Tanggapan atas Dialog 36
1. Mengenai hadits "Engkau adalah wali (pemimpin)
setiap mu'min setelah aku". Di dalam sanad hadits ini
terdapat Abu Balj Yahya ibn Sulaim al-Fazari. Bukhari
berkata: Orang ini bisa dipertimbangkan. Menurut Akmad, Abu
Balj biasa meriwayatkan hadits mungkar (ditolak). Menurut
Ibn Hibban, ia sering keliru. Al-Jauzjani berkata: "Ia tidak
tsiqah." Sebagian hadits-hadits mungkar yang ia riwayatkan
dari 'Umar Ibn Maimun dari Ibn 'Abbas adalah hadits yang
memerintahkan untuk menutup semua pintu, kecuali pintu 'Ali
ibn Abi Thalib. (Lihat: Mizan al-I'tidal, jilid 4/384).
Ibn Taimiyah berkata: Demikian pula perkataan nabi "Ia
pemimpin setiap mu'min sepeninggalku", adalah hadits dha'if
yang mencatut nama Rasulullah. Bahkan Rasulullah tetap
pemimpin setiap orang mu'min, baik di masa hidup maupun
setelah wafatnya. Dan semua orang mu'min adalah wali
(kekasih) nabi diwaktu hidup maupun setelah mereka mati.
(Minhaj, jilid 4, hal. 104).
2. Adapun hadits Imran ibn Husain, didalamnya
terdapat Ja'far ibn Sulaiman adh-Dhuba'i. Yahya ibn Mu'in
berkata: Yahya ibn Sa'id tidak menuliskan hadits Ja'far.
Bahkan ia memandangnya lemah. Menurut Ibn Sa'ad, ia tsiqat,
tetapi mengandung kelemahan, dan dia Syi'Ah. Ahmad ibn
al-Miqdam berkata: Ja'far adalah orang yang menisbatkan diri
kepada paham rafadh. Al-'Aqili berkata: Bercerita kepadaku
Muhammad ibn Mirdan al-Quraisyi dari Ahmad ibn Sinan dari
Sahal ibn Abi Khaduwaih, bahwa ia berkata kepada Ja'far ibn
Sulaiman: Aku mendengar kamu memaki Abu Bakar dan 'Umar?
Jawabnya: "Aku tidak memaki, hanya benci saja"! Hal yang
serupa dikutip pula oleh Ibn Hibban dalam ats-Tsiqat.
Dalam adh-Dhu'afa' Bukhari berkata: Ja'far ibn Sulaiman
al-Harasyi yang dikenal dengan sebutan adh-Dhuba'i memiliki
beberapa hadits yang sebagian darinya diperselisihkan oleh
para ulama. Ahmad berkata: Ia Syi'ah, banyak meriwayatkan
hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan 'Ali. Penduduk
Basrah memang berlebih-lebihan dalam memuji 'Ali. Kebanyakan
hadits Ja'far lemah (dha'if). Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata:
Ia banyak meriwayatkan hadits-hadits mungkar. Para ahli
berselisih paham dalam berhujjah dengan hadits-hadits itu.
Salah satu diantaranya adalah hadits Imran ibn Husain
berikut ini: "Rasulullah pernah mengirim satuan tentara dan
mengangkat 'Ali sebagai komandannya (Al-Mizan, 1/408).
3. Adapun hadits Buraidah, maka di dalam sanadnya
terdapat Ajlah ibn 'Abdullah Abu Hujayyah al-Kindi al-Kufi.
Abu Hatim berkata: Ia bukan perawi yang kuat. Menurut
an-Nasa'i, ia dha'if, dan memiliki pendapat yang buruk.
Al-Qaththan berkata: Ada sesuatu yang membuat saya ragu
kepadanya. Menurut Ibn 'Adi, ia seorang Syi'ah yang jujur.
Menurut al-Jauzjani, ia pendusta. (Mizan, 1/78).
Mengenai riwayat kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Kitab Musnad jilid 5/347 dari jalan Sa'ad ibn Jubair
dari Ibn 'Abbas, didalamnya terdapat Ibn Abi 'Uyainah dan
Hasan yang keduanya tidak dikenal (majhul). Sedang hadits
'Amr ibn Syas al-Aslami yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnad jilid 3/483 didalamnya terdapat Muhammad ibn
Ishak. Ia sering melakukan tadlis (pencampur-adukan).
Ibn Ma'in berkata: Beberapa orang memandang Ibn Ishak
tsiqat, sedang yang lain memandangnya dha'if. Menurut Ibn
Ma'in sendiri, ia tsiqat, tapi tidak dapat dijadikan hujjah.
Menurut an-Nasa'i dan lainnya, ia dha'if. Menurut ad-Dar
al-Quthni, ia tidak dapat dijadikan hujjah. Ibn 'Uyainah
berkata: Aku melihat Ibn Ishak di Masjid al-Khaif, maka aku
malu jika ada orang yang melihat aku bersamanya. (Mizan,
3/468).
