Sanggahan terhadap Dialog 18
Pada dialog 18, al-Musawi mengatakan bahwa separuh dari
jumlah kaum Muslimin --yaitu kaum Syi'ah pengikut
keluarga Muhammad-- tidak pernah beralih dan selamanya
mereka tidak akan beralih dari imam-imam Ahlul Bait, baik
dalam pokok agama mau pun dalam cabang-cabangnya.
Al-Musawi telah berbuat dusta dengan pernyataannya bahwa
kaum Syi'ah termasuk kaum Muslimin (ahlul qiblah).
Bagaimana pernyataan ini dapat dibenarkan, sedangkan kita
mengetahui bahwa mereka memiliki kepercayaan yang berbeda
dengan kepercayaan kaum Muslimin. Dan sebagian dari dasar
kepercayaan mereka berlawanan dengan al-Kitab dan
as-Sunnah.
Mereka menisbatkan kealpaan (al-bada) kepada Allah, dan
menegasikan sifat-sifat Tuhan. Yang belakangan ini mereka
pandang sebagai kesempurnaan kemurnian tauhid: Mereka juga
berpendapat al-Qur'an tidak otentik. Mereka
mengkafirkan sejumlah kaum Muslimin, termasuk para sahabat
Nabi, tabi'in, dan tabi'it tabi'in yang
dinyatakan oleh Rasul sebagai generasi terbaik. Mereka juga
beranggapan bahwa konsep imamah merupakan bagian integral
dari rukun Islam. Dan mereka juga meyakini bahwa dua belas
imam mereka ma'shum.
Keterangan ini sudah saya kemukakan secara terinci pada
pendahuluan buku ini, dan pada sanggahan dialog nomor 16.
Bagaimana mungkin seorang mukmin yang berakal --setelah
mengetahui semua itu-- akan memandang bahwa Syi'ah
Rafidhah termasuk kaum Muslimin?
Kedustaan al-Musawi yang lebih hebat lagi adalah
pernyataannya bahwa jumlah kaum Syi'ah separuh dari
jumlah kaum Muslimin. Apakah pernyataan ini didasarkan pada
fakta dan data yang valid, atau hanya omong kosong
belaka?
Kalaupun benar kaum Rafidhah masih tergolong kaum
Muslimin, jumlah mereka tidak mencapai separuh kaum
Muslimin, bahkan tidak seperempatnya. Sebab data-data yang
ada menunjukkan bahwa kaum Rafidhah jumlahnya paling kecil
di dunia Islam dibanding kaum Sunni. Ini merupakan kenyataan
yang sesungguhnya. Setiap orang dapat melihat populasi
penduduk negeri Islam di seluruh dunia. Hanya saja al-Musawi
ingin memanipulasi jumlah kaum Rafidhah karena terdorong
oleh hawa nafsunya.
Al-Musawi berkata: "Adapun yang mula-mula beralih
dan menyimpang dari Ahlul Bait, dalam ushul dan furu'
agama, ialah para politisi dan penguasa ummat, semenjak
mereka menggeser jabatan khalifah dan mengalihkannya dari
Ahlul Bait, dan menjadikannya obyek pemilihan, meskipun
dengan adanya nash (dalil-dalil yang pasti) yang menetapkan
kekhalifahan bagi Amirul Mu'minin 'Ali ibn Abi
Thalib. Dengan demikian, setiap suku atau kabilah diantara
mereka itu mempunyai harapan untuk mendapatkannya walau
beberapa waktu kemudian. Sekali waktu kabilah ini, dan pada
waktu yang lain berpindah ke kabilah lainnya
"
Al-Musawi memandang para sahabat Nabi sebagai politisi
dan memandang kesepakatan mereka membai'at Abu Bakar
menjadi Khalifah setelah wafat Nabi, sebagai tindakan
politis untuk memenuhi keinginan dan ambisi mereka untuk
berkuasa. Al-Musawi memandang tindakan mereka telah
menyimpang dari ketentuan syari'ah dan ketetapan
hadits-hadits yang sahih.
