|
Sanggahan terhadap Dialog 42
Mengenai perkataan al-Musawi: "Telah menjadi kebiasaan
dalam bahasa Arab untuk menggunakan bentuk jamak untuk satu
orang, karena adanya suatu alasan yang mengharuskannya.
Al-Musawi mengutip pendapat gurunya, ath-Thabrasyi yang juga
orang Rafidhah, penulis buku Majma' al-Bayan, yang
mengemukakan bahwa menggunakan bentuk jamak untuk ditujukan
kepada Amir al-Mu'minin adalah untuk tafkhim dan ta'dzim
(mengagungkannya).
Jawaban kami: Maha Suci Allah, adakah 'Ali ibn Abi Thalib
lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah daripada Nabi
Muhammad sehingga Allah berbicara kepada 'Ali dengan
menggunakan bentuk jamak (Alladzina amanu), dan berbicara
kepada nabi dengan bentuk mufrad, tunggal, (wa rasuluhu)?
Bahkan Tuhan sendiri menggunakan bentuk tunggal untuk
diri-Nya sendiri dalam ayat ini. Allah mengatakan Innuma
waliyyukumullahu. Padahal ia menggunakan bentuk jamak untuk
ditujukan pada diri-Nya sendiri dalam ayat-ayat lain,
seperti firman Allah: Nahnu auliya'uhum fil-hayatiddunya
wafilakhirah dan firman-Nya: Nahnu a'lamu bima yaquluna dan
wa nahnu aqrabu ilayhi min hablil-warid. Dengan tafsiran
ath-Thabrasyi itu, kedudukan 'Ali di sisi Allah jadi lebih
tinggi dari: Nabi Muhammad saw. Karena itu, jelas bahwa
pendapat demikian tidak benar, fasid dan merusak iman. Tapi
pendapat seperti ini memang tidak asing dalam kepercayaan
kaum Rafidhah. Sebab mereka yakin bahwa imam-imam mereka
mempunyai kedudukan tinggi yang tidak mungkin dicapai oleh
para nabi ataupun malaikat.
Mengenai alasan yang dikemukakan al-Musawi yang dikutip
dari tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, itu didasarkan
pada pendapat sahihnya riwayat yang menyatakan bahwa ayat
itu diturunkan berkenaan dengan 'Ali. Padahal di muka telah
kami tetapkan bahwa riwayat itu dusta menurut penilaian para
ahli hadits. Dengan demikian, maka alasan itu tidak dapat
diterima atau bathil lantaran dalil yang dijadikan dasar
juga bathil.
Semakin jauh saja dari kebenaran pemikiran al-Musawi
ketika ia berkata: Di sini lafazh jamak sengaja dipakai
sebagai pengganti lafazh mufrad (tunggal), sebagai suatu
sorotan yang tajam dari Allah yang ditujukan kepada
kelompok-kelompok manusia tertentu. Sebab banyak sekali
pembenci-pembenci 'Ali dan juga musuh-musuh Bani Hasyim
serta orang-orang munafik dan pendengki yang ---karena
kebenciannya yang meluap-luap-- tidak dapat menerima
keterangan seperti itu dalam suSunan kata yang berbentuk
tunggal.
Jawaban kami: Adakah al-Musawi, mengetahui barang ghaib,
sehingga ia yakin bahwa makna itu yang dikehendaki Allah
dalam menggunakan bentuk kata jamak sebagai ganti bentuk
kata tunggal? Adakah pemahamannya itu berdasarkan ayat
al-Qur'an atau hadits sahih dari Rasulullah? Tanpa kedua
dasar itu, maka pendapat itu berarti mengira-ngira barang
ghaib, dan berkata atas nama Allah dan Rasul-Nya tanpa
didasari ilmu! Na'udzu billah min dzalik!
