|
Sanggahan terhadap Dialog 71-74
Bahwa 'A'isyah adalah wanita yang utama, tidak dapat
disangkal lagi. Sebab ia istri Nabi dan Ummul Mu'minin.
Demikian pula halnya dengan istri-istri Nabi lainnya. Begitu
juga tentang keutamaan Khadijah. Ia wanita pertama yang
memeluk Islam, dan yang mendampingi Nabi di permulaan dakwah
Islam di Makkah. Dialah orang yang memperkuat dan menunjang
dakwah Islam, sampai dia berpulang kerahmatullah. Maka
Rasulullah saw lalu menyebut tahun kematiannya itu sebagai
tahun kesusahan ('Am al-Huzn).
Kaum Sunni mengakui bagi setiap istri Nabi kelebihan dan
keutamaan masing masing. Kitab-kitab mereka membuktikan hal
ini, baik kitab-kitab Sahih, Sunan maupun Musnad.
Diantara mereka ada yang lebih utama dibanding yang
lainnya. Dalam hal ini, tentu keutamaan Khadijah tak dapat
diragukan lagi, sebab ia wanita pertama yang menerima Nabi
dan dakwah Islam Karena itu, Nabi begitu mencintai dan
menghormatinya sampai setelah ia tiada.
Sudah kita ketahui bersama bahwa Nabi tidak mengawini
wanita lain, kecuali setelah meninggalnya Khadijah. Jadi
tidak mungkin membandingkan dia dengan wanita lainnya. Jika
kita membandingkan 'A'isyah dengan istri-istri Nabi
(Ummahatu al-Mu'minin) lainnya, yang berkumpul bersamanya di
rumah Nabi, maka 'A'isyah mempunyai keutamaan yang lebih
tinggi dibanding lainnya. Setiap orang yang mengenal
keutamaan-keutamaan Ummahatul Mu'minin seperti yang
diceritakan kepada kita dalam kitab-kitab Sahih maupun
Musnad, akan mengakui dan menemukan hal ini.
Adapun kaum Rafidhah, termasuk --al-Musawi-- mereka tidak
pernah jujur dan obyektif dalam menyatakan kecintaan,
kebencian, maupun dalam menilai keutamaan seseorang. Mereka
hanya menilainya atas dasar fanatisme dan hawa nafsu saja.
Maka hadits-hadits Bukhari yang menerangkan keutamaan
Khadijah, tidaklah dijadikan dalil oleh al-Musawi karena ia
memang meyakini kesahihannya, melainkan karena hadits-hadits
itu sesuai dengan madzhab dan keinginannya. Jika tidak,
mengapa ia tidak mengemukakan keutamaan 'A'isyah, padahal
Bukhari banyak sekali meriwayatkan hadits-hadits yang
menerangkan keutamaannya? Justru kita lihat al-Musawi
berbuat sebaliknya, ia membuang jauh-jauh hadits-hadits itu.
Hal ini tiada lain karena 'hadits-hadits itu berlawanan
dengan akidah dan madzhabnya. Karena itu, ia tidak pernah
menuturkan tentang 'A'isyah, kecuali yang buruk-buruk
saja!
Mengapa kaum Rafidhah mau menyatakan keutamaan Khadijah,
tentu tidak lain karena dia ibu Fathimah, nenek Hasan dan
Husein.
Sedangkan alasan mereka menolak hadits-hadits 'A'isyah
tentang wasiat, tidak lain hanya karena tidak sesuai dengan
madzhab dan akidah mereka. Karena itu, al-Musawi
mengemukakan alasan penolakannya terhadap hadits 'A'isyah
sebagai berikut: "Kami menolak hadits 'A'isyah tentang
wasiat, karena hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah".
Kalau kita tanyakan kepada kaum Rafidhah, termasuk
al-Musawi, kenapa mereka tidak berhujjah dengan hadits
'A'isyah tentang wasiat, mereka tidak akan dapat memberikan
jawaban yang dapat mengkritik nilai kehujjahan hadits itu.
Sebab kesahihan hadits itu tidak dapat diragukan lagi
menurut para ahli hadits. Dan banyak pula hadits-hadits
pendukungnya yang tidak melalui saluran 'A'isyah,
sebagaimana telah kami jelaskan terdahulu dalam tanggapan
kami pada dialog sebelumnya. Dengan demikian, maka alasan
penolakan mereka terhadap hadits sahih itu tak lain hanyalah
sikap fanatik dan menuruti hawa nafsu. Inilah dasar utama
kaum Rafidhah dalam menerima atau menolak sesuatu riwayat.
Renungkanlah ini.
Adapun hadits-hadits yang dikemukakan al-Musawi pada
Dialog 68, dan 70, mereka tidak dapat dijadikan hujjah,
sebab hadits-hadits itu dha'if menurut kesepakatan para ahli
hadits. Penjelasan mengenai hal ini sudah dikemukakan
sebelumnya. Karena itu, maka tidak dapat dibenarkan tindakan
al-Musawi menentang hadits 'A'isyah tentang wasiat itu
dengan hadits-hadits palsu tersebut. Sebab jelas tidak bisa
dibenarkan mengcounter hadits sahih dengan hadits-hadits
palsu.
Pada Dialog 73 terdapat sesuatu yang mengherankan yang
lahir dari lidah Syeikh al-Bisyri, yaitu sikap berbaik-baik
dalam meminta kebenaran. Syeikh memuji al-Musawi dengan
sesuatu yang tidak pantas untuknya. Ia memandang al-Musawi
sebagai orang yang tidak pernah berpura-pura, dan terbebas
dari sikap mengelabui dan hipokrit. Padahal, demi Allah,
al-Musawi tidak pernah dapat melepaskan sikap seperti itu
kepada siapa pun. Apakah ada dialog-dialog al-Musawi yang
terlepas dari sifat-sifat yang buruk itu, yaitu menipu, dan
nifaq, sehingga ia pantas disebut orang yang terbebas dari
semua itu?