Dalam sanad hadits itu juga terdapat Fadhal ibn Mu'qal
yang bersumber dari 'AbdullAh ibn Dinar al-Aslami. Ia adalah
perawi yang tidak dikenal. (Ta'jil al-Manfaat, hal.
220).
Adapun riwayat mengenai berbagai keistimewaan 'Ali yang
disandarkan kepada an-Nasa'i, maka kedha'ifannya sudah cukup
jelas dengan hanya melihat pada penisbatannya saja,
sebagaimana dinyatakan oleh para ahli hadits. Sedang
mengenai riwayat yang dikemukakan al-Musawi yang dikutip
dari Ibn Jarir, maka Ibn Hajar al-Haitsami berkomentar dalam
bukunya ash-Shawa'iq: Di dalam sanad riwayat itu terdapat
Hasin al-Asyqar. Dia orang Syi'ah ekstrim.
Pembaca tak usah heran kalau al-Musawi selalu mengecam
pendapat setiap orang yang tidak sepaham dengannya.
Perhatikan bagaimana ia mengecam Ibn Hajar al-Haitsumi hanya
karena ia tidak mengemukakan hadits tersebut seluruhnya.
(Lihat catatan kaki nomor 2 hal. 159). Akan tetapi Ibn Hajar
tidak hanya tidak mengutip secara tuntas, bahkan ia
mendha'ifkannya dari sudut Husain al-Asyqar sebagaimana
dijelaskan sebelumnya.
4. Mengenai hadits Ibn 'Abbas yang menyebutkan 10
macam keistimewaan 'Ali, diantaranya terdapat kata-kata:
"Engkau adalah wali setiap mu'min sesudahku," Pada tanggapan
Dialog ke 26 telah saya kemukakan penjelasan mengenai hadits
dimaksud. Saya mengutip pendapat Ibn Taimiyah dalam Minhaj
as-Sunnah 3/8 berikut ini: Hadits itu bukan hadits Musnad,
tetapi hadits mursal apabila hadits itu betul berasal dari
'Umar ibn Maimun. Hadits itu maudhu' berdasarkan kesepakatan
para ahli hadits, demikian kata Ibn Taimiyah.
Dalam buku yang sama, jilid 4/104, Ibn Taimiyah
menjelaskan bahwa hadits itu mencatut nama Rasulullah. Sebab
beliau adalah wali (pemimpin) setiap orang mu'min, dan
setiap orang mu'min adalah wali (kekasih) beliau, baik di
masa beliau masih hidup maupun setelah wafat.
Al-Musawi dalam komentarnya terhadap hadits Buraidah
berkata: Rasulullah saw belum pernah, sepanjang hidupnya,
menempatkan 'Ali dibawah komando orang lain (selain beliau).
Sebaliknya, 'Ali selalu memegang pimpinan atas orang lain
Abu Bakar dan 'Umar pernah menjadi bawahan dalam
pasukan Usamah di mana Rasulullah menunjuknya sebagai
komandan pasukan pada perang Mut'ah. Pernah pula Rasulullah
menunjuk keduanya (Abu Bakar dan 'Umar) sebagai anggota
dalam pasukan pimpinan Amr ibn 'Ash pada perang Dzatus
Salasil. Adapun 'Ali, ia belum pernah berada di bawah
pimpinan orang lain, dan belum pernah ia menjadi bawahan
seseorang selain Rasulullah saw, semenjak beliau diutus
sebagai Rasulullah sehingga beliau wafat.
Komentar al-Musawi tersebut bisa ditanggapi dari berbagai
segi:
1. Keterangan tersebut tidak benar sama sekali,
dan bertentangan dengan bukti sejarah yang menyatakan bahwa
Abu Bakar tidak termasuk dalam tentara Usamah. Sebab
Rasulullah di masa sakitnya menyuruh Abu Bakar untuk menjadi
imam shalat. Sedang 'Umar ibn Khaththab dimintakan izin oleh
Abu Bakar kepada Usamah. Karena itu 'Umar tidak keluar
bersama pasukan Usamah.
Ibn Katsir berkata: Beberapa orang dari pemuka kaum
Muhajirin dan Anshar telah siaga dalam tentara Usamah.
Diantaranya adalah 'Umar ibn al-Khaththab. Barangsiapa
mengatakan bahwa Abu Bakar termasuk didalamnya, maka sungguh
ia telah salah. Sebab Rasulullah telah sakit keras, sedang
tentara Usamah sudah berkemah di al-Jurf. Dan nabi telah
menyuruh Abu Bakar untuk bertindak sebagai imam shalat.
Karena itu, bagaimana mungkin ia berada dalam tentara itu,
sedang ia ditunjuk sebagai imam kaum Muslimin atas izin
Rasulullah. Kalaupun dikatakan ia telah siaga bersama
mereka, namun Nabi (asy-Syari') telah mengecualikan dia
dengan menunjuknya sebagai imam shalat yang merupakan salah
satu rukun Islam yang paling besar. Setelah Rasulullah saw
wafat, Abu Bakar meminta 'Umar dibebaskan dari kesatuan
tentara Usamah. Usamah pun, sebagai komandan perang,
mengizinkan 'Umar tetap tinggal di sisi Abu Bakar
ash-Shiddiq. (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 5/222).
