Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 66

Al-Musawi menganggap 'Ali sebagai pewaris nabi. Dan di sini, ia menafsirkan warisan (al-waratsah) sebagai kepemimpinan (al-khilafah) setelah Nabi. Untuk mendukung pendapatnya ini, ia mengemukakan hadits-hadits berikut:

1. Hadits "Aku adalah kota ilmu, dan 'Ali adalah pintunya," dan hadits "Aku adalah Gudang Hikmah dan 'Ali adalah pintunya".

Penjelasan mengenai kedha'ifan hadits ini sudah kami kemukakan pada tanggapan atas Dialog 48. Dalam kitab Talkhisnya, adz-Dzahabi menyatakan bahwa hadits ini maudhu'.

2. Hadits "Engkau adalah saudaraku dan pewarisku …" Pembicaraan mengenai hadits ini sudah kami kemukakan pada tanggapan atas Dialog 32. Kami telah menjelaskan bahwa pewarisan bukanlah kekhususan 'Ali saja. Semua sahabat juga mewarisi dari Nabi al-Kitab dan Sunnah. Dalam hal ini, keadaan mereka sama dengan keadaan 'Ali.

3. Mengenai hadits Buraidah: "Setiap nabi ada penerima wasiat dan pewarisnya …" Hadits ini dha'if disebabkan adanya Muhammad ibn Humaid ar-Razi. Pembicaraan mengenai dia akan diketengahkan dalam tanggapan Dialog 68.

Adapun perkataan 'Ali di masa hidup Rasul, "Demi Allah, aku adalah saudaranya, walinya, anak pamannya dan pewaris ilmunya. Maka siapakah yang lebih berhak untuk itu dariku?"

Jawaban kami adalah bahwa al-Musawi telah memotong perkataan 'Ali ibn Abi Thalib, supaya pembaca mengira bahwa perkataan itu merupakan hadits tersendiri. Lalu al-Musawi menggunakannya sebagai dalil atas madzhabnya. Ia telah menyimpangkan artinya. Dan ini memang tradisi buruk kaum Rafidhah terhadap setiap dalil.

Riwayat yang terdapat dalam kitab Al-Mustadrak memperkuat kenyataan ini, dan menunjukkan bahwa riwayat itu tidak dapat dijadikan dalil bagi pendapat al-Musawi.

Riwayat dalam Al-Mustadrak, jilid 3, hal. 126 adalah sebagai berikut: "Diceritakan dari Ibn 'Abbas bahwa 'Ali semasa hidup nabi pernah berkata: "Allah telah berfirman: "Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad) (QS, Ali 'Imran, 3:144)." Demi Allah, kami tidak akan berbalik setelah Allah memberikan petunjuk kepada kami. Demi Allah, jika ia (nabi) wafat atau dibunuh, aku akan berperang mengikuti jejaknya sampai aku mati. Demi Allah, aku adalah saudaranya, wali-nya, anak pamannya, dan pewaris ilmunya. Maka siapakah gerangan yang lebih berhak untuk itu dari padaku?"

Orang yang memperhatikan riwayat ini dengan sungguh-sungguh akan menemukan bahwa dalam riwayat ini 'Ali hanya menyatakan bahwa keimanannya tidak pernah goyah, dan langkahnya yang tidak pernah tergeser di atas landasan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ia tidak akan pernah berpaling darinya, baik di masa Nabi maupun setelah wafat beliau. Ia berjanji akan mempertahankan agama ini, dan berjuang sekuat tenaga untuk itu sepeninggal Nabi, sebagaimana telah ia lakukan di masa hidup Nabi, sebagai pelaksanaan dari perintah ayat yang ia baca di awal perkataannya. Dan sungguh ia dalam hal ini lebih utama dari lainnya, karena adanya hubungan 'Ali dan Nabi yang membedakannya dengan sahabat-sahabat Nabi yang lain.

Seandainya kita menerima jalan pikiran al-Musawi dalam hadits ini mengenai 'Ali, maka tentu ia ('Ali) akan memerangi Abu Bakar dan 'Umar ketika keduanya berkuasa sebelum 'Ali. Juga ia akan memerangi Khalifah yang ketiga, 'Utsman ibn Affan. Pikirkanlah hal ini.

5. Hadits "Rasulullah saw mengumpulkan Bani 'Abdul Muththalib. Maka datanglah sekelompok orang dari mereka …" Penjelasan mengenai kepalsuan tambahan dalam hadits ini telah kami kemukakan pada tanggapan atas Dialog 20.

Mengenai hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Syarik ibn 'Abdillah dari Abi Ishak; katanya: "Aku bertanya kepada Qutsam ibn 'Abbas: Bagaimana 'Ali dapat menjadi pewaris Nabi, sedang kalian tidak? Jawabnya: Karena dia orang yang pertama dalam urutan dan paling dekat dengan Nabi".

Hadits ini sama sekali tidak dapat dijadikan dalil bagi klaim al-Musawi. Sebab yang dimaksud dengan warisan di sini hanyalah warisan ilmu saja. Ia tidak dapat diartikan warisan harta. Sebab Nabi pernah bersabda: "Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan adalah sidkah". Seandainya diartikan warisan harta, 'Ali malah tidak akan mendapat apa-apa, sebab ia mahjub (terhalang) oleh pamannya, 'Abbas.

Warisan di sini juga tidak dapat diartikan dengan al-wilayah atau al-khilafah (kepemimpinan) setelah Nabi, sebab kekuasaan tidak dapat diperoleh melalui sistem pewarisan menurut kesepakatan para ahli.

Jika pewarisan di sini tidak dapat diartikan pewaris harta ataupun kepemimpinan, maka ia mesti diartikan pewarisan ilmu. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat yang lain dari Hakim (Al-Mustadrak, 3/125): "Seorang dapat menjadi ahli waris dengan nasab dan al-wala' (dibebaskan dari perbudakan). Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa anak paman tidak dapat mewarisi bersama dengan paman. Dengan ijma' ini jelaslah bahwa 'Ali hanya mewarisi ilmu saja dari nabi.

Dalam hal inipun, warisan ilmu itu tidaklah khusus untuk 'Ali saja. Semua sahabat memperoleh warisan ilmu Nabi sebanyak tertentu. Ada yang mendapat sedikit, ada yang memperoleh lebih banyak dari yang lain, seperti 'Ali ibn Abi Thalib; ia menerima ilmu dari Nabi lebih banyak dari anggota Ahlul Bait lainnya menurut kata-kata dalam riwayat ini.


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.