Sanggahan terhadap Dialog 54-58
Ghadir Khumm adalah sebuah tempat di Juhfah yang terletak
antara Makkah dan Madinah. Kaum Rafidhah menyatakan bahwa
Rasulullah berpidato kepada orang banyak di tempat ini. Ia
menyampaikan kepada mereka mengenai kepemimpinan 'Ali
sesudah beliau. Pidato ini disampaikan Nabi sebagai
realisasi dari perintah Allah SWT dalam ayat 67 surah
al-Ma'idah:
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu, Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir. (QS, al-Ma'idah, 5:67)
Ayat ini (menurut kaum Rafidhah) khusus mengenai 'Ali,
dan merupakan perintah dari Allah kepada nabi-Nya untuk
menyampaikan bahwa 'Ali adalah khalifah sesudah beliau,
langsung tanpa terpisah. Maka hadits Nabi di Ghadir Khumm
merupakan pelaksanaan Nabi terhadap kewajiban itu. Al-Musawi
dan para gurunya menjelaskan bahwa hadits itu mutawatir, dan
merupakan nash yang tegas dan pasti mengenai keimaman 'Ali
ibn Abi Thalib. Pandangan ini bisa ditanggapi dari berbagai
segi:
1. Ayat itu tidak diturunkan berkenaan dengan 'Ali
sebagaimana mereka katakan. Ia tidak lain adalah perintah
Allah kepada nabi-Nya untuk menyampaikan kepada manusia
semua yang telah diwahyukan-Nya kepada beliau. Beliau tidak
boleh menyembunyikan sedikit pun darinya. Dan Rasulullah saw
telah melaksanakan perintah ini. Ia telah menyampaikan semua
yang diwahyukan Allah kepadanya.
Ketika memberikan interpretasi terhadap ayat ini, Imam
Bukhari meriwayatkan melalui sanadnya dari 'A'isyah, bahwa
ia berkata: Barangsiapa mengatakan kepadamu bahwa Muhammad
menyembunyikan sesuatu dari apa yang diwahyukan Allah
kepadanya, maka ia pasti dusta. Sebab Allah mengatakan: "Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu
Bukhari mengutip perkataan az-Zuhri demikian: "Risalah
datang dari Allah; Rasul wajib menyampaikan, dan kita wajib
menerima". Ummat Islam telah bersaksi bahwa Nabi telah
menyampaikan risalah itu; ia telah menyampaikan amanat.
Beliau menyampaikan hal itu dalam pidatonya di depan
pertemuan akbar kaum Muslimin pada haji wada'. Dalam
kesempatan ini, terkumpul sahabat-sahabat beliau sebanyak
kira-kira 40.000 orang.
Diceritakan dalam Kitab Sahih Muslim dari Jabir dari
'Abdullah bahwa Rasulullah saw berkata dalam pidatonya waktu
itu: "Hai manusia, sesungguhnya kamu semua akan ditanya
tentang aku, maka apa yang akan kamu katakan?" Mereka yang
hadir menjawab: "Kami bersaksi bahwa engkau telah
menyampaikan (risalah), dan telah menyampaikan (amanat); dan
engkau telah memberi kami nasehat". Lalu Rasulullah
mengangkat kedua tangannya ke langit dan mengembalikan lagi
ke arah mereka seraya berkata: "Ya Allah, adakah aku telah
menyampaikan?".
2. Ayat tersebut diturunkan di Madinah, bahkan termasuk
ayat-ayat pertama yang diturunkan di Madinah jauh sebelum
haji wada', berdasarkan bukti ayat-ayat sebelum maupun
sesudahnya yang bercerita tentang keadaan Ahli Kitab di
Madinah. Sedangkan hadits Ghadir Khumm disampaikan oleh
beliau dalam perjalanan pulang dari haji wada' menuju
Madinah. Ini terjadi pada hari ke 18 bulan Dzul Hijjah. Kaum
Rafidhah tidak menentang penetapan peristiwa pada hari itu.
Sebagai bukti, mereka tetap menjadikan hari itu sebagai Hari
Raya mereka.
Adapun dakwaan kaum Rafidhah, bahwa ayat Ya ayyuharrasulu
balligh ma anzalallahu ilaika diturunkan di Ghadir Khumm,
mengharuskan ayat ini turun setelah ayat: Alyauma akmaltu
lakum dinakum wa-atmamtu 'alaikum ni'mati wa-radhitu lakumul
islama dina. Ini berarti berlawanan dengan kesepakatan para
ulama, baik ahli tafsir, ahli hadits, maupun ahli sejarah,
yang sependapat bahwa ayat ini diturunkan, pada haji wada'
ketika Rasulullah saw melakukan wukuf di Arafah.
