3. RIWAYAT RAFIDHAH DAN HUKUMNYA
Saya telah menjelaskan makna rafadh dan tasyayyu'. Di
situ, perbedaan antara paham Rafidhah dan Syi'ah ditegaskan.
Sebelum saya berbicara mengenai riwayat kaum Rafidhah, saya
hendak memberi penjelasan selintas tentang aqidah ajaran
kaum Rafidhah dan dasar-dasar pemikiran mereka. Sebab, ini
erat kaitannya dengan topik yang sedang kita bicarakan.
Dengan demikian, selanjutnya menjadi mudah bagi kita untuk
menetapkan hukum terhadap riwayat kaum Rafidhah. Disamping
itu, menjadi jelas pula sebab ('illat) hukumnya, terutama
bagi mereka yang suka berdebat, menuruti hawa nafsu, dan
bagi Muslim yang awam. Berikut ini ringkasan kepercayaan
mereka, menurut yang terserak di berbagai kitab mereka.
1. Kepercayaan tentang bada'
Kaum Rafidhah meyakini, Allah mengalami bada' (bukan
bid'ah) - Mahasuci Allah dari pemusyrikan semacam itu. Bad'
adalah pengetahuan Tuhan tentang sesuatu yang sebelumnya
tidak Dia mengerti. Ini menyebabkan Tuhan harus mengubah
kepastian atau takdirnya. Menurut, kepercayaan ini, berarti
Allah pernah bersifat bodoh, lupa dan alpa. Maha suci Allah
dari perkataan mereka yang angkuh dan takabur itu.
Allamah al-Hujjah as-Sayyid Ibrahim al-Musawi
al-Zanjam1
berkata: "Para Nabi dan tokoh agama telah bersepakat
membenarkan adanya bada` atas diri Allah. "Dalam kitab
al-Kafi dinukil pernyataan dari as-Shadiq berikut ini: Tidak
ada sesuatu yang menjadikan Allah lebih agung selain bada`.
Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang Nabi, kecuali dia
seorang yang kebingungan. Dan Allah tidak mengutus seorang
Nabi, kecuali Dia berkata kepadanya tentang bad'. Allah
tidak menjadikan seseorang sebagai Nabi, kecuali ia mengakui
lima hal pada diri Allah, satu di antaranya adalah bad'.
Selain itu, ada beberapa pernyataan serupa. Misalnya,
kepada sebagian kaum Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa
bada` adalah salah satu sifat Allah yang sempurna, bukan
sifat yang menunjukkan kekurangan.
Berkata pengarang Mukhtar
as-Shihah2 (dalam
menjelaskan kata bada`, dengan contoh): Badaa lahu fi hadzal
amri badaa`an, artinya: Muncul baginya dalam masalah ini
suatu pendapat. Orang yang bersangkutan disebut Dzu badawaat
(yang mempunyai pikiran-pikiran/pendapat-pendapat baru).
2. Al-Qur'an Tidak Otentik
Untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai kepercayaan
seperti itu, kita bisa melihat dan membaca dalam buku-buku
mereka, seperti Fashl al-Khithab fi Itsbati Tahrifi Kitab
al-Arbab, karya an-Nuri. Beliau seorang pemuka Rafidhah.
Menurut para pengikutnya, an-Nuri adalah pemikir Syi'ah
paling terkemuka, dan tokoh pada masanya. Buku an-Nuri
dicetak pada tahun 1298H.
An-Nuri menyatakan bahwa al Qur'an telah berubah dari
aslinya, tidak lagi otentik. Ini terjadi karena ulah Abu
Bakar dan 'Umar. Menurut an-Nuri, al-Qur'an yang otentik
adalah yang dikumpulkan dan dicatat oleh Fathimah. Tebalnya
tiga kali lebih dari yang sekarang.
Kecuali itu, sebagian kaum Rafidhah ada yang mengubah
sendiri kata-kata al Qur'an dari tempat dan makna yang
sesungguhnya. Sebabnya, mereka mempunyai tradisi
mentakwilkan al-Qur'an sesuai keyakinan dan pemikiran mereka
yang berbeda dari ulama salaf --sahabat, tabi'in maupun
pemuka Islam lainnya-- dari segi permikiran atau
interpretasi. Mereka menafsirkan al-Qur'an sekehendak hati.
Bukanlah bidang kita untuk membicarakan soal ini. Dalam buku
Dialog Sunnah-Syi'ah3
telah dikemukakan risalah tafsir seperti ini. Lihat Dialog
Sunnah-Syi'ah nomor 12.
