MASALAH IMAMAH DAN PENGGANTI RASULULLAH
SAW
Tanggapan atas Dialog 20-24
1. Apa yang dikemukakan al-Musawi merupakan
pernyataan palsu yang tak didukung oleh bukti.
2. Pandangan al-Musawi mengenai kemutawatiran
hadits-hadits yang dikemukakannya tidak dapat dibenarkan,
berdasarkan kesepakatan para ulama bahwa yang disebut hadits
mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan dari nabi oleh
sekelompok orang dari sekelompok orang, dan demikian
seterusnya dari awal sanad sampai akhir sanad, sehingga
tidak dimungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta.
Beranjak dari definisi di atas, mereka sepakat bahwa
tidak ada hadits yang mutawatir lafdhy (redaksional). Yang
ada hanyalah hadits-hadits yang mutawatir secara maknawi
(kandungannya saja). Adapun hadits-hadits yang dikemukakan
al-Musawi, maka tak satu pun darinya yang sahih, apalagi
mutawatir. Dalam as-Sirah al-Halabiyah, jilid 1, halaman 312
disebutkan sebagai berikut:
"Siapakah yang akan menyambut seruanku dan
membantuku dalam urusan ini?" 'Ali berkata: "Aku, wahai
Rasulullah," sementara aku orang yang paling muda, dan
orang-orang lain yang hadir pun diam".
Dalam riwayat yang lain terdapat tambaban sebagai
berikut:
"Ia akan menjadi saudaraku, pembantu (wazir) ku,
pewarisku, dan pengganti wakilku dan (khalifah)
setelahku. Tak seorang pun dari mereka yang hadir
menanggapi pernyataan itu. Lalu 'Ali bangun seraya
berkata: "Aku, wahai Rasulullah!" Nabi pun menyuruhnya
duduk (tiga kali) dan berkata: Engkau adalah saudaraku,
penerima wasiat (washiy)ku, pewarisku, dan penggantiku
sesudahku".
Menurut Imam Abu al-'Abbas ibn Taimiyah, tambahan di atas
palsu dan merupakan hadits maudhu'. Barangsiapa mempunyai
pengetahuan dalam hadits sedikit saja, pasti akan mengetahui
kepalsuan tersebut, demikian dikatakannya.
Ibn Jarir dan al-Baghawi meriwayatkan hadits di atas
beserta tambahannya tersebut melalui sanad yang didalamnya
terdapat Abu Maryam al-Kufi. Padahal ulama hadits telah
sepakat meninggalkan riwayatnya. Imam Ahmad berkata: Abu
Maryam tidak tsiqah, dan umumnya haditsnya palsu. Menurut
Ibn al-Madini, dia suka membuat hadits palsu.
Berkata Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat wa andzir
'asyiratakal aqrabin (QS, asy-Syu'ara': 214) Abu Ja'far ibn
Jarir meriwayatkan dari Ibn Hamid dari Salamah dari Ibn
Ishak dari 'Abdul Ghaffar ibn Qasim Abi Maryam dari Minhal
dari Amr dari 'Abdullah ibn Harits dari Ibn 'Abbas dari 'Ali
ibn Abi Thalib. Ia (Abu Ja'far) kemukakan hadits itu, dan
memberi tambahan --setelah sabda nabi Inni ji'tukum
bikhayrid-dunya wal-akhirah-- kata-kata berikut ini: "Allah
telah menyuruhku untuk mengajak kalian ke jalan-Nya. Siapa
diantara kamu yang akan membantuku dalam urusan ini? Semua
yang hadir diam seribu basa, kecuali 'Ali. Ia berkata: "Aku,
wahai Rasulullah! Aku akan menjadi pembantumu!" Dan
Rasulullah menepuk leher 'Ali seraya berkata: Inilah
saudaraku
dan seterusnya."
Menurut Ibn Katsir, hanya 'Abdul Ghaffar yang
meriwayatkannya dalam suSunan seperti itu. Dia ini matruk,
pendusta dan Syi'ah. Ibn al-Madini menuduhnya membuat-buat
hadits, dan para imam hadits memandangnya dha'if.
(3,4) Perhatikanlah keberanian al-Musawi ketika ia
menganggap Ibn Taimiyah sebagai orang yang gegabah,
sewenang-wenang, serampangan, tak adil, dan fanatik. Ia
melontarkan semua tuduhan itu tanpa dukungan bukti atau
dalil. Mestinya dia menangkis ucapan-ucapan dan
argumen-argumen Ibn Taimiyah satu demi satu, untuk
membuktikan tuduhannya itu.
Saya akan mengutarakan ringkasan pernyataan Ibn Taimiyah,
supaya pembaca tahu bahwa al-Musawi telah berbuat zhalim dan
aniaya kepada Ibn Taimiyah. Ia telah menuduhnya dengan
tuduhan palsu, dan bahwa sesungguhnya sifat-sifat yang
dituduhkannya kepada Ibn Taimiyah itu adalah sifat-sifat
yang melekat pada dirinya sendiri.
Ibn Taimiyah mengemukakan beberapa hal berkenaan dengan
riwayat yang dikutip al-Musawi dan yang dipandangnya sahih
itu. Tanggapan Ibn Taimiyah terhadap riwayat dimaksud
berkisar dalam beberapa hal:
1. Tuntutan kesahihan hadits. Pernyataan al-Musawi
bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh semua orang sama
sekali tidak dapat dibenarkan oleh para ulama hadits. Sebab
hadits dimaksud tidak dijumpai di dalam kitab-kitab kaum
Muslimin yang standar. Ia tidak terdapat dalam kitab-kitab
Sahih (Bukhari-Muslim), kitab-kitab Musnad dan Sunan. Juga
tidak terdapat dalam kitab al-Maghazi dan kitab-kitab tafsir
yang mengandung isnad dan menjadikannya hujjah.
