2. PENGERTIAN RAFIDHAH DAN SYI'AH MENURUT ULAMA
SUNNI
Ummat Islam suka mencampuradukkan antara al-rafadh
(berpaham Rafidhah) dan al-tasyayyu' (berpaham Syi'ah).
Mereka tidak bisa membedakan kedua istilah tersebut. Ini
disebabkan ketidakpahaman tentang akidah mereka sendiri.
Mereka tidak mau mengkaji akidah Islam secara benar dari
sumbernya yang asli dan otentik, yaitu al-Qur'an dan hadits,
serta pendapat para sahabat Nabi, pengikutnya (tabi'in) dan
generasi ketiga (tabi'it-tabi'in). Padahal, mereka itu tiga
angkatan, yang dinilai oleh Rasulullah sebagai generasi
terbaik ummat Islam.
Masalahnya, sebagian ummat tidak mau mempelajari Islam
dan ilmunya. Akibatnya, akidah Islam mereka artikan secara
tidak proporsional. Mereka tidak tertarik untuk menjaga
kesucian dan kemurnian akidah Islam. Bahkan mereka hampir
tidak mengenal satu pun buku yang membicarakan akidah Sunni
atau Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Akibatnya, mereka akan
terjebak tatkala membaca buku-buku tafsir dan hadits, yang
mengandung kisah-kisah israiliyyat dan kisah-kisah palsu.
Atau, mereka memahami akidah Islam dari literatur-literatur
baru tanpa dasar yang kokoh dan benar. Karena itu, mereka
terputus dari ulama salaf salih, yang mendapatkan kerelaan
dari Allah.
Karena ketidaktahuan itu, pulalah yang membuat mereka
menganut paham yang berlawanan dengan akidah ulama salaf.
Misalnya, tanpa disadari, mereka menganut ajaran kaum
Rafidhah, Qadariyah, Khawarij dan Jahamiyah. Bahkan,
ketidaktahuan itu berakibat buruk, Ketika anda mencoba
meluruskan pemahaman mereka, dan mengembalikannya kepada
pemahaman dan akidah salaf yang benar, mereka tidak
memperdulikan koreksi anda. Mereka telah menjadi penganut
fanatik.
Kenyataan ini dikhawatirkan melanda ummat Islam. Apalagi
bila para ulama tidak berperan-serta mengajarkan dan
menanamkan akidah kepada setiap Muslim. Ilmu akidah mestinya
diberikan lebih dini daripada ilmu-ilmu lain, seperti
dilakukan oleh Rasulullah.
Akibat logis dari strategi, pendidikan yang salah selama
ini --tidak menanamkan akidah lebih dini-- maka banyak ummat
Islam resah atau bingung menghadapi paham-paham yang,
sebelumnya, dipandang jelas dan tuntas oleh kaum Sunni.
Paham-paham yang mapan itu seharusnya tetap tertanam di hati
kaum Muslimin saat ini. Mereka membutuhkan itu, karena
sejarah berulang dengan sendirinya. Untuk itu, saya merasa
terdorong menjelaskan pengertian al-rafadh dan
al-tasyayyu'.
1. Pengertian
Etimologi1
Menurut bahasa, rafadh berarti meninggalkan, menyempal
(taraka). Sedangkan al-Rafidhah berarti: sempalan atau salah
satu golongan (firqah) dari Syi'ah. Menurut al-Ashmu'i,
disebut demikian, karena mereka menyempal dari salah seorang
imam Syi'ah, yaitu Zayd ibn 'Ah.
Tasyuyyu',2
menurut bahasa berarti sikap menganut atau mendukung. Syi'at
al-rijal berarti penganut dan pendukung seseorang. Jadi,
kata-kata tasyayya'arrajul, artinya; seorang lelaki menganut
paham Syi'ah.
Setiap masyarakat memiliki sesuatu pandangan. Sebagian
mereka mengikuti pendapat yang lain. Mereka adalah satu
kelompok, seperti firman Allah: "Sebagaimana dilakukan
terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa
lalu." (QS, Saba'; 34:54)
2. Pengertian Istilah
Tadi kita telah membedakan antara istilah rafadh dan
tasyayyu' menurut pengertian bahasa. Kini kita akan
menjelaskan perbedaan keduanya dari segi istilah dan
syari'at.
