|
Sanggahan terhadap Dialog 109-110
Dari perkataan yang dinisbatkan kepadanya dalam Dialog
109, tampaknya Syeikh al-Bisyri berkeinginan untuk
menghilangkan fanatisme Ahlus Sunnah yang menolak kesahihan
pendapat kaum Rafidhah bahwa mereka mengikuti imam-imam
Ahlul Bait, baik dalam pokok agama maupun masalah-masalah
furu'. Keinginan ini sesungguhnya sudah dikemukakan Syeikh
al-Bisyri sejak dini dalam dialog-dialognya dengan
al-Musawi, terutama dalam Dialog 19. Hanya saja, al-Musawi
menunda pembicaraan. mengenai kebohongan ini sampai
dialog-dialog yang terakhir.
Dan dalam Dialog 110, al-Musawi mendakwakan hal-hal
berikut ini:
1. Adanya hubungan otentik dan mutawatir antara
madzhab Syi'ah dengan imam-imam Ahlul Bait. Tanggapan atas
dakwaan ini dapat dikemukakan dari berbagai segi:
a. Dakwaan ini dusta dan bohong, dan bertentangan
dengan ijma' para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Juga
berdasarkan kesepakatan ahli-ahli dari kelompok lain di luar
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kaum Rafidhah berbeda dari 'Ali dan
imam-imam Ahlul Bait dalam segala pokok-pokok kepercayaan
mereka yang berlawanan dengan Ahlus Sunnah wal-Jamaah,
sebagaimana telah kami uraikan secara terinci dalam
pendahuluan tanggapan kami atas Dialog 16. Silahkan periksa
kembali.
Di sini kami akan mengemukakan secara singkat bahwa 'Ali
dan imam-imam Ahlul Bait menetapkan adanya sifat-sifat
Allah, sedangkan kaum Rafidhah menafikannya. Menurut mereka,
penafian ini merupakan kesempurnaan tauhid.
Imam 'Ali dan imam-imam Ahlul Bait menyatakan bahwa Allah
mempunyai wajah, tangan dan mata, dan bahwa Dia turun ke
langit dunia, dan kaum Muslimin akan melihat-Nya di akhirat
di hari kiamat, sebagaimana ditetapkan oleh al-Qur'an dan
Sunnah yang sahih. Sedangkan kaum Rafidhah memandang kufur
orang yang mengatakan demikian.
'Ali dan imam-imam Ahlul Bait melarang mendirikan
bangunan di atas kubur, sementara kaum Rafidhah menjadikan
hal ini sebagai bagian dari agama mereka.
'Ali dan imam-imam Ahlul Bait tidak menyatakan adanya
raj'ah (kembali) ke dunia sebelum datangnya Hari Kiamat.
'Ali dan imam-imam Ahlul Bait mensucikan Allah dari
kepercayaan tentang al-bada', sedangkan kaum Rafidhah justru
mengatakan: "Tiada keagungan Allah yang melebihi
al-bada'"
'Ali dan imam-imam Ahlul Bait percaya pada qadar Allah,
sedangkan kaum Rafidhah menegasikannya.
'Ali dan imam-imam Ahlul Bait beriman pada al-Qur'an.
Mereka tidak menyatakan bahwa al-Qur'an telah diubah isinya,
sebagaimana dikatakan oleh kaum Rafidhah dan pemuka
kejahatan mereka (Thaghut), Husain ibn Muhammad Taqi an-Nuri
ath-Thabrasi, yang menulis sebuah buku yang berjudul Fashlul
Khithab fi Itsbati Takhrif Kitabi Rabbi al-Arbab (Pernyataan
Tegas mengenai ketetapan adanya Perubahan Kitab
al-Qur'an).
'Ali dan imam-imam Ahlul Bait tidak mengkafirkan Abu
Bakar, 'Umar, 'Utsman Mu'awiyah dan 'A'isyah, ataupun salah
seorang sahabat Nabi yang lain seperti yang dilakukan kaum
Rafidhah. Bahkan 'Ali dan imam-imam Ahlul Bait sepakat untuk
menetapkan khilafah bagi Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman.
Mereka semua mengakui keutamaan Abu Bakar dan 'Umar, dua
orang sahabat Nabi yang oleh kaum Rafidhah diberi gelar
"Jibt" dan "Thaghut". Kaum Rafidhah memandang wajib hukumnya
mengutuk dua orang-sahabat itu, dan mengutamakannya atas
basmalah dalam memulai suatu pekerjaan.
Adapun Ahlus Sunnah wal-Jamaah, mereka beriman dan
percaya pada apa yang dipegangi oleh 'Ali dan imam-imam
Ahlul Bait. Ahlus Sunnah tidak berbeda dengan mereka dalam
segala hal yang telah kami kemukakan tadi. Maka bagaimana
--setelah adanya semua itu-- dapat diterima dakwaan
al-Musawi bahwa kaum Rafidhah mengikuti madzhab Ahlul
Bait?!
2. Kaum Rafidhah yang terdiri dari berbagai firqah
menyatakan bahwa mereka mengambil ilmu-ilmu mereka dari
Ahlul Bait. Setiap firqah menisbatkan diri pada seorang imam
atau putra imam, dan meriwayatkan darinya pokok-pokok
kepercayaan madzhab mereka maupun furu'-furu'nya. Namun
sebagian mereka mendustakan sebagian yang lain.
Masing-masing saling menyalahkan dan memandang sesat yang
lainnya. Di samping itu, terdapat banyak perbedaan dan
kontradiksi diantara mereka, terutama dalam soal imamah. Ini
merupakan bukti paling kuat mengenai kedustaan semua firqah
tersebut. Sebab tidak mungkin pertentangan dan kontradiksi
itu mereka warisi dari imam-imam Ahlul Bait, yang merupakan
orang- orang yang paling tahu tentang agama Allah, dan
paling mampu menjelaskan hakekat-hakekatnya. Jadi tidak
mungkin kedustaan dan kontradiksi itu datang dari
mereka.