Hadits tersebut memang terdapat pada sebagian kitab
tafsir yang didalamnya terdapat nukilan hadits yang sahih
dan dha'if, seperti tafsir ats-Tsa'labi, al-Wahidy,
al-Baghawi, bahkan tafsir Ibn Jarir dan tafsir Ibn Abi
Hatim. Namun, penukilan hadits tersebut oleh salah seorang
dari mereka, tidak berarti menunjukkan kesahihannya. Jika
seorang telah mengetahui bahwa dalam kitab-kitab tersebut
terdapat nukilan-nukilan hadits yang sahih maupun yang
dha'if, maka ia mesti menjelaskan bahwa hadits yang
dikutipnya itu tergolong hadits yang sahih, bukan yang
dha'if.
Singkatnya, hadits tersebut termuat dalam beberapa tafsir
yang mengandung hadits yang sahih maupun dha'if. Dalam
kitab-kitab tafsir tersebut juga banyak dijumpai
hadits-hadits maudhu'. Sementara beberapa kitab tafsir lain
mengandung hadits-hadits sahih yang menentang kebenaran
hadits tersebut. Para mufasir memang mempunyai kebiasaan
untuk menyebutkan hadits-hadits yang sahih maupun yang
dha'if dalam menjelaskan asbab an-Nuzul suatu ayat. Jika
orang berhujjah dengan hadits dha'if atau hadits-hadits lain
yang serupa, lalu ia kemukakan semua itu dalam menafsirkan
ayat, tanpa menyebutkan hadits lain yang menentangnya, maka
cara berhujjah seperti itu merupakan cara berhujjah yang
paling buruk.
Bahkan seandainya hadits itu sahih dan diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqah dan adil, sementara ada orang lain yang
juga adil dan tsiqah meriwayatkan hadits yang berbeda dengan
hadits tersebut, maka kedua riwayat itu mesti
dipertimbangkan secara adil untuk menentukan mana yang
paling rajih (unggul) diantara keduanya. Bagaimanakah halnya
jika para ahli hadits telah sepakat bahwa riwayat lain yang
menentang hadits itu justru adalah riwayat yang sahih?
Bahkan hadits terkait bertentangan dengan apa yang telah
dimaklumi secara mutawatir oleh para mufasir terkemuka,
yaitu orang-orang yang tidak mau mengemukakan hadits
tersebut dalam keadaan apapun, lantaran mereka tahu bahwa
hadits itu palsu dan bathil.
2. Hadits itu palsu dan maudhu'. Karena itu tak
seorang pun dari para mufasir terkemuka yang menukilnya
dalam kitab-kitab mereka. Adalah Ibn Jarir dan al-Baghawi
yang meriwayatkan hadits tersebut dengan menggunakan isnad
yang didalamnya terdapat 'Abdul Ghaffar ibn Qasim ibn Fahdi
Abu Maryam al-Kufi. Sedangkan 'Abdul Ghaffar ini adalah
perawi yang tidak diterima (matruk) berdasarkan kesepakatan
para ulama. Sammak ibn Harab menganggapnya pendusta. Hal
serupa dikemukakan pula oleh Abu Daud. Menurut Imam Ahmad,
ia tidak tsiqah, dan kebanyakan haditsnya dha'if Yahya
memandangnya tidak ada nilainya. Ibn al-Madini berkata: Ia
banyak membuat hadits palsu. An-Nasa'i dan Abu Hatim
memandangnya sebagai orang yang tidak dapat diambil
haditsnya (matruk al-hadits). Ibn Hibban al-Basiti berkata:
'Abdul Ghaffar biasa meminum khamr sampai teler. Kecuali
itu, ia suka mendistorsi hadits. Seseorang tidak dibenarkan
berhujjah dengan haditsnya, demikian Ibn Hibban.
Dalam isnad hadits tersebut juga terdapat 'Abdullah ibn
'Abdul Quddus. Dia bukan orang yang tsiqah. Menurut Yahya
ibn Ma'in, ia tidak ada nilainya; ia orang Rafidhah yang
busuk.
3. Ketika diturunkan ayat termaksud, keluarga
'Abdul Muththalib tidak mencapai 40 orang. Ayat tersebut
diturunkan di Makkah di awal dakwah Islam. Keluarga 'Abdul
Muththalib juga tidak mencapai 40 orang semasa hidup
nabi.
4. Mengenai perkataan nabi kepada orang yang
berkumpul (jemaah yang hadir): "Siapa yang menyambut
seruanku ini, dan membantuku dalam menegakkannya, ia akan
menjadi saudaraku, pembantu (wazir)ku, penerima wasiat
(Washiy)ku, dan pengganti setelahku". Perkataan demikian
dibuat-buat atas nama Rasulullah. Ia tidak boleh disandarkan
kepadanya. Sebab menerima dua kalimat syahadat, dan membantu
nabi memperjuangkannya, tidaklah membuat seorang menjadi
saudara, wazir, washiy dan khalifah Rasulullah. Sebab semua
orang mukmin menerima dua kalimah syahadat dan mereka
berjuang untuk itu. Mereka mengorbankan jiwa dan raga demi
Islam. Sejarah membuktikan semua itu. Namun tak seorang pun
dari mereka yang kemudian diangkat sebagai khalifah
nabi.
