|
Sanggahan terhadap Dialog 38
Sudah dinyatakan di muka bahwa hadits-hadits wilayah
adalah dha'if dan dusta. Juga tidak menunjukkan pada makna
seperti yang dikehendaki oleh al-Musawi. Sebab pada asalnya
lafazh al-wala' merupakan lafazh musytarak yang mengandung
banyak makna. Untuk membawa lafazh itu pada satu makna
tertentu diperlukan dalil yang pasti. Tanpa dalil tersebut,
kata itu tetap mengandung berbagai kemungkinan makna. Dengan
begitu, ia tidak dapat dijadikan dalil.
Di dalam kamus, kata al-walyu (dengan lam dimatikan)
berarti "dekat". Dikatakan: Taba'ada ba'da walyin (Mereka
menjadi jauh setelah dekat). Ma yalika berarti ma yuqaribuka
(apa yang dekat kepadamu). Adapun kata al-waliyyu, ia
merupakan kebalikan kata al-'aduwwu (musuh). Dikatakan:
Tawallahu (kamu mencintai dia), dan orang yang mencintai
disebut wali. Sedang al-mawla berarti "orang yang
membebaskan" dan "orang yang dibebaskan." Juga dapat berarti
"keponakan" (anak paman), "penolong", "tetangga" dan
"sekutu". Dikatakan wala - wila'an, berarti taaba'a
(mengikutsertakan). Uf'ul hadzihil asy-ya'a 'alal-wila'i
berarti "kerjakanlah hal-hal ini secara berturut-turut".
Adapun kata al-wilayah (dengan dibaca kasrab wawu-nya)
berarti as-sulthan (kekuasaan). Kalau wawu-nya dibaca fathah
dan kasrah. berarti an-nushrah (pertolongan). Menurut Imam
Sibawaih, kata al-walayah dengan dibaca fathah wawu-nya
termasuk mashdar (kata dasar), kalau dibaca kasrah termasuk
isim (kata benda). (Baca Mukhtar ash-Shihah bab w-l-y).
Dari sini menjadi jelas bahwa kata al-waliyyu mengandung
banyak arti. Diantaranya "teman", "kekasih", "penguat",
"penolong," dan "orang yang memiliki kekuasaan atas urusan
orang lain." Untuk memberi lafazh itu satu makna tertentu
dari sekian jumlah makna itu, diperlukan konteks luar yang
sahih. Tanpa konteks tersebut, perbuatan demikian dapat
disebut gegabah dan serampangan.
Ibn Hajar al-Haitsami berkata: "Saya tidak setuju dengan
makna wali seperti yang mereka kemukakan. Kata itu bermakna
an-nashir (penolong). Sebab kata itu memiliki beberapa
makna, seperti "orang yang membebaskan", "hamba sahaya yang
dibebaskan", "orang yang memiliki kekuasaan atas urusan
orang lain," "penolong", dan "yang terkasih". Semua makna
tersebut adalah benar. Untuk menentukan satu makna dari
sekian banyak makna tersebut tanpa berdasar pada satu dalil,
maka perbuatan demikian disebut gegabah, dan tidak dapat
dibenarkan. Sedang menggeneralisasikan kata itu untuk
bermacam-macam makna tersebut, juga tidak dibenarkan.
Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan ahli ushul
Sedang kata mawla dengan arti "imam," maka makna ini
tidak dibenarkan baik dari segi etimologi maupun dari segi
syar'i. Mengenai segi syar'inya, hal itu sudah jelas. Sedang
segi etimologinya, karena tak seorang pun dari pakar bahasa
Arab yang mengartikan wazan (pola) maf'al dengan arti
af'ala. Firman Allah ma'wakumun-naru hiya mawlakum berarti
maqarrukum (tempat tinggal kalian), atau berarti nashirukum
.(penolong kalian), dengan faedah mubalaghah (menyangatkan)
dalam hal tiadanya pertolongan Tuhan. Sebagaimana kata orang
Arab: Lapar adalah bekal orang yang tiada berbekal. Demikian
pula dalam penggunaannya, tidak dibenarkan kata maf'al
bermakna af'ala. Sebab dalam kamus dikatakan huwa aula min
kadza, bukan maula min kadza juga, dikatakan wa aula
ar-rajulaini, bukan maulahuma. Penggunaan kata al-waliyyu
dengan arti "orang yang memiliki kekuasaan atas urusan orang
lain," tidak lain hanyalah karena melihat pada kata-kata
nabi "Barangsiapa yang aku adalah walinya". Padahal tujuan
dari penentuan tersebut adalah menghilangkan kebencian orang
kepadanya ('Ali). Sebab menetapkan nash kepadanya berarti
menambah kemuliaannya. (Ash-Shawa'iq al-Muhriqah, hal.