Bahkan al-Musawi memandang mereka telah lari dari
nash-nash, dan berpaling darinya. Mereka menjadikan imamah
sebagai objek pemilihan umum, meskipun ada nash yang
memberikannya kepada 'Ali ibn Abi Thalib.
Sanggahan mengenai soal ini akan diberikan secara terinci
dalam bagian buku ini yang secara khusus membahas persoalan
imamah. Di sini akan dikemukakan tanggapan secukupnya
sebagai berikut ini:
1. Para sahabat tidak beralih dari membai'at
'Ali meskipun ada nash sebagai dikatakan kaum Rafidhah.
Apa yang dikatakan al-Musawi itu tidak lebih dari fitnahan
semata terhadap para sahabat, untuk menciptakan citra bahwa
mereka menentang Rasul, dan berpaling dari perintahnya
lantaran haus kekuasaan. Sesungguhnya nabi tidak pernah
memberi nash untuk menunjuk salah seorang sahabat sebagai
khalifah atau imam.
2. Nash yang ada ialah ketentuan nabi bahwa imamah
mesti dari bangsa Quraisy. Rasulullah bersabda:
"Persoalan khilafah ini di tangan bangsa Quraisy. Tak
seorang pun yang mengambil alihnya, kecuali Allah akan
menjerumuskan mukanya ke dalam api neraka. Hal ini jika
memang mereka masih tetap berpegang,teguh pada
agama".1
Dalam hadits yang lain, nabi bersabda: "Persoalan
khilafah tetap di tangan Quraisy selagi ada dua orang dari
mereka".2
Ahmad dan Abi Ya'ia meriwayatkan hadits dari
"Abdullah ibn Mas'ud, yang dinyatakannya
marfu': "Wahai bangsa Quraisy, sesungguhnya kamu
yang berhak atas kepemimpinan ini, selagi kamu tidak berbuat
bid'ah. Jika kamu berubah, maka Allah akan mengutus
seorang yang akan meluruskan kamu, sebagaimana dahan pohon
diluruskan".3
Dalam riwayat Ahmad yang lain dikatakan:
"Kepemimpinan tetap berada di tangan kamu, dan kamulah
pemimpinnya".4
Dalam riwayat Ahmad yang lain lagi dikatakan: "Sedianya
kepemimpinan ini berada di tangan Humair. Tetapi kemudian
Allah mencabutnya dari mereka dan ditetapkannya untuk bangsa
Quraisy dan akan kembali kepada
mereka".5
3. Para ulama telah sepakat bahwa persoalan imamah
berada di tangan bangsa Quraisy. Dan tidak perlu
diperhitungkan adanya pendapat yang kontra, karena mereka
menentang hadits-hadits sahih yang tidak ada keraguan bagi
orang yang menentangnya.
Ibn Hajar dalam menerangkan hadits-hadits di atas
berkata: Hadits di atas walaupun menggunakan bahasa khabar
(afirmatif), ia mengandung makna imperatif (perintah).
Seakan-akan nabi bersabda: "Berikan kepemimpinan itu
untuk bangsa Quraisy semata". Beberapa jalur hadits
yang lain mendukung pengertian di atas. Dari sini para
sahabat sepakat untuk memperoleh pemahaman hashr (membatasi
kepemimpinan hanya untuk Quraisy), berbeda dengan orang yang
menentangnya. Mayoritas ulama mendukung pemahaman yang
pertama tadi. Karena itu mereka berpendapat bahwa imam harus
orang Quraisy. Beberapa orang kemudian menetapkan untuk
sebagian Quraisy saja. Mereka berkata: "Imam harus dari
keturunan 'Ali". Yang ini pendapat kaum
Syi'ah. Mereka kemudian berselisih paham dalam
menentukan sebagian dari keturunan 'Ali. Sekelompok
orang lain menghususkan untuk keturunan 'Abbas. Yang
ini pendapat Abu Muslim al-Khurasani dan para pengikutnya.