Mengenai bukti yang digunakan al-Musawi untuk menguatkan
dakwaannya, yaitu firman Allah: Alladzina qala lahumun-nasu
innan-nasa qad jama'u lakum fakhsyauhum fazadahum imanan
waqalu hasbunallahu wani'mal wakil (QS, Ali.'Im'ran, 3:173)
dan perkataannya: "Padahal yang berkata demikian itu
hanyalah satu orang saja, yaitu Nu'aim ibn Mas'ud
al-Asyja'i, sebagaimana yang disepakati oleh para ahli
tafsir, ahli hadits dan ahli sejarah. Di sini Allah
menggunakan kata an-nas yang berarti "orang-orang", sedang
yang dimaksud hanya satu orang saja. Hal ini sebagai
penghormatan yang diberikan Allah SWT kepada kaum mu'minin
yang tidak menghiraukan ucapan orang itu
" Apa yang
dikemukakan oleh al-Musawi di atas merupakan bukti yang
palsu, dan tidak dapat diterima ditinjau dari beberapa
segi:
1. Ayat QS, Ali 'Imran, 3:173 itu diturunkan
setelah terjadi pertempuran pada Hamra' al-Asad beberapa
waktu setelah perang Uhud. Peristiwa itu terjadi pada tahun
ke 3 Hijriyah. Tidak ditemukan dalam buku-buku hadits,
tafsir dan sejarah, keterangan yang menyatakan bahwa orang
yang mengatakan itu adalah Nu'aim ibn Mas'ud. Bahkan semua
buku tersebut sependapat bahwa yang mengatakan itu adalah
sekelompok orang dari keluarga 'Abdul Qais. Mereka bertemu
Abu Sufyan, di Hamra' al-Asad lalu ia meminta mereka untuk
memberi tahu kepada Muhammad bahwa orang-orang Quraisy akan
datang menyerbunya. Karena itu, yang dimaksud dengan kata
an-nas dalam ayat tersebut adalah jamak, bukan mufrad.
Dengan demikian, tidak dapat dibenarkan apa yang didakwakan
al-Musawi dengan berdasar pada ayat tersebut. (Lihat
penafsiran Ibn Jarir dan Ibn Katsir mengenai ayat
tersebut).
2. Sesungguhnya buku-buku sejarah bersepakat bahwa
tindakan Nu'aim ibn Mas'ud bersifat positif, bukan negatif.
Hal itu terjadi pada perang Khandaq tahun yang ke 5
Hijriyah, dan bukan pada perang Hamra' al-Asad sebagai
dikatakan al-Musawi. Nu'aim masuk Islam secara diam-diam
pada tahun dimana terjadi perang Khandaq. Ia datang kepada
Rasulullah saw seraya berkata: Ya Rasulullah, saya telah
masuk Islam, sedang kaum saya tidak tahu keislaman saya.
Karena itu suruhlah saya apa saja yang tuan kehendaki! Jawab
Rasulullah: "Sesungguhnya, engkau hanyalah seorang diri.
Karena itu, bantulah kami dengan siasat jika engkau mampu.
Sebab perang adalah tipu daya". Lalu Nu'aim ibn Mas'ud
menyebarkan desas-desus untuk memecah belah barisan kaum
Musyrikin, menyebarkan fitnah Dan pertentangan diantara
mereka dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka akan
keislaman dirinya. Ia menakut-nakuti Bani Quraidhah akan
ancaman orang Quraisy dan Ghathafan dan menakut-nakuti orang
Quraisy akan pengkhianatan orang-orang Yahudi. Ia juga
menakut-nakuti orang Ghathafan akan orang-orang Quraisy,
sehingga kesatuan mereka pecah belah Dan mereka diliputi
rasa ragu dan saling curiga. (Lihat buku sejarah karya Ibn
Katsir maupun lainnya. Di sana terdapat kesepakatan seperti
yang saya kemukakan itu). Dengan demikian jelaslah kepalsuan
yang dinukil al-Musawi dan jelas pula gugurnya
hujjahnya.
Mengenai bukti yang dikemukakan al-Musawi berupa ayat
"Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu
akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, diwaktu
suatu kaum bermaksud hendak, memanjangkan tangannya
(untuk berbuat jahat) kepadamu, maka Allah menahan tangan
mereka dari kamu . (QS, al-Ma'idah, 5:11).
