Sanggahan terhadap Dialog 101-108
Mulai dari Dialog 101 yang disandarkan kepada Syeikh
al-Bisyri sudah terlihat jelas bahwa beliau telah menerima
dasar-dasar pemikiran kaum Rafidhah seperti yang dikemukakan
oleh al-Musawi. Nampaknya beliau telah siap hendak
melepaskan baju Ahlus Sunnahnya dan menggantinya dengan baju
Rafidhah seperti dijelaskan al-Musawi dalam
dialog-dialognya. Na'udzu billah!
Ketika itu terlintas di hati Syeikh al-Bisyri suatu
keraguan yang segera disampaikannya kepada al-Musawi dengan
bertanya: "Mengapa pada Hari Saqifah 'Ali tidak berhujjah
dengan nash-nash khilafah dan wasiat seperti yang dipegangi
kaum Rafidhah?
Pertanyaan ini begitu mengagetkan al-Musawi, sehingga ia
menjawabnya dengan berbagai kebohongan yang saling
bertentangan yang satu dengan yang lainnya.
Dalam Dialog 102, mula-mula al-Musawi menjawabnya dengan
mengemukakan latar belakang tidak dikemukakannya hujjah itu
oleh 'Ali. Ia memberikan beberapa alasan palsu sebagai
berikut:
1. 'Ali tidak hadir waktu pembai'atan, dan ia
tidak ikut pergi ke Saqifah, lantaran dia dan anggota Bani
Hasyim lainnya sedang sibuk mengurus jenazah Nabi,
mengkafani dan menguburkannya.
Tanggapan atas argumen ini ialah bahwa pembai'atan
tersebut terjadi dua hari berturut-turut. Pertama, bai'at
Ahlul-halli wal 'Aqdi dari kalangan sahabat Anshar dan
Muhajirin pada hari Senin di Saqifah Bani Sa'idah,
bertepatan dengan hari di mana Rasulullah saw meninggal
dunia. Kedua, bai'at umum dari kaum Muhajirin dan Anshar
pada hari kedua wafatnya Nabi di Masjid Nabawi.
Kedua pembai'atan itu berlangsung di Madinah, tidak jauh
dari kamar-kamar suci di mana Rasulullah saw wafat. Ini
berarti tidak sulit bagi 'Ali untuk menyampaikan hujjahnya
di kedua tempat pembai'atan itu lantaran dekatnya letaknya
dari tempatnya sibuk.
Andaikata dikatakan bahwa 'Ali tidak mungkin menyampaikan
hujjah itu karena terlalu sibuk, maka menurut ketentuan
syari'at ia wajib menyampaikan wasiat yang diterimanya itu
kepada para sahabat. Jika ia tidak bisa menyampaikannya
sendiri, ia boleh meminta bantuan orang lain dari Bani
Hasyim. Akan tetapi 'Ali tidak melakukannya. Dan ia diam
justru pada waktu ia harus berbicara tentang wasiat itu. Ini
membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada wasiat tentang
khilafah, baik untuk 'Ali maupun untuk sahabat-sahabat yang
lain.
2. 'Ali tidak menyampaikan hujjahnya karena lebih
mementingkan kemaslahatan umum. Alasan ini juga tidak dapat
diterima. Sebab jika begitu maka al-Musawi harus mengecam
Abu Bakar dan 'Umar, sebab mereka berdua mempunyai
pertimbangan seperti pertimbangan 'Ali itu. Coba anda
perhatikan kembali pernyataan al-Musawi dalam peristiwa yang
ia sebut sebagai Tragedi Hari Kamis, Sariyah Usamah dan
perintah membunuh orang. Al-Musawi tidak dapat menerima
alasan para sahabat dalam semua peristiwa itu. Ia tetap
memandang mereka, tidak tunduk pada perintah-perintah Nabi
yang berkaitan dengan persoalan politik dan kekuasaan,
dengan dalih mementingkan kemaslahatan ummat.
'Ali tidak mengamalkan nash wasiat dan tidak
mengemukakannya di waktu yang diperlukan, juga lantaran
mendahulukan kemaslahatan ummat. Jika demikian, mengapa
al-Musawi tidak mengecam 'Ali sebagaimana ia mengecam. Abu
Bakar dan 'Umar?