Ibnu Hazm mengutip pendapat sekelompok orang yang berkata:
"Imam tidak dibenarkan, kecuali dari keturunan
Ja'far ibn Abi Thalib". Sekelompok orang lagi
berkata: "Imam harus dari keturunan 'Abdul
Muththalib." Kata yang lain lagi: "Imam harus dari
keluarga Bani'Umayah." Ada pula yang mengatakan
harus dari keturunan 'Umar. Ibn Hazm berkata:
"Tidak ada hujjah bagi semua pendapat itu". Kaum
Khawarij dan sekelompok orang Mu'tazilah berkata:
"Imam bisa dari luar bangsa Quraisy. Yang paling berhak
menduduki kursi imam adalah orang yang konsisten kepada
al-Qur'an dan Sunnah, baik orang Arab maupun orang
'ajam (bukan Arab). Menurut Dharar ibn Amer,
kepemimpinan yang bukan dari bangsa Quraisy justru lebih
baik, sebab ia tidak banyak diikat oleh hubungan
kekeluargaan. Jika ia menyimpang, akan mudah untuk
diturunkan dari jabatannya. Namun Abu Bakar al-Hayib
berkata: "Kaum Muslimin tidak memperhitungkan pendapat
Dharar di atas, setelah adanya ketetapan hadits:
"Kepemimpinan itu dari suku Quraisy". Kaum
Muslimin dari masa ke masa telah berpegang pada nash ini.
Dan hal ini merupakan kesepakatan ummat sebelum adanya
perselisihan.6
Dalam menerangkan syarat-syarat kepemimpinan, al-Mawardi
berkata: "Syarat ketujuh adalah nasab. Seorang imam
harus dari keturunan Quraisy, lantaran ada nash mengenai hal
ini, dan telah menjadi konsensus. Di sini tidak perlu
dihiraukan pendapat Dharar yang syadz (menyendiri). Dia ini
memperbolehkan imamah untuk semua orang. Sebab Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a. berhujjah dengan hadits nabi tersebut untuk
menolak kaum Anshar dari jabatan khalifah ketika mereka
membai'at Sa'ad ibn 'Ubalah pada hari
Saqifah. Kaum Anshar pun menerima hujah Abu Bakar. Mereka
melepaskan ambisi untuk memonopoli kekuasaan dan mereka pun
tak bersedia berserikat dalam kekuasaan. Hal ini terlihat
dalam pernyataan mereka: "Dari kami seorang amir dan
dari pihak kalian pun seorang amir". Statemen ini
menunjukkan bahwa mereka menerima riwayat yang dikemukakan
Abu Bakar, dan menerima ucapannya: "Dahulukan olehmu
suku Quraisy, (dan jangan kamu mendahului mereka".
Mengenai nash ini tidak ada, keraguan bagi orang yang tidak
sepaham.7
Dalam menerangkan prinsip-prinsip yang menjadi
kesepakatan Ahlus Sunnah, 'Abdul Qahir ibn Thahir ibn
Muhammad al-Baghdadi berkata: Sebagian dari syarat-syarat
imamah adalah, nasab dari suku Quraisy. Mereka adalah Bani
Nadhir ibn Kinanah ibn Huzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn
Mudhar ibn Nazar ibn Ma'ad ibn Adnan. Ini berbeda
dengan pendapat orang-orang yang setuju dengan Dharar.
Menurutnya, imamah dapat juga dipegang oleh suku Arab mana
pun, oleh kaum mawali, maupun bangsa-bangsa lain di luar
Arab (al-'ajam). Juga berbeda dengan pendapat kaum
Khawarij yang menjadikan tokoh-tokoh mereka sebagai imam,
baik dari keturunan Rabi'ah maupun lainnya. Mereka
menolak sabda nabi: al-a'immah min
Quraisyin.8
4. Rasulullah tidak menentukan secara pasti salah
seorang sahabat untuk menjadi imam. Dalam beberapa sabdanya
beliau mengkhususkan kepemimpinan itu untuk bangsa Quraisy,
bukan untuk bangsa atau suku lainnya. Karena itu nash-nash
tersebut harus diperlakukan untuk semua suku Quarisy secara
keseluruhan, tidak untuk sebagian dari mereka. Sebab
nash-nash itu tidak ditujukan untuk sebagian suku Quraisy
saja, dengan mengecualikan sebagian yang lain. Syarat ini
memberikan kebebasan kepada kaum Muslimin untuk memilih
imam, dengan tidak mengabaikan kriteria-kriteria yang lain
yang mesti dipenuhi oleh seorang imam, misalnya sifat adil,
pandai, tidak cacad fisik dan mental, berani dan perkasa.