Dan pada Dialog 74, al-Musawi memenuhi permintaan Syeikh
untuk menjelaskan alasan yang membuat dia tidak dapat
menerima hadits 'A'isyah. Ia tidak mengemukakan sebab-sebab
yang biasa dipakai untuk menolak suatu riwayat, dan yang
dapat dipandang oleh para ahli sebagai kritik obyektif yang
dapat menghilangkan kehujjahan riwayat terkait. Ia
mengembalikan sikap penolakannya itu pada permusuhan yang
terjadiantara 'A'isyah dan 'Ali, dan hal-hal lain yang
mendorong 'A'isyah menolak wasiat Nabi kepada 'Ali mengenai
khilafah. Maka jawaban kami terhadap pernyataan al-Musawi
tersebut adalah sebagai berikut:
- Menuntut kesahihan tuduhannya (terhadap 'A'isyah).
Sebab tuduhan tersebut adalah tuduhan berat yang tidak
didukung oleh buku-buku yang mu'tamad menurut para ahli
riwayat, dan tak seorang pun dari para ulama yang pernah
menyatakan tuduhan seperti itu kepada 'A'isyah.
Seandainya tuduhan al-Musawi itu benar, tentu para
sahabat telah menjelaskannya. Justru adanya pengakuan
para sahabat terhadap hadits 'A'isyah dan tidak adanya
kritikan mereka terhadapnya meskipun dengan adanya
pelbagai dorongan untuk menentangnya, terutama dari
kalangan Ahlul Bait sendiri di mana didalamnya terdapat
'Ali ibn Abi Thalib pada masa pemerintahannya maupun
sebelumnya, merupakan bukti nyata atas kedustaan apa yang
dituduhkan al-Musawi itu.
- Kalau kita menerima apa yang dikemukakan al-Musawi
bahwa sikap permusuhan itu yang menyebabkan 'A'isyah
menentang wasiat Nabi mengenai kekhalifahan 'Ali, maka
bagaimana jawaban kaum Rafidhah terhadap riwayat-riwayat
lain yang menegasikan wasiat Nabi terhadap seseorang;
misalnya riwayat Ibn 'Abbas dan riwayat Ibn Abi Aufa.
Adakah orang-orang itu juga memusuhi 'Ali? Dan apa pula
jawaban mereka terhadap perkataan 'Ali pada perang Jamal:
"Hai manusia, sesungguhnya Nabi tidak berpesan kepada
kita sedikit pun tentang kepemimpinan ini". Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi dalam kitab
ad-Dala'il.
- Al-Musawi mengutip pendapat yang semena-mena mengenai
perang Jamal. Ia menuduh 'A'isyah, Thalhah, dan Zubair
keluar untuk memerangi 'Ali. Dengan itu, katanya,
'A'isyah dapat meluapkan dendamnya yang selama ini
tersembunyi. Juga mengenai berita bahwa 'A'isyah bersujud
syukur ketika mendengar kematian 'Ali ibn Abi
Thalib.
Padahal buku-buku sejarah dan riwayat yang disepakati
kesahihannya menyatakan bahwa 'A'isyah dan orang-orang yang
bersamanya keluar untuk menuntut darah 'Utsman yang
terbunuh. Mereka keluar ke Basrah untuk menuntut balas
kematian 'Utsman dari komplotan pembunuhnya yang bersembunyi
di Basrah ketika 1tu.
Setelah 'Utsman ibn Hunaif tidak berhasil memisah antara
mereka dan komplotan pembunuh itu, maka terjadilah perang
yang mula-mula. Ketika 'Ali tiba dari Syam ke Basrah, maka
beliau mengajak Thalhah dan Zubair untuk berdamai, mereka
pun --termasuk 'A'isyah-- menerima tawaran 'Ali, dan
masing-masing pihak telah berketetapan hati untuk
meninggalkan Basrah menuju Madinah maka ketika itulah
komplotan pembunuh di bawah pimpinan 'Abdullah ibn Saba'
yang dikenal dengan sebutan Ibn as-Sauda', segera
mengobarkan api fitnah diantara dua kelompok itu, dan
-alhamdulillah-- tidak terdapat diantara mereka itu seorang
pun dari sahabat Nabi. Maka terjadilah pertempuran yang
menelan korban beribu-ribu orang. (Al-Bidayah wa an-Nihayah,
Ibn Katsir, jilid 7, hal. 230-24.6).
Mengenai dalil yang dikemukakan al-Musawi tentang
kebencian 'A'isyah terhadap 'Ali dengan hadits Bukhari dari
'A'isyah sebagai berikut: Ketika sakit Rasulullah saw kian
bertambah berat, beliau keluar dengan menyeret kedua
kakinya, diantara dua orang yang memapahnya, yaitu 'Abbas
ibn 'Abdul Muththalib dan seorang lagi Ubaidillah ibn
Uthbah, perawi hadits ini dari 'A'isyah, berkata: "Apa yang
dikatakan 'A'isyah ini, kusampaikan kepada 'Abdullah ibn
'Abbas, yang segera balik bertanya kepadaku: Tahukah kamu
siapa orang yang tidak disebut namanya oleh 'A'isyah?"
"Tidak", jawabku. Maka lbn 'Abbas bcrkata lagi: Ia adalah
'Ali." Ini adalah riwayat Bukhari. (Al-Fath, jilid 8, hal.
141).
Akan tetapi al-Musawi menganggap riwayat al-Bukhari itu
kurang. Menurutnya, Bukhari telah meninggalkan perkataan Ibn
'Abbas berikut ini: "Sungguh, 'A'isyah tidak pernah merasa
senang dengan segala berita baik mengenai 'Ali"! Al-Musawi
menuduh Bukhari sengaja meninggalkan perkataan Ibn 'Abbas
itu, sebagaimana telah menjadi kebiasaannya.
Jawaban atas tuduhan di atas adalah sebagai berikut:
Bukhari memiliki syarat-syarat yang sangat rumit dan ketat
dalam riwayat dan perawinya sekaligus. Segala sesuatunya
mesti jelas dan nyata, sebelum ia mau meriwayatkan suatu
riwayat atau menerima riwayat dari seorang perawi. Hal
demikian tentu tidak asing lagi bagi para ahli hadits. Bukan
pada tempatnya untuk menjelaskan persoalan ini di sini.
Inilah yang membedakan Bukhari dengan ulama hadits lainnya,
dan hal ini pula yang menyebabkan kitab beliau dipandang
sebagai kitab yang paling sahih setelah Kitab Suci
al-Qur'an.
