Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Tanggapan atas Dialog 36

1. Mengenai hadits "Engkau adalah wali (pemimpin) setiap mu'min setelah aku". Di dalam sanad hadits ini terdapat Abu Balj Yahya ibn Sulaim al-Fazari. Bukhari berkata: Orang ini bisa dipertimbangkan. Menurut Akmad, Abu Balj biasa meriwayatkan hadits mungkar (ditolak). Menurut Ibn Hibban, ia sering keliru. Al-Jauzjani berkata: "Ia tidak tsiqah." Sebagian hadits-hadits mungkar yang ia riwayatkan dari 'Umar Ibn Maimun dari Ibn 'Abbas adalah hadits yang memerintahkan untuk menutup semua pintu, kecuali pintu 'Ali ibn Abi Thalib. (Lihat: Mizan al-I'tidal, jilid 4/384).

Ibn Taimiyah berkata: Demikian pula perkataan nabi "Ia pemimpin setiap mu'min sepeninggalku", adalah hadits dha'if yang mencatut nama Rasulullah. Bahkan Rasulullah tetap pemimpin setiap orang mu'min, baik di masa hidup maupun setelah wafatnya. Dan semua orang mu'min adalah wali (kekasih) nabi diwaktu hidup maupun setelah mereka mati. (Minhaj, jilid 4, hal. 104).

2. Adapun hadits Imran ibn Husain, didalamnya terdapat Ja'far ibn Sulaiman adh-Dhuba'i. Yahya ibn Mu'in berkata: Yahya ibn Sa'id tidak menuliskan hadits Ja'far. Bahkan ia memandangnya lemah. Menurut Ibn Sa'ad, ia tsiqat, tetapi mengandung kelemahan, dan dia Syi'Ah. Ahmad ibn al-Miqdam berkata: Ja'far adalah orang yang menisbatkan diri kepada paham rafadh. Al-'Aqili berkata: Bercerita kepadaku Muhammad ibn Mirdan al-Quraisyi dari Ahmad ibn Sinan dari Sahal ibn Abi Khaduwaih, bahwa ia berkata kepada Ja'far ibn Sulaiman: Aku mendengar kamu memaki Abu Bakar dan 'Umar? Jawabnya: "Aku tidak memaki, hanya benci saja"! Hal yang serupa dikutip pula oleh Ibn Hibban dalam ats-Tsiqat.

Dalam adh-Dhu'afa' Bukhari berkata: Ja'far ibn Sulaiman al-Harasyi yang dikenal dengan sebutan adh-Dhuba'i memiliki beberapa hadits yang sebagian darinya diperselisihkan oleh para ulama. Ahmad berkata: Ia Syi'ah, banyak meriwayatkan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan 'Ali. Penduduk Basrah memang berlebih-lebihan dalam memuji 'Ali. Kebanyakan hadits Ja'far lemah (dha'if). Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: Ia banyak meriwayatkan hadits-hadits mungkar. Para ahli berselisih paham dalam berhujjah dengan hadits-hadits itu. Salah satu diantaranya adalah hadits Imran ibn Husain berikut ini: "Rasulullah pernah mengirim satuan tentara dan mengangkat 'Ali sebagai komandannya (Al-Mizan, 1/408).

3. Adapun hadits Buraidah, maka di dalam sanadnya terdapat Ajlah ibn 'Abdullah Abu Hujayyah al-Kindi al-Kufi. Abu Hatim berkata: Ia bukan perawi yang kuat. Menurut an-Nasa'i, ia dha'if, dan memiliki pendapat yang buruk. Al-Qaththan berkata: Ada sesuatu yang membuat saya ragu kepadanya. Menurut Ibn 'Adi, ia seorang Syi'ah yang jujur. Menurut al-Jauzjani, ia pendusta. (Mizan, 1/78).

Mengenai riwayat kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Kitab Musnad jilid 5/347 dari jalan Sa'ad ibn Jubair dari Ibn 'Abbas, didalamnya terdapat Ibn Abi 'Uyainah dan Hasan yang keduanya tidak dikenal (majhul). Sedang hadits 'Amr ibn Syas al-Aslami yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad jilid 3/483 didalamnya terdapat Muhammad ibn Ishak. Ia sering melakukan tadlis (pencampur-adukan).

Ibn Ma'in berkata: Beberapa orang memandang Ibn Ishak tsiqat, sedang yang lain memandangnya dha'if. Menurut Ibn Ma'in sendiri, ia tsiqat, tapi tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut an-Nasa'i dan lainnya, ia dha'if. Menurut ad-Dar al-Quthni, ia tidak dapat dijadikan hujjah. Ibn 'Uyainah berkata: Aku melihat Ibn Ishak di Masjid al-Khaif, maka aku malu jika ada orang yang melihat aku bersamanya. (Mizan, 3/468).