3. Sunnah Menurut Kaum
Rafidhah
Bagi mereka, sunnah bukanlah seperti yang dimiliki orang
Sunni. Sunnah, menurut pengertian mereka, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Para imam yang ma'shum (suci dari dosa).
Mereka berjumlah dua belas. Adapun hadits yang diriwayatkan
oleh selain imam, maka itu tidak dipandang sebagai hadits,
walaupun sanadnya sahih dan muttashil (bersambung kepada
Nabi).
Dr. Mustafa as-Siba'i4
menyatakan, kaum Rafldhah mempunyai ketentuan dasar bahwa
orang yang tidak mengangkat 'Ali sebagai pemimpin, berarti
ia telah menodai pesan Nabi. la telah menentang imam yang
benar. Dengan begitu, ia tidak bisa dipandang adil dan
terpercaya.
Dalam menerima atau meneliti hadits, mereka tidak
menggunakan metoda ilmiah, misalnya meneliti sanad (silsilah
hadits) dan matan (teks hadits), seperti yang dilakukan oleh
ulama Sunni, untuk mengetahui mana hadits yang sahih dan
yang lemah (dha'if). Mereka tidak menggunakan metoda itu.
Mereka hanya berpegang kepada riwayat imam, seperti telah
disebutkan tadi. Ketersucian sang imam dari dosa sudah cukup
bagi mereka sebagai kriteria kesahihan sebuah hadits.
Padahal, hadits-hadits yang diriwayatkan melalui sanad
keluarga Nabi atau Ahlul Bayt sangatlah sedikit jumlahnya.
Itulah sebabnya mengapa mereka meluputkan sejumlah hadits
yang cukup besar.
Mereka beranggapan, hadits tidak datang kecuali melalui
sanad Ahlul Bayt. Lalu, syarat 'ishmah (keterbebasan dari
dosa) mereka kenakan kepada para perawi. Karena itu, hadits
Nabi menjadi terlalu sempit untuk dapat menerangkan berbagai
aspek Islam seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah.
juga, anggapan tersebut tidak mampu menjabarkan bagian
ajaran Islam yang disampaikan Nabi tanpa penjelasan.
Kenyataan di atas menyebabkan kaum Rafidhah harus terus
berbohong dimana mereka bersandar kepada imam-imam mereka.
Dari sini mereka meneruskan kebohongan mereka itu kepada
Nabi, atau mencukupkan hingga kepada 'Ali dan Fatimah, atau
kepada salah seorang dari keturunan mereka.
Mereka melakukan perbuatan tidak mulia itu walaupun harus
berlawanan dengan hadits Nabi, namun sejalan dengan riwayat
salah seorang sahabat yang mereka pandang kafir, seperti
akan dijelaskan kemudian.
Dr. 'Abdullah Fayadh, dosen Sejarah Islam di Universitas
Baghdad, di dalam bukunya Tarikh al-Imamiyah yang diberi
kata pengantar oleh Sayyid Muhammad Baqir,
menulis:5
"Sesungguhnya kepercayaan bahwa imam-imam itu ma'shum (bebas
dosa) menyebabkan semua hadits yang keluar dari mereka sahih
dengan sendirinya, tanpa melihat apakah riwayat itu berasal
dari Nabi (muttashil) ataukah tidak, sebagaimana dilakukan
oleh perawi Sunni".6
4. Memaki Sahabat Nabi
Kaum Rafidhah selalu mengecam para sahabat, karena mereka
dipandang melawan nash yang menetapkan kepemimpinan 'Ali ibn
Abi Thalib. Bahkan kaum Rafidhah telah mengkafirkan para
sahabat karena mereka dipandang tidak membai'at kepada 'Ali,
para sahabat dianggap telah bersalah, kecuali sekelompok
kecil dari mereka, yaitu sekitar 10 orang, di antaranya
termasuk para sahabat yang ditetapkan akan masuk sorga dan
sahabat yang melakukan Bay'at ar-Ridhwan, yaitu orang-orang
yang dinyatakan oleh Allah dalam ayat: "Sesungguhnya Allah
telah rela terhadap orang-orang mukmin ketika mereka
berjanji setia kepadamu di bawah pohon (QS, al-Fath,
48:18)." Di dalam hadits disebutkan: Tidak akan masuk neraka
orang-orang yang berbai'at di bawah pohon (riwayat
Muslim).
Di antara sahabat terkemuka yang mereka kecam adalah Abu
Bakar dan 'Umar. Mereka diberi gelar sebagai berhala
Quraisy, yang bernama al-Jibt dan Thaghut. Kecaman mereka
terhadap Abu Bakar dan 'Umar, serta terhadap para Ibunda
Kaum Beriman, yaitu 'A'isyah dan Hafshah, merupakan sebagian
dari ibadah dan rukun shalat mereka.