Ada perbedaan yang menyolok antara kedua istilah
tersebut. Ini perlu kita ketahui, bila hendak menolak
tuduhan palsu kaum Rafidhah terhadap kaum Sunni. Kaum
Rafidhah selalu mengacaukan pengertian rafadh di kalangan
ummat Islam, dan menyelewengkan makna kecintaan ummat kepada
keluarga Nabi. Ini mereka lakukan untuk merusak kesucian
Islam dengan syi'ar yang palsu.
Menurut syari'at agama, istilah rafadh berarti sikap
memuliakan 'Ali ibn Abi Thalib lebih dari Abu Bakar dan
'Umar. Menurut mereka, 'Ali lebih utama dibanding mereka
berdua. Karena itu, 'Ali lebih pantas menduduki kursi
kekhalifahan. Dalam hal ini, mereka tidak sampai mencaci
maki Abu Bakar dan 'Umar.
Tapi, bila sikap tersebut diikuti oleh rasa benci kepada
Abu Bakar dan 'Umar, atau malah memaki mereka, ini disebut
rafadh ekstrim. Tak soal, apakah makian itu dengan bahasa
yang jelas, ataukah hanya dengan bahasa isyarat. Dan jika
sikap ini diikuti pula dengan kepercayaan bahwa 'Ali ibn Abi
Thalib atau keturunannya akan muncul kembali ke dunia
setelah mereka wafat, maka inilah rafadh yang paling
ekstrim.
Sedangkan istilah tasyayyu', menurut syari'at agama
berarti sikap mencintai 'Ali ibn Abi Thalib dan memandangnya
lebih utama dari para sahabat Nabi yang lain --kecuali Abu
Bakar dan 'Umar. Jika 'Ali lebih ditokohkan daripada Abu
Bakar dan 'Umar, maka itu namanya paham rafadh.
Menurut ibn Hajar,3
Tasyayyu' adalah sikap mencintai 'Ali dan memandangnya lebih
utama dari para sahabat lain. Dan bila di antara
sahabat-sahabat itu termasuk Abu Bakar dan 'Umar, maka
tasyayyu'nya ekstrim, dan biasanya disebut paham Rafidhah.
Tetapi jika sikap tadi tidak memandang 'Ali lebih utama
daripada Abu Bakar dan 'Umar, maka itu hanya disebut Syi'ah.
Namun, jika sikap tersebut ditambah rasa benci dan makian
terhadap Abu Bakar dan 'Umar, maka itu menjadi paham rafadh
ekstrim. Kalau kemudian dilengkapi dengan kepercayaan bahwa
'Ali bakal muncul kembali ke dunia, maka rafadh-nya menjadi
sangat ekstrim."
Kami telah menjelaskan pengertian rafadh dan tasyayyu',
baik secara etimologis maupun terminologis. Perbedaannya
telah jelas dan nyata. Kini tiba saatnya membicarakan
penganut paham Rafidhah dan Syi'ah. Siapakah mereka?
Rafidhah adalah sekelompok penganut Syi'ah yang memandang
'Ali dan anak cucunya lebih utama daripada Abu Bakar dan
'Umar. Mereka tidak menyukai kedua sahabat Nabi yang
khalifah itu, bahkan mencaci-makinya. Kaum Rafidhah
mempercayai, para imam itu ma'shum alias bebas-salah. Mereka
memberikan segala kehormatan Nabi (selain kenabian) kepada
para imam. Mereka juga mempercayai kedatangan kembali imam
Muntadhar (imam tertunggu) yang sementara ini menghilang,
tanpa meninggal. Mereka mempunyai pemikiran khusus, yang
sangat berbeda dari dasar pemikiran Sunni.
Adapun kaum Syi'ah, mereka itu pencinta berat keluarga
Nabi (ahl al-bayt). Mereka lebih mengutamakan Ahl al-Bayt
daripada sahabat yang bukan keluarga Nabi. Tetapi mereka
tidak membenci, memaki atau mengkafirkan para sahabat,
terutama Abu Bakar dan 'Umar.