Ibn Taimiyah berkata: Ayat ini (QS, al-Ma'idah, 5:67)
entah diturunkan sebagai hukuman ketika Nabi merajam
orang-orang Yahudi, atau ketika beliau memberikan keputusan
antara Bani Quraidhah dan Bani Nadhir ketika mereka datang
kepada Nabi. untuk meminta keputusan dalam soal pertumpahan
darah antara mereka. Tindakan merajam orang-orang Yahudi
merupakan sesuatu yang pertama kali dilakukan Nabi di
Madinah. Demikian pula memberikan putusan antara Bani
Quraidhah dan Bani Nadhir yang berselisih. Bani Quraidhah
adalah kaum yang dihormati sebelum perang Khandaq. Dan Bani
Nadhir diperangi setelah perang Khandaq. Menurut kesepakatan
semua orang, perang Khandaq terjadi sebelum Perdamaian
Hudaibiyah dan sebelum Fathu Khaibar. Semua peristiwa (yang
disebut belakangan) ini terjadi sebelum Fathu Makkah dan
perang Hunain. Dan semua ini terjadi sebelum haji wada'. Dan
haji wada' terjadi sebelum nabi menyampaikan pidatonya di
Ghadir. Barangsiapa mengatakan bahwa suatu ayat dari surah
al-Ma'idah diturunkan sewaktu Nabi di Ghadir Khumm, maka ia
dusta menurut kesepakatan para ahli.
Selanjutnya Ibn Taimiyah berkata: "Sesungguhnya Allah
telah menjamin keselamatan Nabi dalam ayat ini. Jika Nabi
menyampaikan risalah, Allah akan melindungi keselamatannya
dari ancaman musuh. Karena itu diriwayatkan bahwa sebelum
turunnya ayat itu, Rasulullah menunjuk seorang pengawal.
Namun setelah ayat ini turun, beliau lalu membebas-tugaskan
pengawalnya itu. Dengan begitu, pasti, ayat ini turun
sebelum sempurnanya tabligh. Sedangkan pada waktu haji wada'
tabligh sudah selesai (sempurna). Karena itu, ayat ini pasti
tidak diturunkan setelah haji wada', sebab tabligh Nabi
sudah sempurna. Untuk itu, ia tidak perlu khawatir akan
ancaman seseorang hingga memerlukan perlindungan darinya.
(Minhaj, 4/84).
3. Seandainya Nabi diperintahkan untuk menyampaikan
kepada semua orang mengenai keimaman 'Ali setelah Nabi,
tentu beliau akan menyampaikannya di waktu ummat Islam
sedang berkumpul di sekitar beliau di tengah-tengah
pelaksanaan haji atau sesudahnya, sebelum mereka kembali ke
kampung halaman mereka, sebagaimana Nabi menyampaikan
hal-hal lain yang penting pada haji yang terakhir ini. Maka
kenyataan ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Ghadir
Khumm itu bukanlah sesuatu yang harus disampaikan Nabi
kepada ummat sebagaimana yang harus beliau sampaikan pada
haji wada'.
Berkata Ibn Taimiyah: Tak seorang pun yang meriwayatkan
melalui saluran yang sahih maupun yang dha'if bahwa Nabi
pernah menuturkan keimaman 'Ali atau menyebut-nyebut tentang
'Ali dalam pidato yang disampaikannya pada haji wada'.
(Minhaj, 4/85).
Dan sudah diketahui umum bahwa pidato Nabi pada haji
wada' itu diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Islam
Persoalan imamah adalah sesuatu yang sangat penting dan
sensitif dalam kehidupan ummat. Seandainya ia termasuk
urusan yang harus disampaikan Nabi kepada semua orang, pasti
ia telah menyampaikannya, tanpa harus menunda-nundanya.
Apalagi Nabi mengetahui bahwa setelah turunnya ayat: Alyauma
akmaltu lakum dinakum beliau tidak akan mendapat kesempatan
seperti kesempatan pada haji wada' itu:
4. Kaum Rafidhah menganggap bahwa hadits Ghadir Khumm itu
mutawatir. Padahal hadits itu hadits ahad, yang masih
diperselisihkan kesahihannya. Segolongan ulama meragukan
kesahihan hadits itu, seperti Abu Daud as-Sajistani, Abu
Hatim ar-Razi, Ibn Taimiyah, Ibn al-Jauzi dan lain-lain.