5. Sesungguhnya Hamzah dan 'Ubaidah' ibn al-Harits
sama-sama menyambut seruan nabi, sebagaimana 'Ali. Mereka
menerima dua kalimat syahadat dan membela nabi untuk
menegakkan Islam. Mereka tergolong angkatan pertama yang
beriman kepada Allah dan Rasul di awal dakwah Islam. Bahkan
Hamzah telah memeluk Islam sebelum ummat Islam mencapai 40
orang. Dan kala itu Rasulullah berada di rumah Arqam ibn Abi
al-Arqam (Minhaj as-Sunnah, 4/85).
Di dalam kitab-kitab hadits yang sahih, hadits yang
berkenaan dengan ayat wa andzir 'asyiratakal aqrabin (QS,
asy-Syu'ara, 26:214) bukanlah hadits seperti yang
dikemukakan al-Musawi. Dalam Kitab Sahih Bukhari dan Muslim,
terdapat riwayat dari Ibn 'Umar, Abu Hurairah dan riwayat
lainnya, yang berlawanan dengan riwayat hadits yang
dikemukakan al-Musawi. Dalam kesempatan ini, saya akan
mengemukakan satu riwayat saja. Pembaca yang ingin tahu
lebih banyak, silahkan membaca sendiri komentar dalam Sahih
Bukhari Muslim dalam tafsir mengenai ayat terkait.
Diceritakan dari Ibn 'Umar dan Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw ketika turun ayat QS, asy-Syu'ara', 214
tersebut mengajak suku Quraisy untuk berkumpul. Setelah
mereka berkumpul, nabi berkata: "Wahai Bani Ka'ab ibn Lu'ay,
selamatkan dirimu dari api neraka! Wahai Bani Murrah ibn
Ka'ab, selamatkan dirimu dari api neraka! Wahai Bani 'Abdul
Muththalib, selamatkan dirimu dari api neraka! Wahai
Fathimah binti Muhammad, selamatkan dirimu dari api neraka!
Aku tidak punya wewenang atas dirimu sedikit pun; bagimu
hanya ada kasih sayang di mana aku dapat membasahi dengan
tetesannya".
Setelah kita ketahui dalil-dalil Ibn Taimiyah untuk
membuktikan kelemahan hadits al-Musawi, saya ingin bertanya
kepada para pembaca, adakah beliau gegabah, berkata tanpa
bukti dan fanatik? Sesungguhnya yang gegabah dan fanatik itu
adalah orang yang berpijak di atas kebathilan dan
meninggalkan kebenaran, serta menjauhi dalil-dahl dan
bukti-bukti yang kokoh, menyusun pemikirannya di atas
landasan yang lemah.
Ibn Taimiyah bukanlah orang yang memiliki tipe seperti
yang dituduhkan al-Musawi. Karena itu, orang yang mencela
Ibn Taimiyah tentu tak lain kecuali karena beliau tidak
sesuai dengan kemauan hawa nafsunya. Dia hanya mengutip
dalil-dalilnya dari penulis semisal Muhammad Husain Haekal,
atau dari koran mingguan yang berwawasan politik.
Ini merupakan bukti kuat yang menunjukkan kezaliman
al-Musawi. Juga menunjukkan kegegabahan dan fanatismenya
yang mendalam, yang mendorongnya untuk menyatakan sesuatu
yang hanya akan menjadi bahan tertawaan, orang-orang yang
berilmu, dan yang ditolak bahkan oleh orang-orang bodoh
sekalipun.
(5) Sudah dikemukakan terdahulu mengenai kedha'ifan
hadits al-Musawi dan kesaksian para ahli yang tsiqat
mengenai hal itu.
(6) Mengenai riwayat hadits dalam Musnad Imam Ahmad yang
dikutip al-Musawi, ternyata terdapat perbedaan baik dari
segi sanad maupun matan dengan riwayat yang ditulis
al-Musawi dalam bukunya, Dialog Sunnah-Syi'ah, halaman 130,
yang dengannya al-Musawi berdalil atas kekhalifahan 'Ali ibn
Abi Thalib.
Saya akan mengutarakan riwayat yang terdapat dalam Kitab
Musnad, jilid I/111, supaya pembaca mengetahui bahwa
al-Musawi melakukan pemalsuan dan tadlis. Riwayat itu
berbunyi sebagai berikut: "Diceritakan dari 'Abdullah dari
ayahnya dari Aswad ibn Amir dari Syarik dari A'ma-sy dari
Minhal dari 'Ubbad ibn 'Abdillah dari 'Ali ra bahwa ketika
turun ayat QS, asy-Syu'ara, 26:214, Rasulullah mengumpulkan
keluarganya. Mereka berkumpul sebanyak 30 orang. Mereka pun
makan dan minum bersama. Setelah itu, kepada mereka, nabi
bersabda: "Siapakah yang bersedia menerima agamaku dan
janji-janjiku, dan akan bersamaku di surga, dan akan menjadi
penggantiku untuk keluargaku?" Lalu salah seorang yang tidak
disebut namanya oleh Syarik berkata: Wahai Rasulullah,
engkau adalah bagaikan lautan, siapa yang dapat
menggantikanmu?" Kemudian Rasulullah menoleh ke arah
keluarganya, lalu berkata 'Ali: "Aku!"
