Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 101-108

Mulai dari Dialog 101 yang disandarkan kepada Syeikh al-Bisyri sudah terlihat jelas bahwa beliau telah menerima dasar-dasar pemikiran kaum Rafidhah seperti yang dikemukakan oleh al-Musawi. Nampaknya beliau telah siap hendak melepaskan baju Ahlus Sunnahnya dan menggantinya dengan baju Rafidhah seperti dijelaskan al-Musawi dalam dialog-dialognya. Na'udzu billah!

Ketika itu terlintas di hati Syeikh al-Bisyri suatu keraguan yang segera disampaikannya kepada al-Musawi dengan bertanya: "Mengapa pada Hari Saqifah 'Ali tidak berhujjah dengan nash-nash khilafah dan wasiat seperti yang dipegangi kaum Rafidhah?

Pertanyaan ini begitu mengagetkan al-Musawi, sehingga ia menjawabnya dengan berbagai kebohongan yang saling bertentangan yang satu dengan yang lainnya.

Dalam Dialog 102, mula-mula al-Musawi menjawabnya dengan mengemukakan latar belakang tidak dikemukakannya hujjah itu oleh 'Ali. Ia memberikan beberapa alasan palsu sebagai berikut:

1. 'Ali tidak hadir waktu pembai'atan, dan ia tidak ikut pergi ke Saqifah, lantaran dia dan anggota Bani Hasyim lainnya sedang sibuk mengurus jenazah Nabi, mengkafani dan menguburkannya.

Tanggapan atas argumen ini ialah bahwa pembai'atan tersebut terjadi dua hari berturut-turut. Pertama, bai'at Ahlul-halli wal 'Aqdi dari kalangan sahabat Anshar dan Muhajirin pada hari Senin di Saqifah Bani Sa'idah, bertepatan dengan hari di mana Rasulullah saw meninggal dunia. Kedua, bai'at umum dari kaum Muhajirin dan Anshar pada hari kedua wafatnya Nabi di Masjid Nabawi.

Kedua pembai'atan itu berlangsung di Madinah, tidak jauh dari kamar-kamar suci di mana Rasulullah saw wafat. Ini berarti tidak sulit bagi 'Ali untuk menyampaikan hujjahnya di kedua tempat pembai'atan itu lantaran dekatnya letaknya dari tempatnya sibuk.

Andaikata dikatakan bahwa 'Ali tidak mungkin menyampaikan hujjah itu karena terlalu sibuk, maka menurut ketentuan syari'at ia wajib menyampaikan wasiat yang diterimanya itu kepada para sahabat. Jika ia tidak bisa menyampaikannya sendiri, ia boleh meminta bantuan orang lain dari Bani Hasyim. Akan tetapi 'Ali tidak melakukannya. Dan ia diam justru pada waktu ia harus berbicara tentang wasiat itu. Ini membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada wasiat tentang khilafah, baik untuk 'Ali maupun untuk sahabat-sahabat yang lain.

2. 'Ali tidak menyampaikan hujjahnya karena lebih mementingkan kemaslahatan umum. Alasan ini juga tidak dapat diterima. Sebab jika begitu maka al-Musawi harus mengecam Abu Bakar dan 'Umar, sebab mereka berdua mempunyai pertimbangan seperti pertimbangan 'Ali itu. Coba anda perhatikan kembali pernyataan al-Musawi dalam peristiwa yang ia sebut sebagai Tragedi Hari Kamis, Sariyah Usamah dan perintah membunuh orang. Al-Musawi tidak dapat menerima alasan para sahabat dalam semua peristiwa itu. Ia tetap memandang mereka, tidak tunduk pada perintah-perintah Nabi yang berkaitan dengan persoalan politik dan kekuasaan, dengan dalih mementingkan kemaslahatan ummat.

'Ali tidak mengamalkan nash wasiat dan tidak mengemukakannya di waktu yang diperlukan, juga lantaran mendahulukan kemaslahatan ummat. Jika demikian, mengapa al-Musawi tidak mengecam 'Ali sebagaimana ia mengecam. Abu Bakar dan 'Umar?

