasal dari hadits Anas. Di dalam sanadnya
terdapat 'Abdullah ibn Luhai'ah. Ibn Ma'in memandangnya
dha'if, dan menurutnya tidak dapat dijadikan hujjah. Ibn
Muhdi berkata: "Aku tidak akan mengambil sesuatu dari Ibn
Luhai'ah. Apa yang ia katakan tidak pernah kudengarkan."
Menurut Nasai, ia dha'if, dan menurut Abu Hatim dan Abu
Zara'ah, ia sangat diragukan. Al-Jauzjani berkata: "Tidak
ada kebenaran sama sekali dalam haditsnya, dan tidak
sepatutnya dijadikan hujjah. (Mizan al-I'tidal, jilid 2,
hal. 475).
As-Suhaili berkata: Di dalam kitab Musnad diceritakan
melalui saluran Anas bahwa Rasulullah saw disaat Maria
melahirkan putranya Ibrahim, beliau begitu terkesan,
sehingga datang Jibril mengucapkan selamat: "Keselamatan
atasmu, wahai Ibrahim"!
Mengomentari hadits ini, 'Abdul Rahman al-Wakil berkata:
"Adapun hadits yang diriwayatkan dari Anas itu; di dalam
sanadnya terdapat Ibn Luhai'ah, seorang perawi yang tidak
dapat diterima haditsnya. Di dalam riwayat-riwayat hadits
ini disebutkan seorang yang bernama Ma'bur seringkali datang
menemui Maria. Adakah seorang Muslim yang percaya bahwa Nabi
mengizinkan lelaki seperti itu untuk sering berkunjung ke
rumahnya? Dan masih diperselisihkan tentang lelaki yang
bernama Ma'bur ini. Ada yang mengatakan bahwa ia saudara
Maria, dan ada pula yang mengatakannya anak paman Maria. Ia
adalah seorang yang dikebiri.
Ibn Abil Hadid --seorang Syi'ah-- di dalam Syarah Nahjul
Balaghahnya mengemukakan gunjingan yang menimpa 'A'isyah,
dan bersihnya 'A'isyah dari gunjingan tersebut sebagaimana
dinyatakan Allah dalam surah an-Nur. Ibn Abil Hadid berkata:
"Sekelompok kaum Syi'ah menganggap ayat-ayat dalam surah
an-Nur itu tidak diturunkan berkenaan dengan 'A'isyah,
tetapi berkenaan dengan Maria al-Qibthiyah yang digunjingkan
dengan al-Aswad al-Qibthi." Lebih, lanjut Ibn Abil Hadid
berkata: Sanggahan mereka mengenai turunnya ayat-ayat itu
tentang 'A'isyah adalah omong kosong, sebab hal itu sudah
diketahui semua orang melalui hadits-hadits mutawatir (Syarh
Nahjul Balaghah, jilid 3, hal. 442. Lihat pula ar-Raudh
al-Anfi, jilid 2, hal. 248).
Dengan adanya kesaksian salah seorang dari mereka sendiri
ini, apa yang hendak dikatakan oleh kaum Rafidhah? Sanggah
mereka bahwa ayat-ayat dalam surat an-Nur itu diturunkan
mengenai 'A'isyah adalah ungkapan rasa dengki dan kebencian
mereka terhadap 'A'isyah, Ummul Mu'minin. Karena itu tak
usah heran jika al-Musawi menuduh 'A'isyah seringkali tunduk
pada emosinya. Dia juga menyanggah kebersihan diri 'A'isyah
seperti yang diterangkan Allah dalam al-Qur'an.
Sementara al-Murtadha ar-Rafidhah, penulis Kitab
al-Amali, menyatakan kesahihan hadits Anas itu, dan
menakwilkan kata-katanya sesuai dengan kepercayaan dan
akidahnya, sebagaimana kebiasaan semua kaum Rafidhah, (Lihat
al-Amali, jilid 1, hal. 45).
Adapun mengenai hadits ad-Maghafir yang dijadikan dalil
oleh al-Musawi untuk menunjukkan bahwa 'A'isyah seringkali
terbawa oleh emosinya, maka jawabannya adalah sebagai
berikut:
Ahlus Sunnah tidak menentang kesahihan hadits ini,
setelah tetapnya hadits ini dalam kitab-kitab sahih, dan
diriwayatkannya oleh para ahli hadits, seperti Bukhari,
Muslim dan ulama hadits lainnya yang terpandang. Akan tetapi
mereka menolak kalau hadits ini dijadikan dalil bagi
keyakinan kaum Rafidhah mengenai para sahabat pada umumnya,
dan 'A'isyah khususnya. Mereka juga menolak kalau hadits ini
dijadikan dalil untuk menodai keadilan 'A'isyah, dan
diselewengkan pengertiannya untuk menuruti kehendak hawa
nafsu.
Sesungguhnya apa yang terjadi pada diri 'A'isyah dalam
hadits ini, menurut penelitian yang benar, tidaklah terjadi
karena dorongan emosinya. Juga tidak untuk memenangkan
kepuasan pribadinya atas nash-nash syar'i, baik al-Qur'an
ataupun hadits yang ia dengar dari nabi sebagaimana yang
dikemukakan al-Musawi. Apa yang terjadi pada 'A'isyah itu
adalah hal yang fitri dan biasa. 'A'isyah dan istri-istri
Nabi yang lain tidaklah berbeda dengan wanita-wanita lain
umumnya. Mereka juga memiliki sifat cemburu, lebih-lebih
terhadap madu-madu mereka. Maka keterlambatan datangnya Nabi
dari rumah Zainab telah menyulut api cemburu di hati
'A'isyah. Inilah yang menyebabkan 'A'isyah membuat tipu daya
terhadap madunya (Zainab) dengan persetujuan dari madu-madu
'A'isyah yang lain, dengan membuat suatu cara seperti yang
diceritakan dalam hadits-hadits sahih. Satu hal yang
menunjukkan benarnya pendapat kami dan bathilnya pendapat
al-Musawi adalah tidak adanya celaan Nabi terhadap perbuatan
yang mereka lakukan untuk yang pertama kalinya itu.