Jadi bagaimana mereka dapat menganggap hadits itu mutawatir
sedangkan menurut para ulama hadits itu demikian keadaannya?
Tetapi kaum Rafidhah memandang setiap hadits yang sesuai
dengan hawa nafsu mereka sebagai hadits mutawatir, walaupun
ia hadits maudhu'. Sebaliknya, mereka menganggap palsu
hadits yang berlawanan dengan kemauan hawa nafsu mereka,
walaupun ia benar-benar hadits yang mutawatir. Mereka
memandang hadits-hadits yang sahih sebagai hadits yang
kurang lengkap manakala ia tidak mencakup kata-kata yang
sesuai dengan keinginan dan kepercayaan mereka.
Dengan pandangan itu, al-Musawi menganggap hadits Ghadir
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab Fadha'il 'Aliy
telah dipotong oleh Muslim dan imam-imam hadits lainnya dari
kalangan kaum Sunni, yang dicap olehnya sebagai tidak amanah
dan berdusta atas nama Rasulullah saw dengan kata-katanya;
"Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab Fadha'il
'Ali dari Kitab Sahihnya melalui banyak saluran dari Zayid
ibn Arqam. Namun ia meringkas dan memenggalnya --dan memang
begitulah yang mereka perbuat. Sungguh besar kebohongan
al-Musawi. Namun pembaca tak perlu heran, sebab ia memang
tergolong kaum yang menghalalkan dusta. Dan berlakulah atas
mereka perkataan orang: "Engkau menuduhku berbuat buruk,
sedang engkau sendiri bersegera mengerjakannya".
Al-Musawi telah mengemukakan riwayat an-Nasa'i, supaya
pembaca mengira bahwa Muslim telah menggunakan lafazh
Nasa'i, ketika ia mengatakan: "Hadits ini diriwayatkan oleh
Muslim dalam kitab Sahihnya bab Keutamaan 'Ali". Ini tidak
lain kecuali dusta dan bohong yang besar dan memang demikian
kebiasaan mereka. Dan hal ini mengharuskan kami mengemukakan
riwayat Muslim, supaya pembaca mengetahui yang sesungguhnya.
Kecuali itu, agar supaya ia mengerti perbedaan riwayat
Muslim dan riwayat Nasa'i, dan supaya mengerti pula bahwa
hadits itu tidak menunjuk pada pengertian yang dikemukakan
al-Musawi.
Imam Muslim meriwayatkan melalui salurannya dari Yazid
ibn Hayyan; ia berkata: Aku dan Husain ibn Sabrah serta
'Umar ibn Muslim pergi menemui Zaid ibn Arqam. Setelah kami
duduk-duduk bersamanya, berkata Husain kepada Zaid: "Sungguh
engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat
Rasulullah, mendengarkan haditsnya, berperang bersamanya,
dan shalat dibelakangnya. Sungguh engkau telah mendapat
banyak kebaikan, hai Zaid. Coba ceritakan kepadaku apa yang
kamu dengar dari Rasulullah saw"' Berkata Zaid: "Hai anak
saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku sudah
lupa akan sebagian yang kudapat dari Rasulullah. Apa yang
kuceritakan kepadamu, terimalah, dan apa yang tidak
kusampaikan, janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya".
Lalu Zaid berkata: "Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri
di tengah-tengah kami menyampaikan pidato di suatu tempat
bernama Ghadir Khumm yang terletak antara Makkah dan
Madinah. Ia membaca hamdalah, dan memuji kebesaranNya. Ia
mengingatkan dan memberi nasehat. Selanjutnya ia berkata:
Hai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa,
hampir-hampir datang kepadaku utusan Tuhanku, dan aku akan
memenuhi panggilanNya. Aku tinggalkan untukmu ats-tsaqalain
(dua hal). Pertama, Kitab Allah. Didalamnya terdapat
petunjuk dan cahaya. Maka ambillah Kitab itu, dan
berpeganglah kepadanya. Suruhlah manusia berpegang pada
Kitab Allah dan mencintainya. Kedua, keluargaku. Kuingatkan
kamu akan Allah mengenai Ahli Baitku. Ku ingatkan kamu
kepada Allah mengenai Ahli Baitku!" Lalu Husain bertanya
kepada Zaid: "Hai Zaid, siapa gerangan Ahlul Bait itu?