3. Dalam tanggapan kami atas Dialog 79 dan 80, kami telah mengutip pendapat para ahli hadits dan peneliti yang menyatakan bahwa 'Ali ibn Thalib telah membai'at Abu Bakar dengan tunduk dan taat dan atas kehendak sendiri. Kami juga telah mengutip pernyataan mereka tentang dialog yang terjadi antara Abu Bakar dan 'Ali serta alasan keterlambatan 'Ali dalam berbai'at serta pengakuannya akan keutamaan Abu Bakar dan haknya dalam khilafah.

Bahwa 'Ali melakukan bai'at karena dipaksa, hal itu tidak ditemukan di dalam kitab-kitab yang muktabar menurut para ahli.

4. Mengenai alasan yang dikemukakan al-Musawi, bahwa 'Ali tidak mengajukan hujjah karena para penguasa telah menetapkan apa yang di zaman kita sekarang ini disebut Undang-undang Darurat, dan melarang orang berbicara dan mengemukakan pendapat mereka atau nash-nash dari Nabi, ini adalah dusta dan bohong semata. Alasan ini didasarkan pada analogi masa lampau dengan masa kini, lain tidak. Sepertinya al-Musawi berkata: "kiaskanlah masa lampau dengan masa kini, sebab manusia tetaplah manusia dan zaman tetaplah zaman. Analogi seperti ini tidak dapat diterima, baik ditinjau dari segi akal maupun syara'. Ia bertentangan dengan akal dan pemikiran yang logis, juga bertolak-belakang dengan akal dan pemikiran yang logis, juga bertolak-belakang dengan hadits sahih "Tiada hari yang datang kecuali hari setelahnya akan lebih buruk dari sebelumnya". Adakah dalam hadits ini, Nabi menyamakan antara hari-hari dan zaman? Dan adakah Nabi menyamakan para sahabat yang Ahlu-Badri dengan yang lainnya? Apakah Nabi menyamakan semua kurun ketika beliau bersabda "Sebaik-baik kurun (angkatan, generasi) adalah kurunku, kemudian kurun generasi berikutnya, kemudian kurun generasi berikutnya lagi."

Dan dalam Dialog 102, al-Musawi kembali berkontradiksi dengan dirinya sendiri ketika ia memandang 'Ali dan Ahlul-Bait telah menyebarluaskan nash-nash tentang khilafah di kalangan para sahabat dan tabi'in. Mereka mengemukakan nash-nash itu sebagai hujjah mereka, dengan bahasa yang halus dan bijaksana. Padahal sebelumnya al-Musawi telah mengakui bahwa 'Ali dan Ahlul-Bait tidak mengajukan hujjah dan ia telah mengemukakan alasan-alasannya. Ini merupakan kontradiksi yang memalukan, yang ditertawakan oleh orang-orang bodoh, apalagi orang yang berilmu.

Dalam dialog-dialog yang bernomor genap (104, 106, 108) tampaknya al-Musawi telah kehabisan panah beracun yang sebelumnya terus-menerus ditembakkannya pada para pendukung dan pengemban risalah kenabian dan tiang-tiangnya, yaitu Abu Bakar dan 'Umar. Maka mulailah al-Musawi mengeluarkan kata-kata dustanya, dengan mengemukakan bagian-bagian pidato yang dinisbatkannya kepada 'Ali, Fathimah al-Zahra', Ibn 'Abbas, dan Hasan dan Husain dalam kitab Nahjul Balaghah, sebuah kitab yang tidak asing lagi.

Al-Musawi juga mengemukakan kembali hadits-hadits yang sudah dijadikannya hujjah sebelumnya, dan yang juga sudah kami tanggapi. Ia mengemukakan kembali hadits walimah yang diselenggarakan Nabi di rumah pamannya ketika turun ayat: "Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang dekat" (QS, asy-Syu'ara', 26:214) yang telah kami tanggapi dalam tanggapan terhadap Dialog 20. Ia juga mengemukakan lagi hadits Ghadir Khumm "Tidakkah aku lebih utama bagi orang mu'min daripada diri mereka sendiri?" Kami telah menanggapi hadits ini dalam tanggapan kami atas Dialog 23, 24, dan 56.

Dalam Dialog 108, al-Musawi kembali berhujjah tentang wasiat dengan berdalil pada khotbah Syaqsyqiyyah yang disandarkan secara dusta kepada 'Ali ibn Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah.

