|
Tanggapan atas Dialog 40
Menurut kebiasaan orang Syria, kata mutawali tidak
digunakan untuk orang yang berwali kepada Allah, Rasul dan
orang-orang yang beriman. Juga tidak digunakan untuk
orang-orang yang berwali kepada Ahlul Bait, sebagaimana yang
dikemukakan al-Musawi. Kalau memang seperti yang dikatakan
al-Musawi, maka kata itu merupakan kata sanjungan dan pujian
yang dapat dibanggakan oleh orang yang bersangkutan. Dan
setiap orang dari kaum Mushmin tentu berkeinginan untuk
mendapat predikat tersebut. Namun kenyataannya, berdasar
kebiasaan setiap Muslim di Syria, kata mutawali merupakan
kata kecaman, artinya "berpaling dan menjauhkan diri (dari
kebenaran)". Kata itu dikenakan kepada orang yang berpaling
dari petunjuk Allah dan mengecam sahabat-sahabat nabi dengan
kedok Ahlul Bait. Padahal Ahlul Bait sama sekali berlepas
tangan dari perbuatan mungkar itu!
Sungguh mengherankan keberanian al-Musawi dalam hal yang
bathil. Ia memberikan hukum sahih dan mutawatir untuk hadits
yang oleh para ahli hadits telah disepakati kedha'ifannya.
Sungguh, hadits-hadits yang dikemukakan dan dikatakannya
sebagai mutawatir itu adalah hadits-hadits palsu. Demikian
pula mengenai asbab nuzul ayat: Innama waliyyukumullahu wa
rasuluhu walladzina amanu, alladzina yuqimunas-shalata wa
yu'tunazzakata wahum raki'un (QS, al-Maidah, 5:55) yang
dikatakan turun berkenaan dengan 'Ali, semua itu adalah
hadits-hadits palsu menurut kesepakatan para ahli hadits.
Mereka berpaling dari hadits-hadits itu dan tidak bersedia
meriwayatkan sedikit pun darinya. Ini merupakan bukti nyata
mengenai kepalsuannya. Karena itu, al-Musawi mengalihkan
kita pada sumber-sumber lain yang lemah, tidak baku. Atau ia
mengalihkan pada sumber-sumber yang tidak muktamad, lantaran
penulisnya mencampur-adukkan hadits yang sahih dan hadits
yang dha'if dan maudhu'.
Mengenai asbab an-nuzul, al-Musawi mengembalikan pada
buku al-Wahidi, dan tafsir guru al-Wahidi, yaitu
ats-Tsa'labi. Dia juga merujuk pada buku Kanzul Ummal, dan
buku-buku lainnya, supaya kaum Muslimin yang awam dapat
membacanya dan meyakini keabsahan hadits-hadits yang
dikemukakannya. Ia merujuk pada referensi yang tidak dikenal
oleh kebanyakan kaum Muslimin. Untuk menjelaskan semua itu,
kami kemukakan hal-hal berikut ini:
- Kami nyatakan bahwa hadits-hadits itu tidak ada yang
sahih dan tidak ada satu pun diantaranya yang dapat
ditetapkan sebagai hujjah. Mengenai rujukan pada tafsir
ats-Tsa'labi, dan Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi, serta
dakwaan mengenai adanya ijma' atasnya, yang tidak
menyertakan ahli-ahli hadits yang jujur dan objektif
dalam penukilannya, maka semua itu bukanlah hujjah
menurut kesepakatan para ahli.
- Ahlus Sunnah tidak mengitsbatkan sumber-sumber
tersebut, sebab didalamnya terkumpul hadits-hadits yang
sahih, dha'if maupun yang maudhu'. Para ahli hadits telah
sepakat bahwa orang tidak dibenarkan berdalil hanya
dengan satu khabar yang diriwayatkan oleh orang semacam
ats-Tsa'labi an-Nuqasy, al-Wahidi dan mufassir lain yang
serupa, lantaran mereka banyak meriwayatkan hadits-hadits
palsu, bahkan hadits maudhu'. Sehingga para ahli hadits
menyebut ats-Tsa'labi sebagai Hathibu lailin (orang yang
banyak salah, pent.) Demikian pula murid ats-Tsa'labi,
yaitu al-Wahidi, ia tergolong mufassir yang biasa
mengutip hadits sahih maupun dha'if. (Minhaj, 4/4).
