Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 38

Sudah dinyatakan di muka bahwa hadits-hadits wilayah adalah dha'if dan dusta. Juga tidak menunjukkan pada makna seperti yang dikehendaki oleh al-Musawi. Sebab pada asalnya lafazh al-wala' merupakan lafazh musytarak yang mengandung banyak makna. Untuk membawa lafazh itu pada satu makna tertentu diperlukan dalil yang pasti. Tanpa dalil tersebut, kata itu tetap mengandung berbagai kemungkinan makna. Dengan begitu, ia tidak dapat dijadikan dalil.

Di dalam kamus, kata al-walyu (dengan lam dimatikan) berarti "dekat". Dikatakan: Taba'ada ba'da walyin (Mereka menjadi jauh setelah dekat). Ma yalika berarti ma yuqaribuka (apa yang dekat kepadamu). Adapun kata al-waliyyu, ia merupakan kebalikan kata al-'aduwwu (musuh). Dikatakan: Tawallahu (kamu mencintai dia), dan orang yang mencintai disebut wali. Sedang al-mawla berarti "orang yang membebaskan" dan "orang yang dibebaskan." Juga dapat berarti "keponakan" (anak paman), "penolong", "tetangga" dan "sekutu". Dikatakan wala - wila'an, berarti taaba'a (mengikutsertakan). Uf'ul hadzihil asy-ya'a 'alal-wila'i berarti "kerjakanlah hal-hal ini secara berturut-turut".

Adapun kata al-wilayah (dengan dibaca kasrab wawu-nya) berarti as-sulthan (kekuasaan). Kalau wawu-nya dibaca fathah dan kasrah. berarti an-nushrah (pertolongan). Menurut Imam Sibawaih, kata al-walayah dengan dibaca fathah wawu-nya termasuk mashdar (kata dasar), kalau dibaca kasrah termasuk isim (kata benda). (Baca Mukhtar ash-Shihah bab w-l-y).

Dari sini menjadi jelas bahwa kata al-waliyyu mengandung banyak arti. Diantaranya "teman", "kekasih", "penguat", "penolong," dan "orang yang memiliki kekuasaan atas urusan orang lain." Untuk memberi lafazh itu satu makna tertentu dari sekian jumlah makna itu, diperlukan konteks luar yang sahih. Tanpa konteks tersebut, perbuatan demikian dapat disebut gegabah dan serampangan.

Ibn Hajar al-Haitsami berkata: "Saya tidak setuju dengan makna wali seperti yang mereka kemukakan. Kata itu bermakna an-nashir (penolong). Sebab kata itu memiliki beberapa makna, seperti "orang yang membebaskan", "hamba sahaya yang dibebaskan", "orang yang memiliki kekuasaan atas urusan orang lain," "penolong", dan "yang terkasih". Semua makna tersebut adalah benar. Untuk menentukan satu makna dari sekian banyak makna tersebut tanpa berdasar pada satu dalil, maka perbuatan demikian disebut gegabah, dan tidak dapat dibenarkan. Sedang menggeneralisasikan kata itu untuk bermacam-macam makna tersebut, juga tidak dibenarkan. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan ahli ushul … Sedang kata mawla dengan arti "imam," maka makna ini tidak dibenarkan baik dari segi etimologi maupun dari segi syar'i. Mengenai segi syar'inya, hal itu sudah jelas. Sedang segi etimologinya, karena tak seorang pun dari pakar bahasa Arab yang mengartikan wazan (pola) maf'al dengan arti af'ala. Firman Allah ma'wakumun-naru hiya mawlakum berarti maqarrukum (tempat tinggal kalian), atau berarti nashirukum .(penolong kalian), dengan faedah mubalaghah (menyangatkan) dalam hal tiadanya pertolongan Tuhan. Sebagaimana kata orang Arab: Lapar adalah bekal orang yang tiada berbekal. Demikian pula dalam penggunaannya, tidak dibenarkan kata maf'al bermakna af'ala. Sebab dalam kamus dikatakan huwa aula min kadza, bukan maula min kadza juga, dikatakan wa aula ar-rajulaini, bukan maulahuma. Penggunaan kata al-waliyyu dengan arti "orang yang memiliki kekuasaan atas urusan orang lain," tidak lain hanyalah karena melihat pada kata-kata nabi "Barangsiapa yang aku adalah walinya". Padahal tujuan dari penentuan tersebut adalah menghilangkan kebencian orang kepadanya ('Ali). Sebab menetapkan nash kepadanya berarti menambah kemuliaannya. (Ash-Shawa'iq al-Muhriqah, hal. 43).