Perbedaan diantara kedua riwayat dalam Musnad dengan
riwayat yang ditulis al-Musawi adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan dalam sanad. Riwayat yang dikemukakan
oleh al-Musawi bersumber dari Ibn jarir dari Ibn Humaid dari
Salamah dari Ibn Ishak dari 'Abdul Ghaffar ibn al-Qasim Abi
Maryam dari Minhal ibn Amr dari 'Abdullah ibn Harits dari
Ibn 'Abbas dari 'Ali ibn Abi Thalib. Sudah saya kemukakan
pendapat para ahli hadits yang tsiqat mengenai kedha'ifan
riwayat tersebut dan tidak dapatnya nwayat itu diterima,
ditinjau dari segi sanad.
Adapun riwayat yang kedua (riwayat dalam Musnad), maka
isnadnya berbeda. Sebab dalam riwayat ini tidak terdapat
'Abdul Ghaffar ibn Qasim Abu Maryam al-Kufi, salah seorang
perawi yang telah disepakati ulama untuk ditinggalkan. Juga
tidak terdapat 'Abdullah ibn Abdil Quddus, seorang Rafidhah
yang keji, sebagai dikatakan Yahya ibn Ma'in.
2. Perbedaan dalam matan hadits. Dalam riwayat
yang dikemukakan al-Musawi jumlah keluarga Rasul mencapai 40
orang. Didalamnya terdapat paman-paman nabi, seperti Hamzah,
'Abbas dan Abu Lahab. Di dalam riwayat Ahmad, keluarga Rasul
hanya berjumlah 30 orang. Di sini tidak terdapat paman-paman
nabi. Pada riwayat al-Musawi, nabi berkata kepada
keluarganya: "Siapa diantara kamu yang dapat membantuku
dalam urusan ini, agar ia dapat menjadi saudaraku, penerima
wasiatku, dan penggantiku di tengah-tengah kalian?" Mereka
pun terdiam, kecuali 'Ali.
Sedang di dalam riwayat Ahmad, perkataan nabi kepada
mereka sebagai berikut: "Siapa yang mau menerima agamaku,
janji-janjiku, dan ia akan bersamaku kelak di surga dan ia
akan menjadi penggantiku di dalam keluargaku?"
Di dalam riwayat Ahmad nabi berkata kepada mereka: "Siapa
yang akan menanggung hutangku, janji-janjiku dan yang akan
bersamaku di surga dan yang akan jadi pemimpin di dalam
keluargaku?
Jelas bahwa yang dimaksud dengan khilafah di sini adalah
khilafah dalam arti khusus, bukan khilafah secara umum.
Sementara dalam riwayat yang dikemukakan al-Musawi, nabi
berkata --setelah 'Ali menyatakan: "Aku" ya Rasulullah!--
kepada 'Ali: Ia adalah saudaraku, penerima wasiatku, dan
penggantiku untukmu semua. Dengarlah dan patuhilah dia
!!
Di dalam riwayat Imam Ahmad, tidak ada tambahan kata-kata
di atas. Di sini pembicaraan berakhir dengan perkataan 'Ali:
"Aku!"
Pendek kata riwayat Imam Ahmad berbeda dengan riwayat
yang dijadikan dasar dan dipandang sahih oleh al-Musawi.
Dalam riwayat tersebut tidak terdapat petunjuk yang
menetapkan imamah yang sifatnya umum.
(7) Semua hadits ataupun atsar yang berkenaan dengan
persoalan khilafah jika ditinjau dari segi sanad, semuanya
tidak ada yang dapat dibenarkan dan dipandang sahih. Itulah
sebabnya mengapa Bukhari, Muslim dan ulama-ulama hadits
lainnya di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpaling dari
riwayat tersebut. Mereka tidak bersedia untuk meriwayatkan
hadits-hadits dimaksud, sebab mereka konsisten dengan metoda
yang mereka gunakan dalam menerima perawi maupun
mengeluarkan riwayatnya. Manakala suatu riwayat dipandang
syadz (ganjil) atau perawinya tidak adil dan tidak dhabit
serta tidak tsiqah, maka mereka merasa berdosa untuk
mengeluarkan riwayat seperti itu atau riwayat lain yang
perawinya ternoda seperti dalam riwayat dari al-Musawi.
Inilah faktor yang menyebabkan mereka berpaling dari
riwayat yang dikemukakan al-Musawi atau orang lain yang
serupa. Seandainya riwayat-riwayat dan nash-nash yang
dikemukakan al-Musawi itu benar dan sahih, pasti mereka akan
meriwayatkannya dengan segera. Dan mereka tidak akan
khawatir hal itu menjadi, senjata ampuh bagi kaum Syi'ah,
sebagai dikatakan al-Musawi. Buktinya, mereka banyak
meriwayatkan hadits-hadits sahih yang berkenaan dengan
keutamaan 'Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bukan pada
tempatnya membeberkan semua itu dalam tulisan ini.
(8) Al-Musawi mengajak kita untuk menutup mata ketika ia
menyembunyikan (tidak mengutip) pendapat Ibn Hajar, dan
tidak menunjukkan kepada pembaca rujukannya dalam kitab
Fathul Bari. Dengan itu, ia bermaksud untuk mengelabui
pembaca, baik yang cerdas maupun yang bodoh. Ia ingin
memberikan kesan bahwa apa yang dikemukakannya itu benar dan
sahih, dan setiap orang sudah mengetahuinya, tanpa merasa
perlu mengutip atau menunjukkan sumber aslinya, Fathul
Bari.