3. Adanya perselisihan di kalangan firqah-firqah
Rafidhah dalam pokok-pokok kepercayaan mereka itu,
bertentangan dengan pernyataan bahwa mereka mewarisi
pokok-pokok kepercayaan tersebut dari imam-imam yang
ma'shum. Sebab, perselisihan, kontradiksi dan saling
mendustakan antara firqah yang satu dengan yang lainnya itu
tidak mungkin berasal dari imam-imam yang ma'shum. Hal
demikian bertentangan dengan pandangan tentang ishmah yang,
mereka yakini pada imam-imam tersebut.
4. Penulis Mukhtashar al-Itsna 'Asyariyah berkata:
"Akan saya ceritakan kepada anda bagaimana kaum Syi'ah
mengambil ilmu dari Ahlul Bait. Ketahuilah bahwa Syi'ah
Ghulat --mereka adalah firqah Syi'ah yang paling awal,
mendapatkan pemikirannya dari 'Abdullah ibn Saba' yang
dikatakannya-- untuk menyesatkan mereka diperoleh dari 'Ali
ibn Abi Thalib. Syi'ah Mukhtariyah dan Kaisaniyah
beranggapan bahwa mereka mengambil paham dari 'Ali, Hasan
dan Husain, Muhammad ibn 'Ali dan dari putranya, Abu Hasyim.
Syi'ah Zaidiyah menerima pahamnya dari 'Ali, Hasan dan
Husain, 'Ali Zainal 'Abidin, Zaid ibn 'Ali dan Yahya ibn
Zaid. Sementara Syi'ah Baqiriyah menerimanya dari lima imam,
mulai dari 'Ali sampai pada imam al-Baqir. Sedangkan Syi'ah
an-Nawusiyah menerimanya dari lima imam tersebut dan dari
imam ash-Shadiq." Lebih lanjut penulis kitab tersebut
berkata: "Adapun Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah, menerima
pahamnya dari dua belas imam. Yang pertama adalah 'Ali ibn
Abi Thalib, dan yang terakhir Muhammad al-Mahdi (yang
menurut kepercayaan mereka bersembunyi di sebuah terowongan
di Samarra. Dan mereka berdoa kepada Allah agar menyegerakan
keluarnya).
Dari sini jelas bahwa dasar-dasar kepercayaan mereka
adalah bikinan 'Abdullah ibn Saba', seorang Yahudi yang
masuk Islam dengan maksud merusak kesucian Islam dan
persatuan kaum Muslimin.
5. Ibn Taimiyah berkata: "Katakanlah bahwa 'Ali
ma'shum. Tapi jika perselisihan pendapat di kalangan kaum
Syi'ah seperti halnya, maka, dari mana bisa diketahui
sahihnya pernyataan bahwa sebagian ajaran itu mereka terima
dari 'Ali sedang yang lainnya tidak? Sedangkan masing-masing
sekte Syi'ah itu menganggap ajaran mereka itu mereka terima
dari imam-imam yang ma'shum? Dan kaum Syi'ah tidak mempunyai
isnad-isnad berupa orang-orang yang dikenal seperti yang ada
para Ahlus Sunnah, yang bisa digunakan untuk melihat isnad
dan keadilan para perawinya. Yang ada di kalangan Syi'ah
hanyalah nukilan-nukilan yang tidak bersambung
(terputus-putus) yang didalamnya terdapat banyak kebohongan
dan pertentangan dalam periwayatan. Dapatkah seorang yang
berakal sempurna memandang nukilan-nukilan seperti ini bisa
dipercaya? Manakala mereka menyatakan bahwa nash ini
mutawatir dan yang itu tidak, maka hal ini berlawanan dengan
pernyataan kelompok lain dari mereka yang juga seperti itu.
Andaikata mereka semua sepakat tentang mutawatirnya
nash-nash tersebut, tentu tidak akan terjadi pertentangan
diantara kedua pernyataan, tersebut. (Minhaj, jilid 2, hal.
116).
6. Kaum Rafidhah menisbatkan sebagian besar ilmu
mereka secara dusta kepada Ja'far ash-Shadiq. Mereka
berkata: "Beliaulah yang mengajarkan fiqh Imamiyah,
pengetahuan-pengetahuan yang hakiki dan akidah yang
meyakinkan." Pernyataan ini tak dapat disangkal
kebathilannya. Sebab ia tidak terlepas dari dua kemungkinan.
Pertama, pengetahuan-pengetahuan itu berasal dari ash-Shadiq
sendiri. Pengetahuan-pengetahuan itu tentu tidak dapat
dijadikan pegangan, lantaran ash-Shadiq tidak memperolehnya
dari imam-imam sebelumnya. Kedua, ilmu-ilmu itu diperoleh,
dari imam sebelumnya. Tetapi kemungkinan yang kedua ini juga
fasid, sebab ia menunjukkan adanya tindakan yang tidak patut
yang dinisbatkan kepada imam-imam yang terdahulu itu, yaitu
tidak menyiarkan ilmu tersebut.
Karena itu, kaum Rafidhah menisbatkan pelbagai kedustaan
kepada Ja'far ash-Shadiq, semisal kitab al-Bithaqah,
al-Jafr, al-Haft, dan lain-lain. Sehingga Abu 'Abdurahman
mengutip dalam kitabnya Haqai'q al-Tafsir pelbagai
kebohongan yang sesungguhnya Allah membersihkannya dari
Ja'far ra. Bencana itu terjadi ketika beliau didustakan,
bukan kedustaan yang datang darinya. (Minhaj, jilid 2, hal.
124).
7. Jika al-Musawi hendak berdalil dengan perkataan
Ibn Khaldun di dalam Muqaddimahnya, maka sesungguhnya hal
al-Musawi telah salah duga, sebab jika kita tilik kitab
Muqaddimah bab Ilm al-Fiqh, kita akan menemukan Ibn Khaldun
justru mengecam kaum Rafidhah dan mengenakan kepada mereka
sifat-sifat yang dapat mencoreng muka al-Musawi.