- Para mufassir tidak sepakat bahwa ayat itu diturunkan
berkenaan dengan 'Ali ibn Abi Thalib. Bahkan diantara
mereka masih bersilang pendapat sebagaimana dikemukakan
dalam Mukhtashar at-Tuhfah. Dalam buku ini dikemukakan
sebagai berikut: Bahkan terdapat perselisihan diantara
para ahli tafsir mengenai sebab turunnya ayat dimaksud.
Abu Bakar an-Naqasy, penulis tafsir yang terkenal itu,
meriwayatkan dari Muhammad al-Baqir bahwa ayat tersebut
diturunkan berkenaan dengan kaum Muhajirin dan Anshar.
Seseorang berkata "Kami mendengar bahwa ayat itu
diturunkan berkenaan dengan 'Ali ibn Abi Thalib." Jawab
sang Imam: "'Ali termasuk diantara mereka". Maksudnya,
Amirul Mu'minin ('Ali) termasuk dalam kelompok Muhajirin
dan Anshar. Riwayat ini lebih sesuai dengan lafazh
alladzina dan bentuk jamak pada shilah (sambungan) isim
mausul itu, yaitu kata (yuqimuna) ash-shalata (wa
yu'tuuna) az-Zakata, wahum (raki'uun). Sekelompok
mufassir lain meriwayatkan dari 'Ikrimah bahwa ayat itu
diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar. Pendapat ini
dikuatkan oleh ayat yang datang sebelumnya yang
menerangkan tentang memerangi orang-orang murtad. Sedang
pendapat yang menyatakan ayat itu diturunkan berkenaan
dengan 'Ali ibn Abi Thalib, dan riwayat mengenai orang
yang meminta-minta, lalu 'Ali memberikan cincin kepadanya
di waktu ia sedang ruku', adalah riwayat yang dikemukakan
oleh ats-Tsa'labi saja. Tidak ada orang lain yang
meriwayatkannya.
Kebanyakan riwayat-riwayat ats-Tsa'labi didalam tafsirnya
berasal dari al-Kulaini dan dari Abu Shalih. Sedang kedua
orang itu adalah dedengkot Syi'ah. Menurut para ahli,
riwayat mereka dalam tafsir tersebut sangat lemah. Al-Qadhi
Syamsuddin ibn Khallikan berkata: Al-Kulaini termasuk
penganut 'Abdullah ibn Saba', yang mengatakan bahwa 'Ali ibn
Abi Thalib tidak mati, dan akan kembali lagi ke dunia.
Sebagian riwayat ats-Tsa'labi berujung pada Muhammad ibn
Marwan as-Suda ash-Shaghir. Ia ini seorang Rafidhah yang
dikenal suka dusta dan membuat riwayat palsu.
Ibn Jarir ath-Thabari mengemukakan suatu riwayat dari
Muhammad ibn Ishak dari ayahnya dari 'Ubadah ra. bahwa ayat
itu diturunkan berkenaan dengan 'Ubadah ibn Shamit ketika ia
memutuskan hubungan dengan teman-temannya yang Yahudi,
meskipun 'Abdullah ibn Ubay dan pengikut-pengikutnya tetap
memelihara hubungan dengan mereka dan membela kepentingan
mereka.
Pendapat ini lebih sesuai dengan kaitan ayat tersebut
dengan ayat selanjutnya yang berbunyi ya ayyuhal-ladzina
amanu la tattakhidzulladzinat-takhadzu dinakum huzuwan wa
la'iban minad-ladzina utul-kitaba min qablikum
wal-musyrikina awliya' (QS, al-Ma'idah, 5:57).
Ibn Taimiyah memandang sebab nuzul ini sebagai yang
paling dikenal di kalangan ahli tafsir, baik yang terdahulu
maupun yang belakangan. Hal yang sama dikemukakan oleh murid
Ibn Taimiyah, Ibn Katsir. Ia mengemukakan semua riwayat yang
menyatakan bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan 'Ali
sambil menjelaskan kelemahan-kelemahannya satu demi satu.
Barangsiapa ingin mengetahui lebih jelas, silahkan melihat
Tafsir Ibn Katsir berkenaan dengan ayat terkait, yaitu ayat
ke 55 surah al-Ma'idah. Di sini kami akan mengemukakan
bagian terpenting dari perkataannya.