Tidakkah istri-istri nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya:
"Istri-istri nabi termasuk Ahli Baitnya. Tetapi Ahlul Bait
adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah
setelah wafat Nabi", lanjutnya lagi. "Siapa mereka?", tanya
Husain. Jawabnya: "Mereka adalah keluarga 'Ali, keluarga
'Aqil, keluarga Ja'far, dan keluarga ibn 'Abbas", "Apakah
mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?" tanya
Husain; "Ya", jawabnya. (Sahih Muslim dengan syarah Nawawi,
bab Keutamaan 'Ali, jilid 15, hal. 179).
Jadi dalam riwayat Muslim tidak terdapat kata-kata:
"Salah satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab
Allah dan Ithrahku. Ahlu Baitku. Perhatikanlah bagaimana
kamu memperlakukan mereka sepeninggalku. Sesungguhnya
keduanya tidak akan berpisah sampai berjumpa kembali
denganku di al-Khaudh."
Dalam riwayat Muslim juga tidak terdapat kata-kata
"Sesungguhnya Allah adalah mawlaku, dan aku adalah wali
setiap mu'min. Kemudian Nabi memegang tangan 'Ali seraya
berkata: "Barangsiapa (mengakui) aku sebagai walinya, maka
ia ('Ali) adalah walinya. Ya Allah, kasihilah orang yang
memperwalikan 'Ali, dan musuhilah orang yang
memusuhinya!".
Meskipun kata-kata tersebut di atas adalah ungkapan yang
sangat dipentingkan al-Musawi, sebab dalam ungkapan ini
terkandung makna yang menunjang madzhabnya, namun ia cukup
mengatakan "Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim", supaya
pembaca mengira bahwa riwayat yang ia kemukakan itu
merupakan riwayat Muslim.
Sesungguhnya tidak adanya kata-kata tersebut dalam
riwayat Muslim dan tidak adanya kata-kata yang menunjuk pada
pengertian yang dikehendaki al-Musawi, itulah yang
menyebabkan dia mengkritik riwayat ini dan mengkritik Imam
Muslim serta, imam-imam hadits lainnya.
Orang yang memperhatikan sungguh-sungguh riwayat Muslim
itu, akan menemukan bahwa riwayat itu hanya mengandung
wasiat untuk mengikuti Kitab Allah, dan peringatan saja akan
Ahlul Bait. Di situ tidak ada perintah untuk mengikuti
mereka.
Berkata Ibn Taimiyah: "Hadits yang terdapat dalam Sahih
Muslim itu --jika benar itu perkataan Nabi-- hanyalah
merupakan wasiat untuk mengikuti Kitab Allah. Dan perintah
ini sudah disampaikan Nabi sebelumnya pada haji wada'. Ia
tidak menyuruh untuk mengikuti 'Ithrah. Ia hanya mengatakan:
"Aku ingatkan kamu kepada Allah mengenai keluargaku". Kalau
ummat harus ingat kepada mereka, ini artinya ummat harus
mengingat apa yang sebelumnya diperintahkan Nabi kepada
ummat, yaitu memberikan apa yang menjadi hak-hak mereka, dan
dilarang keras berbuat aniaya kepada mereka. Perintah ini
sudah Nabi sampaikan sebelum pidato di Ghadir Khumm. Dari
sini dapat diketahui bahwa tidak ada perintah syara' yang
diturunkan di tempat itu, baik mengenai 'Ali maupun lainnya,
baik persoalan imamah maupun soal lain. (Minhaj, 4/85).
Imam Tirmidzi menambah riwayat Muslim itu dengan
kata-kata "Keduanya tidak akan berpisah sampai mereka.
bertemu denganku di al-Khaudh". Menanggapi tambahan ini, Ibn
Taimiyah berkata: "Tidak sedikit para ahli hadits yang
mengecam tambahan ini". Katanya lagi: "Tambahan itu bukan
hadits: adapun orang-orang yang memandang sahih tambahan
tersebut berpendapat bahwa yang dimaksud 'Ithrah adalah
semua keturunan Bani Hasyim di mana mereka tidak akan
sepakat dalam kesesatan. Ini pandangan sekelompok orang dari
kalangan Sunni, dan demikian ini jawaban Qadhi Abu Ya'ia dan
lainnya". (Minhaj, 5/85).