Seandainya perbuatan mereka bertentangan dengan nash atau
melanggarnya, tentu Nabi akan melarang mereka. Hal lain yang
memperkuat pendapat kami ialah bahwa ayat-ayat di awal surah
at-Tahrim baru diturunkan setelah terjadinya peristiwa
tersebut, yang merupakan kehendak Allah atas mereka, agar
menjadi sebab diturunkan ayat-ayat tersebut untuk
menjelaskan hukumnya mengharamkan barang yang halal, baik
itu makanan maupun lainnya.
Imam Bukhari dalam kitab sahihnya menempatkan hadits'ini
dalam Bab 1 "Seorang wanita tidak diperkenankan (makruh)
menipu daya suami dan madu-madunya serta kejadian yang
menimpa diri nabi". (Lihat Kitab al-Hiyal, bab 12).
Dalam mengomentari bab ini, Ibn Hajar dalam Fathul Bari
mengutip perkataan Ibn al-Munir sebagai berikut: "Yang
membenarkan mereka (istri-istri Nabi) mengatakan kepada
Nabi: "Apakah anda makan Maghafir?" ialah karena mereka
mengemukakannya dengan jalan bertanya (istifham). Hal ini
dapat dilihat dari jawaban Nabi, "Tidak". Jadi dengan
pertanyaan itu, mereka hendak menyindir, bukan berdusta
terang-terangan. Inilah unsur tipu dayanya, seperti yang
dikatakan 'A'isyah: "Kalian harus melakukan tipu daya
terhadapnya". Seandainya apa yang mereka lakukan itu
benar-benar dusta, tentu tindakan itu tidak dinamakan tipu
daya (hilah): Sebab kedustaan itu tidak ada keraguan lagi
terhadap pelakunya. (Fathul Bari, jilid 12, hal. 344).
3. Mengenai bukti yang dikemukakan al-Musawi bahwa
'A'isyah ketika hendak membawa Asma putri Nukman, pengantin
putri yang akan dipertemukan dengan calon suaminya, yaitu
Rasulullah, 'A'isyah mengajarkan sesuatu yang tidak benar
kepadanya. Yaitu 'A'isyah mengatakan kepadanya: "Ketahuilah
bahwa Rasulullah saw --apabila menemui pengantinnya-- beliau
akan merasa senang jika sang pengantin berkata kepadanya:
"Aku berlindung kepada Allah darimu
dan
seterusnya"
Hadits, ini sangat dha'if Di dalam sanadnya terdapat
Hisyam dan ayahnya, Muhammad ibn Saib. Keduanya matruk.
Ahmad ibn Hambal berkata: Hisyam ibn Muhammad as-Sa'ib
al-Kalby Shahibu Samrin wa nusbin; kukira, tidak ada orang
yang mau meriwayatkan hadits darinya. Menurut Ad-Daruquthni
dan lainnya, dia matruk. Dan berkata Ibn Asakir: Dia, orang
Rafidhah dan tidak tsiqah. (Mizan al-I'tidal, jilid 4, hal.
304).
Tentang Muhammad ibn as-Sa'ib al-Kalby, Imam Bukhari
berkata: Yahya dan Ibn Mahdi memandangnya matruk. Lalu
Bukhari berkata: 'Ali telah berkata: Telah bercerita
kepadaku Yahya, dari Sufyan, (katanya): Al-Kalbi berkata
kepadaku: Semua yang aku ceritakan kepadamu dari Abi Shalih
dusta". Ats-Tsauri berkata: Hati-hatilah kamu terhadap
al-Kalby.
Mengenai kisah Asma' putri Nukman ini, as-Suhail berkata
dalam Raudh al-Anfi: Para Ulama sepakat mengenai pernikahan
nabi dengan Asma', tetapi mereka berselisih pendapat
mengenai sebab cerainya. (Lihat Al-Bidayah wa an-Nihayah,
jilid 5, hal. 296).
4. Mengenai perkataan al-Musawi bahwa Rasulullah
saw pernah menugaskan 'A'isyah mencari keterangan mengenai
wanita yang beliau bermaksud mengawininya, untuk dilaporkan
kepada beliau mengenai keadaannya, namun 'A'isyah --demi
kepentingannya sendiri-- melaporkan kepada beliau keterangan
yang tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya, adalah
perkataan yang dusta dan tidak dapat diterima, ditinjau dari
segi berikut:
- Di dalam sanadnya, sebagaimana tersebut dalam
ath-Thabaqat jilid 8, hal. 160, terdapat Muhammad ibn
'Umar al-Waqidi. Ahmad ibn Hambal berkata tentang dia: Ia
pendusta dan mengubah hadits-hadits. Menurut Ibn Ma'in,
ia tidak tsiqat, dan haditsnya tidak dituliskan. Imam
Bukhari dan Abu Hatim memandangnya matruk. Menurut Abu
Hatim juga dan Nasa'i, ia memalsukan hadits.
