|
Sanggahan terhadap Dialog 44
Sungguh al-Musawi telah mengemukakan pernyataan dusta
bahwa ayat al-wilayah (QS, al-Ma'idah, 5:11) dikhususkan
untuk 'Ali ibn Abi Thalib. Pada dialog sebelumnya, ia telah
mengutip kesepakatan para ahli tafsir, ahli hadits dan ahli
sejarah. Kami pun telah menyanggahnya dengan menjelaskan
kedustaan yang dikemukakannya. Kami juga telah menjelaskan
lemahnya dalil yang dijadikan dasar oleh al-Musawi. Juga
telah dijelaskan bahwa dalil itu berlawanan dengan riwayat
yang sahih dan disepakati oleh para ahli tafsir, hadits dan
sejarah. Bahkan para ahli tafsir yang menjadi rujukan
al-Musawi, mereka meriwayatkan dalam tafsir-tafsir mereka
suatu kesepakatan yang bertentangan dengan apa yang
didakwakan al-Musawi itu.
Ats-Tsa'labi dalam tafsirnya mengutip sebuah riwayat dari
Ibn 'Abbas yang menerangkan bahwa ayat itu diturunkan
berkenaan dengan Abu Bakar. Ia juga menukil dari 'Abdul
Malik, yang berkata: Aku bertanya kepada Abu Ja'far mengenai
lafazh alladzinu ainanu. Jawabnya: "Mereka adalah
orang-orang beriman". "Sebagian orang mengatakan bahwa yang
dimaksud "orang-orang beriman" itu adalah 'Ali", tanyaku
lagi. Ia menjawab: "'Ali termasuk orang-orang yang beriman."
Hal serupa diriwayatkan pula oleh adh-Dhahhak. Abu Hatim
meriwayatkan dalam tafsirnya melalui sanadnya dari Ibn
'Abbas, yang berkata: "Setiap orang yang beriman, pasti
dikasihi Allah, dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman". Abu Hatim meriwayatkan pula dengan sanad dari
'Abdul Malik ibn Abi Sulaiman, yang berkata: Aku bertanya
kepada Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali mengenai ayat itu. Ia
menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang beriman." "Ayat
itu diturunkan berkenaan dengan 'Ali", kataku. Jawabnya:
"'Ali termasuk orang-orang yang beriman." Hal yang serupa
diriwayatkan pula oleh as-Sadi.
Bagaimana dapat dibenarkan --setelah adanya semua
keterangan di atas-- dakwaan al-Musawi bahwa ayat tersebut
merupakan nash bagi kepemimpinan 'Ali, dan bahwa hal itu
telah menjadi ijma'? Dan dapatkah dipandang itsbat dalil
yang dikemukakan al-Musawi berupa atsar yang dha'if dari
ats-Tsa'labi dan lainnya yang bertentangan dengan
hadits-hadits sahih yang tsabit dan dikenal di kalangan para
ahli tafsir, baik yang belakangan maupun yang terdahulu,
yang menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk melarang
berkasih sayang (muwalah) dengan orang-orang kafir.
Sebaliknya ayat itu merupakan perintah untuk mengembangkan
sifat saling mengasihi di kalangan kaum Mu'minin ketika
sebagian orang munafik, seperti 'Abdullah ibn Ubay,
mengasihi orang Yahudi. 'Abdullah berkata: "Aku takut akan
nasib buruk". Lalu Ubadah ibn Shamit berkata: "Aku mencintai
Allah dan Rasul-Nya dan menyerahkan diri kepada mereka,
meninggalkan orang-orang kafir dan sekutu-sekutunya."
Kemudian Allah, menurunkan ayat ini untuk menjelaskan adanya
kewajiban saling mengasihi diantara sesama kaum Mu'minin
secara keseluruhan, dan menjelaskan pula adanya larangan
mengasihi orang-orang kafir secara umum. Di muka telah kami
utarakan pendapat para sahabat dan tabi'in dalam hal
ini.
Jika semua keterangan tersebut di atas telah dipandang
tetap, maka tidak dapat dibenarkan dakwaan al-Musawi bahwa
ayat itu terpisah dari ayat-ayat sebelumnya yang menerangkan
tentang larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai
kekasih. Juga tidak dapat dibenarkan bahwa ayat itu keluar
dari rangkaiannya. Sebab telah terjadi kesepakatan di
kalangan para ahli tafsir bahwa ayat itu tidak dikhususkan
untuk 'Ali. Ayat itu berlaku umum untuk semua orang mu'min
yang mencintai Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dikemukakan
oleh para sahabat dan tabi'in. Maka perkataan mereka itu
sejalan dengan, konteks ayat tersebut. Mereka sepakat bahwa
ayat-ayat tersebut berada dalam satu rangkaian, karena
ayat-ayat itu diturunkan untuk satu tujuan, yaitu larangan
untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih, dan
perintah untuk saling mengasihi diantara sesama kaum
Mu'minin secara keseluruhan. Dalam hal ini, tak seorang pun
dari mereka yang berselisih paham.