Mengenai tambahan "Ya Tuhan, kasihilah orang yang
memperwalikan 'Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya",
Ibn Taimiyah berkata: "Tambahan itu dusta. Al-Atsram dalam
kitab Sunannya mengutip dari Ahmad bahwa 'Abbas bertanya
kepadanya mengenai al-Asyqar, dan dia menceritakan kepadanya
dua hadits, yaitu perkataan Nabi kepada 'Ali berikut ini:
Kamu akan mengemukakan surah al-Bara'ah dariku, maka
janganlah kamu berlepas tangan." Dan "Ya Tuhan, kasihilah
orang yang memperwalikan 'Ali dan musuhilah orang yang
memusuhinya". Abu Ubaidillah mengingkari kata-kata ini dan
dia tidak syak lagi bahwa dua hadits itu palsu. Demikian
pula kata-kata "Kamu ('Ali) lebih utama dari setiap mu'min
dan mu'minah", adalah palsu pula. (Minhaj, 5/86).
Adapun perkataan "Barangsiapa (mengakui) aku sebagai
walinya, maka 'Ali adalah juga walinya," hadits ini tidak
terdapat dalam kitab-kitab sahih. Ia termasuk hadits yang
diriwayatkan oleh ulama-ulama yang masih diperdebatkan
kesahihannya. Diceritakan dari Bukhari, Ibrahim dan
sekelompok ahli hadits, bahwa mereka mengecam hadits itu dan
mendha'ifkannya. Dan diceritakan dari Ahmad, bahwa ia
memandang hadits itu hasan, seperti halnya Imam Tirmidzi.
(Minhaj, 4/86).
5. Kalaupun kata-kata tambahan itu dipandang sahih, maka
kata-kata itu juga tidak menunjuk pada pengertian yang
dikehendaki al-Musawi, yaitu bahwa kata-kata itu merupakan
nash yang menetapkan 'Ali sebagai Khalifah. Sebab kata mawla
tidak memiliki arti orang yang lebih berhak mengurus urusan
orang lain, menurut para ahli bahasa, sebagaimana telah kami
jelaskan terdahulu.
Ad-Dihlawi berkata: "Semua ahli bahasa Arab menentang
bahwa kata mawla diartikan awla. Sebab kalau penggunaan kata
seperti itu dapat dibenarkan, maka harus dibenarkan pula
ungkapan Fulanun mawla minka sebagai ganti Fulanun awla
minka. Padahal yang seperti ini tidak benar (bathil) dan
bertentangan dengan ijma'.
Kalaupun kata mawla bisa diartikan awla juga, maka kata
itu tidak mesti berhubungan dengan kata tasharruf
(mengurus). Bagaimana dan dari arah mana hubungan kata itu
ditetapkan? Sebab sangat mungkin kata awla itu bermakna awla
bilmahabbah (lebih patut dicintai), awla bi at-Ta'zhim
(lebih pantas dihormati). Apa yang mengharuskan dia
mengartikan kata awla dengan awla bi at-Tasharruf? Firman
Allah Inna awlan-nasi bi-ibrahima lalladzinat taba'uhu wa
hadzan-nabiyyu walladzina amanu secara lahiriyah menyatakan
bahwa pengikut-pengikut Ibrahim bukanlah orang yang lebih
berhak mengurus urusan orang lain di sisi Ibrahim.
Disebutkannya 'kasih sayang' dan 'permusuhan' menunjukkan
bahwa yang dikehendaki adalah kewajiban mencintai 'Ali dan
tidak memusuhinya, bukan tasharruf dan tidaknya.
Dari sini dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
perkataan Nabi itu adalah kewajiban mencintai 'Ali, suatu
makna yang sesuai dengan ketentuan dalam bahasa Arab
sebagaimana ummat Islam wajib mencintai Nabi, dan memusuhi
'Ali hukumnya haram, sebagaimana haramnya memusuhi Nabi. Ini
adalah pendapat Ahlus Sunnah, dan sesuai pula dengan paham
Ahlul Bait. Abu Nu'aim menuturkan dari Hasan al-Mutsanna ibn
al-Hasan as-Sibth al-Akbar bahwa mereka bertanya kepada Ibn
al-Hasan tentang hadits "Barangsiapa mengakui aku sebagai
walinya apakah hadits ini merupakan nash untuk kekhalifahan
'Ali. Jawabnya: "Seandainya Nabi memaksudkan hadits itu
sebagai nash bagi kekhalifahan 'Ali, tentu beliau akan
mengungkapkannya dengan tegas dan jelas seperti berikut ini:
"Hai manusia, inilah wali urusanku dan yang akan memimpin
kamu semua setelahku, dengarkanlah dan patuhilah dia!" Kata
Hasan selanjutnya: "Demi Tuhan, seandainya Allah dan
RasulNya memilih 'Ali sebagai pemimpin, dan ia tidak
melaksanakan perintah Allah dan Rasul itu, maka tentu ia
termasuk orang yang paling berdosa, lantaran tidak
melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya." Seorang
bertanya: "Tidakkah Rasulullah saw telah bersabda:
"Barangsiapa mengakui aku sebagai walinya, maka 'Ali adalah
juga walinya?" Jawab Hasan: "Tidak. Demi Allah, seandainya
Rasulullah menghendaki 'Ali sebagai khalifah, pasti ia akan
mengatakan dengan jelas, dan menerangkannya sebagaimana ia
menerangkan shalat dan zakat, dan berkata: "Hai manusia,
sesungguhnya 'Ali adalah pemegang urusanmu setelahku, dan
yang akan menegakkan urusanku di tengah-tengah manusia.
(Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asy'ariyah, hal. 161).
Ibn Taimiyah berkata: Dalam kalimat itu terdapat
perbedaan antara kata al-waliy dengan al-mawla, juga dengan
kata al-waali. Kata al-walayah yang merupakan lawan kata
al-'adawah memiliki suatu makna, dan kata al-wilayah yang
berarti al-Imarah memiliki makna yang lain. Dalam hadits ini
yang dikehendaki adalah makna yang pertama, bukan makna yang
kedua. Dan Nabi tidak mengatakan Man kuntu walihi
fa-'aliyyun walihi tetapi yang dikatakan Nabi adalah Man
kuntu maulahu fa'aliyyun maulahu. Mengartikan kata mawla
dengan al-waali, tidaklah dapat dibenarkan, sebab makna
al-walayah mendapat dukungan dari dua segi, yaitu bahwa
orang-orang mu'min adalah kekasih Allah, dan Allah adalah
kekasih mereka. Mengenai keadaan bahwa Nabi lebih berhak
dicintai di banding diri mereka sendiri, maka makna ini
tidak dapat ditetapkan kecuali untuk Nabi saw, di mana
beliau lebih berhak dicintai oleh kaum Mu'minin dari diri
mereka sendiri, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi
saw. (Minhaj, 4/87).
Barangsiapa memperhatikan dengan teliti hadits Nabi di
Ghadir Khumm itu, maka ia akan mengetahui bahwa ucapan Nabi:
Man kuntu maulahu fa-'aliyyun maulahu tidak dapat dijadikan
dalil atas kepemimpinan 'Ali. Sebab hal ini akan menjadikan
berkumpulnya kepemimpinan 'Ali atas kaum Mu'minin dengan
kepemimpinan nabi dalam waktu yang bersamaan. Sebab hadits
itu disampaikan secara mutlak, tanpa dibatasi oleh waktu
tertentu. Dan dualisme kepemimpinan seperti ini tidak dapat
dibenarkan menurut syara' maupun akal sehat. Dengan
demikian, maka hadits itu mesti diartikan sebagai menyatakan
kewajiban kaum Mu'minin untuk mencintai 'Ali, sebab tidak
ada halangan adanya ijtima' (berkumpul) antara cinta kepada
'Ali dan cinta kepada Nabi Muhammad saw. Bahkan kecintaan
terhadap keduanya merupakan dua hal yang terkait yang tidak
dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Syeikh Dihlawi berkata: "Hadits ini menunjukkan dengan
jelas, berkumpulnya dua kepemimpinan pada satu waktu. Sebab
di sini tidak ada pembatasan dengan kata-kata ba'dy
(setelahku). Bahkan suSunan kalimatnya menunjukkan persamaan
dua kepemimpinan pada semua waktu dari berbagai seginya
sebagaimana yang terlihat jelas dari dhahir hadits. Sedang
berserikatnya kepemimpinan dengan Nabi dalam pelaksanaan
pemerintahan beliau tidaklah dapat dibenarkan. Ini merupakan
dalil yang lebih menunjukkan bahwa yang dikehendaki di sini
adalah 'mencintai' 'Ali. Sebab tidak ada halangan
berkumpulnya dua orang yang dicintai. Bahkan cinta kepada
yang satu mewajibkan cinta kepada yang lain. Sebaliknya,
berkumpulnya dua kepemimpinan tidak dapat dibenarkan sama
sekali. Seandainya mereka memberi batasan dengan sesuatu
yang menunjuk pada kepemimpinan 'Ali pada masa yang akan
datang, bukan pada ketika itu, maka dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat dengan kaum Sunni. Mereka juga mengatakan
demikian. (Mukhtashar at-Tuhfah, hal. 161).