Karena tambahan hadits itu tidak sesuai dengan
syarat-syarat yang ditentukan, (al-Musawi menganggap Bukhari
membuang begitu saja tambahan hadits itu) maka beliau
berpaling darinya dan tidak bersedia meriwayatkannya.
Mengenai periwayatan yang dilakukan oleh Ibn Sa'ad, tentu
tidak dapat dijadikan hujjah, sebab ia tidak menggunakan
syarat-syarat yang dipakai oleh imam Bukhari.
Jika kita terapkan syarat-syarat Bukhari atas riwayat
ini, maka kita akan mengatakan bahwa riwayat itu tidak
sahih. Dalam sanadnya terdapat Yunus ibn Yazid al-Ayla. Ibn
Said yang meriwayatkan tambahan hadits itu berkata mengenai
Yunus: "Ia tidak dapat dijadikan hujjah". Waki' memandangnya
sebagai orang yang buruk hafalannya. Ahmad memandang
hadits-haditsnya mungkar. Atsram berkata: Ahmad mendha'ifkan
Yunus. Menurut adz-Dzahabi, ia tsiqat dan dapat dijadikan
hujjah. (Mizan, jilid 4, hal. 484). Ibn Hajar al-Asqalani
berkata dalam at-Taqrib: "Ia tsiqat, hanya saja
riwayat-riwayatnya yang berasal dari az-Zuhri mengandung
persangkaan (waham), sedang yang datang dari lainnya, sering
terdapat kesalahan."
Di dalam sanad hadits itu terdapat pula Ma'mar ibn
Rasyid. Ibn Hajar di dalam at-Taqrib setelah memandangnya
tsiqat, berkata: "Hanya saja riwayatnya yang bersumber dari
Tsabit, al-A'masy dan Hisyam ibn 'Urwah, mengandung sesuatu
(yang meragukan). Demikian pula hadits yang diriwayatkannya
di Basrah. Dan periwayatannya terhadap hadits ini
dilakukannya di Basrah." Jika anda merenungkan keterangan
ini, anda akan tahu mengapa Bukhari meninggalkan tambahan
hadits itu. Anda juga akan mengetahui kedustaan dan
kezaliman al-Musawi terhadap Bukhari.
Mengenai riwayat yang dikemukakan al-Musawi dan yang
dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, jilid 6, hal. 113
dari sanad Atha' ibn Yasar; ia berkata: "Pernah seorang
laki-laki datang dan mencaci 'Ali dan 'Ammar ibn Yasir di
hadapan 'A'isyah
"
Dalam sanadnya terdapat Hubaib ibn Tsabit ibn Qais. Ia
banyak melakukan irsal dan tadlis. (Lihat biografinya dalam
Taqrib at-Tahdzib). Dalam sanadnya juga terdapat Abu Ahmad
Muhammad ibn 'Abdillah ibn az-Zubair. Al-Ajli berkata: Ia
Syi'ah. Menurut Abu Hatim, ia memiliki banyak waham
(kelemahan). (baca biografinya dalam kitab al-Khulashah).
Kemudian riwayat ini tidak menjelaskan laki-laki yang
mengecam 'Ali dan 'Ammar itu. Juga tidak menjelaskan apa
yang dikatakannya mengenai 'Ali dan 'Ammar. Lalu bagaimana
al-Musawi bisa menyimpulkan bahwa 'A'isyah membiarkan dia
mengecam 'Ali? Padahal sangat mungkin, laki-laki itu
mengatakan sesuatu yang membersihkan nama 'A'isyah hingga
'A'isyah menanggapinya demikian. Kami mengatakan demikian
itu seandainya riwayat ini dianggap sahih. Dan sudah kami
kemukakan dalil yang menegasikan tuduhan kepada'A'isyah
itu.
Mengenai penolakan al-Musawi akan kehujjahan hadits
'A'isyah yang sahih: "Aku melihat Nabi dan beliau bersandar
ke dadaku. Lalu beliau berdoa dengan suara samar-samar, dan
lemas, lalu meninggal, sementara aku tidak menyadarinya.
Jadi, bagaimana ia berwasiat kepada 'Ali". Jawabnya adalah
bahwa 'A'isyah menafikan wasiat nabi kepada 'Ali mengenai
khilafah itu karena 'A'isyah dan para sahabat, termasuk
'Ali, mengetahui bahwa nabi memang tidak berwasiat kepada
seseorang sebelum sakitnya. Dan ketika sakit, beliau berada
di rumah 'A'isyah. Dan 'A'isyah tidak pernah meninggalkannya
sampai beliau wafat tanpa berwasiat tentang khilafah. Lalu,
kapan wasiat itu disampaikan Nabi? Coba anda pikirkan.
Adapun hadits yang diriwayatkan Muslim dari 'A'isyah:
"Rasulullah saw tidak meninggalkan dirham, kambing ataupun
unta
" Al-Musawi telah menolak hadits ini sebagaimana
ia telah menolak hadits sebelumnya. Menurutnya hadits itu
tidak berarti Nabi benar-benar tidak meninggalkan sesuatu
pun. Menurutnya, Nabi meninggalkan harta. Berkata dia: Nabi
meninggalkan harta untuk membayar hutang-hutangnya dan
memenuhi janji-janjinya. Dan beliau menyisakan darinya
sesuatu untuk ahli warisnya". Al-Musawi berdalil mengenai
perkataannya itu dengan tuntutan Fathimah untuk mendapat
warisan.
Jawaban Mengenai hal ini adalah sebagai berikut: Sungguh,
banyak sekali hadits-hadits sahih dan tsabit yang
menerangkan bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan harta
sedikit pun. Hadits-hadits tersebut bukan hanya dari satu
jalan saja, yaitu jalan 'A'isyah, tetapi datang melalui
berbagai saluran, Bukhari meriwayatkan dengan salurannya
dari 'Umar ibn al-Harits, saudara laki-laki Juwairiyah putri
al-Harits; ia berkata: Diwaktu Rasulullah saw meninggal,
beliau tidak meninggalkan dirham, dinar, hamba sahaya
laki-laki, ataupun perempuan. Juga tidak meninggalkan
apa-apa, selain keledainya yang putih, pedang dan tanah yang
telah ditetapkannya untuk sedekah". (Fathul Bari, jilid, 5,
hal. 356).