- Di dalam matan riwayat ini tidak terdapat satu lafazh
pun yang dapat dijadikan dalil bagi pendapat al-Musawi.
Sedang kata-kata yang menunjukkan kebathilan pendapatnya
justru sangat banyak. 'A'isyah sungguh telah melihat
sesuatu yang membangunkan bulu romanya dari wanita itu
(Syaraf binti Khalifah), dan ia segan untuk
menceritakannya kepada Nabi. Ia menyembunyikan apa yang
dilihatnya, sampai Nabi sendiri yang mengatakan hal itu
kepadanya, tanpa beliau sendiri melihatnya. Berikut ini
adalah riwayat yang tersebut dalam ath-Thabaqat:
"Telah bercerita kepada kami Muhammad ibn 'Umar dari
at-Tasuri, dari Jabir dari 'Abdul Rahman ibn Sabith; ia
berkata: "Rasulullah saw meminang seorang perempuan dari
suku Kalb. Lalu beliau menyuruh 'A'isyah untuk
melihatnya". 'A'isyah pun pergi dan kemudian kembali
kepada Nabi. Beliau bertanya: "Apa yang kamu lihat?"
Jawabnya: Aku tidak melihat tha'il (semacam daging
lebihan). Lalu berkata Rasulullah kepada 'A'isyah:
"Sungguh, aku telah melihat tha'il di pipinya yang --jika
engkau melihatnya-- akan merinding semua bulu kudukmu".
'A'isyah berkata: "Ya Rasulullah, tak ada rahasia
bagimu".
5. Mengenai perkataan al-Musawi bahwa 'A'isyah
pernah mengadukan Rasulullah kepada ayahnya lantaran
mengikuti hawa nafsunya, maka yang dimaksudkannya itu adalah
hadits dha'if yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam
al-Ausath, dan oleh al-Khathib dalam at-Tarikh dari hadits
'A'isyah dengan sanad yang dha'if, (Lihat Ihya' Ulumud Din,
jilid, 2, hal. 44).
6. Mengenai perkataannya bahwa pada suatu ketika
'A'isyah berkata kepada Rasulullah saw, dengan marahnya:
"Anda yang mengaku sebagai nabi Allah?", perkataan al-Musawi
ini tidak dapat diterima dari dua segi sebagai berikut:
1. Sanad riwayat ini dha'if. Didalamnya terdapat
Ibn Ishaq; ia telah meriwayatkannya dengan kata-kata 'an
(dari). Dan hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'ia dalam
Musnadnya, dan Abu asy-Syeikh dalam al-Amtsal. (Lihat, Ihya'
Ulumud Din, jilid 2, hal. 44).
2. Adapun pandangan bahwa akal dapat menemukan
baik dan buruk, yang diingkari oleh Syeikh al-Bisyri dalam
Dialog 75, tapi yang didukung oleh al-Musawi dalam Dialog
76, di mana dia mengecam Syeikh al-Bisyri dan menuduhnya
sofistik (orang yang berargumentasi dengan dalil-dalil yang
semu-logis) adalah topik perdebatan yang tidak asing, bahkan
kuno. Sesungguhnya manusia dalam masalah ini terbagi atas
tiga pendapat, Yang dua ekstrim, dan yang satu moderat.
Sebelum mengemukakan tiga pendapat di atas dan
menjelaskan mana yang benar, kita mesti melepaskan diri dari
keterikatan pada salah satu pihak. Berikut ini kami
kemukakan pendapat-pendapat di atas, dengan mengharap
limpahan taufik dari Allah SWT. Perkataan "baik" dan "buruk"
memiliki tiga pengertian sebagai berikut:
- "Baik" dalam arti sempurna dan lengkap,
misalnya: berilmu; dan "buruk" dalam arti kurang/tidak
sempurna, misalnya: bodoh.
- "Baik" dalam arti cocok dan sesuai dengan yang
semestinya, misalnya; adil. Dan "buruk" dalam arti tidak
cocok dengan yang semestinya, misalnya; zalim. Mengenai
"baik" dan "buruk" dalam artian ini, tak seorang pun yang
berbeda pendapat bahwa keduanya dapat ditemukan oleh
akal. Yang diperselisihkan adalah bahwa apakah baik dan
buruk itu bersifat aqliyah atau syar'iyah dalam artian
yang ketiga, yaitu:
- "Baik" dalam artian patut dipuji dan memperoleh
pahala, dan "buruk" dalam artian patut dicela dan
dihukum, di dunia atau diakhirat.
Baik dan buruk dalam pengertian inilah yang
diperselisihkan orang. Dan dalam hal ini ada tiga pendapat.
Dua diantaranya bersifat ekstrim, dan yang satu moderat,
seperti telah dikemukakan tadi. Berikut ini akan kami
jelaskan ketiga pendapat tersebut:
1. Aliran Asy'ariyah. Mereka berpendapat bahwa
baik dan buruk dalam arti yang ketiga di atas bersifat
syar'iy, bukan 'aqliy. Artinya, suatu perbuatan hanya bisa
dipandang baik, jika terdapat dalil syara' yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu baik, dan pelakunya berhak mendapat
pujian dan pahala, di dunia atau di akhirat. Demikian pula
suatu perbuatan hanya dapat dipandang buruk jika terdapat
dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu buruk, dan
pelakunya berhak mendapat kecaman dan hukuman, di dunia atau
di akhirat. Berdasar pendapat ini kaum Asy'ariyah
mengatakan: "Akal tidak dapat menentukan baik dan buruknya
suatu perbuatan, juga tidak dapat menentukan apakah suatu
perbuatan mendatangkan pahala atau siksa. Apa yang disebut
baik, adalah apa yang dipandang baik oleh agama, dan yang
buruk adalah apa yang dipandang buruk oleh, agama. Sedang
perintah dan larangan hanyalah tanda yang menetapkan tentang
baik dan buruk. Semua perbuatan tidak ada yang mengandung
sebab, hikmah maupun sifat-sifat. Tuhan menyuruh sesuatu
semata-mata karena kehendak-Nya, bukan karena sesuatu hikmah
atau kemaslahatan."
