|
Sanggahan terhadap Dialog 59-60
Al-Musawi menuduh bahwa kaum Sunni seperti Syeikh
al-Bisyri suka berkelit (al-murawaghah) seperti dinyatakan
dalam dialog 59 dan 60. Hal ini tidak lain, hanya karena
Syeikh al-Bisyri --jika benar semua dialog yang disandarkan
keadanya-- telah menerangkan tafsiran sebagian ulama Sunni
mengenai hadits Ghadir Khumm yang berlainan dengan tafsiran
al-Musawi. Untuk menolak tuduhan ini, kami perlu
mengemukakan beberapa hal berikut ini:
1. Apakah beristidhal dengan pendapat Ibn Hajar
dalam ash-Shawa'iq dan pendapat al-Halabi dalam as-Sirahnya,
bisa dipandang berkelit? Jika demikian, maka al-Musawilah
yang lebih tepat disebut berkelit, sebab sebagian besar
istidhal yang ia ambil dari pendapat dua pemikir itu,
hanyalah yang sesuai dengan hawa nafsu dan madzhabnya. Jika
yang dikehendaki dengan 'sikap berkelit' itu, lantaran
pendapat dua ulama itu berlawanan dengan pendapatnya, maka
bagaimana dia boleh menjadikan pendapat keduanya sebagai
hukum, rujukan dan dalil, disaat ia memerlukan dalil yang
dapat menetapkan kesahihan pendapatnya?
2. Jikalau yang dimaksud dengan berkelit adalah
sikap berpaling dari dalil syara' yang sahih dan dasar-dasar
hukum yang tetap, maka sesungguhnya al-Musawi sendiri dan
kaumnyalah yang selalu bersikap seperti itu. Sebab, menurut
kesepakatan para ahli, mereka adalah kelompok orang yang
menghalalkan dusta, tidak peduli pada dalil, menghindari dan
mengingkarinya, serta mengubah dengan mengurangi dan
menambahinya. Mereka juga mengartikan dalil dengan arti yang
bukan tempatnya. Mereka adalah kelompok orang yang sangat
jauh dari dalil dan sangat awam, atau tidak mengerti
tentangnya.
3. Sesungguhnya berkelit (al-murawaghah) bagi
al-Musawi dan kaumnya adalah suatu sikap yang pasti dalam
menghadapi setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka,
walaupun ia termasuk orang yang paling jujur. Sebaliknya,
sikap jujur bagi mereka adalah suatu sifat yang pasti jika
menghadapi orang yang sepaham dengan madzhab mereka,
walaupun ia termasuk orang yang paling dusta. Karena itu,
keputusan dan pendapat mereka tidak perlu diperhatikan,
sedikit ataupun banyak.
4. Dalam al-Qur'an dan hadits tidak ada nash yang
menentukan atas kekhalifahan seseorang. Apa yang ada pada
keduanya hanyalah nash-nash mengenai keutamaan-keutamaan
para sahabat, baik secara global maupun terinci, berdasarkan
kesepakatan para sahabat, tabi'in, dan tabi'it-tabi'in, dan
tak seorang pun dari mereka yang berbeda pendapat, hingga
Ahlul Bait dan 'Ithrah yang suci di mana didalamnya terdapat
'Ali ibn Abi Thalib. Tak seorang pun dari mereka yang
memahami bahwa keutamaan-keutamaan itu merupakan nash yang
menunjuk atas kekhalifahan orang yang memiliki
keutamaan-keutamaan tersebut.
Maka yang patut disebut berkelit adalah orang yang
menyimpang dari kebenaran yang ada dalam al-Qur'an dan
as-Sunnah ini. Dalam hal ini ummat Islam sepakat, termasuk
didalamnya at-'Ithrah ath-Thahirah. Renungkanlah ini.
