Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 44

Sungguh al-Musawi telah mengemukakan pernyataan dusta bahwa ayat al-wilayah (QS, al-Ma'idah, 5:11) dikhususkan untuk 'Ali ibn Abi Thalib. Pada dialog sebelumnya, ia telah mengutip kesepakatan para ahli tafsir, ahli hadits dan ahli sejarah. Kami pun telah menyanggahnya dengan menjelaskan kedustaan yang dikemukakannya. Kami juga telah menjelaskan lemahnya dalil yang dijadikan dasar oleh al-Musawi. Juga telah dijelaskan bahwa dalil itu berlawanan dengan riwayat yang sahih dan disepakati oleh para ahli tafsir, hadits dan sejarah. Bahkan para ahli tafsir yang menjadi rujukan al-Musawi, mereka meriwayatkan dalam tafsir-tafsir mereka suatu kesepakatan yang bertentangan dengan apa yang didakwakan al-Musawi itu.

Ats-Tsa'labi dalam tafsirnya mengutip sebuah riwayat dari Ibn 'Abbas yang menerangkan bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar. Ia juga menukil dari 'Abdul Malik, yang berkata: Aku bertanya kepada Abu Ja'far mengenai lafazh alladzinu ainanu. Jawabnya: "Mereka adalah orang-orang beriman". "Sebagian orang mengatakan bahwa yang dimaksud "orang-orang beriman" itu adalah 'Ali", tanyaku lagi. Ia menjawab: "'Ali termasuk orang-orang yang beriman." Hal serupa diriwayatkan pula oleh adh-Dhahhak. Abu Hatim meriwayatkan dalam tafsirnya melalui sanadnya dari Ibn 'Abbas, yang berkata: "Setiap orang yang beriman, pasti dikasihi Allah, dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman". Abu Hatim meriwayatkan pula dengan sanad dari 'Abdul Malik ibn Abi Sulaiman, yang berkata: Aku bertanya kepada Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali mengenai ayat itu. Ia menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang beriman." "Ayat itu diturunkan berkenaan dengan 'Ali", kataku. Jawabnya: "'Ali termasuk orang-orang yang beriman." Hal yang serupa diriwayatkan pula oleh as-Sadi.

Bagaimana dapat dibenarkan --setelah adanya semua keterangan di atas-- dakwaan al-Musawi bahwa ayat tersebut merupakan nash bagi kepemimpinan 'Ali, dan bahwa hal itu telah menjadi ijma'? Dan dapatkah dipandang itsbat dalil yang dikemukakan al-Musawi berupa atsar yang dha'if dari ats-Tsa'labi dan lainnya yang bertentangan dengan hadits-hadits sahih yang tsabit dan dikenal di kalangan para ahli tafsir, baik yang belakangan maupun yang terdahulu, yang menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk melarang berkasih sayang (muwalah) dengan orang-orang kafir. Sebaliknya ayat itu merupakan perintah untuk mengembangkan sifat saling mengasihi di kalangan kaum Mu'minin ketika sebagian orang munafik, seperti 'Abdullah ibn Ubay, mengasihi orang Yahudi. 'Abdullah berkata: "Aku takut akan nasib buruk". Lalu Ubadah ibn Shamit berkata: "Aku mencintai Allah dan Rasul-Nya dan menyerahkan diri kepada mereka, meninggalkan orang-orang kafir dan sekutu-sekutunya." Kemudian Allah, menurunkan ayat ini untuk menjelaskan adanya kewajiban saling mengasihi diantara sesama kaum Mu'minin secara keseluruhan, dan menjelaskan pula adanya larangan mengasihi orang-orang kafir secara umum. Di muka telah kami utarakan pendapat para sahabat dan tabi'in dalam hal ini.

Jika semua keterangan tersebut di atas telah dipandang tetap, maka tidak dapat dibenarkan dakwaan al-Musawi bahwa ayat itu terpisah dari ayat-ayat sebelumnya yang menerangkan tentang larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih. Juga tidak dapat dibenarkan bahwa ayat itu keluar dari rangkaiannya. Sebab telah terjadi kesepakatan di kalangan para ahli tafsir bahwa ayat itu tidak dikhususkan untuk 'Ali. Ayat itu berlaku umum untuk semua orang mu'min yang mencintai Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dikemukakan oleh para sahabat dan tabi'in. Maka perkataan mereka itu sejalan dengan, konteks ayat tersebut. Mereka sepakat bahwa ayat-ayat tersebut berada dalam satu rangkaian, karena ayat-ayat itu diturunkan untuk satu tujuan, yaitu larangan untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih, dan perintah untuk saling mengasihi diantara sesama kaum Mu'minin secara keseluruhan. Dalam hal ini, tak seorang pun dari mereka yang berselisih paham.

