Sanggahan terhadap Dialog 17
Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan Ahlus Sunnah
dalam menerima riwayat orang Syi'ah. Hanya saja mereka
menetapkan syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk itu. Jika
syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka riwayat itu ditolak.
Syarat-syarat itu antara lain sebagai berikut:
- Perawinya bukan orang Rafidhah (yang mengecam para
sahabat atau meremehkan Abu Bakar dan 'Umar).
- Perawinya tidak mempromosikan ajaran bid'ahnya.
- Perawinya tidak menghalalkan dusta untuk mendukung
madzhabnya.
Itulah pendapat para ahli hadits dari kalangan Ahlus
Sunnah, dan metoda mereka yang baku. Ini tentunya dipahami
betul oleh Syeikh al-Bisyri. Karena itu, bagaimana mungkin
jika dia --dalam mengomentari al-Musawi-- mengeluarkan
pernyataannya berikut ini: "Tidak ada halangan bagi orang
Sunni untuk berhujjah dengan riwayat saudaranya yang Syi'ah
manakala riwayat itu sahih." Di sini seakan-akan Syeikh
al-Bisyri tidak tahu apa-apa, kecuali setelah mendengar
penjelasan dari al-Musawi. Tidakkah ini suatu penghinaan
terhadap kapasitas keilmuan al-Bisyri? Coba anda renungkan!
Pasti perkataan ini bukan perkataan Syeikh al-Bisyri.
Perkataan ini pasti buatan al-Musawi dan keluar dari
mulutnya sendiri.
Sungguh mentakjubkan, bagaimana al-Musawi berdusta atas
nama Syeikh al-Bisyri, dan bagaimana dia menggambarkan
beliau sebagai orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa
mengenai metoda penerimaan riwayat yang berlaku di kalangan
ulama Sunni, sedangkan beliau baru mengetahuinya, melalui
dialog-dialog dengan al-Musawi. Al-Musawi telah menisbatkan
kepada Syeikh al-Bisyri perkataan-perkataan dusta mengenai
adanya perselisihan di kalangan Ahlus Sunnah dalam berhujjah
dengan perawi Syi'ah, dan tiadanya persesuaian antara
perkataan dengan tindakan mereka. Apakah mungkin pernyataan
ini berasal dari seorang pakar agama seperti Syeikh
al-Bisyri? Coba anda renungkan hal ini.
Tidakkah anda lihat, bagaimana al-Musawi menggambarkan
Syeikh al-Bisyri, seolah-olah beliau adalah seekor anak
domba di hadapan serigala yang siap menerkam. Beliau tidak
dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah dan tunduk pada semua
perkataan al-Musawi.
Perkataan dusta al-Musawi yang mengatas-namakan Syeikh al
Bisyri menunjukkan bahwa dia berlebih-lebihan dalam
tasyayyu', dan dialog-dialognya dengan beliau semakin
menambah sikapnya yang berlebih-lebihan itu.
Kaum Muslimin (ahlal-qiblah) mempunyai satu agama dan
merupakan satu ummat. Dasar keyakinan mereka sama.
Barangsiapa berbeda paham dengan mereka, maka dia tidak
termasuk golongan mereka. Dan sudah berkali-kali saya
kemukakan bahwa kaum Rafidhah memiliki dasar-dasar keyakinan
yang sama sekali berbeda dengan Ahlus Sunnah.
Menurut mereka, al-Qur'an tidak otentik (mengandung
perubahan), sedangkan sunnah adalah apa yang datang dari
Ahlul Bait atau salah seorang imam yang ma'shum. Para
sahabat mereka pandang kafir, kecuali segelintir orang saja
dari mereka. Keyakinan akan kema'shuman para imam mereka
anggap sebagai salah satu rukun iman. Maka bagaimana mereka
dapat dipandang tergolong kaum Muslimin?
Tidak ada perbedaan prinsipil antara madzhab Ahlul Bait
dengan Ahlus Sunnah. Imam 'Ali dan kedua putranya, Hasan dan
Husain tidak berselisih dalam soal pokok agama dengan Abu
Bakar dan 'Umar. Andaikata ada perbedaan, tentu Imam 'Ali
akan menerangkan dan mengemukakannya. Juga tidak ada riwayat
masyhur dan Nabi yang mengutamakan 'Ali atas Abu Bakar dan
'Umar.
Tidakkah anda lihat bagaimana al-Musawi meremehkan kedua
pengganti Rasulullah, Abu Bakar dan 'Umar. Ia mengecam
kekhalifahan mereka; menuduh mereka berbuat zalim dan
menyimpang dari kebenaran dengan merampas kursi kekhalifahan
dari 'Ali ra. Mereka dituduh melanggar nash yang menetapkan
kekhalifahan 'Ali.
Sesungguhnya madzhab Asy'ariyah bukanlah tolok ukur yang
memadai untuk menimbang segala sesuatu. Ia tidak dapat
dijadikan ukuran untuk mengetahui yang benar dari yang salah
dan yang baik dari yang buruk.
Akan tetapi tolok ukur yang paling valid adalah apa yang
dikatakan Nabi:
"Aku tinggalkan untukmu sesuatu yang jika engkau
berpegang kepadanya, kamu tidak akan tersesat. Ia adalah
Kitab Allah dan Sunnahku".
Adapun imam yang empat kesemuanya tergolong Ahlus
Sunnah.
|