Padahal Allah sendiri memuji para sahabat yang terdahulu
(as-sabiqun al-awwalun), baik sahabat Muhajir maupun Anshar.
Allah berfirman: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah
(QS, at-Taubah, 9:110)." Ayat yang lain berbunyi: "Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar), berdoa: Ya Tuhan kami, beri ampun kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman (QS, al-Hasyr,
59:10)."
Adapun kaum Rafidhah, mereka itu tidak memintakan ampun
untuk mereka. Sebaliknya, mereka justru membenci. Padahal,
mereka diperintahkan untuk memintakan ampun untuk
sahabat-sahabat Nabi. Rasulullah saw sendiri bersabda:
"Janganlah kamu memaki sahabat-sahabatku. Seandainya kamu
bersedekah emas sebesar gunung Uhud, itu belum senilai
sedekah mereka, walaupun hanya satu mudd atau separuhnya."
(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
5. Tentang Kema'shuman Para Imam
Kaum Rafidhah mempercayai, para imam itu bebas dosa, atau
ma'shum. Mereka berjumlah 12 orang. Sembilan di antaranya
berasal dari keluarga Nabi (Ahlul Bayt). Imam yang kedua
belas kini sedang menghilang (gaib). la bernama Muhammad ibn
Hasan al-Askari. Imam yang pertama adalah 'Ali ibn Abi
Thalib. Semua imam ini diyakini bebas dosa, seperti para
nabi. Bahkan menurut kaum Rafidhah, kema'shuman imam itu
jauh lebih luas daripada para nabi.
Sayyid Ibrahim al-Musawi al-Zanjani berkata: "Kami yakin
bahwa seorang imam itu seperti nabi. la ma'shum (terjaga)
dari segala perbuatan yang hina dan keji, baik lahir maupun
batin, dari kecil sampai meninggal, sengaja atau karena
lalai. la juga ma'shum dari lupa dan salah atau keliru.
Sebab, para imam itu pemelihara syari'at dan penguat agama.
Di sini posisi mereka sama dengan posisi Nabi. Adanya dalil
yang menyebabkan kita yakin akan kema'shuman para nabi, maka
dalil itu pula yang menyebabkan kita harus meyakini
kema'shuman para imam tanpa ada perbedaan sedikit
pun."7
Bahkan, Ayatullah Khumaini memandang martabat para imam
itu lebih tinggi dari para malaikat dan para nabi. Tentang
ini ia berkata: "Salah satu pengetahuan yang kita maklumi
adalah bahwa imam-imam kita mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi daripada malaikat dan Rasul."8
Khumaini juga menegaskan, ajaran imam itu seperti ajaran
al-Qur'an, mutlak dan universal, tidak untuk suku bangsa
tertentu, tetapi untuk semua orang sepanjang masa sampai
akhir zaman. Ajaran itu, demikian Khumaini, harus
direalisasikan dan diikuti tanpa
reserve.9
Sementara sang imam sedang tiada (gaib), maka wakilnya
(naib al-imam), memiliki sifat 'ishmah seperti para imam.
Dalam buku 'Aqa'id al-Imamiyyah, Muhammad Ridha
al-Muzhaffar, tokoh aliran Rafidhah, berkata: "Menurut
aqidah kita, mujtahid adalah pengganti imam selama ia belum
hadir. la memiliki kewenangan yang dimiliki sang imam.
Menolaknya sama dengan menolak imam, dan itu sama saja
dengan menolak Allah.10
6. Tentang Malaikat
Kaum Rafidhah sangat membenci malaikat Jibril. Karena,
menurut keyakinan mereka, Jibril telah melakukan kesalahan
dalam menyampaikan wahyu. Seharusnya ia menurunkannya kepada
'Ali, namun ia memberikannya kepada Muhammad saw. Di sini
kepercayaan mereka sama dengan kepercayaan Yahudi. Mereka
membenci para malaikat. Orang Yahudi menganggap Jibril
sebagai musuh mereka.
7. Paham Raj'ah
Kaum Rafidhah meyakini Muhammad ibn Hasan al-Askari,
sebagai imam terakhir yang sedang ditunggu kehadirannya. Ia
bergelar al-Imam al-Mahdi al-Gha`ib al-Muntazhar. Menurut
mereka, dia hidup, tidak mati. Sementara ini, sang imam
bersembunyi di tempat persembunyiannya. la akan muncul di
akhir zaman ketika dunia sudah sarat dengan kezaliman dan
ketidakadilan. Dengan kehadirannya, dunia akan damai, adil,
dan sejahtera.