Ulama-ulama Sunni telah melakukan banyak pembahasan
mengenai kitab-kitab hadits untuk menemukan dalil yang dapat
mereka jadikan sebagai hujjah atas 'kepemimpinan 'Ali. Kalau
seandainya mereka menemukan suatu hadits yang sesuai dengan
itu, tentu mereka akan bergembira karena sesungguhnya mereka
sangat mengharapkan itu. Semua ini menunjukkan bahwa apa
yang dikemukakan al-Musawi dalam hal ini adalah dusta dan
palsu belaka.
Ibn Taimiyah berkata: "Ahmad ibn Hambal, seorang yang
paling tahu mengenai hadits pada masanya berhujjah atas
kekhalifahan 'Ali dengan hadits yang ada dalam kitab Sunan
berikut ini: "Khilafah akan berlangsung selama 30 tahun,
kemudian akan berganti menjadi kerajaan (dinasti)". Sebagian
orang memandang dha'if hadits ini, tetapi Imam Ahmad dan
lainnya memandangnya itsbat (sahih). Hadits inilah yang
paling pokok dari nash-nash yang menunjuk atas khilafah
'Ali. Seandainya mereka menemukan satu hadits Musnad atau
mursal yang sesuai dengan hadits ini, tentu mereka akan
bergembira sekali. Maka jelaslah bahwa nash yang dikemukakan
al-Musawi adalah hadits yang tak pernah didengar oleh para
ahli hadits, baik yang terdahulu maupun yang belakangan.
Karena itu, para ahli dengan sendirinya mengetahui kedustaan
hadits itu dan hadits-hadits lain yang dikemukakan al-Musawi
(Minhaj, 4/31).
5. Tidak seorang pun selama tiga abad pertama
Hijriah yang pernah beristidhal dengan satu hadits pun
mengenai khilafah 'Ali, kendatipun ada keinginan dan
dorongan untuk itu. Dan kendatipun banyaknya pengikut 'Ali
setelah terjadinya fitnah pada masa beliau, yang niscaya
akan terselesaikan dengan dimunculkannya nash seperti itu.
Ini berarti memang tidak ada nash dalam soal ini, dan semua
dalil yang dikemukakan kaum Rafidhah hanyalah kepalsuan
belaka.
Ibn Taimiyah berkata: Telah terjadi penyelesaian melalui
tahkim (arbitrase) (antara 'Ali dan Mu'awiyah, peny.) dengan
mengangkat dua orang wakil dari masing-masing pihak, dan di
sekeliling 'Ali banyak kaum Muslimin. Namun dari sekian
banyak sahabat 'Ali, tak ada seorang pun yang menyebutkan
nash tersebut juga tak ada orang yang berhujjah dengannya
walaupun keadaan menuntutnya. Seandainya ada nash seperti
itu yang diketahui oleh kelompok 'Ali, tentu salah seorang
dari mereka akan berkata: "Ini adalah nash dari Nabi yang
menetapkan kekhalifahan 'Ali. Karena itu ia harus
dimenangkan atas Mu'awiyah". Abu Musa sendiri (wakil pihak
'Ali) termasuk orang yang terpandang. Seandainya ia
mengetahui bahwa Nabi memberikan nash atas khilafah 'Ali,
tentu ia tidak akan menurunkan 'Ali dari jabatannya. Jika
itu dilakukannya --sementara ada nash-- tentu orang akan
berkata: "Bagaimana anda dapat menyimpang dari nash nabi
mengenai khilafah 'Ali". Kaum Rafidhah berhujjah dengan
hadits nabi: "Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang."
Hadits ini diriwayatkan dengan satu, dua, atau tiga jalur.
Pendeknya ia bukan hadits mutawatir. Sedang nash menurut
orang-orang yang menggunakannya harus mutawatir. Maka
sungguh mengherankan bilamana kelompok 'Ali mengajukan
hujjah kepada orang lain dengan hadits ini, sementara tak
seorang pun dari mereka yang berhujjah dengan nash'.
(Minhaj, 4/15).
|