Seorang muslim, dengan bekal pengetahuan yang sedikit
saja akan mengetahui kelemahan. pendapat ini dan
pertentangannya dengan al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan akal
pikiran. Karena pendapat ini melahirkan dasar-dasar
pemikiran yang rusak. Berdasarkan pendapat ini, Tuhan
mungkin saja menyuruh sesuatu yang buruk menurut akal
pikiran. Kata mereka: Menghapuskan peranan akal lebih aman
daripada menyandarkan keburukan kepada agama atau syara'.
Mereka memberikan contoh mengenai hal ini dengan pemotongan
hewan. Perbuatan ini, menurut mereka, berarti menyiksa atau
menyakiti hewan yang tak berdosa. Perbuatan demikian adalah
buruk menurut akal pikiran, namun demikian ia diperbolehkan
oleh agama. Pandangan ini muncul sebagai jawaban praktis
terhadap pendapat kaum Barahimah (penganut Brahmanisme),
Mu'tazilah dan sebagian kaum Imamiyah yang sependapat dengan
mereka.
Syeikh Safar, Ibn 'Abdul Rahman mengomentari metoda kaum
Asy'ariyah di bidang aqidah ini sebagai berikut: kaum
Barahimah melarang memakan binatang; maka kaum Asy'ariyah
tidak mampu menolak keganjilan pemikiran Barahimah dan
aliran-aliran yang semacamnya, maka mereka mengingkari peran
akal secara prinsipil. Dan dengan itu, mereka menganggap
diri mereka telah membela Islam.
Ibn Taimiyah berkata mengenai para penganut pendapat ini:
"'Adapun pendapat lain yang ekstrim dalam, masalah baik dan
buruk ini ialah pendapat yang mengatakan: Sesungguhnya
perbuatan itu tidak mengandung sifat-sifat yang berupa hukum
ataupun 'illat hukum. Akan tetapi, Allah menetapkan salah
satu dari keduanya, semata-mata karena kehendak-Nya, bukan
karena hikmah atau karena menjaga kemaslahatan makhluk atau
karena sebab lainnya. Menurut mereka, Tuhan mungkin saja
menyuruh musyrik kepada Allah, dan melarang menyembah
kepada-Nya. Ia juga mungkin menyuruh perbuatan zalim dan
keji, dan melarang kebaikan dan taqwa. Hukum-hukum yang
dikenakan pada perbuatan-perbuatan hanyalah nisbat dan
hubungan (idhafah) semata. Menurut mereka, kebaikan bukanlah
kebaikan dalam dirinya sendiri. Demikian pula, kemungkaran
tidaklah mungkar dalam sendirinya (in itself)."
Lebih lanjut Ibn Taimiyah berkata: Pendapat ini dan
konsekuensinya, juga merupakan pendapat yang lemah,
bertentangan dengan al-Kitab, Sunnah, dan ijma' ulama salaf
dan para faqih. Juga bertentangan dengan pemikiran yang
sehat. Sebab Allah SWT telah membersihkan diri-Nya sendiri
dari perbuatan keji dan mungkar, seperti firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan perbuatan-perbuatan
yang keji." Para ahli fiqh dan mayoritas kaum Muslimin
mengatakan: "Allah mengharamkan barang yang haram, maka ia
menjadi haram, dan Allah mewajibkan barang yang wajib, maka
ia menjadi wajib." Ini berarti bahwa ketentuan wajib dan
haram datang dari Allah SWT, dan itu terjadi melalui Kalam
Allah dan Khithab-Nya. Dan ada sifat wajib dan haram, dan
itu merupakan sifat bagi perbuatan itu sendiri. Allah SWT
Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Dia mengetahui
kemaslahatan yang terkandung dalam hukum-hukum. Karena itu
Allah memberikan perintah dan larangan, karena
pengetahuan-Nya mengenai apa yang tersembunyi dibalik
perintah dan larangan itu, baik yang berupa kemaslahatan
bagi hamba, ataupun kerusakan (mafsadat) bagi mereka. Maka
Allah menetapkan hukum suatu perbuatan dengan khithab-Nya.
Sedang sifat suatu perbuatan, kadang-kadang bisa tetap tanpa
adanya khithab. (Majmu' Fatawa, dengan sedikit perubahan,
jilid 8, hal. 432).
2. Kaum Mu'tazilah, Barahimah, dan Rafidhah, dan
orang-orang yang sependapat dengan mereka. Menurut mereka,
baik dan buruk itu ditentukan oleh akal pikiran, bukan oleh
agama/syara'. Jelasnya, pada perbuatan-perbuatan itu sendiri
--tanpa memandang adanya syara'-- terdapat sifat kebaikan
dan keburukan, yang mendatangkan pujian dan pahala atau
kecaman dan siksaan bagi pelakunya. Baik dan buruk merupakan
dua hal yang melekat pada suatu perbuatan. Terdapat
perselisihan diantara mereka. Menurut sebagian dari mereka,
baik dan buruknya suatu perbuatan itu karena dzat perbuatan
itu semata-mata. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa baik
dan buruk adalah sifat tambahan pada dzat perbuatan itu.