Setelah menyebutkan madzhab-madzhab Ahlus Sunnah di
bidang fiqh, Ibn Khaldun berkata: "Kelompok Ahlul Bait
menyendiri dengan madzhab-madzhab yang mereka ciptakan dan
fiqh yang hanya diikuti oleh mereka sendiri. Mereka
membangun fiqh tersebut atas dasar kepercayaan mereka yang
menghina sebagian sahabat dan pendapat mereka akan
kema'shuman para imam, serta penyangkalan adanya
perselisihan dalam perkataan-perkataan para imam. Semua ini
merupakan dasar-dasar pemikiran yang lemah". (Lihat
Muqaddimah Ibn Khaldun, hal. 354).
8. Al-Musawi menyatakan bahwa kaum Rafidhah
mengikuti madzhab imam-imam Ahlul Bait. Padahal dalam
madzhab mereka itu banyak dijumpai pertentangan dan
kontradiksi yang justru berlawanan dengan kepercayaan mereka
sendiri tentang para imam. Mereka mempercayai kema'shuman
para imam. Konsekuensi logis dari pemikiran ini ialah bahwa
setiap orang dari imam itu berstatus sebagai khalifah Nabi,
bukan pendiri madzhab. Sebab yang disebut madzhab ialah
jalan yang ditempuh seorang mujtahid menuju suatu dalil yang
diambil dari figur yang ma'shum (Nabi) untuk menetapkan
suatu hukum syar'i. Karena itu, hukum yang ditetapkannya itu
bisa benar, tetapi bisa juga salah. Sedangkan kaum Rafidhah
percaya akan kema'shuman imam-imam mereka. Dengan demikian,
tidaklah bisa dibenarkan menisbatkan madzhab kepada salah
seorang dari mereka. Sebab penisbatan tersebut akan
menghasilkan kesimpulan bahwa pendapat mereka itu mungkin
salah dan mungkin benar. Dan ini tidak dapat terjadi pada
orang yang memiliki sifat 'ishmah.
Karena itu, al-Qur'an dan Sunnah serta perkataan para
sahabat tidak disebut madzhab. Ketiganya adalah dalil-dalil
hukum dan landasan fiqh, yang dijadikan rujukan oleh seorang
mujtahid dan dijadikan dalil bagi madzhabnya dalam suatu
masalah.
Berdasarkan pemikiran ini, Ahlus Sunnah wal-Jamaah
percaya pada para imam yang suci, mengambil
perkataan-perkataan mereka dan menjadikannya sebagai penguat
madzhab mereka. Berbeda halnya dengan kaum Rafidhah. Mereka
menjadikan perkataan para imam yang suci itu sebagai
madzhab. Ini jelas bertentangan dengan keyakinan mereka
sendiri tentang para imam itu, sebagaimana telah dijelaskan
di muka.
Pertentangan dan kontradiksi ini akan semakin nyata
buruknya jika anda mengetahui bahwa kaum Rafidhah itu
terpecah dalam firqah-firqah dan terdiri dari berbagai
madzhab yang berbeda-beda dalam pokok-pokok, kepercayaan
mereka, sebagaimana telah dijelaskan. Dan perselisihan di
kalangan kaum Rafidhah ini tidak dapat disamakan dengan
perselisihan yang terjadi di kalangan ulama Sunni, karena
dua hal berikut:
- Perselisihan ulama Sunni adalah perselisihan ijtihady
dalam masalah-masalah furu' fiqh, bukan dalam pokok-pokok
agama sebagaimana yang terjadi pada kaum Rafidhah.
Perselisihan seperti ini ja'iz hukumnya dan tidak dapat
dipandang sebagai dalil akan bathilnya madzhab yang
bersangkutan. Perselisihan ini serupa dengan perselisihan
di kalangan para mujtahid Syi'ah Imamiah dalam
masalah-masalah fiqh, seperti perselisihan mengenai suci
atau najisnya khamr dan boleh tidaknya berwudhu dengan
air bunga mawar.
- Perselisihan pendapat para ulama Sunni terjadi ketika
tidak ada nash yang pasti, atau akibat pemahaman yang
berbeda terhadap nash yang ada. Perbedaan pendapat
semacam ini merupakan hal yang wajar dalam kehidupan
manusia, dan merupakan persoalan syar'i yang dibenarkan
oleh Rasul atas sahabat-sahabatnya. Rasulullah saw tidak
menyalahkan salah satu dari dua kelompok yang berbeda
pendapat dalam memahami sabdahya: "Janganlah salah
seorang dari kalian melakukan shalat Ashar; kecuali
setelah sampai di perkampungan Bani Quraidzah". Demikian
pula dua kelompok yang berbeda pendapat itu, mereka tidak
saling mengecam, dan tidak menuduh kelompok yang lain
dusta dan bohong. Sebab mereka tidak berselisih paham
mengenai kesahihan riwayat itu dari Nabi. Mereka hanya
berbeda pendapat dalam memahami riwayat itu.
9. Pernyataan al-Musawi bahwa kaum Rafidhah adalah
orang-orang yang paling dahulu melakukan kodifikasi berbagai
cabang ilmu, adalah pernyataan yang dusta dan bohong belaka,
ditinjau dari berbagai segi:
9.1 Para ahli dari berbagai disiplin ilmu telah
sepakat bahwa kaum Rafidhah bergantung pada orang lain dalam
semua cabang ilmu pengetahuan mereka, seperti ilmu kalam,
teologi, tafsir dan lain-lain. Mereka bersandar pada
kitab-kitab kelompok lain, kemudian menisbatkan kitab-kitab
tersebut pada mereka sendiri setelah melakukan berbagai
kecurangan, dengan membuang, menambah dan memberikan
interpretasi yang dangkal, sesuai dengan kepercayaan
mereka.
Kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan mereka adalah
empat kitab pokok yaitu al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih,
at-Tahdzib, dan al-Istibshar. Semua kitab hadits ini tidak
didasarkan pada sanad. Namun demikian, mereka menganggap
wajib mengamalkan isinya, meskipun didalamnya terdapat
banyak kesesatan dan kezindiqan. Maka bagaimana al-Musawi
bisa menyatakan kaum Rafidhah sebagai pelopor dalam
pengkodifikasian ilmu pengetahuan?!
