|
6. BUKHARI DAN MUSLIM MENGUTIP HADITS DARI
PERAWI SYI'AH
Ulama hadits Bukhari dan Muslim telah membuat kriteria
dan persyaratan penerimaan riwayat yang ketat. Persyaratan
itu dikenal di kalangan ulama hadits, seperti tersebut dalam
kitab-kitab musthalah al-hadits. Bahkan, kriteria buatan
Bukhari dan Muslim diakui canggih oleh semua ulama. Itu
sebabnya hadits riwayat kedua ulama tersebut dipandang
sahih. Para ulama pun menyebut kitab karya Bukhari-Muslim
dengan Shahihayn (Dua Kitab Hadits Sahih).
Ilmu musthalah al-hadits dan ilmu al jarh wat-ta'dil, dua
metoda ilmiah dalam periwayatan hadits yang baku, merupakan
jasa dan sumbangan terbesar Bukhari dan Muslim dalam bidang
ilmu-ilmu agama. Metoda tersebut menerangkan keadaan perawi
hadits, dengan istilah "kuat" (tsiqat) dan "lemah" (dha'if)
periwayatannya. Dengan itu kita dapat mendeteksi para
pendusta, yang membuat hadits palsu.
Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum
Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat
diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula
ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits
(isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah,
para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika
diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya
diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup
orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka
ditolak.
Metoda tersebut tidak dimiliki oleh kaum Rafidhah. Bahkan
mereka menolaknya, sebab metoda periwayatan Sunni itu
menghukum mereka sebagai pendusta yang membuat hadits-hadits
palsu, seperti diakui oleh ibn Abil Hadid. Karena itu, kaum
Rafidhah menetapkan tiga kriteria penerimaan riwayat,
seperti dijelaskan ibn Taymiyah berikut ini:
- Perawi hadits Rafidhah harus ma'shum. Maksudnya,
harus imam yang ma'shum.
- Perawi hadits tidak perlu menyebutkan sanad atau
silsilah periwayatan. Tetapi ia cukup berkata,
"Rasulullah bersabda," tanpa menyebutkan sanad atau dari
siapa dan dari siapa.
- Kesepakatan turun-temurun dari para Imam yang Dua
belas. Menurut kaum Rafidhah, apa saja yang diriwayatkan
oleh salah seorang dari imam yang Dua belas, bukan
keseluruhan mereka, itu sudah merupakan kesepakatan
mereka semua. Alasannya, seorang imam adalah ma'shum,
terbebas dari kesalahan.
Ketiga kriteria tersebut dipandang tidak sahih oleh ulama
Sunni. Berikut ini ringkasan kriteria penerimaan riwayat
hadits menurut ulama Sunni, dengan perbedaan yang jelas.
- Perawi hadits Sunni harus bersifat adil, tsiqat,
mempunyai daya-ingat yang kuat, dan tidak bersifat fasiq
atau amoral. Perawi itu pun mesti mempunyai daya hafal
yang cerdas, berjiwa sehat, tidak pelupa, serta bersifat
, jujur, tidak mencampur hadits dengan yang bukan
hadits.
- Sanad atau silsilah perawi hadits harus bersambungan,
tidak terputus-putus antara satu perawi dengan yang lain,
di samping bahwa semuanya harus memenuhi kriteria
tersebut di Butir 1.
- Setiap hadits tidak boleh tercela (syadz dan 'illat).
Penjelasan terinci tentang soal ini bisa dibaca dalam
kitab-kitab mushthalah al-hadits.
Ketiga kriteria tersebut berbeda dari kriteria kaum
Rafidhah. Kaum Rafidhah, bila diteliti, ternyata hanya
menetapkan satu kriteria, yaitu 'Ishmah (bebas dari dosa),
tanpa syarat lain. Dan itu berlaku bagi para imam. Adapun
persyaratan ilmiah yang ditetapkan para ulama Sunni, mereka
tetapkan pada perawi maupun objek periwayatan, sehingga
riwayatnya benar-benar sahih dan dapat diterima.
Anehnya, ternyata pencipta kriteria Sunni tersebut, yaitu
Bukhari dan Muslim, justru menerima pula riwayat dari
sebagian orang Syi'ah. Kenapa? Untuk menjawab pertanyaan
ini, kita perlu memperhatikan keterangan berikut.
Bukhari dan Muslim tidak pernah meninggalkan kriteria
tersebut dalam mempertimbangkan penerimaan setiap hadits
yang mereka riwayatkan di dalam kitab sahih. Itu sebabnya
mereka menerima hadits dari semua perawi yang adil dan kuat
ingatannya. Betapa tidak, bukankah semua ulama telah
bersepakat menyebut karya mereka dengan ash-Shahihayn?