Yang dimaksud dengan "Nabi tidak berwasiat tentang
sesuatu", dalam hadits yang menafikan wasiat, adalah wasiat
khusus, yaitu wasiat tentang khilafah, bukan wasiat secara
mutlak. Hal demikian dijelaskan di dalam hadits yang
diriwayatkan Bukhari dari Thalhah ibn Musharrif berikut ini:
"Aku bertanya kepada 'Abdullah ibn Abi Aufa: "Adakah
Rasulullah saw berwasiat?". "Tidak", jawab 'Abdullah.
"Bagaimana ia mewajibkan manusia untuk berwasiat, atau
bagaimana mereka disuruh untuk berwasiat (sementara beliau
sendiri tidak)?, tanyaku lagi. 'Abdullah menjawab: "Ia
berwasiat dengan Kitab Allah".
Mengenai tuntutan Fathimah untuk mendapatkan warisan dari
ayahnya, maka jawaban mengenai ini dapat dikemukakan. dari
berbagai segi:
1. Al-Musawi --sebagaimana kebiasaan buruknya--
tidak bersedia mendatangkan riwayat yang sahih manakala
riwayat itu berlawanan dengan madzhabnya. Ia cukup
mengisyaratkan saja tentang hadits-hadits sahih itu, dengan
cara yang dapat membuat pembaca menerima dan mengakui apa
yang didakwakannya. Hal seperti ini dilakukannya mengenai
tuntutan Fathimah untuk mendapat warisan dari ayahnya. Lihat
saja pada perkataannya: "Dengan dalil adanya tuntutan
Fathimah atas warisannya." Di dalam komentarnya atas dalil
yang dikemukakan ini, al-Musawi cukup dengan menyandarkannya
saja kepada Bukhari dan Muslim, tanpa mangemukakan riwayat
itu seluruhnya. Sebab kelengkapan riwayat itu justru
bertolak belakang sama sekali dengan apa yang
didakwakannya.
Di sini kami kemukakan riwayat Bukhari, supaya menjadi
jelas bagi pembaca, kebenaran perkataan kami tentang
al-Musawi. Bukhari berkata: Bercerita kepadaku Yahya ibn
Bakir dari al-Laits, dari 'Aqil dari ibn Syihab dari 'Urwah
dari 'A'isyah ra: "Fathimah putri Rasulullah saw mengirim
(surat) kepada Abu Bakar untuk meminta warisannya (dari
harta peninggalan Nabi), yaitu harta Fay' yang diberikan
Allah kepada Nabi di Madinah dan di Fadak, dan sebagian yang
masih tersisa dari khumus (1/5) Khaibar. Abu Bakar berkata:
"Sungguh Rasulullah saw telah bersabda: "Kami (para Rasul)
tidak mewariskan apa-apa. Apa yang kami tinggalkan adalah
sedekah. Keluarga Muhammad hanya dapat memakan dari harta
ini". Dan aku, demi Allah, tidak akan mengubah sedekah
Rasulullah saw dari keadaannya yang ada pada masa beliau.
Aku akan melaksanakan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
saw". Maka Abu Bakar menolak permintaan Fathimah. Fathimah
pun menjadi marah kepada Abu Bakar karenanya. Maka ia
menjauhi Abu Bakar dan tidak berbicara kepadanya sampai ia
meninggal dunia. Fathimah hidup enam bulan setelah wafat
Nabi: (Al-Fath, 7/493; al-Maghazi).
Bukhari juga meriwayatkan hadits itu dalam bab Fardh
al-Khumus. Ia menambahkan: 'A'isyah, perawi hadits ini
berkata: Fathimah meminta kepada Abu Bakar bagiannya dari
harta yang ditinggalkan Nabi yaitu, tanah Khaibar, Fadak dan
sedekah Nabi di Madinah. Namun Abu Bakar menolaknya, dan
berkata: "Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun apa yang
dilakukan Rasulullah. Aku takut menjadi orang yang
tergelincir (dari kebenaran) manakala aku meninggalkan
sedikit pun dari perintah Nabi. Adapun sedekah Nabi di
Madinah, maka 'Umar telah menyerahkannya kepada 'Ali dan
'Abbas. Sedang harta Khaibar dan Fadak, maka 'Umar
menahannya. 'Umar berkata: Keduanya merupakan sedekah Nabi,
yang menjadi haknya dan hak orang yang menggantikannya.
Karena itu, kedua harta itu harus diserahkan kepada Waliyul
Amri" Berkata az-Zuhri, salah seorang perawi hadits ini:
Kedua harta itu tetap seperti semula sampai hari ini".
(Al-Fath, jilid 6, hal. 197).
Di dalam kitab al-Fara'idh, Bukhari juga meriwayatkan
hadits serupa. Hanya di sini ia menambahkan bahwa 'Abbas
datang bersama Fathimah menemui Abu Bakar untuk meminta
warisan mereka.
Imam Bukhari meriwayatkan melalui sanadnya yang sampai ke
ibn Syihab az-Zuhri; ia berkata: Malik ibn 'Aus bercerita
kepadaku (tentang tuntutan waris) --Muhammad ibn Jubair juga
bercerita kepadaku tentang itu. Aku pun datang menemuinya
dan menanyakannya. Maka ia berkata: Aku datang menemui 'Umar
ibn al-Khaththab. Tidak lama kemudian, penjaga pintu 'Umar
datang mendekatinya seraya berkata: "Adakah tuan punya janji
dengan 'Utsman, 'Abdurahman, Zubair dan Sa'ad?" "Ya", jawab
'Umar. "Izinkan mereka masuk", lanjut 'Umar. Kemudian
petugas itu bertanya lagi: "Adakah tuan punya janji dengan
'Ali dan 'Abbas"? "Ya", jawab 'Umar: Kemudian 'Abbas
berkata: "Wahai Amirul Mu'minin, berikan keputusan antara
aku dan lelaki ini," 'Umar berkata: Demi Allah, yang dengan
izinnya langit dan bumi tegak, apakah kalian tidak tahu
bahwa Rasulullah saw bersabda: "Kami tidak mewariskan
apa-apa. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah"? Kelompok
orang itu berkata: "Nabi, telah berkata demikian". Lalu
'Umar menghadapi 'Ali dan 'Abbas seraya berkata: "Tidakkah
kalian berdua tahu bahwa Nabi pernah berkata demikian?"