(9) Al-Musawi begitu berani mengutip pendapat Bukhari
sebagai dalil dan bukti atas tuduhan-tuduhannya. Dan ia
meninggalkan pendapat Bukhari yang sekiranya akan merusak
dan melemahkan dalilnya. Dalam Sahih Bukhari jilid I,
Bukhari telah membuat sub bahasan khusus di akhir Bab Ilmu
dengan judul "Spesifikasi penyampaian ilmu untuk sekelompok
orang tertentu bukan kelompok lainnya karena khawatir mereka
tidak mengerti". Atas dasar ini, Imam Bukhari perlu
membicarakan sub bahasan ini.
Adapun yang menjadi tujuan dari perkataan Bukhari itu
ialah bahwa seorang muhaddits dalam menyampaikan haditsnya
perlu memperhatikan keadaan orang yang akan menerimanya. Ia
tidak dibenarkan menyampaikan sesuatu, kecuali yang dapat
mereka terima dengan akal dan hati mereka. Dalam hal ini,
manusia berbeda-beda setingkat dengan ilmu masing-masing.
Ada orang yang pintar dan ada pula orang yang bodoh. Seorang
muhaddits tidak dibenarkan menyamakan dua tipe orang
tersebut dalam menyampaikan hadits dari nabi. Sebab, dalam
menerima hadits, orang yang bodoh seringkali memahaminya
secara lahiriyah, karena kebodohan, ketidakpahaman dan
sedikitnya ilmunya. Dengan begitu, ia bisa terjerumus pada
kesalahan dan dosa tanpa terasa. Hadits itu kemudian
menyebabkan ia kena fitnah dan tersesat. Hadits seperti itu
tidak dapat disampaikan sebagaimana yang disampaikan untuk
orang yang pengetahuannya lebih memadai.
Inilah yang dimaksudkan Imam Bukhari dengan perkataannya
itu. Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari
'Ubaidillah ibn Musa dari Ma'ruf dari Kharbud dari Abi
Thufail dari 'Ali. Ia berkata: "Sampaikan kepada manusia apa
yang dapat mereka mengerti. Adakah kamu suka berdusta kepada
Allah dan Rasul-Nya?"
Dalil dan bukti yang dikemukakan Bukhari dari perkataan
'Ali ibn Abi Thalib merupakan petunjuk yang jelas mengenai
maksud Bukhari.
Di dalam memberikan komentar terhadap pembahasan itu, Ibn
Hajar berkata: Yang dikehendaki dengan bima ya'rifuuna ialah
yafhamuuna (mereka memahaminya). Di dalam Bab Ilmu, Adam ibn
Abi Iyas menambahkan kata-kata yang dikutip dari 'Abdullah
ibn Rawad dari Ma'ruf sebagai berikut: "Tinggalkan olehmu
sesuatu yang membawa mereka inkar atau sesuatu yang tidak
dapat mereka pahami." Hal serupa diriwayatkan pula oleh Abu
Na'im dalam kitab al-Mustakhraj.
Ibn Hajar berkata: "Keterangan di atas menunjukkan bahwa
hadits yang tidak jelas (mutasyabih) tidak dapat dikemukakan
kepada umum." Hal senada dikemukakan Ibn Mas'ud berikut ini:
"Tidaklah kamu menyampaikan suatu hadits kepada sekelompok
orang yang tidak memahaminya, kecuali sebagian mereka akan
terkena fitnah" (HR Muslim).
Sebagian ulama yang tidak berkenan menyampaikan hadits
kepada sebagian orang, ialah Imam Ahmad dalam hadits-hadits
yang secara lahiriyah menentang kekuasaan. Demikian pula
Imam Malik dalam hadits-hadits yang berkenaan dengan
sifat-sifat Tuhan. Juga Abu Yusuf dalam hadits-hadits yang
mengandung makna gharib. Adapun dari angkatan sebelumnya
adalah Abu Hurairah. Ia enggan menyampaikan hadits yang
berkenaan dengan fitnah. Hal yang sama diceritakan dari
Hudzaifah dan Hasan bahwa ia menentang Anas yang
menceritakan kisah orang-orang Aran(?) kepada al-Hajjaj,
sebab yang disebut terakhir ini akan mengambilnya sebagai
alasan untuk melakukan pertumpahan darah dengan
interpretasinya yang dangkal.
Berkata Ibn Hajar: Ketentuan mengenai tidak etisnya
menyampaikan hadits mutasyabih di atas manakala hadits
terkait secara lahiriyah akan memperkuat lahirnya bid'ah.
Sedangkan makna lahiriyah di sini bukan yang dimaksud oleh
hadits tersebut. Maka mengendalikan hadits, tidak
menyampaikan (imsak) kepada orang yang dikhawatirkan akan
memahami secara harfiah sangatlah perlu. Wallahu a'lam!
Inilah sesungguhnya yang dimaksud oleh Imam Bukhari. Dan
ini pula sikap Ahlus Sunnah menanggapi persoalan (khilafah)
itu. Dari sini nyata bahwa al-Musawi bermaksud jahat atau
zalim kepada Bukhari dan Ahlus Sunnah ia ingin memberi kesan
kepada pembaca bahwa tuduhannya yang dibuat-buat itu bisa
diterima dan dibenarkan. Ia mengutip perkataan Bukhari dalam
Bab Ilmu. Sebagaimana lazimnya, ia tidak mengutipnya secara
utuh. Ia hanya mengutipnya sepotong untuk kepentingan
dirinya. Dalam hal ini ia mengutip: "Spesifikasi penyampaian
ilmu untuk orang tertentu, bukan untuk orang yang lainnya".