Mengenai konteks-konteks yang dikemukakan al-Musawi untuk membatasi kata al-wali pada makna "orang yang memiliki kekuasaan atas urusan orang lain", semuanya merupakan konteks yang lemah dan rapuh, bak sarang labah-labah. Konteks-konteks tersebut lemah ditinjau dari segi ketetapan (tsubut) dan validitasnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, juga dilihat dari segi dalil-dalil yang digunakan al-Musawi.

Dari segi validitasnya, kami telah mengutip kesepakatan ulama hadits bahwa semua hadits yang berkenaan dengan penetapan walayah atas 'Ali tidak dapat dipandang sahih sama sekali. Dengan demikian hadits-hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah serta tidak dapat dijadikan konteks untuk menunjukkan makna (pengertian)seperti yang dipahami oleh al-Musawi.

Mengenai hadits Buraidah, di dalam sanadnya terdapat Ajlah ibn 'Abdillah. Ia orang Syi'ah. Dan dalam riwayat yang kedua terdapat Ibn 'Uyainah dan Hasan. Keduanya adalah perawi yang tidak dikenal. Adapun dari segi dilalahnya, seandainya hadits itu sahih, maka ia bisa ditanggapi dari berbagai segi:

1. Adanya kontradiksi. Hadits tersebut adalah dalil kaum Rafidhah untuk menolak kepemimpinan para khalifah sebelum 'Ali. Jika dalil ini kita terima, maka hadits itu juga berarti menegasikan kepemimpinan para imam sesudah 'Ali. Dengan begitu, maka Hasan dan Husein dan para imam sesudah keduanya juga tidak bisa diterima sebagai imam. Kalau istidhal kaum Rafidhah ini dipandang valid, maka rusaklah pegangan mereka pada dalil tersebut. Sebab hasil istidlah yang mereka kemukakan untuk menentang Ahlus Sunnah, didasarkan pada pembatasan imamah pada 'Ali. Sedangkan pembatasan tersebut, sebagaimana ia dapat merugikan Ahlus Sunnah, juga merugikan kaum Rafidhah sendiri. Sebab imamah para imam, baik yang sebelum maupun yang sesudah 'Ali, menjadi batal.

Akan tetapi, perlu di sini saya katakan, imamah Abu Bakar ditetapkan berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin yang bersandar pada hadits-hadits sahih yang jelas menunjuk pada keimaman Abu Bakar ash-Shiddiq.

Lebih lanjut, penulis Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asy'ariyah berkata: Kalau mereka menanggapi kritik di atas dengan mengatakan bahwa yang dikehendaki adalah pembatasan kepemimpinan 'Ali pada sebagian waktu saja, yaitu waktu keimaman 'Ali bukan waktu keimaman anak cucunya, maka kami akan mengatakan bahwa sesungguhnya pendapat kami juga seperti itu, yaitu: Kepemimpinan yang umum itu untuk 'Ali pada waktu ia menjadi imam, bukan sebelumnya, yaitu zaman kepemimpinan Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman.

2. Sesungguhnya wilayah atas orang-orang beriman (dalam hadits itu) tidak dimaksudkan untuk masa ketika Nabi mengucapkan hadits itu, menurut kesepakatan kaum Muslimin. Sebab Nabi mengucapkannya waktu beliau masih hidup, sedangkan imamah adalah lembaga pengganti nubuwwah' setelah wafat Nabi. Jika imamah tersebut bukan untuk masa ketika Nabi mengucapkan hadits itu, maka tentu saja yang dimaksud adalah masa setelah Nabi wafat. Dan masa ini tidak ada batasnya, apakah setelah 4 tahun, atau 24 tahun. Dengan demikian dalil mereka itu tidak mengena pada obyek perselisihan yang ada. Karena itu, menjadi tidak benar apa yang didakwakan oleh orang Syi'ah, yaitu bahwa kepemimpinan 'Ali jatuh setelah wafat Nabi, langsung tanpa harus berselang waktu.


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.