Sanggahan terhadap Dialog 50
Dalam dialog ini, al-Musawi begitu menggebu-gebu untuk
menjadikan atsar-atsar mengenai keutamaan 'Ali sebagai dalil
yang pasti mengenai keimaman 'Ali sepeninggal Nabi tanpa
jarak pemisah. Sebelum kami membantah dalil-dalil ini dari
segi sahih dan dha'ifnya, kami ingin mengemukakan sebagai
berikut: Kitab-kitab hadits telah mengutip pelbagai
keutamaan sahabat-sahabat Nabi, dan 'Ali termasuk salah
seorang dari mereka. Jika hadits-hadits tentang keutamaan
itu dapat dijadikan dalil kepemimpinan --sebagaimana
dikatakan kaum Rafidhah-- maka setiap sahabat akan dapat
mengklaim imamah dengan berdalil pada hadits-hadits mengenai
keutamaan-keutamaan yang dimilikinya. Membatasi hal itu
hanya untuk 'Ali saja adalah tindakan yang sewenang-wenang
dan aniaya terhadap sahabat-sahabat Nabi yang lain, yang
keutamaan-keutamaan mereka juga disebut dalam kitab-kitab
hadits yang sahih. Jika mereka mengatakan bahwa hal itu
berlaku umum, maka kami bertanya: Mengapa kaum Rafidhah
menolak kepemimpinan Abu Bakar dan 'Umar, sedang mereka
memiliki keutamaan-keutamaan yang benar dan sahih, yang
melebihi keutamaan-keutamaan 'Ali? Ketahuilah bahwa
sesungguhnya kaum Sunni tidak menjadikan keutamaan-keutamaan
itu sebagai dalil yang tegas atas kepemimpinan mereka.
Mengenai nash-nash yang berkenaan dengan pelbagai
keutamaan 'Ali dan yang dijadikan dasar oleh al-Musawi untuk
mendukung apa yang ia dakwakan, maka pembicaraan mengenainya
sudah disampaikan dalam menanggapi Dialog 20, 26, 36, 40,
dan 48. Adapun nash-nash yang dikemukakan dalam Dialog no.
50 ini adalah sebagai berikut:
1. Hadits "'Ali bersama al-Qur'an, dan al-Qur'an bersama
'Ali. Keduanya tiada akan berpisah, sehingga mereka bertemu
di al-Haudh (kolam di surga)".
Hadits ini menunjukkan keutamaan 'Ali. Ia mengungkapkan
kepada kita bahwa 'Ali berada dalam kebenaran, dan kebenaran
berada di pihak 'Ali. Kaum Sunni tidak menentang hal ini.
Akan tetapi mereka menolak kalau hadits ini dijadikan dalil
atas dakwaan kaum Rafidhah bahwa 'Ali adalah Khalifah dan
Amirul Mu'minin setelah Nabi, tanpa jarak pemisah. Sebab
tidak ditemukan satu kata pun dalam hadits ini yang
mengandung pengertian tersebut, atau menunjuk pada
pengertian itu, baik langsung ataupun tidak. Hadits ini
tidak mengandung kata al-Imamah, juga tidak menyebutkan
ketentuan mengenai batas waktu. Maka dari segi yang mana,
mereka menarik kesimpulan tersebut, sehingga hadits itu
menjadi dalil bagi dakwaan mereka? Jika hadits itu dijadikan
dalil atas hak 'Ali sebagai Khalifah tanpa penjelasan waktu
tertentu, maka kaum Sunni tidak akan menolaknya.
Mengenai hadits "'Ali dan aku seperti kedudukan kepalaku
terhadap tubuhku."
Al-Khathib meriwayatkan hadits ini dalam kitab Tarikhnya.
Ad-Dailami juga meriwayatkannya dalam al-Firdaus.
Disandarkannya hadits ini kepada dua sumber di atas, sudah
menunjukkan kedha'ifannya, sebagaimana diakui oleh para ahli
hadits. Karena itu, hadits ini dha'if. Wallahu a'lam.
Mengenai hadits: "Demi Tuhan yang jiwaku berada di
tangannya, kamu sekalian mesti mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat, atau (jika tidak) akan kuutus kepadamu
seorang laki-laki dariku atau yang seperti aku
Ibn Abi Syaibah telah meriwayatkan hadits ini. Ia hadits
dha'if. Tak seorang pun dari penyusun kitab-kitab Sahih,
Sunan maupun Musnad yang mengeluarkannya.
|