Dalam sanad hadits itu juga terdapat Fadhal ibn Mu'qal yang bersumber dari 'AbdullAh ibn Dinar al-Aslami. Ia adalah perawi yang tidak dikenal. (Ta'jil al-Manfaat, hal. 220).

Adapun riwayat mengenai berbagai keistimewaan 'Ali yang disandarkan kepada an-Nasa'i, maka kedha'ifannya sudah cukup jelas dengan hanya melihat pada penisbatannya saja, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli hadits. Sedang mengenai riwayat yang dikemukakan al-Musawi yang dikutip dari Ibn Jarir, maka Ibn Hajar al-Haitsami berkomentar dalam bukunya ash-Shawa'iq: Di dalam sanad riwayat itu terdapat Hasin al-Asyqar. Dia orang Syi'ah ekstrim.

Pembaca tak usah heran kalau al-Musawi selalu mengecam pendapat setiap orang yang tidak sepaham dengannya. Perhatikan bagaimana ia mengecam Ibn Hajar al-Haitsumi hanya karena ia tidak mengemukakan hadits tersebut seluruhnya. (Lihat catatan kaki nomor 2 hal. 159). Akan tetapi Ibn Hajar tidak hanya tidak mengutip secara tuntas, bahkan ia mendha'ifkannya dari sudut Husain al-Asyqar sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

4. Mengenai hadits Ibn 'Abbas yang menyebutkan 10 macam keistimewaan 'Ali, diantaranya terdapat kata-kata: "Engkau adalah wali setiap mu'min sesudahku," Pada tanggapan Dialog ke 26 telah saya kemukakan penjelasan mengenai hadits dimaksud. Saya mengutip pendapat Ibn Taimiyah dalam Minhaj as-Sunnah 3/8 berikut ini: Hadits itu bukan hadits Musnad, tetapi hadits mursal apabila hadits itu betul berasal dari 'Umar ibn Maimun. Hadits itu maudhu' berdasarkan kesepakatan para ahli hadits, demikian kata Ibn Taimiyah.

Dalam buku yang sama, jilid 4/104, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa hadits itu mencatut nama Rasulullah. Sebab beliau adalah wali (pemimpin) setiap orang mu'min, dan setiap orang mu'min adalah wali (kekasih) beliau, baik di masa beliau masih hidup maupun setelah wafat.

Al-Musawi dalam komentarnya terhadap hadits Buraidah berkata: Rasulullah saw belum pernah, sepanjang hidupnya, menempatkan 'Ali dibawah komando orang lain (selain beliau). Sebaliknya, 'Ali selalu memegang pimpinan atas orang lain …Abu Bakar dan 'Umar pernah menjadi bawahan dalam pasukan Usamah di mana Rasulullah menunjuknya sebagai komandan pasukan pada perang Mut'ah. Pernah pula Rasulullah menunjuk keduanya (Abu Bakar dan 'Umar) sebagai anggota dalam pasukan pimpinan Amr ibn 'Ash pada perang Dzatus Salasil. Adapun 'Ali, ia belum pernah berada di bawah pimpinan orang lain, dan belum pernah ia menjadi bawahan seseorang selain Rasulullah saw, semenjak beliau diutus sebagai Rasulullah sehingga beliau wafat.

Komentar al-Musawi tersebut bisa ditanggapi dari berbagai segi:

1. Keterangan tersebut tidak benar sama sekali, dan bertentangan dengan bukti sejarah yang menyatakan bahwa Abu Bakar tidak termasuk dalam tentara Usamah. Sebab Rasulullah di masa sakitnya menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat. Sedang 'Umar ibn Khaththab dimintakan izin oleh Abu Bakar kepada Usamah. Karena itu 'Umar tidak keluar bersama pasukan Usamah.

Ibn Katsir berkata: Beberapa orang dari pemuka kaum Muhajirin dan Anshar telah siaga dalam tentara Usamah. Diantaranya adalah 'Umar ibn al-Khaththab. Barangsiapa mengatakan bahwa Abu Bakar termasuk didalamnya, maka sungguh ia telah salah. Sebab Rasulullah telah sakit keras, sedang tentara Usamah sudah berkemah di al-Jurf. Dan nabi telah menyuruh Abu Bakar untuk bertindak sebagai imam shalat. Karena itu, bagaimana mungkin ia berada dalam tentara itu, sedang ia ditunjuk sebagai imam kaum Muslimin atas izin Rasulullah. Kalaupun dikatakan ia telah siaga bersama mereka, namun Nabi (asy-Syari') telah mengecualikan dia dengan menunjuknya sebagai imam shalat yang merupakan salah satu rukun Islam yang paling besar. Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar meminta 'Umar dibebaskan dari kesatuan tentara Usamah. Usamah pun, sebagai komandan perang, mengizinkan 'Umar tetap tinggal di sisi Abu Bakar ash-Shiddiq. (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 5/222).