9.2 Al-Musawi menyatakan bahwa lebih dahulunya
kaum Rafidhah melakukan kodifikasi ilmu pengetahuan daripada
Ahlus Sunah itu terjadi pada masa sahabat, karena mereka
tidak ada yang memperbolehkan pencatatan ilmu, kecuali 'Ali
ibn Abi Thalib dan pendukung-pendukungnya. Yang disebut
terakhir ini berbeda dengan jumhur sahabat; mereka
memperbolehkan pencatatan ilmu. Al-Musawi menisbatkan sumber
adanya pelarangan pencatatan ilmu itu, kepada Ibn Hajar
al-Asqalani dalam mukaddimah kitabnya Fathul Bari. Ini
adalah dusta terang-terangan yang dapat diketahui oleh
setiap orang yang mau meneliti kembali kitab,
Fathul-Bari.
Di dalam mukaddimah Fathul Bari, Ibn Hajar menyatakan
bahwa para sahabat dan pemuka-pemuka tabi'in, termasuk 'Ali
dan Ahlul Bait, tidak melakukan pembukuan terhadap
hadits-hadits Nabi. Sementara al-Musawi menyandarkan
perkataannya kepada ibn Hajar, bahwa 'Ali dan kelompoknya
telah melakukan pembukuan, sedang sahabat-sahabat dan
tabi'in yang lain tidak.
Ibn Hajar juga menyatakan bahwa larangan pencatatan
hadits itu datang dari Nabi, bukan dari 'Umar ibn Khaththab
dan sahabat yang lain sebagaimana dikatakan al-Musawi. Jika
kenyataannya demikian, bagaimana 'Ali dapat menentang
perintah Nabi dan melakukan pencatatan?!
Ibn Hajar juga mengemukakan alasan dilarangnya pembukuan
itu. Kemudian ia menyatakan bahwa adanya, kaum Rafidhah dan
kelompok pembid'ah lainnya telah mendorong para ulama salaf,
pemelihara sunnah untuk menuliskan hadits, karena khawatir
diselewengkan oleh para pembid'ah itu.
Di dalam pendahuluan Fathul Bari, Ibn Hajar berkata:
"Ketahuilah semoga Allah memberi pengetahuan kepada anda dan
saya bahwa pada masa sahabat dan Tabi'in besar,
hadits-hadits Nabi itu belum dikumpulkan atau dikodifikasi
dalam buku-buku, juga tidak diklasifikasikan, karena dua
hal:
- Sejak semula mereka dilarang melakukan hal
itu, sebagaimana ditetapkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim, karena khawatir terjadi
percampuran antara sebagian hadits dengan al-Qur'an.
- Daya ingat mereka luas dan kuat, serta pikiran mereka
tajam. Di samping itu, sebagian besar dari mereka tidak
dapat menulis. Pembukuan dan klasifikasi hadits terjadi
pada akhir masa tabi'in, ketika para ulama sudah tersebar
di seluruh penjuru negeri. Juga ketika terjadi banyak
bid'ah oleh kaum Khawarij, Rafidhah dan kaum pengingkar
taqdir (Hady as-Sari, jilid 1, hal. 17).
10. Para ahli riwayat sepakat bahwa Ahlus Sunnah
adalah pelopor dalam pengkodifikasian hadits-hadits Nabi.
Sebab mereka adalah pengembannya dari sisi Rasul sampai
Allah mewarisi bumi dan para penghuninya. Pada masa sahabat,
'Abdullah ibn Amr ibn 'Ash mengumpulkan lembaran-lembaran
yang terpercaya (ash-Shahifah 'ash-Shadiqah). Dan hal ini
dilakukan atas izin dari Rasulullah, sebagaimana halnya
'Abdullah ibn 'Abbas juga menuliskan hadits-hadits dan
lembaran-lembaran.
Adapun orang yang pertama-tama memerintah pembukuan
hadits adalah 'Umar ibn 'Abdul Aziz: Di dalam kitab
al-Muwattha' diterangkan bahwa 'Umar ibn 'Abdul Aziz
mengirim surat kepada Abu Bakar Muhammad dan 'Umar ibn Hazm,
agar meneliti hadits-hadits Nabi dan sunnahnya dan
menuliskannya. Sebab beliau khawatir akan lenyapnya ilmu
pengetahuan dan hilangnya para ulama.
Adapun orang yang mengumpulkannya adalah Rabi' ibn
Shabih, Said ibn 'Urubah dan lain-lain. Dan mereka menyusun
semua bab menjadi satu, sampai tokoh-tokoh angkatan ketiga
tampil dan menyusun hadits-hadits hukum. Maka Imam Malik pun
menyusun kitabnya al-Muwattha. Didalamnya dipaparkan hadits
yang kuat (sahih) dari Ahli Hijaz, dan di lengkapinya dengan
perkataan para sahabat, fatwa para tabi'in dan fatwa
orang-orang sesudahnya. Di Makkah, tampil Abu Muhammad
'Abdul Malik ibn 'Abdul Aziz ibn Juraij. Di Syam, Abu 'Umar,
'Abdurahman ibn 'Umar dan al-Auza'i melakukan hal yang sama.
Di Kufah, tampil Abu 'Abdullah Sufyan ibn Sa'id ats-Tsauri.
Dan di Bashral tampil Abu Salamah Daud Salamah ibn Dinar.
Selanjutnya banyak tokoh-tokoh yang tampil mengikuti jejak
mereka, menyusun kitab-kitab menurut metoda dan cara mereka
masing-masing, sampai akhirnya sebagian dari tokoh-tokoh
mereka memandang perlu menyusun hadits-hadits Nabi secara
khusus. Hal ini terjadi pada penghujung abad kedua Hijriyah.
'Ubaidillah ibn Musa al-Absi al-Kufi menyusun kitab Musnad.
Demikian pula Musaddad ibn Musarhid, Asad ibn Musa al-Amawi,
dan Nu'aim ibn Hammad al-Khuza'i. Kemudian beberapa imam
mengikuti jejak mereka, seperti imam Ahmad ibn Hambal, Ishak
ibn Rahawaih, 'Utsman ibn Abi Syaibah dan lain-lain.