"Nabi telah berkata demikian", jawab mereka (Al-Fath,
12/5-6).
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut di atas, dapat
diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
1. Fathimah telah meminta kepada Abu Bakar untuk
memberikan kepadanya warisan ayahnya.
2. Fathimah telah melakukan kesalahan dalam
tuntutannya ini. Sebab permintaannya itu berlawanan dengan
hadits Nabi yang jelas. "Kami tidak mewariskan apa-apa. Apa
yang kami tinggalkan adalah sedekah".
Tak syak lagi, Fathimah mempunyai alasan mengenai
tindakannya itu, karena ia mengetahui adanya ayat waris yang
bersifat umum dan berlaku untuk semua ahli waris, termasuk
para pewaris Nabi tanpa ada perkecualian. Juga karena dia
tidak mengetahui hadits di atas yang men-takhshish keumuman
ayat waris itu. Ahli waris para Nabi dikecualikan dari hukum
waris. Sebagaimana pembunuh tidak dapat mewarisi (harta)
orang yang dibunuhnya, karena adanya hadits: "Pembunuh tidak
dapat mewarisi (orang yang dibunuhnya)".
3. Abu Bakar berada dalam kebenaran ketika ia
menolak tuntutan Fathimah. Dan ia menegaskan bahwa ia tidak
hendak menggasab harta Nabi untuk dirinya sendiri atau
keluarganya. Bahkan ia mengharamkannya untuk putrinya,
'A'isyah istri Nabi. Ia jadikan harta itu untuk keperluan
keluarga Muhammad, dan sisanya disedekahkan, sebagaimana
yang terjadi pada masa Nabi. Dalam hal ini Abu Bakar
berpegang pada sabda Nabi: "Kami tidak mewariskan apa-apa".
(Fathul Bari, jilid 12, hal. 6). Juga berpegang pada hadits
Nabi: "Janganlah kamu bagikan kepada ahli warisku dinar,
jangan pula dirham. Harta yang kutinggalkan, setelah
keperluan istri-istriku dan biaya petugasku, menjadi
sedekah". (HR Bukhari) (Lihat Fathul Bari, 12, hal. 6).
Dengan demikian, maka tidak benar mengecam tindakan Abu
Bakar tersebut.
4. Harta yang ditinggalkan Nabi bukanlah warisan
sebagaimana yang dipahami oleh Fathimah. Sebab kalau ia
merupakan warisan, tentu tidak hanya untuk Fathimah, tapi
juga untuk semua yang berhak mewarisinya, termasuk
istri-istri Nabi, yang terkemuka diantaranya adalah
'A'isyah, yang Rasulullah meninggal dan dikubur di rumahnya.
Urutan berikutnya adalah Hafsyah putri 'Umar ibn Khaththab:
Hak waris yang ada pada Fathimah, sesungguhnya ada pula pada
'A'isyah, Hafsyah dan istri-istri Nabi yang lain. Demikian
pula ada hak untuk 'Abbas, paman nabi saw. Mengapa Kaum
Rafidhah hanya berbicara tentang hak waris Fathimah saja,
dan melupakan ahli waris yang lainnya? Dan mengapa mereka
mengecam Abu Bakar yang bertindak sesuai dengan dalil dan
wasiat Nabi, penghulu para Rasul? Dalam hal ini Abu Bakar
tidaklah menzalimi seorang pun. Seandainya harta yang
ditinggalkan Nabi itu berstatus warisan, tentu istri-istri
nabi akan segera memintanya. Dan diantara mereka, yang
paling terdepan tentu adalah 'A'isyah dan Hafsyah. Akan
tetapi diceritakan dalam sebuah hadits sahih bahwa 'A'isyah
tidak sependapat dengan istri-istri Nabi yang lain untuk
menuntut warisan mereka, sebab ia tahu bahwa hal itu tidak
dibenarkan agama.
Imam Bukhari telah meriwayatkan dari 'A'isyah bahwa
sewaktu Rasul meninggal, istri-istri Nabi bermaksud.
mengutus 'Utsman ibn Affan kepada Abu Bakar, untuk
memintakan warisan mereka. Lalu 'A'isyah berkata: Tidakkah
Rasulullah saw bersabda: "Kami tidak mewariskan harta. Apa
yang kami tinggalkan adalah sedekah". (Fathul Bari, jilid
12, hal. 7).
5. Mengenai firman Allah, "Allah memerintahkan
kamu berwasiat dalam urusan anak-anakmu" (QS, an-Nisa',
4:11), maka ia termasuk pernyataan umum yang ditakhshish.
Maksudnya, ia berlaku umum untuk semua anak, tapi
ditakhshish dalam hal anak-anak para nabi.
Ibn Hajar berkata: "Mengenai keumuman ayat 11 surah
an-Nisa' itu, maka dapat dijawab dengan mengatakan bahwa
ayat itu umum untuk semua orang yang meninggalkan harta yang
dimilikinya. Nabi memang termasuk orang yang meninggalkan
harta, tapi masuknya Nabi dalam khithab (subyek ayat) ini
masih menerima takhshish (pengkhususan), sebagaimana halnya
beliau mempunyai banyak kekhususan. Kecuali itu, sudah
sangat diketahui bahwa Nabi tidak mewariskan harta benda.
Dengan demikian jelaslah kekhususan Nabi dalam hal ini, yang
berbeda dengan orang-orang lain.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa hikmah Nabi tidak
mewariskan harta itu, ialah supaya tidak ada ahli waris yang
mengharapkan kematian seseorang hanya karena ingin
mendapatkan harta benda. Ada pula yang mengatakan, itu
dikarenakan keadaan Nabi yang seperti ayah bagi ummatnya.
Karena itu, warisan Nabi adalah untuk semua orang. Inilah
pengertian sedekah secara umum. (Al-Fath, jilid 12, hal.
9).
6. Mengenai anggapan al-Musawi tentang adanya
wasiat Nabi kepada 'Ali di permulaan dakwah Islam, yaitu
ketika Allah menurunkan ayat Wa-andzir asyiratakal aqrabin,
maka tanggapan mengenai hal ini sudah dikemukakan pada
tanggapan Dialog 20.