2. Diceritakan dalam Kitab Sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah saw menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat bagi kaum Muslimin. Sedang 'Ali ibn Abi Thalib termasuk salah seorang diantara mereka. Perintah Nabi seperti ini terjadi dua kali.

Pertama, ketika Nabi pergi untuk mendamaikan persengketaan di kalangan Bani 'Umar ibn 'Auf. Nabi berpesan kepada Bilal: "Jika sudah masuk waktu shalat, suruhlah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat"! Kedua, diwaktu Rasulullah sakit yang membawa wafatnya.

Ketika Rasulullah saw hendak melakukan ibadah haji, beliau menyuruh Abu Bakar untuk melakukan haji pula. Lalu beliau menyuruh 'Ali melakukan hal serupa dengan mengikuti nabi, sedang Abu Bakar adalah amir yang bertindak sebagai imam shalat atas kaum Muslimin. Ia menyuruh mereka, dan mereka pun taat dan mematuhinya, termasuk 'Ali.

3. Ibn Taimiyah berkata: Tidak adanya kepemimpinan pada seseorang, tidak berarti ada kekurangan padanya. Sebab kadang-kadang kekuasaan itu tidak diberikan oleh Nabi kepadanya, karena hal itu justru lebih baik dan berguna menurut penilaian nabi. Kecuali itu, keperluan Nabi kepada orang tersebut untuk menduduki suatu jabatan di sisinya yang tidak bisa diisi orang lain, jauh lebih besar dibanding keperluan Nabi kepadanya sebagai (komandan perang). Sesungguhnya Abu Bakar dan 'Umar tak ubahnya dua orang menteri. Tiap malam, biasanya mereka berbincang-bincang di sisi Nabi. Nabi berkata kepada mereka: "Jika kalian bersepakat dalam suatu hal, aku tidak akan menolaknya". Dan jika suatu delegasi berkunjung kepada Nabi, beliau bermusyawarah dengan mereka (Abu Bakar dan 'Umar). (Lihat Minhaj, 4/221).

Berkata Ibn Taimiyah: Sesungguhnya Nabi pernah menunjuk sebagai pemimpin (wali) seorang yang menurut kesepakatan Ahlus Sunnah dan Syi'ah, lebih rendah derajatnya dibanding Abu Bakar. Misalnya Amr ibn 'Ash, Wafid ibn Uqbah, Khalid ibn al-walid. Dari sini terlihat bahwa nabi tidak menunjuk Abu Bakar, bukan karena ia lebih rendah kedudukannya dari mereka itu.

5. Tidak setiap pemberian tugas memimpin kepada seseorang itu berarti ada kelebihan pada dirinya. Sebab kadang-kadang orang yang lebih rendah kedudukannya diberi tugas memimpin orang yang lebih utama. Ini terjadi misalnya pada perang Dzatus' Salasil. Pada perang ini, yang jadi komandan adalah 'Amr ibn 'Ash, sementara diantara bawahannya terdapat Abu Bakar dan 'Umar, dua orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari pada 'Amr menurut ijma' kaum Muslimin. Bahkan disebutkan dalam Kitab Sahih Bukhari dan Muslim dari jalur Khalid ibn Mahran al-Hidza' dari Abu 'Utsman an-Nahdi bahwa 'Amr ibn 'Ash bercerita kepadaku bahwa Rasulullah saw mengutus 'Amr ibn 'Ash untuk memimpin tentara dalam perang Dzatus Salasil. Lalu aku datang kepada nabi seraya bertanya: Siapa yang paling anda cintai? jawab nabi: "'A'isyah". "Dari kaum pria?" tanyaku lagi "Ayah 'A'isyah", tegas nabi. "Siapa lagi?", tanyaku. "'Umar ibn Khaththab", jawab Nabi. Kemudian Nabi menyebut beberapa nama lelaki. Ini adalah redaksi Bukhari. Dalam riwayat lain, 'Amr berkata: Aku lalu diam, khawatir kalau-kalau nabi menyebutku dalam urutan terakhir.

Di dalam riwayat Tirmidzi dari Abu 'Utsman an-Nahdi bahwa ia berkata: Aku mendengar 'Amr ibn 'Ash berkata: Rasulullah mengutusku untuk memimpin tentara pada perang Dzatus Salasil. Dalam satuan tentara itu terdapat Abu Bakar dan 'Umar. Aku mengira bahwa Nabi tidak akan mengangkatku atas Abu Bakar dan 'Umar kecuali karena kedudukanku di sisinya. Aku datang menemui Nabi, dan duduk di depannya seraya berkata: "Siapa orang yang paling anda cintai, wahai Rasulullah?" Lalu Nabi menjawab seperti jawaban dalam hadits di atas. (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 4/275).


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.