Kaum Rafidhah menafsirkan kata awla yang terdapat pada
permulaan hadits Ghadir Khumm Awalasturn tasyhaduna anni
awla bikulli mu'minin min nafsihi dengan awla bi
at-Tasharruf (lebih berhak mengurusi). Penafsiran ini jelas
bathil. Sebab yang dimaksud adalah awla bi al-mahabbah
(lebih patut dicintai). Dengan demikian, artinya menjadi
"Tidakkah kamu bersaksi bahwa aku lebih patut bagi setiap
mu'min untuk dicintai daripada diri mereka sendiri?"
Pengertian demikian sesuai pula dengan perkataan Nabi:
"Tidak sempurna iman seorang darimu sehingga aku lebih ia
cintai daripada orang tua dan anaknya sendiri, dan manusia
seluruhnya". (HR Muslim). Dengan demikian, maka terjadilah
persesuaian antara bagian-bagian kalimat tersebut.
Berkata Syeikh ad-Dihlawi: "Kata awla juga terdapat di
tempat lain, di mana ia tidak dapat diartikan awla bi
at-tasharruf. Seperti firman Allah: Annabiyyu aula
bil-mu'minina min anfusihim wa azwnjuhu ummahatuhum dan
Wa'ulul arhami ba'dhuhum aula bi-ba'dhin fi kitabillah. Ayat
yang pertama berkenaan dengan nisbat anak-anak angkat kepada
orang yang mengangkatnya. Jelasnya demikian: Sesungguhnya
Zaid ibn Haritsah tidak seyogyanya di sebut Zaid ibn
Muhammad. Sebab nisbat Nabi terhadap semua orang Islam
seperti halnya ayah yang amat kasih, bahkan lebih dari itu.
Sedang istri-istri Nabi merupakan ibu-ibu bagi kaum
Muslimin.
Ayat yang kedua menyatakan bahwa kaum kerabat dalam
hubungan nasab jauh lebih berhak dan lebih utama daripada
lainnya, walaupun kecintaan dan penghormatan kepada mereka
mungkin jauh lebih tinggi. Akan tetapi perpautan nasab itu
tetap pada kerabat. Dan ini yang tidak terdapat pada
anak-anak angkat. Sudah diputuskan yang demikian itu dalam
Kitab Allah. Di sini tidak ada arti awla bi at-tasharruf
sama sekali. (Mukhtashar at-Tuhfah, hal. 161-162).
Al-Musawi telah membeberkan kebodohannya sendiri mengenai
hadits dan isnadnya. Demikian pula keadaan kaumnya di mana
mereka tidak memiliki sanad-sanad yang sahih dan muttashil.
Hadits yang sahih menurut mereka adalah yang sesuai dengan
hawa nafsu mereka, meskipun ia maudhu'. Sedang hadits yang
dha'if adalah hadits yang berlawanan dengan madzhab mereka.
Kebodohan al-Musawi terlihat dengan jelas ketika ia
memandang hadits Ghadir Khumm sebagai hadits Mutawatir,
dengan mengutip riwayat Abu Ishak ats-Tsa'labi dalam
menafsirkan surah al-Ma'arij dalam tafsirnya, at-Kabir.
Seakan-akan ats-Tsa'labi tidak pernah meriwayatkan hadits
kecuali yang mutawatir.
Tidakkah anda lihat, pembaca yang Muslim, akan kebodohan
yang keterlaluan ini, dan caranya berdalil, yang orang bodoh
sekalipun malu melakukannya, apalagi orang pandai; anak-anak
malu mengatakannya, apalagi orang dewasa. Inilah kebodohan
yang lahir dari hawa nafsu, kesesatan dan penyelewengan.
Al-Musawi yang tersesat dan menyesatkan itu tidak tahu
bahwa para ahli hadits sepakat bahwa dengan disandarkannya
sebuah hadits kepada ats-Tsa'labi sudah mengesankan
kedha'ifannya, sehingga perlu diperkuat kesahihannya melalui
saluran-saluran yang lain.
Sedang riwayat ats-Tsa'labi itu, tidak seorang pun dari
ulama hadits yang mau meriwayatkannya dalam kitab-kitab
mereka yang menjadi pegangan semua orang di bidang hadits,
baik dalam kitab-kitab Sahih, Sunan maupun Musnad.
Ibn Taimiyah dalam menanggapi hadits itu berkata:
"Kedustaan riwayat ini tidak samar lagi bagi orang yang
mengerti sedikit saja tentang hadits."
