Sanggahan terhadap Dialog 70
1. Di mana hadits tentang wasiat Nabi itu, dan
apakah ia tsabat, sehingga perlu ditentang (ditanggapi)?
Barangsiapa memperhatikan sungguh-sungguh hadits-hadits yang
dikemukakan al-Musawi dalam dialog ini, maka ia akan
menemukan bahwa hadits-hadits itu adalah hadits-hadits yang
telah dikemukakannya berulang-ulang dalam dialog-dialog
sebelumnya. Kami telah mengemukakan Pandangan ulama hadits
mengenai hadits-hadits tersebut dan tidak perlu
mengulangnya. Barangsiapa ingin mengetahuinya, silahkan
periksa kembali tanggapan kami pada dialog-dialog
sebelumnya.
Pendeknya, hadits-hadits tersebut adalah rusak (halikah);
tidak lebih dari hadits dha'if yang nyata dha'ifnya, atau
hadits maudhu' yang nyata-nyata kedustaannya. Adapun
beberapa hadits yang sahih darinya, maka tidaklah ada
sesuatu didalamnya yang menunjuk pada pengertian yang
dikemukakan al-Musawi. Hadits-hadits itu hanya menunjuk pada
keutamaan-keutamaan 'Ali, tak lebih dari itu. Kaum Sunni
memiliki hadits yang lebih kuat dari itu mengenai keutamaan
seorang sahabat yang agung, juga mengenai keutamaan Ahlul
Bait dan al-'Ithrah at-Thahiruh.
2. Mengenai perkataan al-Musawi "Adapun
orang-orang yang menentang wasiat nabi dari para penganut
madzhab yang empat, sesungguhnya mereka beralasan karena
wasiat itu tidak sejalan dengan kenyataan adanya pemerintah
ketiga Khalifah sebelum 'Ali". Al-Musawi ingin menjelaskan
dengan perkataannya itu, sebab apa yang-mendorong kaum Sunni
menolak hadits-hadits wasiat. Ia menjelaskan wasiat itu
dengan mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu beranggapan
bahwa hadits-hadits wasiat tidak mungkin dapat sejalan
dengan kenyataan adanya pemerintahan Khalifah yang
tiga".
Jawaban atas pemikiran di atas adalah sebagai berikut:
"Kaum Sunni berkeyakinan bahwa hadits-hadits wasiat itu
sangatlah bathil, dan merupakan kedustaan kaum Rafidhah. Tak
satu pun hadits-hadits itu yang sahih, sebagaimana
dikemukakan terdahulu. Karena itu, mereka tidak bersedia
mengambilnya. Seandainya ada sebagian yang sahih, tentu
mereka tidak akan menolaknya, dan tidak akan menganggapnya
berlawanan dengan pemerintahan Abu Bakar, 'Umar
dan'Utsman.
Kaum Sunni tidak menolak nash-nash karena fanatik
terhadap perawinya, sebagaimana kaum Rafidhah. Kaum Sunni
hanya berpegang pada al-Qur'an dan hadits-hadits yang sahih.
Mereka membuang jauh-jauh pemikiran seseorang manakala
bertentangan dengan al-Qur'an yang menjadi pegangan utama
mereka. Tidak ada dalil yang lebih jitu atas kedustaan
hadits-hadits tersebut daripada penolakan para sahabat
terhadapnya. Juga tidak adanya penjelasan dari 'Ali mengenai
hadits-hadits itu, baik sebelum maupun setelah ia menjadi
Khalifah.
Al-Qurthubi berkata: Kaum Syi'ah telah membuat
hadits-hadits palsu yang menerangkan bahwa Nabi berwasiat
kepada 'Ali mengenai khilafah. Lalu sekelompok orang dari
sahabat menolak mereka. Demikian pula orang-orang
setelahnya. Karena itu 'A'isyah tidak berdalil dengannya.
Demikian pula sikap 'Ali. Dia tak pernah menyatakan diri
mendapat wasiat itu, baik sebelum maupun setelah ia menjadi
Khalifah. Demikian pula; tak seorang pun dari para sahabat
yang menyebutkannya pada hari as-Saqifah. Kaum Syi'ah
sesungguhnya telah merendahkan 'Ali dalam upaya mereka untuk
mengagungkannya. Sebab mereka menisbatkan kepadanya --yang
dikenal sangat pemberani dan berpegang teguh pada agama--
sikap menjilat, taqiyah dan berpaling dari menuntut haknya,
padahal ia mampu menuntutnya. (Fathul Bari, jilid 5, hal.