Diantara mereka ada yang menyusun hadits dengan pola
bab-bab dan tipe Musnad bersama-sama, seperti Abu Bakar ibn
Abi Syaibah, sehingga datang imam Bukhari yang mengarang
kitab Sahihnya, yang segera diikuti oleh muridnya, Imam
Muslim dan para penulis kitab-kitab Sunan. Inilah sejarah
pembukuan hadits yang sudah disepakati oleh para ahli
hadits. Adakah diantara mereka yang pandai dan cemerlang itu
seorang dari kaum Rafidhah? Tidak ada. Bahkan di mana
tokoh-tokoh Rafidah ketika terjadi gerakan pembukuan hadits
itu? Dan mana karya-karya mereka yang tidak diketahui oleh
seorang pun kecuali oleh mereka sendiri, sekiranya memang
ada?
11. Adapun perkataan al-Musawi bahwa 'Ali dan
Syi'ah (pengikut)nya, telah menyediakan dirinya untuk
penulisan ilmu semenjak masa yang pertama, dan yang pertama,
kali dikumpulkan oleh 'Ali ialah Kitab Allah (al-Qur'an).
Sebab, setelah selesai mengurusi jenazah Rasulullah saw
sampai dimakamkan, ia bersumpah tidak akan mengenakan baju
untuk ke luar rumah, kecuali untuk melakukan shalat, sampai
ia selesai mengumpulkan al-Qur'an
," pernyataan ini
dapat ditanggapi dari berbagai segi sebagai berikut:
- Pada masa itu --yakni segera sesudah wafat Nabi--
Imam 'Ali tidak mempunyai pengikut seperti yang
diisyaratkan al-Musawi, sampai tahun 30 H, ketika muncul
seruan untuk mendukung 'Ali dan imam-imam Ahlul Bait di
Kufah, yang dicanangkan oleh 'Abdullah ibn Saba'
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Lantas,
bagaimana bisa dibenarkan anggapan al-Musawi bahwa
pengikut-pengikut 'Ali telah memulai penulisan dan
pembukuan ilmu, 20 tahun sebelum mereka ada?!
- Kalaupun benar bahwa 'Ali telah membukukan dan
mengumpulkan al-Qur'an pada waktu itu sebagaimana
dikatakan al-Musawi, maka hal itu bukanlah keistimewaan
'Ali semata, yang tidak dimiliki oleh sahabat-sahabat
lain. Mereka juga menghafalkan al-Qur'an di dalam hati
mereka, dan menulisnya dengan alat-alat tulis yang bisa
mereka pakai. Dan di samping para sahabat yang hafidz
itu, terdapat pula penulis-penulis wahyu yang jumlahnya
mencapai 43 orang. Dan diantara mereka terdapat seorang
sahabat yang agung, yaitu Zaid ibn Tsabit yang memimpin
pengumpulan al-Qur'an pada masa Abu Bakar. Ia juga turut
serta dalam kodifikasi kedua yang dilakukan pada masa
pemerintahan 'Utsman ibn Affan:
Adapun keistimewaan al-Qur'an yang dikumpulkan 'Ali
seperti yang dituturkan al-Musawi, sesungguhnya tidaklah
melebihi keistimewaan mushaf-mushaf yang ditulis dan
dikumpulkan oleh para sahabat lain untuk diri mereka
sendiri, seperti mushaf ibn Mas'ud, Mushaf 'A'isyah, dan
lain-lain.
12. Mengenai Mushaf Fathimah yang menurut
al-Musawi disusun oleh 'Ali dan berisi peribahasa dan
hukum-hukum
Ia adalah al-Qur'an Fathimah yang diimani
oleh kaum Rafidhah dan diyakini kesahihannya. Ia bukan
al-Qur'an seperti yang ada di tangan ummat Islam sekarang
ini, dan berbeda dengannya baik dari segi banyaknya isi
maupun macamnya, sebagaimana diterangkan dalam kitab mereka,
al-Kafi. Kitab ini merupakan kitab yang paling terpercaya
bagi mereka, seperti halnya kitab Sahih Bukhari di kalangan
Ahlus Sunnah. Di dalam kitab ini, al-Kulaini meriwayatkan
dari Ja'far ash-Shadiq; katanya: "Di hadapan kita ada Mushaf
Fathimah". Akupun bertanya: "Apa gerangan Mushaf Fathimah?"
Jawabnya: "Ia adalah mushaf yang tiga kali lebih besar dari
mushaf al-Qur'an kalian. Demi Allah, tidak ada didalamnya
satu huruf pun dari al-Qur'an kalian". (Baca al-Kafi, jilid
1, hal. 239).
Salah seorang Thaghut mereka, Husain ibn Muhammad Taqi
an-Nuri ath-Thabrasi menyusun sebuah kitab yang didalamnya
terdapat beratus-ratus nash dari hadits yang mereka nukil
dari guru-guru dan thaghut-thaghut mereka mengenai anggapan
bahwa al-Qur'an tidak otentik lagi (telah mengalami
perubahan). Ia memberi judul bukunya itu Fashl al-Khithab fi
Itsbati Tahrif Kitab Rab al-Arbab. Kitab ini tebalnya 400
halaman, ditulis pada tahun 1292 H, dan diterbitkan di Iran
pada tahun 1298 H.
Orang-orang Rafidhah yang munafik berlagak tidak tahu
menahu akan kitab tersebut, karena bertaqiyah. Akan tetapi
sikap mereka itu tidak ada gunanya. Sebab mereka terus
membawa nash-nash tersebut di dalam kitab-kitab mereka
selama berabad-abad lamanya hingga kini. Dan semua nash
tersebut terkumpul dalam kitab tersebut.
