Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 59-60

Al-Musawi menuduh bahwa kaum Sunni seperti Syeikh al-Bisyri suka berkelit (al-murawaghah) seperti dinyatakan dalam dialog 59 dan 60. Hal ini tidak lain, hanya karena Syeikh al-Bisyri --jika benar semua dialog yang disandarkan keadanya-- telah menerangkan tafsiran sebagian ulama Sunni mengenai hadits Ghadir Khumm yang berlainan dengan tafsiran al-Musawi. Untuk menolak tuduhan ini, kami perlu mengemukakan beberapa hal berikut ini:

1. Apakah beristidhal dengan pendapat Ibn Hajar dalam ash-Shawa'iq dan pendapat al-Halabi dalam as-Sirahnya, bisa dipandang berkelit? Jika demikian, maka al-Musawilah yang lebih tepat disebut berkelit, sebab sebagian besar istidhal yang ia ambil dari pendapat dua pemikir itu, hanyalah yang sesuai dengan hawa nafsu dan madzhabnya. Jika yang dikehendaki dengan 'sikap berkelit' itu, lantaran pendapat dua ulama itu berlawanan dengan pendapatnya, maka bagaimana dia boleh menjadikan pendapat keduanya sebagai hukum, rujukan dan dalil, disaat ia memerlukan dalil yang dapat menetapkan kesahihan pendapatnya?

2. Jikalau yang dimaksud dengan berkelit adalah sikap berpaling dari dalil syara' yang sahih dan dasar-dasar hukum yang tetap, maka sesungguhnya al-Musawi sendiri dan kaumnyalah yang selalu bersikap seperti itu. Sebab, menurut kesepakatan para ahli, mereka adalah kelompok orang yang menghalalkan dusta, tidak peduli pada dalil, menghindari dan mengingkarinya, serta mengubah dengan mengurangi dan menambahinya. Mereka juga mengartikan dalil dengan arti yang bukan tempatnya. Mereka adalah kelompok orang yang sangat jauh dari dalil dan sangat awam, atau tidak mengerti tentangnya.

3. Sesungguhnya berkelit (al-murawaghah) bagi al-Musawi dan kaumnya adalah suatu sikap yang pasti dalam menghadapi setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka, walaupun ia termasuk orang yang paling jujur. Sebaliknya, sikap jujur bagi mereka adalah suatu sifat yang pasti jika menghadapi orang yang sepaham dengan madzhab mereka, walaupun ia termasuk orang yang paling dusta. Karena itu, keputusan dan pendapat mereka tidak perlu diperhatikan, sedikit ataupun banyak.

4. Dalam al-Qur'an dan hadits tidak ada nash yang menentukan atas kekhalifahan seseorang. Apa yang ada pada keduanya hanyalah nash-nash mengenai keutamaan-keutamaan para sahabat, baik secara global maupun terinci, berdasarkan kesepakatan para sahabat, tabi'in, dan tabi'it-tabi'in, dan tak seorang pun dari mereka yang berbeda pendapat, hingga Ahlul Bait dan 'Ithrah yang suci di mana didalamnya terdapat 'Ali ibn Abi Thalib. Tak seorang pun dari mereka yang memahami bahwa keutamaan-keutamaan itu merupakan nash yang menunjuk atas kekhalifahan orang yang memiliki keutamaan-keutamaan tersebut.

Maka yang patut disebut berkelit adalah orang yang menyimpang dari kebenaran yang ada dalam al-Qur'an dan as-Sunnah ini. Dalam hal ini ummat Islam sepakat, termasuk didalamnya at-'Ithrah ath-Thahirah. Renungkanlah ini.

Ulama-ulama Sunni telah melakukan banyak pembahasan mengenai kitab-kitab hadits untuk menemukan dalil yang dapat mereka jadikan sebagai hujjah atas 'kepemimpinan 'Ali. Kalau seandainya mereka menemukan suatu hadits yang sesuai dengan itu, tentu mereka akan bergembira karena sesungguhnya mereka sangat mengharapkan itu. Semua ini menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan al-Musawi dalam hal ini adalah dusta dan palsu belaka.

Ibn Taimiyah berkata: "Ahmad ibn Hambal, seorang yang paling tahu mengenai hadits pada masanya berhujjah atas kekhalifahan 'Ali dengan hadits yang ada dalam kitab Sunan berikut ini: "Khilafah akan berlangsung selama 30 tahun, kemudian akan berganti menjadi kerajaan (dinasti)". Sebagian orang memandang dha'if hadits ini, tetapi Imam Ahmad dan lainnya memandangnya itsbat (sahih). Hadits inilah yang paling pokok dari nash-nash yang menunjuk atas khilafah 'Ali. Seandainya mereka menemukan satu hadits Musnad atau mursal yang sesuai dengan hadits ini, tentu mereka akan bergembira sekali. Maka jelaslah bahwa nash yang dikemukakan al-Musawi adalah hadits yang tak pernah didengar oleh para ahli hadits, baik yang terdahulu maupun yang belakangan. Karena itu, para ahli dengan sendirinya mengetahui kedustaan hadits itu dan hadits-hadits lain yang dikemukakan al-Musawi (Minhaj, 4/31).

5. Tidak seorang pun selama tiga abad pertama Hijriah yang pernah beristidhal dengan satu hadits pun mengenai khilafah 'Ali, kendatipun ada keinginan dan dorongan untuk itu. Dan kendatipun banyaknya pengikut 'Ali setelah terjadinya fitnah pada masa beliau, yang niscaya akan terselesaikan dengan dimunculkannya nash seperti itu. Ini berarti memang tidak ada nash dalam soal ini, dan semua dalil yang dikemukakan kaum Rafidhah hanyalah kepalsuan belaka.

Ibn Taimiyah berkata: Telah terjadi penyelesaian melalui tahkim (arbitrase) (antara 'Ali dan Mu'awiyah, peny.) dengan mengangkat dua orang wakil dari masing-masing pihak, dan di sekeliling 'Ali banyak kaum Muslimin. Namun dari sekian banyak sahabat 'Ali, tak ada seorang pun yang menyebutkan nash tersebut juga tak ada orang yang berhujjah dengannya walaupun keadaan menuntutnya. Seandainya ada nash seperti itu yang diketahui oleh kelompok 'Ali, tentu salah seorang dari mereka akan berkata: "Ini adalah nash dari Nabi yang menetapkan kekhalifahan 'Ali. Karena itu ia harus dimenangkan atas Mu'awiyah". Abu Musa sendiri (wakil pihak 'Ali) termasuk orang yang terpandang. Seandainya ia mengetahui bahwa Nabi memberikan nash atas khilafah 'Ali, tentu ia tidak akan menurunkan 'Ali dari jabatannya. Jika itu dilakukannya --sementara ada nash-- tentu orang akan berkata: "Bagaimana anda dapat menyimpang dari nash nabi mengenai khilafah 'Ali". Kaum Rafidhah berhujjah dengan hadits nabi: "Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang." Hadits ini diriwayatkan dengan satu, dua, atau tiga jalur. Pendeknya ia bukan hadits mutawatir. Sedang nash menurut orang-orang yang menggunakannya harus mutawatir. Maka sungguh mengherankan bilamana kelompok 'Ali mengajukan hujjah kepada orang lain dengan hadits ini, sementara tak seorang pun dari mereka yang berhujjah dengan nash'. (Minhaj, 4/15).


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.