2. Diceritakan dalam Kitab Sahih Bukhari dan
Muslim bahwa Rasulullah saw menyuruh Abu Bakar untuk menjadi
imam shalat bagi kaum Muslimin. Sedang 'Ali ibn Abi Thalib
termasuk salah seorang diantara mereka. Perintah Nabi
seperti ini terjadi dua kali.
Pertama, ketika Nabi pergi untuk mendamaikan
persengketaan di kalangan Bani 'Umar ibn 'Auf. Nabi berpesan
kepada Bilal: "Jika sudah masuk waktu shalat, suruhlah Abu
Bakar untuk menjadi imam shalat"! Kedua, diwaktu Rasulullah
sakit yang membawa wafatnya.
Ketika Rasulullah saw hendak melakukan ibadah haji,
beliau menyuruh Abu Bakar untuk melakukan haji pula. Lalu
beliau menyuruh 'Ali melakukan hal serupa dengan mengikuti
nabi, sedang Abu Bakar adalah amir yang bertindak sebagai
imam shalat atas kaum Muslimin. Ia menyuruh mereka, dan
mereka pun taat dan mematuhinya, termasuk 'Ali.
3. Ibn Taimiyah berkata: Tidak adanya kepemimpinan
pada seseorang, tidak berarti ada kekurangan padanya. Sebab
kadang-kadang kekuasaan itu tidak diberikan oleh Nabi
kepadanya, karena hal itu justru lebih baik dan berguna
menurut penilaian nabi. Kecuali itu, keperluan Nabi kepada
orang tersebut untuk menduduki suatu jabatan di sisinya yang
tidak bisa diisi orang lain, jauh lebih besar dibanding
keperluan Nabi kepadanya sebagai (komandan perang).
Sesungguhnya Abu Bakar dan 'Umar tak ubahnya dua orang
menteri. Tiap malam, biasanya mereka berbincang-bincang di
sisi Nabi. Nabi berkata kepada mereka: "Jika kalian
bersepakat dalam suatu hal, aku tidak akan menolaknya". Dan
jika suatu delegasi berkunjung kepada Nabi, beliau
bermusyawarah dengan mereka (Abu Bakar dan 'Umar). (Lihat
Minhaj, 4/221).
Berkata Ibn Taimiyah: Sesungguhnya Nabi pernah menunjuk
sebagai pemimpin (wali) seorang yang menurut kesepakatan
Ahlus Sunnah dan Syi'ah, lebih rendah derajatnya dibanding
Abu Bakar. Misalnya Amr ibn 'Ash, Wafid ibn Uqbah, Khalid
ibn al-walid. Dari sini terlihat bahwa nabi tidak menunjuk
Abu Bakar, bukan karena ia lebih rendah kedudukannya dari
mereka itu.
5. Tidak setiap pemberian tugas memimpin kepada
seseorang itu berarti ada kelebihan pada dirinya. Sebab
kadang-kadang orang yang lebih rendah kedudukannya diberi
tugas memimpin orang yang lebih utama. Ini terjadi misalnya
pada perang Dzatus' Salasil. Pada perang ini, yang jadi
komandan adalah 'Amr ibn 'Ash, sementara diantara bawahannya
terdapat Abu Bakar dan 'Umar, dua orang yang kedudukannya
jauh lebih tinggi dari pada 'Amr menurut ijma' kaum
Muslimin. Bahkan disebutkan dalam Kitab Sahih Bukhari dan
Muslim dari jalur Khalid ibn Mahran al-Hidza' dari Abu
'Utsman an-Nahdi bahwa 'Amr ibn 'Ash bercerita kepadaku
bahwa Rasulullah saw mengutus 'Amr ibn 'Ash untuk memimpin
tentara dalam perang Dzatus Salasil. Lalu aku datang kepada
nabi seraya bertanya: Siapa yang paling anda cintai? jawab
nabi: "'A'isyah". "Dari kaum pria?" tanyaku lagi "Ayah
'A'isyah", tegas nabi. "Siapa lagi?", tanyaku. "'Umar ibn
Khaththab", jawab Nabi. Kemudian Nabi menyebut beberapa nama
lelaki. Ini adalah redaksi Bukhari. Dalam riwayat lain, 'Amr
berkata: Aku lalu diam, khawatir kalau-kalau nabi menyebutku
dalam urutan terakhir.
Di dalam riwayat Tirmidzi dari Abu 'Utsman an-Nahdi bahwa
ia berkata: Aku mendengar 'Amr ibn 'Ash berkata: Rasulullah
mengutusku untuk memimpin tentara pada perang Dzatus
Salasil. Dalam satuan tentara itu terdapat Abu Bakar dan
'Umar. Aku mengira bahwa Nabi tidak akan mengangkatku atas
Abu Bakar dan 'Umar kecuali karena kedudukanku di sisinya.
Aku datang menemui Nabi, dan duduk di depannya seraya
berkata: "Siapa orang yang paling anda cintai, wahai
Rasulullah?" Lalu Nabi menjawab seperti jawaban dalam hadits
di atas. (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 4/275).
|