3. Dalam tanggapan kami atas Dialog 79 dan 80,
kami telah mengutip pendapat para ahli hadits dan peneliti
yang menyatakan bahwa 'Ali ibn Thalib telah membai'at Abu
Bakar dengan tunduk dan taat dan atas kehendak sendiri. Kami
juga telah mengutip pernyataan mereka tentang dialog yang
terjadi antara Abu Bakar dan 'Ali serta alasan keterlambatan
'Ali dalam berbai'at serta pengakuannya akan keutamaan Abu
Bakar dan haknya dalam khilafah.
Bahwa 'Ali melakukan bai'at karena dipaksa, hal itu tidak
ditemukan di dalam kitab-kitab yang muktabar menurut para
ahli.
4. Mengenai alasan yang dikemukakan al-Musawi,
bahwa 'Ali tidak mengajukan hujjah karena para penguasa
telah menetapkan apa yang di zaman kita sekarang ini disebut
Undang-undang Darurat, dan melarang orang berbicara dan
mengemukakan pendapat mereka atau nash-nash dari Nabi, ini
adalah dusta dan bohong semata. Alasan ini didasarkan pada
analogi masa lampau dengan masa kini, lain tidak. Sepertinya
al-Musawi berkata: "kiaskanlah masa lampau dengan masa kini,
sebab manusia tetaplah manusia dan zaman tetaplah zaman.
Analogi seperti ini tidak dapat diterima, baik ditinjau dari
segi akal maupun syara'. Ia bertentangan dengan akal dan
pemikiran yang logis, juga bertolak-belakang dengan akal dan
pemikiran yang logis, juga bertolak-belakang dengan hadits
sahih "Tiada hari yang datang kecuali hari setelahnya akan
lebih buruk dari sebelumnya". Adakah dalam hadits ini, Nabi
menyamakan antara hari-hari dan zaman? Dan adakah Nabi
menyamakan para sahabat yang Ahlu-Badri dengan yang lainnya?
Apakah Nabi menyamakan semua kurun ketika beliau bersabda
"Sebaik-baik kurun (angkatan, generasi) adalah kurunku,
kemudian kurun generasi berikutnya, kemudian kurun generasi
berikutnya lagi."
Dan dalam Dialog 102, al-Musawi kembali berkontradiksi
dengan dirinya sendiri ketika ia memandang 'Ali dan
Ahlul-Bait telah menyebarluaskan nash-nash tentang khilafah
di kalangan para sahabat dan tabi'in. Mereka mengemukakan
nash-nash itu sebagai hujjah mereka, dengan bahasa yang
halus dan bijaksana. Padahal sebelumnya al-Musawi telah
mengakui bahwa 'Ali dan Ahlul-Bait tidak mengajukan hujjah
dan ia telah mengemukakan alasan-alasannya. Ini merupakan
kontradiksi yang memalukan, yang ditertawakan oleh
orang-orang bodoh, apalagi orang yang berilmu.
Dalam dialog-dialog yang bernomor genap (104, 106, 108)
tampaknya al-Musawi telah kehabisan panah beracun yang
sebelumnya terus-menerus ditembakkannya pada para pendukung
dan pengemban risalah kenabian dan tiang-tiangnya, yaitu Abu
Bakar dan 'Umar. Maka mulailah al-Musawi mengeluarkan
kata-kata dustanya, dengan mengemukakan bagian-bagian pidato
yang dinisbatkannya kepada 'Ali, Fathimah al-Zahra', Ibn
'Abbas, dan Hasan dan Husain dalam kitab Nahjul Balaghah,
sebuah kitab yang tidak asing lagi.
Al-Musawi juga mengemukakan kembali hadits-hadits yang
sudah dijadikannya hujjah sebelumnya, dan yang juga sudah
kami tanggapi. Ia mengemukakan kembali hadits walimah yang
diselenggarakan Nabi di rumah pamannya ketika turun ayat:
"Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang dekat" (QS,
asy-Syu'ara', 26:214) yang telah kami tanggapi dalam
tanggapan terhadap Dialog 20. Ia juga mengemukakan lagi
hadits Ghadir Khumm "Tidakkah aku lebih utama bagi orang
mu'min daripada diri mereka sendiri?" Kami telah menanggapi
hadits ini dalam tanggapan kami atas Dialog 23, 24, dan
56.
Dalam Dialog 108, al-Musawi kembali berhujjah tentang
wasiat dengan berdalil pada khotbah Syaqsyqiyyah yang
disandarkan secara dusta kepada 'Ali ibn Abi Thalib dalam
kitab Nahjul Balaghah.
Isi pidato yang dinisbatkan kepada 'Ali ini bertentangan
dengan pidato 'Ali ketika ia dilantik sebagai khalifah.