Namun mereka sependapat bahwa fungsi syara' hanyalah
penyingkap sifat baik dan buruk itu. Setiap hal yang
dipandang baik oleh akal, baik pula di sisi Allah. Dan
setiap hal yang dipandang buruk oleh akal, maka buruk pula
di sisi Allah.
Pendapat demikian, tentu tidak diragukan lagi
kebathilannya, karena ia melahirkan dasar-dasar pemikiran
yang rusak. Ia mempertuhankan akal dan menjadikannya hakim
bagi syara'. Terjadi kesewenang-wenangan akal dalam hal ini.
Juga penghapusan peran nash-nash agama dan menentangnya
hanya karena berlawanan dengan akal. Pengingkaran terhadap
mu'jizat-mu'jizat dan hal-hal ghaib serta penakwilan
terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya atau sebagian
darinya; pengingkaran terhadap ketentuan (qadar) Allah dan
menafikannya, semata-mata karena bertahkim kepada akal
pikiran.
Kepada para pendukung aliran ini, terutama kaum Rafidhah,
kami ingin menyatakan: "Pendapat kalian sungguh bertentangan
dengan al-Kitab dan al-Ithrah".
Mengenai pertentangannya kepada al-Kitab, karena Allah
berfirman: "Tiada hukum, kecuali bagi Allah", dan
firman-Nya: "Ingatlah, bahwa bagi-Nya segala ketentuan atau
hukum". Demikian pula firman Allah: "Ia berbuat apa saja
yang Dia kehendaki, dan menghukum apa saja yang Dia
kehendaki". Ayat-ayat ini menetapkan bahwa Hakim yang
menetapkan baik dan buruk perbuatan dalam arti mendatangkan
pujian dan pahala atau kecaman dan siksa bagi pelakunya,
adalah Allah SWT. Ini jelas berlainan dengan kepercayaan
anda dan dasar-dasar pemikiran yang anda rumuskan dalam
kitab-kitab anda.
Pendapat anda ini juga berlawanan dengan firman Allah:
"Dan Kami tidak akan menyiksa, sampai Kami mengutus seorang
Rasul". Ayat ini menetapkan bahwa pahala dan siksa hanya ada
setelah dikirimkannya Rasul. Sementara konsekuensi logis
dari pendapat mereka itu adalah bahwa pahala dan siksa itu
menjadi wajib berdasarkan pertimbangan akal, baik setelah
maupun sebelum diutusnya Rasul. Jika benar demikian, maka
pasti ada siksa karena meninggalkan barang wajib sebelum
datangnya seorang Rasul. Tentu, pendapat ini berlawanan
dengan ayat di atas, dan berlawanan pula dengan kisah para
nabi dan ummat mereka yang disebutkan dalam al-Qur'an.
Mengenai pertentangan pendapat mereka dengan al-Ithrah,
terlihat jelas dalam riwayat yang dikemukakan oleh
al-Kulaini, salah seorang tokoh Rafidhah, di dalam kitab
al-Kafi, sebuah kitab yang mereka pandang paling sahih,
sebagaimana kitab Sahihnya Bukhari di kalangan kaum Sunni.
Dalam buku tersebut, al-Kulaini mengutip perkataan Imam Abi
'Abdillah as:
"Tiada bagi Allah atas makhluk kewajiban untuk
mengenal-Nya, dan tiada bagi makhluk atas Allah kewajiban
untuk mengenal mereka. Seandainya menurut pandangan akal,
pengenalan itu wajib, maka mengenal Allah tentulah wajib
atas makhluk sebelum ada pengenalan (ta'rif) dari Allah.
Pandangan demikian, tentu berlawanan dengan pendapat yang
benar". (Lihat, Mukhtashar at-Tuhfah, hal. 70).
3. Adapun pendapat yang ketiga, yaitu pendapat
yang berada di tengah-tengah kedua pendapat yang ekstrim di
atas, ialah pendapat Ahlus Sunnah. Dan pendapat inilah yang
benar. Menurut pendapat ini, suatu perbuatan tidak dapat
dihukumi baik atau buruk, dalam arti ia mendatangkan pahala
atau siksa, sebelum adanya ketentuan dari agama syara',
walaupun perbuatan itu mengandung kemaslahatan atau
madharat, seperti adil dan zalim.
Jika Allah (asy-Syari') memerintahkan suatu perbuatan,
maka jadilah perbuatan itu baik. Dan jika ia melarang suatu
perbuatan, maka jadilah ia buruk. Jadi sifat baik dan buruk
itu diperoleh melalui khithab Allah, walaupun tidak terlihat
oleh akal adanya kemaslahatan dan kemadharatan dalam
perbuatan itu.
Kadang-kadang Allah memerintahkan suatu perbuatan hanya
untuk menguji seseorang, apakah dia akan taat atau tidak. Di
sini yang dikehendaki bukanlah terlaksananya perbuatan itu.
Sebagaimana Allah menyuruh Nabi Ibrahim untuk menyembelih/
putranya, Asmail. Setelah keduanya berserah diri dan
Ibrahim, membaringkan anaknya atas pelipisnya, maka
tercapailah tujuan perintah itu. Maka Allah menggantinya
dengan sembelihan yang besar. Di sini hikmahnya terdapat
dalam perintah itu, bukan pada perbuatan yang
diperintahkan.