Ibn Taimiyah berkata: Konteks ayat tersebut menunjuk pada
pengertian di atas bagi orang yang merenungkan al-Qur'an.
Sebab firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali
(mu); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai
wali (kekasih), maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS, al-Ma'idah,
5:51)
Ayat di atas merupakan larangan untuk menjadikan orang
Yahudi dan Nasrani sebagai wali (kekasih). Lalu Allah
berfirman:
Maka kamu akan melihat orang yang ada penyakit
dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati
mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata: "Kami takut
akan mendapatkan bencana". Mudah-mudahan Allah
mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu
keputusan dari sisi-Nya
Lalu, mereka menjadi
orang-orang yang merugi (QS, al-Ma'idah, 5:52-53).
Ayat ini menerangkan sifat orang-orang yang di dalam
hatinya terdapat penyakit, yaitu mereka yang mengasihi
orang-orang kafir, seperti orang-orang munafik. Lalu Tuhan
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa
diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka
dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang
tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui. (QS, al-Ma'idah, 5:54).
Dalam ayat di atas Allah menyebutkan perihal orang-orang,
murtad. Dan sesungguhnya mereka tidak dapat mendatangkan
bahaya sedikit, pun kepada Allah. Kemudian Allah menyebutkan
orang yang datang setelah mereka. Allah berfirman:
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat, menunaikan zakat, sedang mereka ruku'. Dan
barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya
pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS,
al-Ma'idah, 5:52-53).
Pembicaraan ini menerangkan perihal orang-orang munafik
yang memeluk Islam lalu kembali menjadi kafir (murtad), dan
perihal orang-orang beriman yang kuat dan mantap
keyakinannya, baik lahir maupun bathin. Bagi orang yang
menghendaki hal itu, maka konteks ayat itu beserta bentuk
jamak yang digunakannya, memang merupakan sesuatu yang
mengharuskan makna jamak. Ia tidak dapat mengelak bahwa ayat
itu berlaku umum bagi semua orang mu'min yang memiliki
sifat-sifat yang terkait. Ayat itu tidak dikhususkan untuk
seseorang, tidak untuk Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, 'Ali,
tidak pula untuk yang lain dari mereka. Tetapi mereka adalah
orang-orang, yang paling berhak termasuk didalamnya.
(Minhaj, 4/6).
Ibn Hajar al-Haitsami berkata: Mengartikan al-wali
seperti yang diartikan al-Musawi itu, tidaklah sesuai dengan
ayat sebelumnya, yaitu ia tattakhidzul-yahuda wan-nashara
auliya'. Sebab wali di sini secara pasti berarti penolong.
Juga tidak sesuai dengan ayat setelahnya, waman
yatawallallaha wa rasulahu, sebab tawalli di sini berarti
pertolongan. Karena itu, ayat yang berada diantara kedua
ayat diatas harus pula diartikan sebagai nushrah
(pertolongan), supaya ada keserasian pada bagian-bagian
perkataan itu (ash-Shawa'iq al-Muhriqah, hal. 41).
Di dalam kitab tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan adanya
keterkaitan ayat walayah ini dengan ayat sebelumnya. Ia
berkata: (Orang Yahudi bukanlah penolong kamu, bahkan
penolongmu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat).
Mengenai perkataan al-Musawi: "Sesungguhnya Rasulullah
telah menjadikan kedudukan Para imam keluarga beliau seperti
kedudukan al-Qur'an, dan mengatakan bahwa keduanya tidak
akan berpisah", adalah hadits dha'if. Imam Ahmad dan tidak
sedikit dari para ahli hadits lainnya mendha'ifkan pula
hadits itu. Mereka mengatakan bahwa hadits itu tidak sahih.
Jika dikatakan bahwa "Ahlul Bait itu tidak akan bersepakat
dalam kesesatan", maka jawab kami adalah "Benar, akan tetapi
mereka tidak memiliki satu pun ciri yang sama dengan
ciri-ciri madzhab. Rafidhah, bahkan mereka terbebas dari
tersucikan dari kekotoran madzhab itu." (Minhaj, 4/105,
dengan sedikit perubahan).
Adapun perkataan al-Musawi bahwa kaum Muslimin sepakat
untuk mendahulukan dalil yang berdasar pada konteks jika
terjadi pertentangan antara dua dalil, maka tanggapan kami
adalah demikian: Kami telah menjelaskan terdahulu bahwa ada
kesesuaian antara konteks ayat dengan perkataan para sahabat
dan tabi'in dan hal-hal lain yang memperkuat keumuman ayat
walayah itu, dan bahwa ayat itu tidak diturunkan khusus
untuk 'Ali ibn Abi Thalib. Bahkan pemahaman seperti yang
dikemukakan al-Musawi itu mengandung kontradiksi. Karena
itu, konteks tersebut tidak bisa dikemukakan, lantaran sudah
dipastikan kedustaannya menurut penilaian para ahli hadits
dan tafsir.
|