7. Mengenai wasiat yang akan ditulis oleh Nabi
diwaktu beliau sakit (yang kemudian meninggal dengan sakit
itu), namun para sahabat saling bertengkar ketika itu,
al-Musawi menganggap bahwa Nabi akan berwasiat tentang
wilayah (kepemimpinan) 'Ali, tetapi para sahabat, saling
bertengkar di sisi Nabi untuk menggagalkan Nabi menulis
wasiat yang satu itu.
Kemudian al-Musawi menganggap Nabi telah berwasiat kepada
mereka dengan tiga hal: Pertama mengangkat 'Ali sebagai wali
atas mereka. Lalu al-Musawi menuduh Abu Bakar dan 'Umar
mencegah para ahli hadits menceritakan wasiat yang pertama
itu, dengan kekuasaan politik mereka. Al-Musawi juga menuduh
para ahli hadits sebagai tidak bersifat amanah dan tidak
adil dengan menyembunyikan wasiat itu, lantaran memenuhi
kehendak penguasa politik. Dan mereka, demikian al-Musawi,
berdalih dengan mengatakan bahwa mereka lupa akan wasiat
itu.
Apa yang dikemukakan al-Musawi di atas tidak dapat
disangsikan lagi kebathilannya. Buktinya adalah sebagai
berikut:
1. Tuntutan mengenai kesahihan riwayat yang
menerangkan bahwa Nabi berwasiat kepada sahabat agar
mengangkat 'Ali sebagai pemimpin. Al-Musawi tidak
menyebutkan satu kitab pun (yang menyebutkan riwayat itu)
dari baik kitab-kitab hadits, baik kitab Sahih ataupun
Musnad. Ini merupakan bukti yang memperkuat akan dustanya
al-Musawi.
Kitab-kitab hadits hanya bersepakat mengenai dua wasiat
saja. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dalam kitab
Sahih mereka bahwa ibn 'Abbas berkata: Hari Kamis, wahai,
apakah Hari Kamis itu ? (Pada hari itu) sakit Rasulullah
menjadi-jadi, lalu beliau berkata: "Berilah aku (kertas dan
tinta), agar kutuliskan untukmu apa yang akan menghindarkan
kamu dari kesesatan selama-lamanya." Maka orang-orang saling
bertengkar, padahal tidak sepatutnya bertengkar di hadapan
Nabi. Sebagian mereka berkata: "Nabi mengigau"! Kemudian
Nabi berkata: Pergilah, sungguh keadaanku jauh lebih baik
dari apa yang kalian katakan". Dan Rasulullah saw berwasiat
kepada mereka dengan tiga hal sebagai berikut: l). Keluarkan
orang-orang musyrik dari jazirah Arab. 2). Teruskan
kebiasaanku memberi hadiah kepada utusan. Dan perawi hadits
ini berdiam mengenai wasiat yang ketiga, atau berkata
Bukhari/Muslim: Dia lupa isi wasiat itu.
Jika kitab-kitab hadits semuanya sepakat atas, riwayat
ini yang hanya berisikan dua wasiat, maka dari mana
al-Musawi mengetahui isi wasiat yang ketiga? Jika anda
merenungkan ini, pasti anda akan menemukan kedustaan
al-Musawi yang nyata.
2. Perkataan al-Musawi membawa pada kesimpulan
(pendapat) bahwa Nabi telah menyembunyikan sesuatu dari
wahyu Allah ketika ia mengurungkan niatnya untuk menulis
surat wasiatnya itu, lantaran adanya pertengkaran di
hadapannya. Tak syak lagi, ini adalah kesimpulan yang
bathil, sebab hal ini menodai kema'shuman Rasulullah
saw.
3. Penulisan surat wasiat yang tidak jadi
dilakukan oleh Nabi, menunjukkan bahwa apa yang hendak
ditulis oleh beliau itu bukanlah sesuatu yang wajib
(penting). Sebab kalau ia termasuk sesuatu yang harus
disampaikan, tentu Nabi tidak akan meninggalkannya hanya
karena orang orang bertengkar di hadapannya. Bahkan Allah
tentu akan menyiksa orang yang menghalang-halangi
penyampaian wasiat itu. Dan Rasulullah saw pasti
menyampaikannya secara lisan sebagaimana pesannya kepada
mereka untuk mengeluarkan orang-orang Musyrik dari jazirah
Arab, dan lainnya.
Setelah gagal berwasiat itu, Rasulullah saw masih sempat
hidup selama beberapa hari, tetapi ia tidak menuliskan
wasiatnya. Dan para sahabat menyimpan dalam ingatan mereka
beberapa hal yang diucapkan Nabi secara lisan. Maka sangat
mungkin semua yang disampaikan Nabi secara lisan itu adalah
apa yang ingin beliau tulis (Al-Fath, 8/134).
4. Pernyataan al-Musawi bahwa para penguasa
--maksudnya Abu 'Bakar dan 'Umar-- telah melarang para ahli
hadits untuk meriwayatkan wasiat Nabi yang pertama
(mengangkat 'Ali sebagai pemimpin), adalah dusta belaka! ia
merupakan tuduhan yang dibuat-buat yang lahir dari keyakinan
kaum Rafidhah yang buruk mengenai para sahabat, khususnya
Abu Bakar dan, 'Umar. Kaum Rafidhah telah mengkafirkan dan
menghina para sahabat nabi. Maka tidak perlu heran kalau
al-Musawi menuduh kedua Khalifah Nabi itu telah melarang
para ahli hadits meriwayatkan apa yang mereka hafal dari
Rasulullah dan memaksa mereka mempermainkan hadits Nabi.
Padahal Allah dan Rasul sendiri menyaksikan kesucian,
keadilan, ketulusan dan sifat amanah mereka. Dan tidak ada
kesaksian yang lebih besar daripada kesaksian Allah dan
Rasul-Nya.
Hal lain yang memperkuat bukti kedustaan al-Musawi adalah
bahwa tuduhannya itu tidak ada dasarnya sama sekali dalam
kitab yang muktabar atau dalam riwayat yang sahih.
Di sini kami ingin bertanya kepada kaum Rafidhah
--termasuk al-Musawi: Jika apa yang anda tuduhkan itu benar,
maka kenapa 'Ali bungkam tentang wasiat yang akan mengangkat
kedudukannya dan yang akan memberinya legitimasi keagamaan
dan hak untuk menuntut khilafah itu? Apakah menurut pendapat
anda 'Ali diam itu karena takut atau karena ia pengecut di
depan pemerintahan Abu Bakar dan 'Umar? Atau karena munafik?