Namun, perlu diketahui bahwa hadits-hadits sahih itu
terbagi dua. Pertama, hadits yang dianggap sahih karena
dirinya sendiri (yakni tanpa harus didukung oleh hadits
lain). Kriteria ini berkaitan dengan latar belakang dan
biografi perawi. Untuk yang ini, Imam Bukhari telah
merumuskannya. Perawi-perawi pada hadits jenis pertama ini
adalah orang-orang yang tidak diragukan keadilan dan
kekuatan daya ingat mereka. Mereka tidak bercacat sedikit
pun.
Kedua, hadits yang sahih karena didukung oleh hadits
lain. Perawi hadits seperti ini tidak diragukan
kejujurannya, walaupun tingkat kecerdasan dan daya hafalnya
beragam. Sebagian dari mereka ada yang mengalami cela.
Tetapi di antara mereka tidak terdapat seorang pun yang
tukang bid'ah, yang menjadi kafir lantaran bid'ahnya,
seperti orang Rafidhah, yang moderat atau yang ekstrim.
Tentu saja, sebagian dari mereka ada yang diduga penganut
Syi'ah. Diduga, karena ia tidak menonjolkan ajaran
Syi'ahnya, dan tidak menghalalkan dusta untuk menguatkan
pendapat dan madzhabnya. la justru bersifat takwa, jujur,
dan memelihara diri dari dusta. Karena itu, riwayat perawi
seperti ini tentu saja bisa diterima. Ini demi mendapatkan
hadits, menyebarkan sunnah, dan memberantas bid'ah.
Ibn Hajar mengaku tidak menemukan perawi bid'ah yang
kafir dalam kitab Shahih Bukhari,1
"Tak satu pun hadits dalam Shahih Bukhari yang berasal dari
perawi bid'ah." Kemudian ibn Hajar
menjelaskan2
tentang perawi bid'ah yang tidak dipandang kafir lantaran
bid'ahnya, dengan mengutip pendapat Abul Fath al-Qusyayri,
"Bila tidak ditemukan selain perawi bid'ah itu, dan hadits
itu hanya diriwayatkan olehnya saja, sedangkan ia memiliki
sifat jujur, tidak suka berdusta, dan taat beragama, maka
itu bisa diterima. Namun satu hal, hadits yang ia riwayatkan
itu tidak ada hubungan dengan ajaran bid'ahnya.
Kemashlahatan pengambilan hadits dan penyebarannya harus
didahulukan dari memberantas bid'ah perawi tersebut."
Dalam kitab al-Mizan, adz-Dzahabi
menulis,3 "Ada
orang bertanya mengapa ketsiqatan pembid'ah dapat diterima,
bukankah yang disebut tsiqat itu sifat adil dan kokoh?
Bagaimana pembid'ah bisa dipandang adil? Jawabannya, bahwa
bid'ah itu terbagi dua. Pertama, bid'ah kecil, seperti
Syi'ah ekstrim, atau tasyayyu' yang moderat dan tanpa tahrif
(mengubah nash). Ini banyak terjadi di kalangan generasi
tabi'in dan tabi'it-tabi'in. jika hadits mereka ditolak,
maka sejumlah besar hadits akan hilang dari peredaran. Dan
ini merupakan kerusakan yang nyata.
Jika cara penerimaan hadits tersebut dipahami jalan
pemikirannya, itu menunjukkan kesadaran dan keteguhan ulama
Sunni dalam berpegang pada dasar-dasar agama. Dan itu
menunjukkan kemoderatan mereka dalam soal hukum, dan
pemegangan yang kuat pada hukum syara' dalam soal bergaul
dengan musuh atau dengan yang sepaham.
Tentu saja tidak sedikit hadits yang ditolak dan perawi
Sunni yang dipandang dha'if atau lemah. Kriterianya tak beda
dengan yang ditentukan: keadilan dan daya ingat yang kuat
('adalah, dhabt), dan sanad yang bersambung (ittishalus
sanad). Dan para ulama mengambil hadits dari pembid'ah yang
tidak dipandang kafir lantaran bid'ahnya, dengan catatan ia
tidak mempromosikan bid'ahnya, taat beragama, jujur dan
tidak berdusta.
Metoda penerimaan hadits Sunni tersebut berbeda sama
sekali dari kaum Rafidhah. Mereka berpegang pada sikap
fanatik, mengikuti hawa nafsu secara ekstrim, dengan
kebencian yang mendalam kepada para pemuka ummat. Mereka
sektarian, karena hanya menerima hadits dari perawi yang
semadzhab.
Ibn Taymiyah menyatakan sikapnya:4
"Kami mengecam para perawi dari kalangan Sunni secara wajar.