Ibn Taimiyah mengecam riwayat hadits itu dari berbagai
sudut. Di sini akan kami kemukakan dengan sedikit
perubahan:
1. Semua orang sepakat bahwa pidato Nabi di Ghadir Khumm
itu beliau sampaikan sekembalinya dari haji wada'. Kaum
Syi'ah juga sependapat, dan mereka menjadikan hari itu
sebagai Hari Raya, yaitu hari ke 18 bulan Dzul Hijah. Sedang
surah Sa'ala sa'ilun (QS, al-Ma'arij) itu diturunkan di
Makkah berdasarkan kesepakatan para ahli. Surah itu
diturunkan di Makkah sebelum Hijrah, 10 tahun atau lebih
sebelum peristiwa di Ghadir Khumm. Bagaimana dapat dikatakan
bahwa ayat itu diturunkan setelah peristiwa di Ghadir
Khumm?
2. Ayat Allahumma ibn kana hadza huwal-haqqu min 'indika
(QS, al-Anfal, 8:32) diturunkan di Badar berdasarkan
kesepakatan para ahli, dan beberapa tahun sebelum Ghadir
Khumm.
Para ahli tafsir sependapat bahwa ayat itu diturunkan
berkenaan dengan ucapan kaum Musyrikin kepada Nabi di Makkah
sebelum hijrah, seperti Abu Jahal dan kawan-kawan. Kemudian
Allah mengingatkan Nabi mengenai perkataan kaum Musyrikin
itu dengan firmanNya pada ayat 32 surat al-Anfal tersebut,
yang artinya yakni ingatlah kamu pada perkataan mereka! Ini
menunjukkan bahwa perkataan itu terjadi sebelum turunnya
surat ini.
3. Semua orang sepakat bahwa penduduk Makkah tidak
dijatuhi batu-batu dari langit ketika mereka berkata
demikian. Kalau seandainya terjadi demikian, tentu ayat ini
termasuk dalam jenis ayat-ayat Ashab al-Fil. Namun yang
demikian ini tidak pernah dikemukakan oleh para ahli, baik
dalam kitab Sahih, Musnad maupun dalam kitab-kitab mengenai
keutamaan 'Ali. Juga tidak pernah disebut dalam buku tafsir,
sejarah dan buku-buku lainnya, walaupun ayat tersebut sangat
penting. dan patut dikutip. Dengan demikian, maka dapat
dimengerti bahwa riwayat itu palsu.
4. Ketika penduduk Makkah ditaklukkan, Allah menyatakan
bahwa ia tidak akan menurunkan azab kepada mereka sementara
Muhammad ada bersama mereka. Mereka berkata: Idz
qalullahumma inkana hadza huwal-haqqu min indika
dan
seterusnya, lalu Allah berfirman: Wama kanallahu
liyu'adzdzibahum wa-anta fihim, wama kanallahu
mu'adzdzibahum wahum yastaghfirun (QS, al-Anfal, 8:33).
5. Dalam riwayat ats-Tsa'labi yang dikutip oleh al-Musawi
terdapat ucapan orang yang bertanya: "Hai Muhammad, Engkau
menyuruh kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Engkau adalah Rasul-Nya. Kami menerimanya". Perkataan
demikian menunjukkan bahwa orang yang bertanya tadi adalah
Muslim. Dan semua orang tahu bahwa tak seorang pun dari kaum
Muslimin pada zaman Nabi yang mendapat musibah seperti itu
(terkena hujan batu dari langit).
6. Lelaki itu (Harits ibn Nu'man al-Fithri) tidak dikenal
di kalangan, para sahabat. Bahkan ia termasuk nama-nama yang
disebutkan oleh kalangan tarekat dalam, hadits-hadits yang
berkenaan dengan riwayat hidup Antarah dan Dilhamah. Banyak
orang yang sudah menyusun buku-buku mengenai nama-nama para
sahabat yang disebut dalam hadits-hadits, sampai dalam
hadits-hadits yang dha'if sekalipun, seperti buku
al-Isti'ab, karya Ibn 'Abdil Bar, buku Ibn Mundah, dan Buku
Abu Nu'aim al-Ashbahani dan buku al-Hafidz Abu Musa dan
lain-lain, namun tak seorang pun dari mereka yang menyebut
nama lelaki itu. Jelaslah bahwa ia tidak disebutkan
(terkait) barang sedikit pun dalam riwayat-riwayat hadits.
(Minhaj, 4/13-14).
|