Ibn Taimiyah, dalam menjelaskan kepercayaan Ahlus Sunnah
mengenai masalah baik dan buruk, berdasarkan pertimbangan
akal, berkata: Hikmah yang diperoleh dari syari'at terbagi
atas tiga macam:
- Adakalanya suatu perbuatan mengandung kemaslahatan
dan mafsadat meskipun tidak dinyatakan oleh syara',
misalnya adil dan zalim. Yang pertama mengandung
kemaslahatan bagi manusia, sedang yang kedua mafsadat.
Perbuatan seperti ini dapat dipandang baik dan buruk, dan
dapat diketahui oleh akal. Syara' menjadikan zalim itu
buruk, dan memberikan kepadanya sifat yang sebelumnya
tidak ada. Akan tetapi keburukan ini tidak sampai
mendatangkan siksaan bagi pelakunya di akhirat manakala
agama tidak menetapkan hal itu. Disinilah letak kesalahan
golongan yang ekstrim dalam menetapkan kebaikan dan
keburukan. Mereka berkata: Sesungguhnya manusia akan
disiksa karena perbuatan buruk mereka, walaupun Allah
tidak mengutus seorang Rasul terhadap mereka. Pendapat
ini bertentangan dengan firman Allah: "Dan Kami tidak
akan menyiksa, sampai Kami mengirim seorang Rasul".
- Jika Allah (asy-Syari') memerintahkan suatu hal, maka
jadilah ia suatu kebaikan. Dan apabila ia melarang
sesuatu, maka sesuatu itu menjadi buruk. Dengan demikian,
maka sifat baik dan buruk suatu perbuatan diperoleh
melalui khithab Allah.
- Allah memerintahkan suatu perbuatan untuk menguji
hamba-Nya, apakah ia termasuk orang yang patuh atau tidak
yang dikehendaki Allah. Yang dikehendaki Allah dengan
perintah itu bukanlah pelaksanaan perintah itu. Misalnya
perintah Allah kepada. Nabi Ibrahim agar menyembelih
putranya, Isma'il. Tatkala keduanya telah menyerahkan
diri, dan Ibrahim telah membaringkan anaknya pada
pelipisnya, maka tercapailah maksud penyembelihan.
Demikian pula cerita tentang orang belang, orang buta dan
orang botak, ketika Allah mengutus malaikat untuk meminta
sedekah dari mereka. Setelah orang yang buta memenuhi
permintaan itu, malaikat itu berkata: "Jangan kamu
keluarkan hartamu, sesungguhnya kalian hanya diuji, dan
Allah telah berkenaan kepadamu, dan murka terhadap kedua
orang temanmu"!
Dengan begitu, hikmah itu ada pada perintah itu sendiri,
bukan dari perbuatan yang diperintahkan. Hikmah jenis kedua
dan ketiga ini tidak dapat dipahami oleh kaum Mu'tazilah,
Rafidhah dan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Sebab
mereka beranggapan bahwa kebaikan dan keburukan itu hanya
terdapat pada sesuatu yang memang bersifat baik dan buruk,
tanpa ada ketetapan dari Allah.
Ibn Taimiyah berkata: Kaum Asy'ariyah berpendapat bahwa
semua perintah syari'at tergolong ujian dari Allah, dan
perbuatan-perbuatan itu tidak memiliki sifat, baik sebelum
maupun setelah adanya perintah syara'. Orang-orang yang
bijak dan mayoritas ulama menetapkan tiga pembagian
tersebut. Dan pandangan inilah yang benar. (Majmu'
al-Fatawa, dengan sedikit perubahan, jilid 8, hal. 445).
3. Adapun hadits-hadits yang berlawanan dengan
hadits 'A'isyah, yang menerangkan bahwa Nabi meninggal dunia
di atas dadanya, dan hadits-hadits lain yang dipandang
al-Musawi mutawatir, maka jawaban mengenai soal ini adalah
sebagai berikut:
- Mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Sa'ad
dengan sanad yang sampai kepada 'Ali, katanya: "Telah
bersabda Rasulullah saw ketika beliau sakit: "Panggillah
kemari saudaraku!" Maka aku pun masuk dan beliau berkata
kepadaku: "Duduklah dekatku di sini
Aku pun
mendekat, lalu beliau bersandar padaku, dan terus
demikian, sambil bercakap-cakap denganku, sampai aku
merasakan percikan ludah beliau. Demikian itu sampai
Rasulullah saw menghembuskan nafasnya yang terakhir."
Hadits ini dha'if, karena Ibn Sa'ad meriwayatkan dari
Muhammad ibn 'Umar al-Waqidi. Dia ini pendusta.
Imam Ahmad berkata: Ia (al-Waqidi) pendusta, suka
membolak-balik hadits. Menurut Ibn'Ma'in, ia tidak tsiqat
dan, haditsnya tidak dapat dituliskan. Menurut Bukhari
dan Abu Hatim, ia matruk. Menurut Abu Hatim pula dan
Nasa'i, ia membuat hadits palsu. (Al-Mizan jilid 3, hal.
662).
- Mengenai hadits "Rasulullah saw telah mengajarku
seribu bab (ilmu). Setiap bab memancarkan seribu bab yang
lain." Hadits ini maudhu' lantaran adanya Imran ibn
Hisyam. Ia pendusta. Kalaupun kita terima bahwa hadits
ini sahih, maka tidak ada sesuatu dalam hadits ini yang
menunjukkan bahwa pengajaran itu diberikan menjelang
wafat Nabi saw. Bahkan tidak masuk akal jika seluruh
pengajaran itu diberikan pada saat itu.