Kami memiliki tulisan yang tak terhitung jumlahnya, mengenai
keadilan para perawi, kelemahan, kejujuran, kesalahan,
kedustaan dan prasangka mereka. Dalam hal ini kami selalu
bersikap obyektif. Kami akan menggugurkan salah seorang dari
mereka bila diketahui banyak bersalah dan hafalannya lemah,
sekalipun ia berpredikat wali Allah."
Tetapi kaum Rafidhah memandang tsiqat mutlak terdapat
pada imam, tanpa peduli apakah sang imam berbuat salah,
berdusta, atau bersifat jujur. Bagi kaum Rafidhah, syarat
utama penerimaan hadits adalah kesesuaiannya dengan kemauan
mereka, baik itu sahih atau dha'if.
"Adapun ulama Sunni," kata ibn Taymiyah lagi, "tidak
pernah menerima hadits dusta, walaupun sesuai dengan
keinginan mereka. Betapa banyak riwayat hadits yang
menerangkan keutamaan Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, bahkan
Mu'awiyah, tetapi itu datang melalui beberapa silsilah
(sanad), misalnya an-Naffasy, al-Qathi'i, ats-Tsa'labi,
al-Ahwazi, Abu Nu'aym, al-Khathib, Ibn 'Asakir, dan perawi
lain yang lebih lemah lagi. Ulama hadits menolak
hadits-hadits itu, bahkan menyatakannya palsu. jika di dalam
silsilah ada perawi yang belum jelas identitasnya, maka
hadits tersebut disimpan dulu."
Imam Bukhari dan Muslim tidak menerima perawi bid'ah yang
dipandang kafir lantaran bid'ahnya. Mereka pun menolak
perawi bid'ah yang mempromosikan bid'ahnya, atau
memperbolehkan dusta untuk menguatkan pendapat dan madzhab
mereka.
Menurut ibn Taymiyah,5
para ahli hadits menolak riwayat pembid'ah yang
mempromosikan bid'ahnya, atau orang yang mengakui kebenaran
bid'ah itu. Karena itu, di buku-buku induk hadits (kitab
sahih, sunan, dan musnad), tidak terdapat riwayat dari
perawi bid'ah yang mempromosikan bid'ahnya.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari sebagian
perawi pembid'ah yang tidak kafir lantaran bid'ahnya, serta
tidak mempromosikan bid'ahnya, melarang cara berdusta, baik
di dalam maupun di luar lapangan hadits. Di samping itu,
secara lahiriyah mereka baik dan bertakwa, dan hidup secara
benar. Penerimaan ini penting dalam menyebarkan dan
menghasilkan hadits; seperti diterangkan terdahulu. Di dalam
bab lain kita akan melihat 100 perawi yang dikemukakan
penulis buku Dialog Sunnah-Syi'ah (Muraja'at), yang dia kira
dari kalangan Rafidhah yang riwayatnya diterima oleh ulama
Sunni.
Ada dua macam bid'ah yang menyebabkan ahli hadits menolak
riwayat yang dibawa oleh pelakunya, yaitu: 1. Bid'ah yang
mengkafirkan, dan 2. Bid'ah yang dipromosikan, atau
pembid'ahnya menghalalkan cara berdusta.
Kaum Rafidhah, pada umumnya tidak terbebas dari kedua
bid'ah tersebut. Adapun keseratus perawi yang dikemukakan
dalam buku Dialog Sunnah-Syi'ah, tak ada yang melakukan
kedua macam bid'ah tersebut, atau salah satunya.
Ibn Taymiyah berkata,6
jika di buku-buku induk hadits ada riwayat dari pembid'ah,
(misalnya Khawarij, Syi'ah, Murji'ah dan Qadariyah), itu
karena riwayat mereka tidak mengajak kepada kefasikan. Namun
pembid'ah yang mempromosikan bid'ahnya mesti ditolak.
Ditolak, maksudnya, antara lain mencegahnya melahirkan
bid'ah. Dan siapa yang mencegahnya, pasti tidak mengambil
ilmu darinya atau mengakui kebenaran bid'ahnya.
Kini, tiba saatnya saya menjelaskan ke-100 perawi
tersebut. Saya akan membuktikan kebenaran pendapat bahwa
mereka bukan orang-orang Rafidhah sebagaimana dikatakan al
Musawi, melainkan orang-orang Ahlus Sunnah yang sebagiannya
berpaham tasyayyu' yang tidak sampai ke tingkat rafadh,
tidak mempromosikan bid'ahnya dan tidak menghalalkan dusta.
Tasyayyu' bukanlah rafadh.
Catatan kaki:
1 Hadi as-Sari, juz 2,
hal. 144.
2 Idem, juz 2, hal.
145.
3 Mizan al-I'tidal,
1/5.
4 Minhaj al-I'tidal, hal
480.
5 Minhaj as-Sunnah, juz
1, hal. 14.
6 Minhaj as-Sunnah, juz
1, hal. 14.
|