Mereka juga meyakini kebangkitan sekelompok pendukung
imam di saat kehadirannya. Mereka bangkit dari pusara, untuk
membantu dan menolong Imam Mahdi sekaligus menyaksikan
kekuasaannya, supaya mendapat kebahagiaan. Kaum Rafidhah
juga meyakini kebangkitan sekelompok musuh Imam Mahdi.
Mereka bangkit dari kubur untuk mendapat hukuman di bawah
pemerintah Imam Mahdi. Raj'ah ini hanya berlaku untuk
imam-imam kaum Rafidhah saja.
Sayyid Ibrahim al-Musawi az-Zanjani
menyatakan11
raj'ah adalah kekhususan para imam. Sementara ash-Shadiq
berkata, "Kepercayaan kita tentang raj'ah adalah benar."
Menurut dia, raj'ah itu suatu ungkapan yang dipakai untuk
menyatakan pengumpulan sekelompok orang pendukung imam yang
sudah meninggal setelah munculnya al-Mahdi. Mereka
dibangkitkan dari kubur, supaya memperoleh keuntungan dengan
membantu dan menolong perjuangan Imam, dan sekaligus untuk
menyaksikan kejayaan kekuasaan Imam. Selain mereka,
dibangkitkan pula sekelompok musuh imam, supaya mereka
mendapat siksa dan kematian. Raj'ah ini, menurut kepercayaan
Syi'ah Dua belas Imam, khusus bagi mereka yang benar-benar
beriman atau yang benar-benar kufur. Adapun selain mereka,
tidak dipersoalkannya.
8. Taqiyyah
Taqiyyah berarti sikap berdusta dan berpura-pura
(al-kidzb wan-nifaq). Untuk itu, mereka mengubah makna
sesungguhnya dari firman Allah yang berikut ini, "...kecuali
(bersiasat) untuk memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka." (QS, Ali 'Imran, 3:28).
Kaum Rafidhah memandang wajib melakukan taqiyyah, bila
mereka berhadapan dengan orang luar yang tidak mengikuti
madzhab Rafidhah, yang disebut al-'ammah dan an-nawashib.
Kaum Rafidhah telah berdusta tentang Ja'far ash-Shadiq.
Mereka menyebutnya berkata: "Taqiyyah itu (ajaran) agamaku
dan agama leluhurku. Siapa menolaknya, berarti telah
kafir."
Padahal, Allah menyatakan Ahlul Bayt itu tidak memerlukan
taqiyyah. Mereka jujur dan memiliki kualitas iman yang
tinggi, bertakwa kepada Allah. Sebagai konsekuensi logis
dari kepercayaan akan taqiyah, maka kaum Rafidhah
memperbolehkan berdusta. Ajaran taqiyyah itu lambang
kedustaan, sehingga ada perkataan bahwa kaum Rafidhah adalah
orang yang paling pendusta.
Muhibuddin al-Khathib, didalam komentarnya terhadap buku
Minhaj al-I'tidal,12
berkata bahwa al-Harizh ibn 'Asakir bercerita dalam Tarikh
Damsyiq (Sejarah Damaskus, jilid 4, halaman 165), tentang
Hasan al-Mutsanna ibn Hasan as-Sibth ibn 'Ali ibn Abi
Thalib. Hasan pernah berkata kepada seorang Rafidhah, "Demi
Allah; jika Tuhan memberiku kemampuan, akan kupotong kaki
dan tangan kalian, tanpa ampun." Ketika ditanya mengapa,
Hasan menjawab, "Aku lebih tahu tentang mereka daripada
kamu. Sungguh, mereka itu jujur jika mau, dan berdusta bila
suka. Mereka mengira itu paham taqiyyah yang benar. Celaka!
Sebab, taqiyyah itu pintu darurat bagi seorang Muslim yang
terpaksa dan diperlakukan tidak adil oleh seorang raja
lalim. Taqiyyah bukan keutamaan. Sebab, yang utama adalah
melakukan semua perintah Allah dan berkata benar. Demi
Tuhan, taqiyyah bukan untuk menyesatkan hamba Allah."
Ibn Taymiyah berkata: "Para ahli riwayat dan isnad
bersepakat menganggap kaum Rafidhah kelompok paling
pendusta. Kedustaan mereka dikenal orang sejak dahulu. Dan
para tokoh Islam mengenal mereka dari kedustaan
itu.13
Dari uraian tentang kepercayaan pokok kaum Rafidhah
tersebut di atas kita mengenal mereka dan konsekuensi
hukumnya. Kita lantas bisa menempatkan mereka dalam kelompok
pembid'ah kafir atau pembid'ah tidak kafir. Sebelum itu,
saya akan mengajukan beberapa pertanyaan di bawah ini.