- Mengenai hadits Jabir ibn 'Abdillah bahwa Ka'ab
bertanya kepada 'Umar: "Apakah ucapan terakhir yang
diucapkan oleh Rasulullah?" Jawab 'Umar: "Tanyakan kepada
'Ali
" Hadits ini dha'if, tak perlu diperhatikan,
sebab dalam sanadnya terdapat Muhammad ibn 'Umar
al-Waqidi, seorang yang ditolak haditsnya (matruk),
sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. (Al-Mizan, jilid
3, hal. 662). Di dalam sanadnya juga terdapat Haram ibn
'Utsman al-Anshari. Ia juga matruk. Menurut Malik dan
Yahya, ia tidak tsiqat. Ahmad berkata; Orang-orang
meninggalkan hadits Haram ibn 'Utsman. Asy-Syafi'i dan
Yahya ibn Malik berkata: Riwayat hadits yang berasal dari
Haram ibn 'Utsman hukumnya haram. Ibn Hibban berkata: Ia
Syi'ah ekstrim, suka mengubah-rubah isnad dan memarfu'kan
hadits mursal. (Al-Mizan, jilid 1, hal. 468).
- Mengenai hadits "Ibn 'Abbas pernah ditanya: "Apakah
anda melihat Rasulullah saw bersandar di dada seseorang
ketika beliau wafat?" "Ya", jawabnya. "Beliau wafat dalam
keadaan bersandar kepada 'Ali". Hadits ini juga dha'if,
karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibn 'Umar
al-Waqidi. Ia matruk sebagaimana dikemukakan tadi. Di
dalam sanadnya terdapat pula Sulaiman ibn Dawud ibn
Hushain dari Abi Ghathafan; ia majhul (tidak
dikenal).
- Mengenai hadits 'Ali ibn al-Hasan (Zainal Abidin)
"Rasulullah saw meninggal dunia dalam keadaan kepala
beliau berada di pangkuan 'Ali". Hadits ini dha'if,
karena dalam sanadnya terdapat Muhammad ibn 'Umar
al-Waqidi'; ia ini matruk. Hadits ini juga termasuk
hadits munqathi' (terputus sanadnya), karena ada perawi
sahabat yang gugur (tak disebut namanya).
- Mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Sa'ad
dengan sanad sampai ke 'asy-Sya'bi; katanya: "Rasulullah
saw meninggal dunia dalam keadaan kepala beliau berada di
pangkuan 'Ali." Di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibn
'Umar al-Waqidi. Ia matruk. Terdapat pula Abu Huwairats
(nama aslinya: 'Abdul Rahman ibn Mulawiyah). Menurut Ibn
Ma'in dan lainnya, ia tidak dapat dijadikan hujjah.
Menurut Malik dan Nasa'i, ia tidak tsiqat. (Lihat,
Al-Mizan, jilid 2, hal. 591).
- Mengenai dalil yang dikutip al-Musawi dari Nahjul
Balaghah, itu tidak perlu ditanggapi. Disandarkannya
dalil itu kepada sumber tersebut sudah cukup menyatakan
kedha'ifannya.
- Mengenai hadits Ummu Salamah, katanya: "Demi Allah,
'Ali adalah orang yang terakhir diantara kami yang
tinggal bersama Rasulullah pada saat beliau akan wafat".
Hadits ini sahih, tetapi tidak menyanggah hadits 'A'isyah
yang menyatakan bahwa Nabi meninggal dunia di atas dada
'A'isyah. Bahkan hadits 'A'isyah jauh lebih tsabit dari
hadits Ummu Salamah. Para ulama hadits telah melakukan
kompromi antara hadits Ummu Salamah dengan hadits
'A'isyah.
Di dalam kitab Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Kompromi
(antara dua hadits tersebut) dapat dilakukan dengan
menerangkan bahwa 'Ali adalah orang yang terakhir bersama
Nabi, dan ia tidak meninggalkan Nabi, sampai Nabi
pingsan. Ketika Nabi pingsan, ia mengira beliau telah
wafat. Karena itu, 'Ali dari pihak laki-laki adalah orang
terakhir yang menunggui Nabi. Namun kemudian Rasulullah
saw sadar kembali ketika 'A'isyah datang. Lalu 'A'isyah
menyandarkan Nabi di atas dadanya, dan Rasulullah
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ahmad juga
meriwayatkan sebuah hadits melalui saluran Yazid ibn
Babanus: "Pada suatu hari kepala Rasulullah berada di
atas pundakku tatkala beliau memiringkan kepalanya ke
arah kepalaku. Aku kira beliau memerlukan kepalaku. Lalu
terpercik setetes (ludah) dingin dari mulut beliau yang
menimpa rongga dadaku. Aku gemetar, kukira beliau
pingsan. Maka akupun menutupnya dengan baju". (Lihat
Fathul Bari, jilid 8, hal. 139).
9. Adapun hadits 'Abdullah ibn 'Umar dari 'Ali;
katanya: Rasulullah telah mengajariku seribu bab, dan setiap
bab memancarkan (seribu) bab lainnya." Hadits ini dha'if. Di
dalam sanadnya terdapat Kamil ibn Thalhah. Para ulama
berselisih paham mengenai dia. Ad-Daruquthni memandangnya
tsiqat. Menurut Yahya ibn Ma'in, ia bukan apa-apa.
(Al-Mizan, jilid 3, hal. 400).
Di dalam sanadnya terdapat pula. 'Abdullah ibn Luhai'ah.