Demikian ini yang dipraktekkan oleh para sahabat ketika
mereka memilih Abu Bakar sebagai Khalifah menggantikan
Rasul. Pemilihan mereka diilhami oleh hadits-hadits sahih
yang mengisyaratkan kepemimpinan Abu Bakar, baik secara
jelas maupun dalam bentuk isyarat (talmih). Dalil-dalil
tersebut menetapkan hak Abu Bakar untuk menduduki kursi
kepemimpinan. Ia memang lebih berhak dibanding 'Ali
maupun sahabat-sahabat nabi yang lain.
Jika kesepakatan (ijma') para sahabat itu
dipertanyakan lantaran adanya sebagian orang yang menentang
dan tidak membai'at kepada Abu Bakar, maka jawabannya
adalah: Dalam soal imamah, ijma' tetap dipandang valid,
meski ada satu atau dua orang yang menentangnya. Sebab jika
adanya sedikit penentang itu dipertimbangkan, maka
kepemimpinan tidak akan terwujud. Berbeda dengan ijma'
dalam soal-soal lain yang umum sifatnya. Untuk yang terakhir
ini, apakah adanya penentang satu atau dua orang harus
dipertimbangkan? Ada dua jawaban menurut riwayat Ahmad.
Pertama, adanya penentang itu tidak dipandang mempengaruhi
ijma'. Ini adalah pendapat Muhammad ibn Jarir
ath-Thabari. Kedua, perbedaan mereka diperhitungkan dalam
soal-soal hukum. Kemudian jika ada satu orang menentang
nash, maka penentangannya dipandang syadz
(menyendiri).9
Al-Musawi berkata: "Barangsiapa mau memperhatikan
kenyataan-kenyataan ini, maka ia akan mengetahui bahwa
segala upaya untuk menyingkirkan kepemimpinan Ahlul Bait di
bidang madzhab merupakan bagian dari upaya menyingkirkan
kepemimpinan mereka di bidang kekuasaan umum, sebagai
pengganti Rasulullah saw. Dengan kata lain
"penyimpangan arti atau pentakwilan dalil-dalil
kepemimpinan mereka yang khusus (di bidang madzhab), adalah
akibat yang nyata dari pentakwilan dalil-dalil kepemimpinan
mereka di bidang kekuasaan umum (pemerintahan). Dan
sekiranya bukan karena alasan itu, tak seorang pun yang akan
beralih dari madzhab Ahlul Bait!".
Jawaban atas pernyataan al-Musawi di atas adalah sebagai
berikut:
1. Rasulullah --sebagai akan dijelaskan secara
terinci dalam bagian lain buku ini-- tidak pernah memberi
nash atau menunjuk salah seorang sahabatnya untuk memegang
kekuasaan atau imam, baik dari keluarganya sendiri maupun
dari yang lainnya, sehingga pendapat yang menyatakan adanya
penyimpangan arti atau pentakwilan terhadap dalil-dalil
kepemimpinan Ahlul Bait tersebut tidak dapat dipandang sah.
Maka pernyataan al-Musawi itu hanyalah dusta. Ia berdusta
atas nama nabi dan mengecam sahabat-sahabatnya.
2. Tiada hubungan antara kepemimpinan umum dengan
kepemimpinan khusus dilihat dari segi diterima atau
ditolaknya suatu pendapat. Sebab alasan pokok diterimanya
suatu pendapat ialah persesuaiannya dengan al-Kitab dan
Sunnah, bukan memandang siapa yang menyatakan pendapat
tersebut.
