Sanggahan terhadap Dialog 66
Al-Musawi menganggap 'Ali sebagai pewaris nabi. Dan di
sini, ia menafsirkan warisan (al-waratsah) sebagai
kepemimpinan (al-khilafah) setelah Nabi. Untuk mendukung
pendapatnya ini, ia mengemukakan hadits-hadits berikut:
1. Hadits "Aku adalah kota ilmu, dan 'Ali adalah
pintunya," dan hadits "Aku adalah Gudang Hikmah dan 'Ali
adalah pintunya".
Penjelasan mengenai kedha'ifan hadits ini sudah kami
kemukakan pada tanggapan atas Dialog 48. Dalam kitab
Talkhisnya, adz-Dzahabi menyatakan bahwa hadits ini
maudhu'.
2. Hadits "Engkau adalah saudaraku dan pewarisku
" Pembicaraan mengenai hadits ini sudah kami kemukakan
pada tanggapan atas Dialog 32. Kami telah menjelaskan bahwa
pewarisan bukanlah kekhususan 'Ali saja. Semua sahabat juga
mewarisi dari Nabi al-Kitab dan Sunnah. Dalam hal ini,
keadaan mereka sama dengan keadaan 'Ali.
3. Mengenai hadits Buraidah: "Setiap nabi ada
penerima wasiat dan pewarisnya
" Hadits ini dha'if
disebabkan adanya Muhammad ibn Humaid ar-Razi. Pembicaraan
mengenai dia akan diketengahkan dalam tanggapan Dialog
68.
Adapun perkataan 'Ali di masa hidup Rasul, "Demi Allah,
aku adalah saudaranya, walinya, anak pamannya dan pewaris
ilmunya. Maka siapakah yang lebih berhak untuk itu
dariku?"
Jawaban kami adalah bahwa al-Musawi telah memotong
perkataan 'Ali ibn Abi Thalib, supaya pembaca mengira bahwa
perkataan itu merupakan hadits tersendiri. Lalu al-Musawi
menggunakannya sebagai dalil atas madzhabnya. Ia telah
menyimpangkan artinya. Dan ini memang tradisi buruk kaum
Rafidhah terhadap setiap dalil.
Riwayat yang terdapat dalam kitab Al-Mustadrak memperkuat
kenyataan ini, dan menunjukkan bahwa riwayat itu tidak dapat
dijadikan dalil bagi pendapat al-Musawi.
Riwayat dalam Al-Mustadrak, jilid 3, hal. 126 adalah
sebagai berikut: "Diceritakan dari Ibn 'Abbas bahwa 'Ali
semasa hidup nabi pernah berkata: "Allah telah berfirman:
"Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke
belakang (murtad) (QS, Ali 'Imran, 3:144)." Demi Allah, kami
tidak akan berbalik setelah Allah memberikan petunjuk kepada
kami. Demi Allah, jika ia (nabi) wafat atau dibunuh, aku
akan berperang mengikuti jejaknya sampai aku mati. Demi
Allah, aku adalah saudaranya, wali-nya, anak pamannya, dan
pewaris ilmunya. Maka siapakah gerangan yang lebih berhak
untuk itu dari padaku?"
Orang yang memperhatikan riwayat ini dengan
sungguh-sungguh akan menemukan bahwa dalam riwayat ini 'Ali
hanya menyatakan bahwa keimanannya tidak pernah goyah, dan
langkahnya yang tidak pernah tergeser di atas landasan
kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ia tidak akan
pernah berpaling darinya, baik di masa Nabi maupun setelah
wafat beliau. Ia berjanji akan mempertahankan agama ini, dan
berjuang sekuat tenaga untuk itu sepeninggal Nabi,
sebagaimana telah ia lakukan di masa hidup Nabi, sebagai
pelaksanaan dari perintah ayat yang ia baca di awal
perkataannya. Dan sungguh ia dalam hal ini lebih utama dari
lainnya, karena adanya hubungan 'Ali dan Nabi yang
membedakannya dengan sahabat-sahabat Nabi yang lain.
Seandainya kita menerima jalan pikiran al-Musawi dalam
hadits ini mengenai 'Ali, maka tentu ia ('Ali) akan
memerangi Abu Bakar dan 'Umar ketika keduanya berkuasa
sebelum 'Ali. Juga ia akan memerangi Khalifah yang ketiga,
'Utsman ibn Affan. Pikirkanlah hal ini.
5. Hadits "Rasulullah saw mengumpulkan Bani 'Abdul
Muththalib. Maka datanglah sekelompok orang dari mereka
" Penjelasan mengenai kepalsuan tambahan dalam hadits
ini telah kami kemukakan pada tanggapan atas Dialog 20.
Mengenai hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam
Al-Mustadrak dari Syarik ibn 'Abdillah dari Abi Ishak;
katanya: "Aku bertanya kepada Qutsam ibn 'Abbas: Bagaimana
'Ali dapat menjadi pewaris Nabi, sedang kalian tidak?
Jawabnya: Karena dia orang yang pertama dalam urutan dan
paling dekat dengan Nabi".
Hadits ini sama sekali tidak dapat dijadikan dalil bagi
klaim al-Musawi. Sebab yang dimaksud dengan warisan di sini
hanyalah warisan ilmu saja. Ia tidak dapat diartikan warisan
harta. Sebab Nabi pernah bersabda: "Kami para nabi tidak
mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan adalah sidkah".
Seandainya diartikan warisan harta, 'Ali malah tidak akan
mendapat apa-apa, sebab ia mahjub (terhalang) oleh pamannya,
'Abbas.
Warisan di sini juga tidak dapat diartikan dengan
al-wilayah atau al-khilafah (kepemimpinan) setelah Nabi,
sebab kekuasaan tidak dapat diperoleh melalui sistem
pewarisan menurut kesepakatan para ahli.
Jika pewarisan di sini tidak dapat diartikan pewaris
harta ataupun kepemimpinan, maka ia mesti diartikan
pewarisan ilmu. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat yang
lain dari Hakim (Al-Mustadrak, 3/125): "Seorang dapat
menjadi ahli waris dengan nasab dan al-wala' (dibebaskan
dari perbudakan). Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama bahwa anak paman tidak dapat mewarisi bersama dengan
paman. Dengan ijma' ini jelaslah bahwa 'Ali hanya mewarisi
ilmu saja dari nabi.
Dalam hal inipun, warisan ilmu itu tidaklah khusus untuk
'Ali saja. Semua sahabat memperoleh warisan ilmu Nabi
sebanyak tertentu. Ada yang mendapat sedikit, ada yang
memperoleh lebih banyak dari yang lain, seperti 'Ali ibn Abi
Thalib; ia menerima ilmu dari Nabi lebih banyak dari anggota
Ahlul Bait lainnya menurut kata-kata dalam riwayat ini.
|