13. Adapun perkataan al-Musawi bahwa 'Ali setelah
mengumpulkan al-Qur'an menyusun sebuah kitab tentang
al-Diyat (denda sebagai pengganti hukum) yang diberi nama
ash-Shahifah, maka apa yang dikemukakan al-Musawi ini
sesungguhnya merupakan hadits sahih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim dalam berbagai tempat dan bab dalam
kitab sahih mereka. Misalnya dalam bab "Fadhl al-Madinah",
"al-Fizyah", "al-Fara'idh", dan bab "al-Diyat". Akan tetapi
anggapan al-Musawi dalam hadits ini tidak dapat dibenarkan
(bathil) dilihat dari beberapa segi:
- Al-Musawi memandang ash-Shahifah tersebut sebagai
karangan 'Ali ra., padahal kitab itu sesungguhnya bukan
karangan, melainkan sejumlah informasi yang di dengar
'Ali dari Rasulullah saw, kemudian dikumpulkannya dalam
kitab tersebut.
- Ash-Shahifah tersebut tidak menunjukkan kebenaran
dakwaan al-Musawi bahwa kaum Rafidhah lebih dahulu dari
kelompok lain dalam membukukan ilmu pengetahuan. Sebab
Ahlus Sunnah mengakui ash-Shahifah sebagai tulisan 'Ali
sebagaimana mereka mengakui ash-Shahifah ash-Shadiqah
sebagai hasil usaha 'Abdullah ibn 'Umar ibn al-'Ash. Di
dalam ash-Shahifahnya ini, 'Abdullah mengumpulkan atau
menghimpun hadits-hadits Nabi yang jumlahnya jauh lebih
besar daripada apa yang dihimpun oleh 'Ali di dalam
Shahifahnya. Dengan begitu, lebih tepat jika dikatakan
bahwa 'Abdullah ibn Amr ibn al-Ash lebih dahulu daripada
'Ali ra, sebab Shahifah 'Abdullah jauh lebih lengkap dan
lebih besar.
- Kandungan Shahifah 'Ali sebagaimana tersebut dalam
kitab Bukhari-Muslim, dan seperti yang diakui oleh
al-Musawi, justru menjadi hujjah yang menentang kaum
Rafidhah umumnya, dan al-Musawi khususnya. Sebab 'Ali ra
telah mengakui Kitab Allah (al-Qur'an) yang ada di tangan
kaum Muslimin, dan ia tidak mengakui ada al-Qur'an lain
selain darinya, sebagai dikatakan sendiri oleh kaum
Rafidhah dan al-Musawi, seperti telah kami jelaskan
sebelumnya.
Shahifah itu juga menjadi hujjah yang menentang kaum
Rafidhah yang menyatakan bahwa Nabi saw telah berwasiat
mengenai khilafah 'Ali sesudah beliau. Andaikata dakwaan
mereka itu benar, tentu wasiat itu akan tertulis dalam
Shahifah tersebut. Sebab wasiat itu jauh lebih penting
untuk dibukukan daripada daftar al-jarahat (ketentuan
mengenai hukuman ganti rugi atas luka-luka yang di
timbulkan orang lain), keterangan mengenai tahapan usia
unta, kemuliaan kota Madinah, dan lain-lain yang
terkandung dalam Shahifah itu.
14. Al-Musawi telah mengungkapkan rasa dengkinya
dan membuka mukanya yang masam, hatinya yang hitam kelam dan
fanatismenya yang dalam akan kepercayaan dan madzhabnya
ketika ia menyebut Ahlus Sunnah wal-Jamaah sebagai
musuh-musuh Ahlul Bait. Ia berkata: "Pada masa itu, yaitu
semasa generasi para tabi'in, kembali cahaya Ahlul Bait
bersinar terang benderang, setelah tertutup sebelumnya oleh
awan gelap yang bersumber dari tirani para penguasa yang
zalim. Hal ini disebabkan karena tragedi Karbala telah
membuka kedok musuh-musuh keluarga Muhammad saw, dan
menjatuhkan derajat mereka di mata siapa pun yang berpikiran
waras". Jawaban pernyataan ini dapat dikemukakan dari
berbagai segi sebagai berikut:
14.1 Orang pertama yang dituduh al-Musawi tiran
dan zalim serta musuh keluarga Muhammad saw ialah para
sahabat, terutama Abu Bakar dan 'Umar: Sebab kedua orang
inilah, menurut al-Musawi, yang telah menutupi cahaya
keluarga Muhammad dan merampas kekuasaan dari tangan mereka.
Ini adalah kebohongan yang Nabi serta keluarganya berlepas
tangan darinya. Ini juga merupakan kebohongan yang sentral
dari kaum Rafidhah. Pada kebohongan inilah mereka bertumpu
berpaling dari dalil-dalil al-Kitab dan Sunnah yang sahih,
dan menentangnya dengan hadits-hadits palsu dan
perkataan-perkataan sesat yang mereka sandarkan secara dusta
kepada imam-imam Ahlul-Bait.
Mereka, meskipun nampaknya membela dan mengikuti Ahlul
Bait, tetapi dalam kenyataannya telah berbuat sebaliknya,
sebagaimana dinyatakan oleh para ahli sejarah dan tarikh.
Maka jadilah hati mereka bersama Ahlul-Bait, namun pedang
mereka ada bersama musuh-musuh mereka (Ahlul-Bait). "Mereka
berdusta atas nama para sahabat dan mengkhianati Ahlul-Bait
sendiri. Maka jadilah mereka itu pendusta dan
pengkhianat.
14.2 Mengenai tokoh-tokoh di bawah ini, yang
dicatat al-Musawi sebagai termasuk tokoh-tokoh generasi masa
itu:
- Aban ibn Taghlib. Kami telah membicarakan nama ini
pada bagian pertama buku ini ketika kami memberi
tanggapan atas Dialog 16. Silahkan periksa kembali.
- Abu Hamzah ats-Tsumali Tsabit ibn Dinar. Pembicaraan
mengenai nama ini telah kami kemukakan pula dalam
tanggapan atas Dialog 16.
- Muhammad ibn Muslim ibn Rabah al-Kufi. Periksa
kembali pembicaraan mengenai tokoh ini dalam tanggapan
dialog yang sama.