Pendeknya, jika pendapat itu benar dan sesuai dengan
al-Kitab dan Sunnah, maka pendapat itu mesti diterima,
walaupun orang yang mengajukan pendapat tersebut tidak
mempunyai kekuasaan umum. Sebaliknya, jika pendapat itu
rusak dan bertentangan dengan al-Kitab dan Sunnah, maka
pendapat itu tidak dapat diterima, walaupun yang
menyatakannya orang yang memiliki kekuasaan atas kaum
Mushmin. Dan salah satu prinsip dasar di dalam Islam adalah
melarang seseorang patuh kepada penguasa dalam kemaksiatan,
dan mewajibkannya tunduk dan patuh dalam hal yang bukan
maksiat. Rasulullah saw bersabda: "Seorang Muslim wajib
mendengar dan patuh dalam semua hal yang disukai maupun yang
dibencinya, kecuali dalam perintah untuk maksiat. Jika dia
diperintah untuk maksiat, maka tidaklah wajib untuk
mendengar dan patuh."10
Jadi tak ada seorang pun yang ma'shum selain para
nabi, termasuk penguasa atau pemimpin kaum Muslimin
sekalipun. Seorang imam tidak berbeda dengan manusia lain.
Kekuasaannya akan kokoh dengan kekokohannya berpegang pada
ajaran Islam, dan akan hilang manakala ia tidak berpegang
padanya. Ia punya hak atas rakyatnya untuk didengar dan
dipatuhi selama ia tidak menyuruh untuk kemaksiatan. Inilah
kebenaran yang diyakini oleh semua Khulafa'ur Rasyidin,
dan yang mereka praktekkan dalam memimpin rakyatnya. Mereka
tanamkan prinsip ini dalam lubuk hati ummat Islam. Hal
demikian dapat dilihat pada pidato Abu Bakar saat ia
dilantik sebagai khalifah. Ibn Sa'ad dan al-Khathib
meriwayatkan (dalam riwayat Malik) dari Urwah: Ketika Abu
Bakar diangkat sebagai khalifah, ia berpidato di depan umum.
Ia memuji Allah
kemudian berkata: Orang yang terkuat
diantara kamu aku anggap lemah hingga aku mengambil hak si
lemah dari tangannya. Dan orang yang paling lemah diantara
kamu aku anggap kuat hingga aku mengambilkan haknya. Aku
adalah orang yang mengikuti sunnah nabi, dan bukan
pembid'ah. Jika aku baik (dalam menjalankan tugas)
bantulah aku, dan jika aku menyimpang, maka luruskanlah aku.
Demikian apa yang ingin kukemukakan: Semoga Allah memberi
ampunan kepadaku dan kepada kamu
sekalian.11
Dalam pidato tersebut tidak ada klaim bebas dari
kesalahan (ma'shum), juga tidak ada pernyataan yang
keluar dari batas-batas al-Kitab dan Sunnah, dan pendapat
yang sekehendak hati. Pidato tersebut merupakan langkah
kembali yang sempurna kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap
orang berhak meluruskan sang imam manakala ia menyimpang
dari kebenaran. Dan imam mesti bersikap terbuka dan menerima
semua kritik dan saran dari rakyatnya.
Karena itu, Abu Bakar dan 'Umar selalu berembuk
dengan sahabat-sahabat yang lain dalam menghadapi segala.
persoalan yang tidak mereka ketahui hukum dan dalilnya baik
dari al-Kitab maupun Sunnah. Dan orang pertama yang menjadi
tempat mereka berembuk adalah sahabat agung? Ali ibn Abi
Thalib r.a. sebagaimana diketahui dalam sejarah
Khulafa'ur-Rasyidin. Jika mereka menemukan satu ayat
atau hadits, maka mereka segera kembali kepadanya. Demikian
pula jika mereka menemukan satu pendapat yang tepat dan
tidak bertentangan dengan al-Kitab dan Sunnah.