Ibn Katsir berkata: Mengenai firman Allah wahum raki'un,
sebagian orang mengira bahwa jumlah tersebut posisinya
sebagai hal (adverbia) dari kalimat yu'tunaz-zakata.
Artinya, mereka memberikan zakat dalam keadaan mereka
melakukan ruku'. Kalau memang demikian, tentu memberikan
zakat dalam keadaan ruku' lebih utama daripada dalam keadaan
lainnya. Sebab ruku' adalah suatu tindakan yang terpuji.
Namun tak seorang pun ulama ahli agama dan takwa yang
menyatakan demikian. Sebagian orang yang lain menyatakan
bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan 'Ali, dan mereka
menyebutkan sebuah atsar mengenai 'Ali. Diceritakan bahwa
seorang peminta-minta mendatangi 'Ali ketika ia sedang
melakukan ruku'. Lalu 'Ali memberikan cincinnya kepada
peminta-minta itu. (Setelah mengemukakan riwayat ini, Ibn
Katsir berkata:). "Secara keseluruhan riwayat ini tidak
sahih, karena sanad dan perawi-perawinya lemah." Kemudian ia
menukil dari ath-Thabari bahwa 'Abdul Malik bertanya kepada
Ja'far: "Siapa alladzina amanu itu? Jawab Ja'far: "Ya
Alladzina Amanu!. "Kami mendengar ayat itu diturunkan
tentang 'Ali", lanjut Malik. Jawabnya: 'Ali termasuk
orang-orang yang beriman".(Baca Ibn Katsir, 2/72).
Kalau Abu Ja'far Muhammad al-Baqir yang cucu 'Ali ibn Abi
Thalib saja berkata demikian, maka sangatlah
berlebih-lebihan dan melampaui batas adanya penafsiran yang
menambah-nambah dari itu. Penafsiran seperti itu lebih
didorong oleh hawa nafsu untuk memperlakukan ayat itu bukan
pada tempatnya. Misalnya penafsiran yang menjelek-jelekkan
kepemimpinan pemimpin-pemimpin Muslim yang terbimbing, dan
penafsiran yang menunjukkan kecaman 'Ali kepada Abu Bakar,
'Umar dan 'Utsman, yang keempatnya hidup dan mati dalam
suasana penuh kecintaan dan saling mengasihi.
Barangkali salah satu jawaban dan penolakan Ibn Taimiyah
yang sangat menarik berkenaan dengan penafsiran ayat itu
adalah perkataannya berikut ini: Kalau yang dimaksud ayat
itu adalah mengeluarkan zakat dalam keadaan ruku',
sebagaimana yang mereka pahami bahwa 'Ali menyedekahkan
cincinnya diwaktu shalat, maka tentu hal ini harus menjadi
syarat dalam kepemimpinan. Dan bahwa tidak seorang pun yang
boleh menjadi pemimpin selain 'Ali, termasuk Hasan, Husain,
dan keturunan Bani Hasyim yang lain. Ini tentu saja
berlawanan dengan ijma' kaum Muslimin (Sebab ayat tersebut
khusus untuk 'Ali dan tidak dibenarkan menerapkannya untuk
orang mu'min lainnya). (Al-Minhaj, 4/5).
Mengenai perkataan al-Musawi: "Para ahli bahasa telah
menjelaskan bahwa setiap orang yang memiliki kekuasaan
bertindak bagi kepentingan seseorang, maka ia disebut
sebagai wali-nya. Berdasarkan hal itu, maka arti dari ayat
tersebut adalah: Sesungguhnya yang lebih utama (lebih
berhak) memimpin dan bertindak mengenai urusan-urusanmu
hanyalah Allah, Rasul-Nya serta'Ali
).