Isi pidato yang dinisbatkan kepada 'Ali ini bertentangan dengan pidato 'Ali ketika ia dilantik sebagai khalifah. Ath-Thabari di dalam kitabnya (jilid 6, hal. 157 dan jilid 1, hal. 3077) mengutip sebagian pidato 'Ali tersebut, sebagai berikut: "Hai Manusia sekalian, ini adalah urusan kalian. Tak seorang pun yang mempunyai hak didalamnya, kecuali orang yang kalian angkat sebagai pemimpin kalian. Kemarin kita berselisih paham dalam hal ini (yakni pembai'atan kepada 'Ali). Maka jika kalian kehendaki, aku akan menjadi pemimpin kalian. Tetapi jika tidak kalian kehendaki, aku tidak akan marah kepada siapa pun juga". Dengan pidatonya ini, 'Ali hendak menyatakan bahwa ia tidak meminta dukungan bagi khilafahnya dengan sesuatu yang telah lalu (wasiat), tetapi ia mengharapkan khilafah itu dari bai'at ummat yang mereka lakukan dengan suka-rela.

Kami telah menolak kesahihan wasiat khilafah ini dalam tanggapan kami atas Dialog 20. Harap diperiksa kembali.

Mengenai pidato Hasan ibn Ali ketika ayahnya meninggal dunia, yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak, itu sama sekali tidak sahih sebagaimana dinyatakan oleh adz-Dzahabi dalam Talkhishnya, jilid 3 hal. 172. Demikian pula tidak sahih riwayat yang dikemukakan al-Musawi dari Ja'far ash-Shadiq bahwa 'Ali bersama Rasulullah saw sebelum beliau menerima risalah, pernah melihat sinar dan mendengar suara gaib. Demikian juga hadits "Seandainya aku bukan akhir dari para nabi, tentu engkau berserikat denganku dalam hal kenabian. Maka jika engkau tidak mungkin menjadi nabi, maka jadilah washiy nabi." Semua perkataan di atas tidak ada dasarnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang dikenal. Juga tidak memiliki sanad yang dikenal pula.

Tentang hadits Buraidah, kami sudah menyanggahnya dalam tanggapan atas Dialog 68. Silahkan periksa kembali.

Adapun perkataan al-Musawi: "Barangsiapa meneliti dengan cermat ihwal orang-orang salaf, pasti ia akan mengetahui bahwa mereka menggunakan kata washiy untuk 'Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana lazimnya mereka menyebut nama seseorang." Pernyataan ini dusta. Sebab pemberian gelar washiy kepada 'Ali itu baru dikenal pada akhir masa pemerintahan 'Utsman ibn Affan pada tahun 30 H. Sebelumnya, tidak ada seorang pun yang mengenal istilah itu. Adapun orang pertama yang memperkenalkannya adalah 'Abdullah ibn Saba'.

Dalam uraian tentang biografi 'Abduilah ibn Saba' dalam kitabnya Tanqihul Maqal fi Ahwal al-Rijal, jilid 2 hal. 184 --yang merupakan kitab kaum Rafidhah yang paling luas dan paling penting di bidang jarh dan ta'dil-- al-Mamqani mengutip perkataan al-Kasyi, salah seorang pemuka Rafidhah sebagai berikut: "Para ahli menyebutkan bahwa 'Abdullah ibn Saba' adalah seorang Yahudi yang kemudian memeluk Islam dan mendukung 'Ali ibn Abi Thalib. Ia mengatakan ketika ia beragama Yahudi bahwa Yusya' ibn Nuh adalah washiy Musa. Dan ketika ia masuk Islam --setelah wafat Nabi-- ia menyatakan hal serupa mengenai 'Ali ibn Abi Thalib. Ini berarti dakwaan bahwa 'Ali adalah washiy Nabi merupakan ciptaan orang Yahudi yang muncul setelah wafat Nabi. 'Abdullah ibn Saba' adalah orang pertama yang mempopulerkan pendapat mengenai keimaman 'Ali dan menyatakan berlepas tangan dari musuh-musuhnya, menunjukkan siapa orang-orang yang menentang 'Ali dan mengkafirkan mereka. Karena itu orang-orang yang menentang paham Syi'ah berkata: "Sesungguhnya dasar-dasar kepercayaan Syi'ah dan Rafadh diambil (berasal) dari orang Yahudi". (Lihat Mukhtashar al-Tuhfah al-Itsna Asy'ariyah, hal. 299).


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.