Ibn Taimiyah berkata: Konteks ayat tersebut menunjuk pada pengertian di atas bagi orang yang merenungkan al-Qur'an. Sebab firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (mu); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai wali (kekasih), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS, al-Ma'idah, 5:51)

Ayat di atas merupakan larangan untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (kekasih). Lalu Allah berfirman:

Maka kamu akan melihat orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata: "Kami takut akan mendapatkan bencana". Mudah-mudahan Allah mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya … Lalu, mereka menjadi orang-orang yang merugi (QS, al-Ma'idah, 5:52-53).

Ayat ini menerangkan sifat orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit, yaitu mereka yang mengasihi orang-orang kafir, seperti orang-orang munafik. Lalu Tuhan berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS, al-Ma'idah, 5:54).

Dalam ayat di atas Allah menyebutkan perihal orang-orang, murtad. Dan sesungguhnya mereka tidak dapat mendatangkan bahaya sedikit, pun kepada Allah. Kemudian Allah menyebutkan orang yang datang setelah mereka. Allah berfirman:

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, sedang mereka ruku'. Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS, al-Ma'idah, 5:52-53).

Pembicaraan ini menerangkan perihal orang-orang munafik yang memeluk Islam lalu kembali menjadi kafir (murtad), dan perihal orang-orang beriman yang kuat dan mantap keyakinannya, baik lahir maupun bathin. Bagi orang yang menghendaki hal itu, maka konteks ayat itu beserta bentuk jamak yang digunakannya, memang merupakan sesuatu yang mengharuskan makna jamak. Ia tidak dapat mengelak bahwa ayat itu berlaku umum bagi semua orang mu'min yang memiliki sifat-sifat yang terkait. Ayat itu tidak dikhususkan untuk seseorang, tidak untuk Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, 'Ali, tidak pula untuk yang lain dari mereka. Tetapi mereka adalah orang-orang, yang paling berhak termasuk didalamnya. (Minhaj, 4/6).

Ibn Hajar al-Haitsami berkata: Mengartikan al-wali seperti yang diartikan al-Musawi itu, tidaklah sesuai dengan ayat sebelumnya, yaitu ia tattakhidzul-yahuda wan-nashara auliya'. Sebab wali di sini secara pasti berarti penolong. Juga tidak sesuai dengan ayat setelahnya, waman yatawallallaha wa rasulahu, sebab tawalli di sini berarti pertolongan. Karena itu, ayat yang berada diantara kedua ayat diatas harus pula diartikan sebagai nushrah (pertolongan), supaya ada keserasian pada bagian-bagian perkataan itu (ash-Shawa'iq al-Muhriqah, hal. 41).

Di dalam kitab tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan adanya keterkaitan ayat walayah ini dengan ayat sebelumnya. Ia berkata: (Orang Yahudi bukanlah penolong kamu, bahkan penolongmu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat).

Mengenai perkataan al-Musawi: "Sesungguhnya Rasulullah telah menjadikan kedudukan Para imam keluarga beliau seperti kedudukan al-Qur'an, dan mengatakan bahwa keduanya tidak akan berpisah", adalah hadits dha'if. Imam Ahmad dan tidak sedikit dari para ahli hadits lainnya mendha'ifkan pula hadits itu. Mereka mengatakan bahwa hadits itu tidak sahih. Jika dikatakan bahwa "Ahlul Bait itu tidak akan bersepakat dalam kesesatan", maka jawab kami adalah "Benar, akan tetapi mereka tidak memiliki satu pun ciri yang sama dengan ciri-ciri madzhab. Rafidhah, bahkan mereka terbebas dari tersucikan dari kekotoran madzhab itu." (Minhaj, 4/105, dengan sedikit perubahan).

Adapun perkataan al-Musawi bahwa kaum Muslimin sepakat untuk mendahulukan dalil yang berdasar pada konteks jika terjadi pertentangan antara dua dalil, maka tanggapan kami adalah demikian: Kami telah menjelaskan terdahulu bahwa ada kesesuaian antara konteks ayat dengan perkataan para sahabat dan tabi'in dan hal-hal lain yang memperkuat keumuman ayat walayah itu, dan bahwa ayat itu tidak diturunkan khusus untuk 'Ali ibn Abi Thalib. Bahkan pemahaman seperti yang dikemukakan al-Musawi itu mengandung kontradiksi. Karena itu, konteks tersebut tidak bisa dikemukakan, lantaran sudah dipastikan kedustaannya menurut penilaian para ahli hadits dan tafsir.


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.