Dengan begitu, bagaimana dapat dikatakan bahwa para
sahabat telah beralih dari pendapat Ahlul Bait sebagai
kelanjutan logis dari beralihnya mereka dari kepemimpinan
umum Ahlul Bait?
Pendapat demikian merupakan pendapat yang dibuat-buat,
dan sekaligus merupakan pendustaan terhadap para sahabat dan
sejarah yang membuktikan kecintaan Abu Bakar dan 'Umar
terhadap Ahlul Bait dan kepada anak paman Nabi, 'Ali
ibn Abi Thalib.
3. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak akan
berpaling dari setiap pendapat sahabat, tabi'in dan
orang-orang yang hidup setelahnya sampai hari akhir,
manakala pendapat itu benar dan sahih. Jika pendapat itu
didukung oleh dalil al-Kitab dan Sunnah serta pemikiran
ulama salaf ash-Shalih, maka pendapat itu harus diterima,
tanpa melihat kepada siapa yang mengutarakannya.
Barangsiapa memperhatikan kenyataan di atas, akan nyata
baginya kedustaan kaum Rafidhah, dan penyimpangan mereka
dari kebenaran. Mereka membangun prinsip-prinsip ajaran
mereka dengan dukungan hadits-hadits palsu. Misalnya dengan
menyatakan hadits-hadits tersebut sebagai hadits mutawatir,
terkadang dengan mendha'ifkan hadits yang sahih, dan
terkadang pula mengubahnya dengan menambal sulam di
sana-sini. Atau mereka mentakwilkan wahyu Allah dengan
interpretasi yang bathil dan sesat. Semua itu mereka lakukan
untuk menguatkan pendapatnya lantaran menuruti kehendak hawa
nafsunya. Semoga kita dijauhkan dari perbuatan keji seperti
itu.
Al-Musawi berkata: "Adakah anda melihat suatu
kekurangan pada diri mereka, di bidang ilmu, atau ketakwaan,
dibanding dengan Imam Asy'ari atau imam-imam madzhab
yang empat ataupun pemuka-pemuka lainnya?"
Jawaban kami adalah: Sesungguhnya Ahlus Sunnah wal
Jama'ah mengagungkan dan menghormati Ahlul Bait, dan
mereka memandang hal itu sebagai bagian dari iman mereka.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa 'Ali ra, kedua
putranya, Hasan dan Husein, serta Fathimah jauh lebih utama
dibanding tokoh-tokoh yang dikemukakan al-Musawi itu,
dilihat dari sudut manapun juga! Akan tetapi keutamaan
mereka tidak berarti mereka terbebas dari kesalahan
(ma'shum) sebagai yang diyakini oleh kaum Rafidhah.
Dalam akidah, madzhab Asy'ariyah bukanlah madzhab
Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Bahkan ia berlawanan dengan
akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan akidah as-Salaf
ash-Shalih tiga generasi awal. Dalam akidah Asy'ariyah
terdapat kepercayaan yang berbeda dengan hadits-hadits yang
sahih. Di sana terdapat pengaruh filsafat, ilmu kalam, dan
tampak mendahulukan akal daripada naqal, sebagaimana
diketahui dari kitab-kitab akidah. Inilah sebabnya mengapa
saya harus menyatakan bahwa madzhab Asy'ariyah tidak
dapat disamakan dengan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah
sebagaimana yang dikatakan al-Musawi.