- Abu bashir Laits ibn Murad al-Bukhturi. Para ulama
Rafidhah dalam lapangan jarh dan ta'dil berkata: "Imam
Ja'far ash-Shadiq tidak menyukai Abu Bashir Laits
al-Bukhturi. Sementara para sahabatnya berbeda pendapat
dalam menilai dirinya." Ibn al-Ghadha'iri asy-Syi'i
berkata: "Kecaman pada Laits terletak pada agamanya,
bukan pada haditsnya. Menurutku, ia tsiqat". Mereka
mengatakan bahwa adanya celaan pada agama Laits tidak
mengharuskan adanya kecaman pada haditsnya! (Lihat teks
pinggiran kitab Mukhtashar al-Itsna Asya'ariyah, hal.
65).
Anda lihatkah bagaimana kaum Rafidhah memandang tsiqat
terhadap seorang yang tidak disukai Imam Ja'far
ash-Shadiq, sementara mereka menyatakan diri mengikuti
sang Imam? Dan bagaimana mereka bisa memandang tsiqat
orang yang tercela di bidang agama?! Mereka sungguh tidak
memperhatikan agama sama sekali. Mereka menerima riwayat
siapa saja yang dapat memperkuat madzhab mereka, walaupun
ia orang kafir, dan sebaliknya menolak riwayat siapa saja
yang berlawanan dengan paham mereka, walaupun ia seorang
beriman.
- Zurarah ibn A'yun al-Kufi. Ia ini Rafidhah, dan
meyakini bahwa Ja'far ibn Muhammad (ash-Shadiq)
mengetahui barang ghaib. Adz-Dzahabi berkata: "Zurarah
sedikit meriwayatkan hadits," Mengenai biografinya, Ibn
Hatim tidak mengatakan apa-apa, selain perkataan berikut:
"Ia meriwayatkan dari Abu Ja'far (yakni al-Baqir)".
Sufyan ats-Tsauri mengatakan: "Dia tidak pernah melihat
Abu Ja'far." (Lihat biografi Zurarah dalam kitab Mizan
karya adz-Dzahabi).
- Barid ibn Mu'awiyah al-'Ajli. Kami tidak menemukan
biografinya.
15. Adapun empat kitab yang menjadi rujukan utama
Syi'ah Imamiyah, baik dalam pokok-pokok kepercayaan mereka
"maupun cabang-cabangnya, yang dipakai sejak dahulu hingga
kini, yaitu kitab al-Kafi, al-Tahdzib, al-Istibshar, dan
kitab Manla Yahdhuruhu al-Faqih. Al-Musawi telah
menisbatkannya pada Ja'far ash-Shadiq, secara dusta. Sebab
Ja'far adalah orang yang terkemuka di bidang ilmu dan agama.
Ia menimba ilmu dari kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama
Ummu Farwah putri al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar
ash-Shiddiq. Juga menerima ilmu dari Muhammad ibn
al-Munkadir, Nafi', al-Zuhri, Atha' ibn Abi Rabah, dan
lain-lain. Mereka semua adalah pemuka-pemuka Ahlus-Sunnah
yang mewarisi kepercayaan yang suci, tak bercampur syirik,
dari para sahabat. Juga mereka menerima ilmu yang berguna
dari Rasulullah saw. Mereka menyampaikannya sebagaimana
mereka menjaga dan memeliharanya. Bagaimana mungkin Ja'far
ash-Shadiq berbeda dari guru-gurunya yang mengajarkan ilmu
dan agama? Bagaimana mungkin ia mengatakan apa yang tidak
mereka katakan, dan meyakini apa yang tidak mereka
yakini?
Keempat kitab yang dinisbatkan kepada Ja'far ash-Shadiq
itu sungguh menampakkan pelbagai kekufuran dan kezindiqan
suatu hal di mana kami, Ja'far sendiri, serta
murid-muridnya, menyatakan bahwa beliau terbebas dan bersih
darinya. Sebab, sungguh, sekelompok orang dari pemuka-pemuka
Ahlus-Sunnah yang terkenal alim dan takwa, telah
meriwayatkan hadits dari Ja'far, seperti Yahya ibn Sa'id
al-Anshari, Malik ibn Anas, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan ibn
'Uyainah, Ibri Jurah, Syu'bah ibn Hajjaj, Yahya ibn Said
al-Qathan, Hatim ibn Isma'd, Muhammad ibn Ishak ibn Yasar,
dan Hafs ibn Ghiyas. 'Amr ibn Ubay al-Miqdad berkata: "Jika
aku melihat Ja'far, aku yakin kalau dia keturunan nabi-nabi.
(Minhaj as-Sunnah, jilid 2, hal. 124).
Barangsiapa mempelajari empat kitab induk kaum Rafidhah,
niscaya akan menemukan didalamnya banyak riwayat dari kaum
Mujassimah, seperti dua Hisyam (Hisyam ibn Hakam dan Hisyam
ibn Salim al-Jawaliqi), pengarang kitab ath-Thaq (Muhammad
ibn Nu'man ash-Shairafi) yang dijuluki asy-Syaithan ath-Thaq
yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu berjisim dan berwajah
seperti manusia". Sedangkan kedua Hisyam di atas berkata:
"Allah itu merupakan jisim yang panjang, lebar dan tingginya
sama, tapi tidak memiliki rupa seperti yang sudah
dikenal."
Buku-buku itu juga penuh dengan riwayat yang datang dari
orang-orang yang percaya bahwa Allah tidak mengetahui sejak
zaman azali, seperti Zurarah ibn A'yun, Ahwalain dan
Sulaiman al-Ja'fari. Juga riwayat-riwayat yang datang dari
orang-orang yang bermadzhab sesat dan tidak percaya pada
imam sama sekali, seperti Bani Fadhal, Ibn Mahran dan
lain-lain.
Juga riwayat dari tukang-tukang pemalsu yang dikenal baik
oleh orang-orang Syi'ah sendiri, seperti Ja'far al-Audy dan
ibn 'Iyasy (Ahmad ibn Muhammad al-Jauhari). Adapun kitab
al-Kafi, penuh sesak dengan riwayat ibn 'Iyasy ini. Sedang
dia, menurut ijma' kaum Syi'ah, adalah pemalsu dan
pendusta.