Dapatkah disebut Muslim, seorang yang menisbatkan
kebodohan kepada Allah dengan menganggap-Nya bersifat
bada`.
Dapatkah disebut Muslim orang yang menyandarkan sifat
keliru kepada Allah? Menurut mereka, Dia bersalah memilih
malaikat Jibril, penyampai wahyu; Jibril menurunkan wahyu
kepada Muhammad, padahal seharusnya kepada 'Ali. Dapatkah
disebut Muslim orang menyatakan bahwa Jibril durhaka kepada
Allah karena menyalahi perintah Allah: menurunkan wahyu
kepada Muhammad bukannya'Ali ibn Abi Thalib?
Dapatkah disebut Muslim orang yang meyakini bahwa
al-Qur'an tidak otentik, mengalami perubahan? Dapatkah
disebut Muslim orang yang tidak mengikuti sunnah Nabi,
tetapi menuruti pikiran tokoh lain? Dapatkah disebut Muslim,
orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, mengkafirkan
mereka yang dinyatakan oleh al Qur'an dan hadits sebagai
yang beriman? Dapatkah disebut Muslim, orang yang mendekati
Allah, tetapi memaki-maki Abu Bakar, 'Utsman dan para
sahabat lainnya?
Jawaban semua pertanyaan itu, hanya satu, yang pasti
merupakan kesepakatan ummat Islam, yaitu: Siapa meyakini dan
menyatakan kedelapan hal di atas, maka dia bukan Muslim. Dan
keyakinan kaum Rafidhah menjawab semua pertanyaan di atas.
Dengan demikian, kaum Rafidhah tergolong pembid'ah yang
menjadi kafir karena bid'ahnya. Para ulama telah bersepakat
menolak riwayat pembid'ah yang kafir lantaran berbid'ah.
Kepada mereka yang membantah kesimpulan tersebut di atas,
saya ingin mengajukan pertanyaan lain: Apakah kaum Rafidhah
mempromosikan madzhab dan bid'ahnya? Apakah mereka
memperbolehkan dusta untuk menguatkan madzhab dan
pendapatnya? Jawabannya, kaum Rafidhah ternyata selalu
mempromosikan bid'ahnya, dan memperbolehkan dusta untuk
menguatkan pendapatnya. Saya tak perlu menunjukkan buku-buku
dan karya-karya mereka yang banyak jumlahnya, sebagai alat
promosi ajaran mereka yang penuh kepalsuan. Menurut mereka,
taqiyyah atau berdusta adalah kewajiban yang paling wajib,
bahkan merupakan salah satu dasar ajaran mereka. Dialog
Sunnah-Syi'ah adalah satu dari sejumlah buku yang banyak
itu.
Jika keterangan di atas kita terima, maka seperti kami
jelaskan sebelumnya, para tokoh agama menolak riwayat
pembid'ah yang tidak kafir walau ia mempromosikan ajarannya
atau memperbolehkan dusta untuk menguatkan pendapat dan
madzhabnya. Bagaimanakah pendapat anda, jika kedua kriteria
itu sekaligus terdapat pada kaum Rafidhah, baik mereka
dipandang kafir atau tidak. Mereka mempromosikan ajaran dan
memperbolehkan dusta.
Catatan Kaki:
1 Aqa'id al-lmamiyah
al-Itsna 'Asyariah, juz 1, hal. 34.
2 Mukhtar ash-Shihah, sv,
b-d-'
3 Syarafuddin al-Musawi,
Dialog Sunnah-Syi'ah Mizan, Bandung, 1983, hal. 59.
4 As-Sunnah wa Makanatuha
fi at-Tasyri' al-Islami, hal. 131.
5 Dr. 'Abdullah Fayadh,
Tarikh al-Imamiyah, hal.. 158.
6 Ulama-ulama Sunni
mensyaratkan: perawi harus adil, kuat ingatan, itqan
(sempurna), sanadnya bersambung, bebas dari syadz dan 'illat
yang mencemarinya.
7 Aqa'id al-Imamiyah
al-Itsna Asyariyah, jus 3, hal.179.
8 Al-Hukumah
al-Islamiyah, hal. 52.
9 Idem, hal. 113.
10 Dikutip dari Dr.
'Abdullah Muhammad al-Gharib, Wija' Daur al-Majus.
11 Aqa'id al-Imamiah
al-Itsna Asyariah, juz 2, hal 228.
12 Minhaj al-I'tidal,
hal. 23.
13 Minhaj as-Sunnah,
juz 1, hal. 13.
|