Kutipan al-Musawi selesai sampai di sini, tanpa menyebutkan
perkataan selanjutnya yang dapat menggambarkan adanya 'illat
suatu hukum yang tersurat pada perkataan sebelumnya. Ia
membuang perkataan Bukhari, karahiyatan anla yafhamuu
(karena khawatir mereka tidak memahaminya).
Ia juga tidak mengemukakan dalil yang dikemukakan Imam
Bukhari, yaitu riwayat yang bersumber dari 'Ali ibn Abi
Thalib. Padahal riwayat ini justru menjadi alasan dan
penjelasan mengapa ia membuat sub bahasan tersebut.
Ini juga suatu bukti di samping beribu-ribu bukti lain
yang menunjukkan kezhaliman al-Musawi dan teman-temannya.
Juga menunjukkan ketidakamanahan mereka dan kebencian mereka
kepada Ahlus Sunnah. Dan terakhir menunjuk kepada sikap
fanatisme mereka yang buta, lantaran mereka sesat dan
menuruti hawa nafsu.
(10) Apakah al-Musawi mengetahui isi hati Imam Bukhari,
hingga ia berani memvonis dan mencercanya. Orang memang bisa
menilai orang lain berdasarkan perbuatan dan ucapan
lahiriahnya. Dengan lain kata ia boleh memvonis berdasarkan
hal-hal yang lahir. Hanya Allah saja yang mengetahui apa
yang rahasia dan tersembunyi. Rasulullah sendiri menghukum
manusia berdasarkan kenyataan-kenyataan yang tampak. Bukti
yang paling tepat mengenai hal ini adalah sabda Nabi kepada
Usamah ibn Zaid: "Apakah kamu sudah membelah hatinya?" Ini
dikatakan ketika Usamah membunuh seorang yang tadinya ingkar
lalu menyatakan keislamannya. Usamah memahami ucapan orang
tersebut sebagai pura-pura, demi menyelamatkan diri.
Bagaimana al-Musawi bisa mengecap buruk batin Imam Bukhari,
jika bukan batin dia sendiri yang bobrok? Sebagaimana kata
penyair:
Jika buruk perbuatan seseorang, buruk pula
sangkaannya
Dan ia membenarkan tuduhan-tuduhan yang dibikinnya
Ia memusuhi kekasihnya dengan kata-kata yang
dibiasakannya
Jadilah ia orang yang tenggelam dalam kesangsian.
(11) Pernyataan tersebut tidak mungkin diucapkan oleh
seorang yang berilmu seperti Syeikh al-Bisyri. Bagaimana
mungkin ia akan memandang hadits itu sahih, sementara ulama
jarh dan ta'dil sepakat mengenai kedha'ifannya lantaran
dalam sanadnya terdapat 'Abdul Ghaffar ibn Qasim Abi
Maryam.
Kecuali itu, Syeikh al-Bisyri pasti mengetahui tahlith
(pencampuradukan) yang dilakukan oleh al-Musawi antara
hadits yang dha'if dengan hadits yang terdapat dalam kitab
Musnad Imam Ahmad halaman 111. Kedua hadits tersebut
nyata-nyata berbeda baik sanad maupun matannya, seperti
telah dijelaskan terdahulu.
(12) Imamah menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah ialah
kepemimpinan dan pemerintahan (al-khilafah wal imarah).
Imamah ini perlu dibentuk sebagai ganti fungsi kenabian
dalam rangka menjaga agama dan negara. Ummat Islam telah
sepakat mengenai wajibnya membentuk kepemimpinan itu untuk
orang yang sanggup menjalankannya. Perselisihannya hanyalah
apakah kata wajib di sini wajib menurut akal atau wajib
menurut syara', atau wajib menurut kedua-duanya.
Ada dua cara untuk membentuk kepemimpinan tersebut.
Pertama, berdasarkan pilihan dan petunjuk sekelompok orang
yang ahli dalam menangani dan memecahkan masalah
(Ahlul-halli wal 'Aqdi). Kedua, berdasarkan dekrit imam yang
sebelumnya.
Metoda mana pun yang dipakai dari dua metoda pembentukan
imamah itu, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh
sang imam terpilih. Yang paling penting dari syarat-syarat
itu ialah memiliki sifat adil, pengetahuan (ilmu) yang
menyebabkan ia dapat melakukan ijtihad, sehat psikis dan
fisiknya sehingga mampu bergerak. Ia juga harus memiliki
visi yang akan membantunya mengatur rakyat dan mengurus
'kemaslahatan umum; mempunyai keberanian dan keperkasaan
yang perlu untuk mengayomi ummat Islam dan memerangi
musuh-musuh mereka. Juga memiliki nasab, yaitu dari suku
Quraisy.
Adapun menurut kaum Rafidhah, imamah adalah kepemimpinan
agama dan negara. Ia merupakan pangkat ketuhanan yang
pemiliknya ditetapkan Allah melalui ilmu-Nya yang azal, dan
Dia memerintahkan Nabi untuk menunjukkan orang, yang
bersangkutan kepada ummat dan menyuruh mereka untuk tunduk
dan patuh kepadanya. Menurut mereka (kaum Rafidhah), Allah
telah memerintahkan kepada Nabi untuk menunjuk 'Ali ibn Abi
Thalib dan sebelas imam dari keturunannya, baik yang dikenal
maupun yang ghaib dan tersembunyi, dengan nash yang
tegas.