361-362).
Yang pasti justru Nabi berwasiat mengenai beberapa hal
ketika beliau sakit kurang lebih 10 hari yang membawa kepada
wafatnya itu. Para sahabat menerima wasiat Nabi itu, dan
menyampaikannya kepada kita. Tetapi dalam wasiat itu tidak
ada istikhlaf (pengangkatan menjadi pengganti Nabi) untuk
seseorang, sebagaimana dijelaskan oleh 'A'isyah dan
sahabat-sahabat Nabi, termasuk 'Ali ibn Abi Thalib.
Sementara itu Imam Ahmad dan Ibn Majah meriwayatkan dari
Ibn 'Abbas sebuah hadits dimana didalamnya terdapat perintah
Nabi kepada Abu Bakar untuk menjadi imam shalat di waktu
beliau sakit. Di akhir hadits ini, Anas berkata: "Rasulullah
saw. meninggal tanpa meninggalkan wasiat. Diceritakan dari
'Umar: "Rasulullah saw. meninggal dan beliau tidak menunjuk
seorang pengganti". Di dalam kitab ad-Dala'il, Imam Ahmad
dan al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Ali bahwa ketika terjadi
perang Jamal, 'Ali berkata: "Hai manusia! Sesungguhnya
Rasulullah tidak berpesan sedikit pun kepada kita mengenai
imarah ini." Dan dalam kitab al-Maghazi, karya Ibn Ishak,
diriwayatkan dari Ubaidillah ibn Utbah ia berkata:
"Rasulullah saw tidak meninggalkan pesan, ketika beliau
wafat, kecuali tiga hal: Masing-masing dari kaum Dariyin,
Rahawiyin dan Asy'ariyin, mendapat 100 wasaq dari kurma
Khaibar. Di Jazirah Arab, jangan ada lagi dua agama. Dan
teruskan ekspedisi 'Usamah. Imam Muslim meriwayatkan hadits
Ibn 'Abbas: "Rasulullah saw berpesan dengan tiga hal:
Menghadiahi utusan asing sebagaimana Nabi menghadiahinya.
Dalam hadits Abi Aufa diterangkan: Nabi berpesan dengan
Kitab Allah. Dalam hadits Anas sebagaimana diriwayatkan oleh
an-Nasa'i, Ahmad dan Ibn Sa'ad (lafazh hadits dari Ibn
Sa'ad) diceritakan sebagai berikut: "Pada pokoknya wasiat
Nabi ketika beliau hendak menghembuskan nafasnya yang
terakhir adalah tentang shalat dan hamba sahaya". (Lihat
Fathul Bari, jilid 5, hal. 362).
Al-Musawi menolak hadits 'Abdullah ibn Abi Aufa yang
diriwayatkan oleh Bukhari, lantaran fanatik dan mengikuti
hawa nafsu. Juga karena semata-mata hadits itu berlawanan
dengan pendapatnya lebih dari itu, ia menuduh sahabat Nabi
tersebut dengan tuduhan nifaq dan menjilat penguasa.
Al-Musawi berkata: "Hadits ini tidak dapat diterima bagi
kita, sebab ia termasuk produk kepentingan politik dan
kekuasaan".
Kemudian al-Musawi melakukan kontradiksi dengan
pendapatnya sendiri dan menetapkan kesahihan riwayat
tersebut ketika,ia berkata: "Adapun hadits yang diriwayatkan
Bukhari dari Abi Aufa bahwa Nabi berpesan dengan Kitab
Allah, maka hal itu benar adanya, hanya saja hadits itu
terpotong". Coba anda renungkan pernyataan ini, pasti anda
temukan kontradiksi pemikiran al-Musawi ini secara
nyata!
Al-Musawi telah berdalil mengenai kesahihan wasiat,
berdasarkan akal dan perasaan (at-wijdan). Jawaban kami:
Masalah wasiat adalah hukum syar'iy, yang hanya bisa
ditetapkan dengan nash yang sahih, yang dilalahnya qath'iy.
Akal dan perasaan sedikit pun tidak sah digunakan sebagai
dalil untuk menetapkan hukum.
|