dan perkataannya: "Sesungguhnya orang yang ingin
memanjangkan tangannya untuk berbuat jahat kepada kaum
Muslimin itu hanyalah satu orang saja. Tetapi Allah
menggunakan kata qaumun (kaum) untuk menyebutkannya. Ini
dimaksudkan Allah untuk membesarkan arti nikmat yang telah
dilimpahkannya atas hamba-hamba-Nya dengan menyelamatkan
nabi mereka". Apa yang dikemukakan al-Musawi ini bathil dan
tak dapat diterima. Sebab Ghaurats, orang yang datang untuk
membunuh nabi itu, bukanlah orang yang kebetulan lewat dan
menemukan nabi sedang duduk bersandar di bawah pohon. Perlu
diketahui bahwa cerita tentang Ghaurats ini terjadi tidak
lama setelah perang Dzatur Riqa', sebagaimana dikemukakan
oleh para ahli hadits dan sejarah. Dalam pertempuran itu,
kaum Muslimin dapat mengalahkan Bani Muharib, Bani Tsa'labah
Dan Bani Ghathafan ke pihak mereka. Mereka kemudian membuat
kesepakatan untuk membunuh Nabi Muhammad saw. Maka Ghaurats,
yang hendak membunuh nabi itu, tidaklah mewakili dirinya
sendiri saja, melainkan seluruh kaumnya. Ia hanya pelaksana
hasil keputusan mereka dan berbuat untuk mereka pula. Karena
itu Tuhan mengatakan Idz hamma qaumun an-yabsuthu ilaikum
aidiyahum. Kata hamma bisy-syai' berarti "menghendaki
sesuatu". Jadi keinginan untuk membunuh nabi itu adalah
keinginan Bani Muharib dan Bani Ghathafan secara
keseluruhan, bukan hanya Ghaurats semata. Dengan demikian
jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata qaumun itu adalah
semua orang yang berkehendak dan berkeinginan untuk membunuh
nabi, yaitu Bani Muharib dan Bani Ghathafan. Orang yang
meneliti cerita ini dalam buku-buku hadits dan sejarah pasti
akan menemukan kenyataan ini. Imam Bukhari dan Ibn Ishak
telah menjelaskan hal ini dengan gamblang.
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir
bahwa Rasulullah berperang dengan Bani Muharib dan Bani
Ghathafan disebuah kawasan kebun kurma. Mereka menyadari
bahwa mereka akan kalah menghadapi kaum Muslimin. Lalu
datang salah seorang dari mereka yang bernama Ghaurats ibn
Haris sambil mengangkat pedangnya ke arah nabi seraya
berkata: "Siapa yang dapat mencegahmu dariku?" "Allah",
jawab nabi. Lalu pedang itu jatuh dari tangannya. Rasulullah
mengambil pedang itu dan berkata: "Siapa yang dapat
mencegahmu dariku?" Jawabnya: "Jadilah, engkau sebaik-baik
orang yang mengambil pedangku." Berkata nabi: "Maukah kamu
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" "Tidak", jawabnya.
"Akan tetapi aku berjanji tidak akan memerangimu, atau
berpihak kepada orang-orang yang memerangimu," lanjutnya.
Nabi kemudian melepasnya, dan dia kembali kepada
kawan-kawannya seraya berkata: "Aku baru saja berhadapan
dengan sebaik-baik manusia".
Ibn Ishak menceritakan pertempuran ini dengan sanadnya
dari Jabir bin 'Abdullah, bahwa seseorang dari Bani Muharib
yang dikenal dengan nama Ghaurats berkata kepada kaumnya,
yaitu Bani Muharib dan Bani Ghathafan: "Maukah kalian
kubantu dengan membunuh Muhammad?" "Ya", jawab mereka. "Tapi
bagaimana engkau dapat membunuhnya?", tanya mereka.
Jawabnya: "Aku akan membunuhnya dengan pedangku ini". Lalu
ia mengendap dan mendekati nabi.
Mengenai pembuktian al-Musawi dengan ayat mubahalah, maka
Ibn Taimiyah telah menjawabnya dalam Minhaj as-Sunnah, 4/35.
Ia berkata: Sesungguhnya perkataan Allah nisaa'ana tidak
dikhususkan untuk Fathimah semata. Semua putri-putri nabi
mempunyai kedudukan yang sama dengan Fathimah dalam hal ini.
Tetapi ketika itu memang tidak ada putri lain di sisi nabi
kecuali Fathimah. Ruqayah, Ummi Kultsum dan Zainab telah
meninggal dunia. Demikian pula kata anfusana, tidaklah
dikhususkan untuk 'Ali saja. Bahkan kata ini merupakan
bentuk jamak, sebagaimana kata nisa'ana. Demikian pula kata
abna'and, ia merupakan bentuk jamak. Mengapa di sini hanya
Hasan dan Husain yang diundang, hal ini karena tidak ada
orang lain yang dapat dinisbatkan kepada nabi selain mereka.
Sedang Ibrahim walaupun ada, ia masih anak-anak yang tidak
dapat diundang.
|