Sungguh, anda sekalian, wahai kaum Rafidhah, tidak akan
berpendapat demikian,mengenai 'Ali. Dan, kaum Sunni juga
sependapat dengan anda dalam hal ini. Jika kita semua
sepakat pada pendapat ini, maka tidak ada penafsiran lain
tentang diamnya 'Ali, kecuali karena ia memang yakin bahwa
Nabi tidak pernah berwasiat kepadanya tentang khilafah dan
imarah; sebagaimana yang ia katakan pada waktu perang Jamal:
"Hai manusia, sesungguhnya Nabi tidak pernah berwasiat
kepada kita sedikit pun tentang dunia ini" (HR Imam, Ahmad
dan Baihaqi dalam ad-Dala'il).
Kalau Imam 'Ali memang mengetahui adanya wasiat ini, yang
ditentang oleh Abu Bakar dan 'Umar, maka ia cukup
mengucapkan satu kata saja untuk mendapatkan dukungan dan
simpati dari pelbagai pihak, karena banyaknya faktor
pendorong untuk membantunya ketika itu, Semua ini semakin
menetapkan kedustaan al-Musawi.
5. Al-Musawi menuduh Bukhari dan Muslim
menyembunyikan wasiat (tentang imamah 'Ali) dengan dalih
lupa. Demikian pula tuduhannya kepada para--penyusun
kitab-kitab Sunan. dan Musnad:
Untuk menjawab tuduhan ini -semoga Allah memberi taufik-
kami ingin menyatakan bahwa tuduhan al-Musawi terhadap
pemuka-pemuka ahli hadits, tidak keluar dari dua kemungkinan
berikut:
- Tuduhan al-Musawi dikemukakan tanpa pertimbangan dan
penelitian tentang riwayat dan syarat-syaratnya,
sebagaimana yang berlaku dalam kitab-kitab hadits. Jika
demikian, halnya maka tak, dapat diragukan lagi bathilnya
tuduhan itu. Coba anda renungkan kenyataan ini, pasti
anda temukan kebathilan ini. Dan akan semakin nyata
kebathilan ini manakala anda tahu bahwa dalil-dalil yang
ada justru menentang tuduhan itu, seperti akan: kami
kemukkakan sebentar lagi, insya Allah.
- Tuduhan al-Musawi dikemukakan setelah melakukan
penelitian dalam kitab-kitab hadits, khususnya mengenai
riwayat ini. Jika demikian, maka tuduhan al-Musawi
terhadap Ahlus Sunnah adalah dusta belaka dan merupakan
sesuatu yang dibuat-buat. Ia dusta sebab ia telah
menyembunyikan keterangan dan penjelasan yang ada
mengenai riwayat terkait, karena didorong rasa dengki,
iri dan fanatik buta.
Jika kita merujuk pada kitab-kitab hadits dan
syarat-syarat periwayatannya, akan semakin nyata benarnya
apa yang kami katakan tentang al-Musawi itu.
Bukhari berkata: Bercerita kepadaku Quthaibah dari Sufyan
ibn 'Uyainah dari Sulaiman al-Ahwal dari Sa'id ibis Jubair
ia berkata: ibn 'Abbas berkata: Hari Kamis, wahai, apakah
hari Kamis itu? Hari itu, sakit Rasulullah semakin
menjadi-jadi, lalu, beliau berkata: "Berilah aku (kertas dan
tinta), agar kutuliskan untukmu apa yang akan menghindarkan
kamu dari kesesatan selama-lamanya." Namun orang-orang di
sekitarnya saling bertengkar, padahal tidak sepatutnya
bertengkar di hadapan Nabi. Sebagian dari mereka berkata:
"Nabi mengigau". Mereka terus bertengkar, sehingga Nabi pun
berkata: "Pergilah kalian, sungguh keadaanku jauh lebih baik
dari apa yang kalian katakan." Kemudian Rasulullah saw
berwasiat kepada mereka (secara lisan) dengan tiga hal: 1.
Agar mereka mengeluarkan orang-orang musyrik dari jazirah
Arab. 2. Agar mereka meneruskan kebiasaan beliau memberi
hadiah kepada utusan asing. Dan dia (perawi hadits ini,
pent.) berdiam diri mengenai wasiat yang ketiga, atau ia
berkata: "Aku lupa isi wasiat yang ketiga itu". Imam Muslim
juga meriwayatkan yang seperti itu. Demikian juga
penulis-penulis kitab hadits yang lain.
Al-Musawi menuduh ulama-ulama Ahlus Sunnah menyembunyikan
isi wasiat yang ketiga dengan berdasar adanya kata-kata
"
Dan dia berdiam diri mengenai wasiat yang ketiga,
atau dia berkata: "Aku lupa isi wasiat itu." Dia menisbatkan
sikap berdiam diri atau lupa itu kepada Imam Bukhari, Muslim
dan penulis kitab-kitab Sunan, karena bodohnya, atau
pura-pura bodoh, dan didorong oleh rasa dengki dan fanatik
serta ingin mengecam para ahli hadits tersebut, supaya sifat
keadilan mereka menjadi gugur. Dengan begitu, akan mudahlah
baginya untuk menolak semua hadits yang mereka riwayatkan.
Padahal sesungguhnya, pertimbangan yang digunakan al-Musawi
untuk mengecam para perawi hadits itu, justru berfaedah
sebaliknya, yaitu semakin memantapkan sifat adil, kedhabitan
dan sifat amanah mereka. Jadi, sifat adil, kedhabitan dan
amanah mereka itulah yang menyebabkan mereka tidak bersedia
mengemukakan perkataan Nabi yang tidak mereka ketahui. itu.
Demikian pula rasa takut mereka untuk terjerumus pada
tindakan dusta atas nama Nabi, itulah yang menyebabkan
mereka berdiam diri, tidak menuturkan wasiat Nabi yang
ketiga itu. Sebab mereka tidak ingat akan isi wasiat itu.
Tetapi al-Musawi memandang hal itu dengan mata sebelah,
dengan pandangan orang yang membenci, sehingga tidak ada
yang tampak kecuali keburukan semata. Dalam hal ini, watak
al-Musawi persis seperti kalajengking, yang tidak melihat
kecuali yang jelek-jelek. Tidakkah anda lihat, bagaimana
al-Musawi mengubah sifat amanah menjadi khianat? Coba anda
renungkan, pasti anda melihatnya.