Jadi menurut kaum Rafidhah, imamah ditetapkan dengan nash
yang tidak diragukan lagi kesahihannya. Bahkan imamah
merupakan wajib aqli atas Tuhan. Allah wajib mengangkat
seorang imam untuk menjaga agama pada setiap waktu dan
zaman. Menurut mereka, martabat imamah sama dengan tingkat
kenabian, ditinjau dari segi penentuan dan
kema'shumannya.
Dari segi penentuannya (ta'yin), manusia tidak mempunyai
hak untuk menentukan seorang nabi. Demikian pula mereka
tidak punya hak untuk menentukan seorang imam. Dari segi
kema'shumannya, para imam menurut kaum Rafidhah lebih
ma'shum daripada para nabi. Dan mereka memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari nabi maupun para malaikat. Sebab
sifat 'ishmah menurut mereka tergolong hal-hal yang bersifat
batiniyah yang tidak dapat dilihat kecuali oleh orang yang
mengetahui apa-apa yang terkandung dalam hati manusia.
Meskipun mereka berpendapat imam itu ma'shum, namun mereka
juga menyatakan bahwa imam juga boleh berdusta, misalnya
jika seorang imam berkata: "Aku bukan imam," ketika dia
dalam keadaan taqiyah.
Sungguh, hal di atas merupakan kontradiksi yang tidak
dapat diterima oleh orang yang berakal. Sebab bagaimana
mungkin seorang imam yang telah dipilih dan ditentukan oleh
Allah sebagaimana Dia memilih seorang nabi, lalu sang imam
boleh menyembunyikan keimamannya, atau mengingkarinya karena
takut berakibat buruk pada diri dan agamanya? Sedangkan para
nabi tidak dibenarkan melakukan sikap seperti itu, dan tak
seorang pun dari mereka yang melakukan demikian. Mereka
menyiarkan dakwah mereka kepada semua orang dan menanggung
segala macam risiko dalam menjalankan perintah Allah untuk
menyampaikan dakwah kepada manusia. Bagaimana bisa
dibenarkan para imam itu mengingkari dan menyembunyikan
keimamannya, jika memang mereka dipilih Allah untuk bertugas
seperti para nabi.
Yang benar ialah bahwa Rasulullah tidak menunjuk (memberi
nash) seseorang untuk menjadi imam. Sebab kalau ada nash
mengenai hal ini, tentu ummat Islam mengetahuinya. Dan tentu
pelaksanaan ketentuan nash itu menjadi kewajiban agama.
Adalah mustahil jika semua sahabat mengingkari nash itu jika
ia memang ada. Apalagi dengan besarnya dorongan untuk
mengetahui adanya nash seperti itu setelah wafat Nabi.
Jika nash itu memang ada, tentu merupakan kewajiban
syar'i bagi orang yang ditunjuk oleh nash tersebut untuk
tampil ke depan mempertahankan haknya sebagai imam. Dalam
kenyataannya, buku-buku sejarah tidak menyebutkan adanya
orang yang mengklaim imamah dan mengemukakan dalil yang
menyatakan bahwa dirinya berhak atas kedudukan tersebut
dengan ketetapan nash.
Ibn Taimiyah berkata: "Di lain pihak Nabi telah
menunjukkan kepada ummat Islam akan kekhalifahan Abu Bakar
melalui bermacam-macam hal, baik perkataan maupun perbuatan.
Beliau mengabarkan kekhalifahan Abu Bakar melalui perkenan
dan pujian beliau kepadanya. Semula Nabi bermaksud membuat
dekrit untuk itu, namun kemudian beliau mengetahui ummat
Islam akan bersepakat memilih Abu Bakar. Karena itu, beliau
lalu mengurungkan niatnya. Seandainya penunjukan (ta'yin)
Nabi kepada Abu Bakar belum dapat dipahami secara jelas oleh
ummat Islam, tentu Nabi akan menjelaskannya dengan tegas dan
gamblang. Tetapi setelah berbagai petunjuk menunjukkan
kepada ummat bahwa Abu Bakar adalah orang yang ditentukan,
maka tercapailah apa yang dikehendaki Nabi. Nash-nash yang
sahih menunjukkan akan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, dan
kerelaan Allah dan Rasul-Nya atas hal itu. Kekhalifahan itu
terjadi atas kesepakatan dan baiat kaum Muslimin kepada Abu
Bakar. Mereka menjatuhkan pilihan kepadanya, karena mereka
mengetahui preferensi yang diberikan Allah dan Rasul-Nya
kepadanya, bahwa dialah orang yang paling berhak dimata
Allah dan RasulNya untuk jabatan tersebut. Dengan demikian,
maka kekhalifahan Abu Bakar ditetapkan atas dasar nash dan
kesepakatan ummat Islam. Nash tersebut menunjukkan perkenan
Allah dan Rasul-Nya, dan menunjukkan bahwa kekhalifahan Abu
Bakar tersebut adalah benar dan merupakan perintah serta
ketetapan Allah, dan orang-orang mu'minlah yang memilihnya.