Sungguh mengherankan jika al-Musawi yang sudah mengerti
semua itu berkata: "Sesungguhnya hadits-hadits kami mencapai
tingkat mutawatir". Dan yang lebih mengherankan lagi,
sekelompok dari perawi mereka yang tsiqat meriwayatkan
sebuah hadits dan menyatakannya sahih, sementara kelompok
yang lain lagi menyatakannya maudhu' dan palsu. Dan semua
hadits-hadits itu ada dalam kitab-kitab shihah mereka.
Misalnya, Ibn Babuwaih memandang hadits yang menerangkan
bahwa al-Qur'an dan ayat-ayatnya telah berubah (tidak
otentik) sebagai hadits dha'if atau maudhu'. Namun demikian,
semua riwayat dan hadits itu terdapat dalam kitab al-Kafi,
dengan sanad-sanad yang sahih menurut pandangan mereka. Dan
banyak lagi kerusakan yang ada di dalam kitab tersebut.
(Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna 'Asyariyah, hal. 69).
Bagaimana dapat dibenarkan jika berbagai kekufuran dan
kesesatan yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut
dinisbatkan kepada seorang yang ma'shum menurut pandangan
kaum Rafidhah? Anda lihatkah kontradiksi ini, yang akan
ditertawakan oleh orang-orang yang berpikiran waras?
16. Adapun kitab-kitab yang dibanggakan al-Musawi
dan yang dinisbatkannya kepada Hisyam, maka sesungguhnya
kitab-kitab itu --kalau benar nisbat kepada Hisyam itu--
adalah kitab-kitab yang rusak, lantaran rusaknya aqidah
penulisnya. Sudah kami kemukakan sebelumnya bahwa Hisyam
adalah seorang Mujasimah. Na'udzu billah!
Al-Musawi mcncoba menolak tuduhan ini. Akan tetapi mana
mungkin, sebab tuduhan demikian terdapat dalam kitab al-Kafi
yang dipandang al-Musawi sendiri sebagai kitab yang paling
lengkap, paling sempurna dan paling terpercaya dari
kitab-kitab induk mereka yang empat.
Justru penolakan al-Musawi ini bertolak belakang dengan
keyakinan Hisyam ibn Hakam sendiri seperti yang dinyatakan
dalam al-Kafi. Dengan begitu, al-Musawi sendiri telah
mendustakan Hisyam dan menyanggahnya. Coba anda perhatikan
lebih dalam, pasti anda akan melihat kesesatan al-Musawi
ini.
17. Adapun anggapan al-Musawi bahwa pada masa Musa
al-Kadzim, ar-Ridha, al-Jawad, al-Hadi dan Imam al-'Askari,
terdapat banyak karangan kitab-kitab, maka anggapan ini
adalah dusta semata. Sebab yang demikian itu bertentangan
dengan apa yang sudah umum diketahui dari buku-buku sejarah
mengenai para imam tersebut.
Musa al-Kadzim meriwayatkan hadits dari ayahnya Ja'far.
Dan saudaranya, 'Ali, meriwayatkan darinya. Imam Tirmidzi
dan Ibn Majah meriwayatkan untuknya. Adapun imam-imam Syi'ah
sesudah Musa, maka tidak ada orang yang mengambil ilmu dari
mereka, yang beritanya tersebut dalam kitab-kitab sejarah
mengenai imam-imam tersebut dan kitab-kitab lain yang
masyhur. Adapun tiga imam tersebut di atas, yakni 'Ali ibn
Husain, Muhammad ibn 'Ali, dan Ja'far ash-Shadiq, maka
hadits-hadits mereka banyak yang dimuat dalam kitab-kitab
Sahih, Sunan dan kitab-kitab Musnad. Fatwa-fatwa mereka juga
banyak ditemui dalam kitab-kitab kumpulan fatwa Ulama-ulama
salaf, seperti kitab karangan ibn al-Mubarak, Sa'id ibn
al-Manshur, Abdurrazaq, Abu Bakar asy-Syaiba, dan
lain-lain.
Adapun imam-imam yang selain dari tiga imam tadi, maka
mereka tidak mempunyai riwayat yang terdapat dalam
kitab-kitab induk hadits. Juga tidak mempunyai fatwa yang
disebutkan dalam kitab-kitab terkenal yang memuat fatwa
orang-orang salaf. Tidak pula menulis tafsir atau lainnya.
Tidak pula mereka mengeluarkan pendapat-pendapat yang
terkenal. Tetapi mereka mempunyai keutamaan-keutamaan dan
kebajikan-kebajikan yang mereka tekuni. Misalnya, Musa ibn
Ja'far; ia dikenal sebagai ahli ibadah (nussak).
Jika dikatakan bahwa para ulama dan faqih yang terkenal
mengambil ilmu atau pendapat mereka, maka hal ini
betul-betul suatu kebohongan. Sebab mereka adalah para ulama
dan faqih yang terkemuka dan termasyhur, yang tentu tidak
akan mengambil dari mereka sesuatu yang sudah diketahui
orang. Jika ada faqih yang tak tergolong fuqaha jumhur, yang
mengambil pendapat mereka, maka hal ini memang tidak
diingkari. Sebab murid-murid para faqih itu memang
kadang-kadang mengambil ilmu atau pendapat dari ulama-ulama
kelas menengah, dan juga dari ulama-ulama lain.
Mengenai murid-murid Muhammad ibn 'Ali al-Jawwad yang
dikemukakan al-Musawi, hal ini sungguh tidak dapat
dibenarkan sama sekali jika anda tahu bahwa al-Jawad adalah
keturunan bani Hasyim yang dikenal dermawan karena itu ia
disebut al-Jawad --dan meninggal dunia dalam usia muda,
yaitu 25 tahun. Beliau dilahirkan tahun 95 H, dan meninggal
dunia pada tahun 120 H.
Adapun nama-nama yang disebut al-Musawi sebagai
murid-murid al-Jawad, sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang tidak dikenal dalam buku-buku biografi yang terkenal.
Mereka tidak dikenal, kecuali oleh kaum Rafidhah saja.
|