Kemudian al-Musawi mengecam para perawi tersebut atas
kelupaan mereka. Ia menyalahkan mereka, dengan melupakan
bahwa sifat lupa itu memang merupakan tabiat manusia,
sehingga dikatakan:
Tidaklah disebut manusia, kecuali karena sifat lupanya,
dan tidaklah dinamai hati kecuali karena ia tak pasti.
Allah sendiri tidak akan menyiksa manusia karena lupa.
Kita sudah pada maklum tentang doa kita "Ya, Allah, jangan
Engkau siksa kami sekiranya kami lupa atau keliru
,"
sementara al-Musawi memandang kelupaan mereka sebagai
kesengajaan, seperti dikatakannya: "
Mereka menganggap
bahwa diri mereka lupa tentang wasiat yang ketiga itu".
Adapun jawaban atas tuduhan ini, ialah bahwa adanya
kesengajaan atau tidak, itu adalah persoalan isi hati yang
tak bisa diketahui oleh seorang pun. Bagaimana al-Musawi
bisa mengetahuinya sehingga memvonisnya demikian? Adakah dia
telah membelah hati mereka?
Selanjutnya, kami akan mengemukakan keterangan dalam
Fathul Bari yang mengomentari riwayat ini, yang telah
dikecam oleh al-Musawi, agar jelas bagi kita kezaliman
al-Musawi terhadap ulama. Ulama Ahlus Sunnah. Juga agar
jelas bagi kita sifat amanah mereka dalam mengutip suatu
riwayat. Imam Bukhari, Muslim dan Ashab as-Sunan tidak
mendengar wasiat yang ketiga itu, tidak pula berdiam diri
atasnya. Mereka hanya mendengar wasiat yang dua itu, lalu
mereka kemukakan sebagaimana yang mereka dengar.
Ibn Hajar berkata: Mengenai perkataan "Dan dia berdiam
diri mengenai wasiat yang ketiga, atau katanya: Aku lupa,"
kemungkinan orang yang berkata demikian adalah Said ibn
Jubair. Kemudian aku mendapat informasi dari al-Isma'illi
bahwa orang yang mengucapkan perkataan itu adalah Ibn
'Juyainah. Di dalam Musnad al-Humaidi, dan di dalam
al-Mustakhraj, Abu Nu'aim melalui salurannya, mengutip
perkataan Sufyan sebagai berikut: Sulaiman (ibn Abi Muslim)
berkata: "Aku tidak tahu, apakah Sa'id ibn Jubair telah
menyebut wasiat yang ketiga itu, tapi aku lupa, atau ia
berdiam (tidak menuturkan) wasiat yang ketiga itu." Ini
adalah pendapat yang paling kuat. (Al-Fathul Bari, jilid 8,
hal. 135).
Ini adalah keterangan yang sangat jelas bahwa orang yang
mengucapkan kata-kata: "Dan dia berdiam diri mengenai wasiat
yang ketiga, atau katanya: Aku lupa", adalah Sa'id ibn
Jubair, dan orang yang berdiam diri adalah 'Abdullah ibn
'Abbas. Sa'id ragu-ragu apakah memang Ibn 'Abbas berdiam
diri (tidak menuturkan wasiat ketiga). Maka Sa'id berkata:
"Aku lupa". Ini merupakan bukti sifat amanah Sa'id, bukan
sifat khianatnya, seperti yang dituduhkan al-Musawi.
Kalaupun tuduhan al-Musawi itu dipandang benar, lalu apa
dosa Bukhari? Dan apa hubungannya dengin perkataan itu? Dan
kalau tuduhan itu memang bisa dikenakan pada Sa'id ibn
Jubair, maka hal ini menunjukkan sifat amanah Bukhari. Sebab
ia meriwayatkan perkataan Sa'id sebagaimana yang ia dengar.
Tidakkah anda lihat kezaliman al-Musawi dan
fanatismenya?
Jika riwayat-riwayat yang sahih itu telah sepakat
mengenai tidak disebutkannya wasiat yang ketiga itu atau
terlupakannya, maka dari mana dari bagaimana al-Musawi
mengetahui --setelah diamnya Ibn 'Abbas atau terlupanya
Sa'id ibn Jubair-- bahwa wasiat ketiga itu tentang khilafah
untuk 'Ali ibn Abi Thalib? Padahal tak seorang pun dari para
ulama hadits yang berpendapat seperti itu. Bahkan mereka
menjelaskan kebalikannya.
Ad-Daudi berkata: Wasiat yang ketiga ialah wasiat
berkenaan dengan al-Qur'an. Ibn at-Tin memastikan hal ini.
Al-Muhlab berkata: Bahkan ia adalah pesan Nabi agar
mempersiapkan pasukan Usamah. Ibn Bathal memperkuat pendapat
ini dengan mengemukakan bahwa para sahabat ketika berbeda
pendapat dengan Abu Bakar dalam pelaksanaan (pengiriman)
pasukan Usamah, Abu Bakar berkata kepada mereka: Nabi
berpesan untuk melakukan itu ketika beliau (akan) meninggal.
Menurut 'Iyadh, wasiat ketiga itu mungkin perkataan Nabi:
"Jangan jadikan kuburanku sebagai tempat penyembahan". Pesan
Nabi ini tersebut dalam kitab al-Muwatha', bersamaan dengan
perintah Nabi untuk mengeluarkan kaum musyrikin dari jazirah
Arab. Dan mungkin pula berupa pesan yang terdapat dalam
hadits Anas, yaitu: Jagalah shalat dan hamba sahaya. (Fathul
Bari, jilid VIII, hal. 135).
Adapun anggapan al-Musawi bahwa Rasulullah saw meninggal
di atas dada 'Ali, itu dusta belaka. Anggapan ini tidak
didukung oleh kitab yang muktabar. Bahkan ia bertentangan
dengan hadits-hadits sahih yang telah sepakat bahwa
Rasulullah saw meninggal di atas dada 'A'isyah (antara
rongga leher dan dadanya). Penjelasan yang terperinci
mengenai hal ini sudah kami kemukakan terdahulu.
|