Berkaitan dengan imam yang empat atau pemuka-pemuka agama
lainnya dari kalangan imam-imam mujtahidin, maka kaum Ahlus
Sunnah wal jama'ah tidak mewajibkan mengikuti
madzhab-madzhab tersebut, tetapi mereka mewajibkan mengikuti
apa yang sesuai dengan ketetapan Allah, baik yang tertuang
dalam al-Kitab maupun Sunnah. Imam-imam yang empat maupun
pemuka-pemuka agama lainnya, adalah para mujtahid yang
memikirkan dan mengeluarkan hukum-hukum dari al-Kitab dan
Sunnah. Dalam hal ini mereka mencurahkan segala
kemampuannya, lalu melakukan istinbath atau mengeluarkan
hukum-hukum agama (fiqh). Hukum-hukum itu kadang-kadang
bersesuaian antara imam yang satu dengan imam yang lainnya,
terkadang pula terdapat perbedaan. Hal demikian lantaran
banyak faktor sebagai diterangkan dalam buku-buku ushul
al-Fiqh yang tidak mungkin saya jelaskan di sini. (Mereka
mendapat pahala atas usaha dan ijtihad mereka, baik ijtihad
itu salah ataupun benar. Hanya saja mereka yang salah hanya
mendapat satu pahala, sedangkan yang benar memperoleh dua
pahala. Insya Allah).
Pendapat-pendapat mereka tidak tertutup kemungkinan untuk
salah, karena itu tidak dibenarkan menentukan satu madzhab
saja dari madzhab tersebut sebagai pegangan dalam beribadah.
Demikian ini pendapat Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengenai
pendapat dan pemikiran para imam madzhab. Para imam itu
sendiri berkata: "jika sebuah hadits itu sahih, maka
itulah pendapatku". Kata mereka lagi: "Setiap
orang dapat diterima dan ditolak pendapatnya, kecuali
pendapat (hadits) Rasul". Kata mereka lagi: "Jika
hadits itu sahih, maka kesampingkanlah olehmu
pendapatku".
Mengenai perkataan al-Musawi: "Lembaga pengadilan
manakah yang bisa menvonis mereka yang mengikuti dan
berpegang teguh pada tall Ablul- Bait sebagai orang yang
sesat jalan"? Yang dikehendaki dengan
"mereka" di sini adalah kaum Rafidhah, Yang,
menurut al-Musawi, berpegang kuat pada tali Ahlul Bait.
Apa yang dikemukakan al-Musawi di atas merupakan
pernyataan yang tak didukung bukti. Bahkan semua bukti yang
ada menolaknya, dan menetapkan bahwa tidak ada hubungan sama
sekali antara kaum Rafidhah dengan Ahlul Bait. Bahkan
keduanya berada pada posisi yang saling bertolak belakang.
Sesungguhnya Ahlul Bait tidak punya hubungan dengan
mereka.
Adakah Ahlul Bait mempunyai akidah seperti akidah kaum
Rafidhah? Adakah 'Ali, Hasan dan Husain serta Fathimah
menisbatkan kelalaian (bada') kepada Allah? Adakah
mereka mengkafirkan para sahabat? Adakah mereka mengkafirkan
orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tangan,
mata, dan bersinggasana di 'Arasy? Adakah mereka
berkeyakinan bahwa mereka ma'shum dan lebih utama
daripada para nabi dan malaikat, dan mengetahui barang
ghaib, dan adakah mereka berkeyakinan bahwa keimanan
terhadap imamah dan kema'shuman mereka termasuk rukun
iman
dan seterusnya, sebagaimana yang kita ketahui
dalam kepercayaan kaum Rafidhah? Sungguh omong kosong jika
Ahlul Bait mempunyai keyakinan sebagai keyakinan kaum
Rafidhah yang sesat itu, di mana satu saja dari keyakinan
mereka sudah cukup membuat penganutnya menjadi kafir.
Bagaimana pula jika semua keyakinan itu berkumpul pada
seseorang atau sekelompok orang?
Jika keyakinan al-Musawi dan penganut-penganutnya seperti
tersebut di atas, bagaimana mereka bisa menisbatkan diri
mereka kepada Ahlul Bait? Coba anda renungkan ini.
Catatan kaki:
1 Fathu al-Bari,
13/114.
2 Ibid.
3 Ibid., 13/116.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Ibid., 3/117.
7 Fathu al-Bari,
13/117.
8 Ahkamu as-Sulthaniyah,
hal. 6.
9 Dikutip dari Minhaj
al-I'tidal, hal. 546.
10 H.R. Muslim dalam
bab Imarah.
11 Tarikh
al-Khulafa', oleh as-Suyuthi.
|