Menurut Ibn Ma'in, ia dha'if dan tidak dapat dijadikan
hujjah. Menurut Yahya ibn Sa'id, tak ada sesuatu yang
berharga padanya. Abu Zara'ah berkata: Ia termasuk orang
yang tidak dapat dijadikan hujjah. An-Nasa'i memandangnya
dha'if Al-Jauzjani berkata: Tidak ada cahaya (kebenaran)
pada haditsnya. Tidak sepatutnya dia dijadikan hujjah. Dalam
kitab adh-Dhu'afa', Bukhari mengomentari hadits yang
diriwayatkannya; katanya: "Hadits ini mungkar". (Al-Mizan,
jilid 2, hal. 475).
Dalam sanadnya terdapat pula Huyai ibn 'Abdillah
al-Maghafiri. Ibn Adi berkata: Ada 13 hadits Huyai yang
berasal dari Ibn Luhai'ah, kebanyakannya mungkar.
Diantaranya hadits: "Pengebirian ummatku dengan puasa dan
shalat". Juga hadits: "Rasulullah telah mengajariku seribu
bab, setiap bab memancarkan seribu bab lainnya". (Al-Mizan,
jilid 1, hal. 623).
Tidakkah anda lihat kelemahan hadits-hadits yang
dikemukakan al-Musawi dan yang dipandangnya sebagai
hadits-hadits mutawatir itu? Hal ini tidaklah mengherankan
sama sekali. Sebab, al-Musawi termasuk kelompok orang yang,
manakala menganggap suatu ucapan itu baik, maka ucapan itu
mereka jadikan sebuah hadits. Mereka menghalalkan perbuatan
seperti itu, dengan anggapan bahwa mereka berdusta hanya
demi kepentingan Nabi, bukan merugikan beliau.
Tipu daya al-Musawi tidak cukup sampai disitu. Dia juga
mau menolak hadits-hadits sahih yang tsabit tentang wafatnya
Nabi di atas dada 'A'isyah, dengan perkataan yang tidak
patut. Dia menganggap hina seorang pengembala kambing yang
meninggal dunia di atas dada istrinya, apalagi seorang Nabi,
seolah-olah mati dalam keadaan demikian itu merupakan
kematian yang hina. Kepada al-Musawi, kami ingin
mengatakan:
Anda menentang dan memandang buruk sesuatu yang oleh
Rasulullah saw sendiri dipandang baik atau diridhainya, dan
ditetapkannya atas keluarganya yang suci. Dengan demikian,
anda telah menentang Rasulullah dan keluarganya yang
suci.
Mengenai hadits-hadits dha'if yang dikemukakannya dan
dipandangnya sebagai hadits-hadits yang lebih rajih sanadnya
dan lebih sesuai dengan kepribadian Nabi, itu tidak lain
hanyalah dusta, menuruti hawa nafsu dan menyimpang dari
kebenaran. Hal itu terlihat jelas setelah kami kemukakan
kelemahan hadits-hadits itu menurut para ahli hadits.
Tentang hadits-hadits tersebut, Ibn Hajar berkomentar:
"Hadits 'A'isyah yang menerangkan bahwa Rasulullah saw
meninggal dunia di atas dadanya, bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Hakim dan Ibn Sa'ad melalui berbagai
saluran yang menerangkan bahwa Rasulullah saw meninggal
dalam keadaan kepala beliau berada di atas dada 'Ali. Semua
saluran hadits tersebut tidak terlepas dari orang Syi'ah.
Karena itu, tidak perlu diperhitungkan." (Fathul Bari, jilid
8, hal. 139).
Al-Musawi seakan-akan mengakui kedha'ifan hadits-hadits
yang dikemukakannya itu menurut penilaian para ahli hadits,
terkecuali hadits Ummu Salamah. Hal ini terlihat jelas dari
perkataannya pada akhir dialognya sebagai berikut: Kalau pun
seandainya hadits 'A'isyah itu tidak ada yang menyanggah
selain hadits Ummu Salamah itu saja, tentu hadits Ummu
Salamah lebih patut didahulukan.
Padahal tidak ada pertentangan antara kedua hadits
tersebut seperti yang dikira al-Musawi. Di muka telah kami
kemukakan pendapat para ahli tentang pengompromian antara
kedua hadits tersebut.
Kalaupun, seandainya kita terima pernyataan al-Musawi
tentang kesahihan hadits-hadits tersebut, dan
bertentangannya hadits Ummu Salamah dengan hadits 'A'isyah,
maka kami ajukan pertanyaan sebagai berikut: "Kenapa 'Ali
ibn Abi Thalib diam saja dalam soal ini dan dalam soal
wasiat; padahal ia tahu bahwa 'A'isyah menegasikan wasiat
itu? Diamnya 'Ali ini, tidak dapat diartikan lain, kecuali
pengakuan terhadap kebenaran hadits 'A'isyah. Jika tidak,
kenapa dia diam, sedang Ummu Salamah angkat bicara?
Diamnya 'Ali memang merupakan pengakuan terhadap
kebenaran hadits 'A'isyah. Sebab ia pernah melontarkan
pernyataan mengenai hal itu. Di dalam kitab ad-Dalail, Imam
Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan dari 'Ali, bahwa ia --ketika
terjadi perang Jamal-- berkata: "Hai manusia, sesungguhnya
Rasulullah saw tidak berpesan kepada kita tentang
kepemimpinan ini". Maka bagaimana pendapat al-Musawi dan
kaumnya dapat diterima, setelah ada penjelasan dari orang
yang bersangkutan ini?
|