Ath-Thabari di dalam kitabnya (jilid 6, hal. 157 dan jilid
1, hal. 3077) mengutip sebagian pidato 'Ali tersebut,
sebagai berikut: "Hai Manusia sekalian, ini adalah urusan
kalian. Tak seorang pun yang mempunyai hak didalamnya,
kecuali orang yang kalian angkat sebagai pemimpin kalian.
Kemarin kita berselisih paham dalam hal ini (yakni
pembai'atan kepada 'Ali). Maka jika kalian kehendaki, aku
akan menjadi pemimpin kalian. Tetapi jika tidak kalian
kehendaki, aku tidak akan marah kepada siapa pun juga".
Dengan pidatonya ini, 'Ali hendak menyatakan bahwa ia tidak
meminta dukungan bagi khilafahnya dengan sesuatu yang telah
lalu (wasiat), tetapi ia mengharapkan khilafah itu dari
bai'at ummat yang mereka lakukan dengan suka-rela.
Kami telah menolak kesahihan wasiat khilafah ini dalam
tanggapan kami atas Dialog 20. Harap diperiksa kembali.
Mengenai pidato Hasan ibn Ali ketika ayahnya meninggal
dunia, yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak,
itu sama sekali tidak sahih sebagaimana dinyatakan oleh
adz-Dzahabi dalam Talkhishnya, jilid 3 hal. 172. Demikian
pula tidak sahih riwayat yang dikemukakan al-Musawi dari
Ja'far ash-Shadiq bahwa 'Ali bersama Rasulullah saw sebelum
beliau menerima risalah, pernah melihat sinar dan mendengar
suara gaib. Demikian juga hadits "Seandainya aku bukan akhir
dari para nabi, tentu engkau berserikat denganku dalam hal
kenabian. Maka jika engkau tidak mungkin menjadi nabi, maka
jadilah washiy nabi." Semua perkataan di atas tidak ada
dasarnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang dikenal.
Juga tidak memiliki sanad yang dikenal pula.
Tentang hadits Buraidah, kami sudah menyanggahnya dalam
tanggapan atas Dialog 68. Silahkan
periksa kembali.
Adapun perkataan al-Musawi: "Barangsiapa meneliti dengan
cermat ihwal orang-orang salaf, pasti ia akan mengetahui
bahwa mereka menggunakan kata washiy untuk 'Ali ibn Abi
Thalib, sebagaimana lazimnya mereka menyebut nama
seseorang." Pernyataan ini dusta. Sebab pemberian gelar
washiy kepada 'Ali itu baru dikenal pada akhir masa
pemerintahan 'Utsman ibn Affan pada tahun 30 H. Sebelumnya,
tidak ada seorang pun yang mengenal istilah itu. Adapun
orang pertama yang memperkenalkannya adalah 'Abdullah ibn
Saba'.
Dalam uraian tentang biografi 'Abduilah ibn Saba' dalam
kitabnya Tanqihul Maqal fi Ahwal al-Rijal, jilid 2 hal. 184
--yang merupakan kitab kaum Rafidhah yang paling luas dan
paling penting di bidang jarh dan ta'dil-- al-Mamqani
mengutip perkataan al-Kasyi, salah seorang pemuka Rafidhah
sebagai berikut: "Para ahli menyebutkan bahwa 'Abdullah ibn
Saba' adalah seorang Yahudi yang kemudian memeluk Islam dan
mendukung 'Ali ibn Abi Thalib. Ia mengatakan ketika ia
beragama Yahudi bahwa Yusya' ibn Nuh adalah washiy Musa. Dan
ketika ia masuk Islam --setelah wafat Nabi-- ia menyatakan
hal serupa mengenai 'Ali ibn Abi Thalib. Ini berarti dakwaan
bahwa 'Ali adalah washiy Nabi merupakan ciptaan orang Yahudi
yang muncul setelah wafat Nabi. 'Abdullah ibn Saba' adalah
orang pertama yang mempopulerkan pendapat mengenai keimaman
'Ali dan menyatakan berlepas tangan dari musuh-musuhnya,
menunjukkan siapa orang-orang yang menentang 'Ali dan
mengkafirkan mereka. Karena itu orang-orang yang menentang
paham Syi'ah berkata: "Sesungguhnya dasar-dasar kepercayaan
Syi'ah dan Rafadh diambil (berasal) dari orang Yahudi".
(Lihat Mukhtashar al-Tuhfah al-Itsna Asy'ariyah, hal.
299).
|