43).
Mengenai konteks-konteks yang dikemukakan al-Musawi untuk
membatasi kata al-wali pada makna "orang yang memiliki
kekuasaan atas urusan orang lain", semuanya merupakan
konteks yang lemah dan rapuh, bak sarang labah-labah.
Konteks-konteks tersebut lemah ditinjau dari segi ketetapan
(tsubut) dan validitasnya, sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, juga dilihat dari segi dalil-dalil yang
digunakan al-Musawi.
Dari segi validitasnya, kami telah mengutip kesepakatan
ulama hadits bahwa semua hadits yang berkenaan dengan
penetapan walayah atas 'Ali tidak dapat dipandang sahih sama
sekali. Dengan demikian hadits-hadits itu tidak dapat
dijadikan hujjah serta tidak dapat dijadikan konteks untuk
menunjukkan makna (pengertian)seperti yang dipahami oleh
al-Musawi.
Mengenai hadits Buraidah, di dalam sanadnya terdapat
Ajlah ibn 'Abdillah. Ia orang Syi'ah. Dan dalam riwayat yang
kedua terdapat Ibn 'Uyainah dan Hasan. Keduanya adalah
perawi yang tidak dikenal. Adapun dari segi dilalahnya,
seandainya hadits itu sahih, maka ia bisa ditanggapi dari
berbagai segi:
1. Adanya kontradiksi. Hadits tersebut adalah
dalil kaum Rafidhah untuk menolak kepemimpinan para khalifah
sebelum 'Ali. Jika dalil ini kita terima, maka hadits itu
juga berarti menegasikan kepemimpinan para imam sesudah
'Ali. Dengan begitu, maka Hasan dan Husein dan para imam
sesudah keduanya juga tidak bisa diterima sebagai imam.
Kalau istidhal kaum Rafidhah ini dipandang valid, maka
rusaklah pegangan mereka pada dalil tersebut. Sebab hasil
istidlah yang mereka kemukakan untuk menentang Ahlus Sunnah,
didasarkan pada pembatasan imamah pada 'Ali. Sedangkan
pembatasan tersebut, sebagaimana ia dapat merugikan Ahlus
Sunnah, juga merugikan kaum Rafidhah sendiri. Sebab imamah
para imam, baik yang sebelum maupun yang sesudah 'Ali,
menjadi batal.
Akan tetapi, perlu di sini saya katakan, imamah Abu Bakar
ditetapkan berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin yang
bersandar pada hadits-hadits sahih yang jelas menunjuk pada
keimaman Abu Bakar ash-Shiddiq.
Lebih lanjut, penulis Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna
Asy'ariyah berkata: Kalau mereka menanggapi kritik di atas
dengan mengatakan bahwa yang dikehendaki adalah pembatasan
kepemimpinan 'Ali pada sebagian waktu saja, yaitu waktu
keimaman 'Ali bukan waktu keimaman anak cucunya, maka kami
akan mengatakan bahwa sesungguhnya pendapat kami juga
seperti itu, yaitu: Kepemimpinan yang umum itu untuk 'Ali
pada waktu ia menjadi imam, bukan sebelumnya, yaitu zaman
kepemimpinan Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman.
2. Sesungguhnya wilayah atas orang-orang beriman
(dalam hadits itu) tidak dimaksudkan untuk masa ketika Nabi
mengucapkan hadits itu, menurut kesepakatan kaum Muslimin.
Sebab Nabi mengucapkannya waktu beliau masih hidup,
sedangkan imamah adalah lembaga pengganti nubuwwah' setelah
wafat Nabi. Jika imamah tersebut bukan untuk masa ketika
Nabi mengucapkan hadits itu, maka tentu saja yang dimaksud
adalah masa setelah Nabi wafat. Dan masa ini tidak ada
batasnya, apakah setelah 4 tahun, atau 24 tahun. Dengan
demikian dalil mereka itu tidak mengena pada obyek
perselisihan yang ada. Karena itu, menjadi tidak benar apa
yang didakwakan oleh orang Syi'ah, yaitu bahwa kepemimpinan
'Ali jatuh setelah wafat Nabi, langsung tanpa harus
berselang waktu.
|