Di muka telah dikemukakan pendapat para ahli bahasa yang
menolak pemikiran tersebut dalam permulaan sanggahan
terhadap Dialog 38. Di sini kami tambahkan suatu jawaban
yang manis dari Ibn Taimiyah. Ia berkata: Perbedaan antara
walayah (dengan wawu dibaca fathah) dengan wilayah (wawu
dibaca kasrah) sudah cukup diketahui. Walayah bermakna
kebalikan kata al-Adawah. Inilah yang dikehendaki dalam
nash-nash itu bukan wilayah (wawu dibaca kasrah) yang
bermakna al-Imarah (kepemimpinan). Adapun mereka yang bodoh
(kaum Rafidhah) memandang al-wali sebagai al-Amir. Mereka
tidak dapat membedakan antara walayah (dengan wawu yang
dibaca fathah) dengan wilayah (dengan wawu yang dibaca
kasrah), al-Amir juga disebut al-waali, tapi kadang-kadang
dikatakan: Ia adalah wali al-Amri. Sebagaimana dikatakan:
Wallaytu amrakum (Aku menangani urusan kamu), dan dikatakan
juga Ulu al-Amri. Adapun penyebutan kata al-mawla dengan
arti al-wali, tidaklah dikenal sama sekali. Yang ada justru
sebaliknya, untuk kata al-waliyyu digunakan kata al-mawla,
dan tidak dapat digunakan kata al-waali (dengan a panjang).
Karena itu, para ahli fiqh berkata: Jika dalam satu jenazah
terkumpul al-waali dan al-waliyyu maka dikatakan bahwa
al-waali mesti didahulukan. Ini pendapat yang banyak
dipegangi oleh ahli fiqh. Menurut pendapat yang lain,
al-waliyyu yang harus didahulukan. Mereka menjelaskan bahwa
ayat itu menunjukkan pada arti al-mawalah (sikap mengasihi)
yang merupakan lawan kata al-'adawah (permusuhan),
sebagaimana sikap saling mengasihi ini terdapat antara semua
kaum mu'min di mana yang satu mengasihi yang lain. Sifat
demikian dimiliki oleh semua khalifah yang empat, ahlu
Badar, dan ahlu Bai'at ar-Ridwan. Semua mereka saling
mengasihi. Ayat itu tidak menunjukkan bahwa sebagian dari
mereka menjadi Amir atas yang lainnya. Pemahaman seperti ini
tidak dapat dibenarkan dari berbagai segi. Sebab lafazh
al-waliy dan walayah bukanlah lafazh al-waali. Di samping
itu, ayat tersebut berlaku umum untuk semua kaum mu'min,
sedang imarah (kepemimpinan) tidak demikian halnya.
Lebih lanjut Ibn Taimiyah berkata: Kalau seandainya Tuhan
menghendaki al-wilayah (dengan wawu dibaca kasrah) yang
berarti kekuasaan, tentu ia akan berkata: Innama yatawalla
'alaykumullahu wal-ladzina amanu, dan tidak akan mengatakan
waman yatawallallaha wa rasulahu; sebab perkataan ini tidak
dapat dikatakan kepada orang yang mengurus urusan kaum
mu'min (Allah). Mereka juga tidak mengatakan: Tawallawhu,
tapi dikatakan: Tawalla 'alaihim.
Berkata Ibn Taimiyah: Sesungguhnya Allah tidak pernah
menyatakan bahwa dirinya adalah pemimpin (mutawallin)
hamba-hamba-Nya, juga tidak pernah menyatakan bahwa ia
adalah amir atas mereka: Maha besar Keagungan-Nya dan Maha
Suci Nama-nama-Nya. Karena itu tidak dapat dikatakan': Allah
adalah Amir al-Mu'minin sebagaimana seorang pemimpin seperti
'Ali dan lainnya dikatakan sebagai Amir al Mu'minin. Bahkan
Rasulullah tidak pula dikatakan mutawallin (penguasa) atas
manusia dan amir atas mereka. Sebab Rasulullah lebih tinggi
nilai dan kadarnya dibanding sebutan itu. Bahkan ummat Islam
(waktu itu) tidak menyebut Abu Bakar, kecuali sebagai
Khalifah ar-Rasul. Orang pertama dari Khulafa' ar-Rasyidin.
Yang bergelar Amir al-Muminin adalah 'Umar ibn al-Khaththab.
Adapun al-walayah (dengan wawu dibaca fathah) yang berarti
saling mengasihi, maka Allah dan Rasul dapat diberi sifat
itu. Sebab Allah yatawalla (mengasihi) hamba-hamba-Nya yang
beriman. Allah mencintai mereka, dan mereka pun menyintai
Allah. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha
kepada-Nya. Barangsiapa memusuhi kekasih Allah, maka ia akan
memeranginya. (Al-Minhaj, 4/8 - 9).
|