Kesepakatan dan janji seperti ini jauh lebih kuat daripada
sekedar ada perintah mengenai kekhalifahan itu. Sebab pada
yang terakhir ini kekhalifahan ditetapkan berdasarkan dekrit
semata-mata. Adapun jika kaum Muslimin telah memilih Abu
Bakar tanpa ada dekrit dan beberapa nash menunjukkan atas
kebenaran pilihan mereka, juga menunjukkan atas perkenan
Allah dan Rasul-Nya, maka hal ini membuktikan bahwa Abu
Bakar adalah orang yang memiliki banyak keutamaan dibanding
sahabat lainnya. Inilah salah satu pertimbangan yang
menyebabkan mereka memandang bahwa Abu Bakar adalah orang
yang paling berhak diantara mereka untuk menduduki kursi
kekhalifahan. Hal seperti ini tidak memerlukan dekrit
khusus, sebagai dikatakan Nabi ketika beliau hendak menulis
surat wasiat untuk Abu Bakar. Beliau berkata kepada
'A'isyah: Hadirkan ayahmu dan saudaramu agar aku menulis
wasiat untuk Abu Bakar. Aku khawatir ada orang yang
menginginkannya (jabatan khalifah, peny.) dan berkata: "Aku
lebih utama, sedangkan Allah dan orang-orang mu'min
menolaknya, dan hanya menerima Abu Bakar" (HR. Bukhari
Muslim).
Di dalam Kitab Bukhari diceritakan: "Aku (Nabi) bermaksud
untuk mengutus (arsala ila) Abu Bakar dan anaknya, dan
membuat janji ('ahd), agar tidak ada orang yang berkata atau
mengharap (yang bukan-bukan), yang ditolak oleh Allah dan
orang-orang mu'min (lihat Manhaj as-Sunnah li Syaih al-Islam
ibn Taimiyah, Jilid 1/139-141, dengan sedikit
perubahan).
Mengenai pernyataan al-Musawi, "Alasan kami menggunakan
hadits tersebut sebagai dalil imamah tidak lain adalah
karena hadits tersebut mutawatir menurut sanad kami",
pernyataan ini dusta belaka, baik menyangkut sanad maupun
dalam matannya, sebagaimana dijelaskan di muka.
(3) Hadits-hadits yang menetapkan kekhalifahan 'Ali
sesungguhnya hanya menunjuk pada kekhalifahan 'Ali secara
khusus, dalam waktu yang khusus dan untuk sekelompok orang
yang khusus pula dimasa hidup Rasulullah saw. Tidak ada nash
yang menunjukkan kekhalifahan 'Ali maupun sahabat-sahabat
Nabi lainnya sebagai kekhalifahan yang berlaku umum atas
seluruh ummat Islam setelah Rasulullah wafat.
Dimasa Rasulullah masih hidup, istakhlaf (pendelegasian)
merupakan bentuk tindakan perwakilan (niyabah) yang mesti
dilakukan oleh setiap pemimpin. Dan tidak semua orang yang
patut menjadi wakil Nabi dimasa hidupnya untuk sekelompok
orang, patut pula untuk menggantikannya setelah beliau
wafat.
Ketika al-Musawi tidak mampu mendatangkan dalil (hadits)
yang kuat dan sahih yang menunjukkan kepemimpinan 'Ali
secara umum seperti ia dakwakan, ia mencoba membangun dalil
dengan rumus-rumus logika (qadhiyah al-manthiqiyah). Ia
menyusun premis-premis palsu untuk menghasilkan kesimpulan
yang palsu pula.
Dalam premis minor dan mayornya, al-Musawi menyatakan
bahwa ummat Islam dalam soal khilafah terbagi dalam dua
kelompok, dan tidak ada kelompok yang ketiga. Pertama,
kelompok yang mengakui kekhalifahan 'Ali ibn Abi Thalib,
baik kekhalifahan khusus maupun umum. Kedua, kelompok yang
tidak mengakui kepemimpinan 'Ali, baik yang khusus maupun
yang umum. Tidak ada orang yang memisahkan antara
kepemimpinan umum dan yang khusus.
Pembagian al-Musawi di atas tidak dapat dibenarkan, dan
tidak akan diterima oleh siapa pun yang ahli di bidang
hadits dan sejarah. Sebab mereka tidak mengingkari keutamaan
'Ali, ataupun sahabat-sahabat Nabi yang lain, yang ada dalam
sunnah yang sahih. Menurut mereka, dalil-dalil sahih yang
berkaitan dengan persoalan ini hanya menunjuk pada
kepemimpinan 'Ali yang bersifat khusus. Adapun kepemimpinan
yang bersifat umum, maka --sebagaimana telah dikemukakan
terdahulu-- tidak ada nash yang menetapkan bahwa Rasulullah
saw menunjukkan seseorang, sebagai khalifah atau
penggantinya.
Dari keterangan di atas, jelaslah kepada kita bahwa para
ahli membedakan antara kepemimpinan yang bersifat umum
dengan kepemimpinan yang bersifat khusus. Jelas pula
kepalsuan logika al-Musawi dan filsafatnya yang bertentangan
dengan kesepakatan kaum Muslimin.
Jika ia ingin menetapkan kepemimpinan 'Ali yang bersifat
umum dengan jalan qiyas atau menganalogikan dengan
kepemimpinannya yang bersifat khusus, maka ini bisa ditolak
dengan pertanyaan berikut: "Bagaimana anda bisa berhujjah
dengan qiyas, sedangkan madzhab anda tidak menerima hujjah
dengan qiyas?"
(4) Salah satu syarat nasakh ialah adanya kepastian
mengenai sahihnya nasikh (dalil yang menghapus) dan mansukh
(dalil yang dihapus). Sedang hadits yang dikemukakan
al-Musawi tidak dapat dipastikan kesahihannya, baik sanad
maupun matannya sebagaimana saya kemukakan terdahulu.
|