Dalam Minhaj al-Sunnah, Ibn
Taimiyyah4
mengemukakan alasan mengapa ada sekte Syi'ah yang disebut
Rafidhah. Menurut ibn Taimiyyah, sejak
Zayd5 tampil ke
gelanggang politik, Syi'ah terpecah menjadi dua, yaitu
golongan Rafidhah dan golongan Zaidiyyah. Ketika ditanya
mengenai Abu Bakar dan 'Umar, Zaid menyatakan simpatinya
kepada kedua sahabat itu. Zaid mendoakan keduanya.
Sekelompok pengikutnya kemudian meninggalkan Zaid. Zaid
berkata kepada mereka: "Apakah kalian menyempal dariku?"
Sejak mereka menyempal dari Zaid itu, istilah Rafidhah
muncul. Adapun kaum Syi'ah yang tetap setia kepada Zaid,
mereka itu diberi nama Zaidiyah, artinya, yang memihak
kepada Zaid.
Ibn Taimiyyah juga menjelaskan, 'Ali ibn Abi Thalib
pernah berpidato di mimbar, di kota Kufah. Katanya: "Ummat
Islam terbaik setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan
'Umar." Orang Syi'ah yang mengenal 'Ali dan hidup seangkatan
dengannya, tidak pernah berselisih paham mengenai keutamaan
Abu Bakar dan 'Umar. Tetapi mereka berbeda pendapat
menentukan siapa yang lebih utama antara 'Utsman dan 'Ali.
Itu diakui oleh para tokoh Syi'ah yang terdahulu dan yang
belakangan.
Abul Qasim al-Balhi juga menyebutkan sama. la
menceritakan, seseorang bertanya kepada Syarik ibn
'Abdillah, "Siapa yang lebih utama di antara Abu Bakar dan
'Ali? "Abu Bakar," jawab Syarik.
Ketika ditanya, mengapa dia menjawab begitu, padahal dia
seorang Syi'ah, Syarik menjawab bahwa orang yang tidak
berkata begitu bukanlah seorang Syi'ah. "Demi Allah, 'Ali
ibn Abi Thalib berkata di atas mimbar: 'Ingatlah,
sesungguhnya ummat Islam yang terbaik setelah Nabi adalah
Abu Bakar, kemudian 'Umar." "Lalu mengapa?" tanya Syarik,
"anda menolak pernyataan 'Ali ini? Bagaimana anda bisa
mendustakan 'Ali? Sungguh, 'Ali bukanlah pendusta atau
pembohong."
Karena tidak mengerti, seringkali orang menyebut rafadh
bagi pencinta keluarga Nabi, tanpa membedakan antara istilah
rafadh dan tasyayyu'. Ada sya'ir (oleh Imam Syafi'i, peny.)
begini: "Jika mencintai Ahl al Bayt disebut Rafadh, maka
saksikanlah bahwa aku penganut paham Rafidhah." .
Ibn Katsir menceritakan,6
pada suatu saat kaum Syi'ah berkumpul bersama Zaid. Mereka
bertanya kepada Zaid: "Apa maksud perkataan anda, 'Allah
memberi rahmat kepada anda pada (diri) Abu Bakar dan 'Umar?"
Zaid menjawab: "Semoga Allah mengampuni Abu Bakar dan 'Umar.
Aku tidak pernah mendengar seorang pun dari keluargaku yang
berlepas tangan dari mereka berdua. Aku tidak pernah
mengatakan tentang mereka kecuali yang - baik-balk. Aku
ingin mengajak anda kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah
Rasul, menghidupkan sunnah Nabi dan menumpas bid'ah. Jika
mau mendengarkan, kalian dan aku akan memperoleh kebaikan.
Tetapi bila kalian membangkang, maka aku bukanlah penolong
kalian."
Mendengar nasihat itu, kontan orang-orang Syi'ah itu
bubar meninggalkan Zaid. Mereka menarik kembali bai'at
mereka. Sejak hari itu, mereka disebut kaum Rafidhah. Adapun
orang-orang yang mendengarkan dan menerima nasihat Zaid,
mereka disebut Zaidiyyah. Penduduk Kufah umumnya penganut
paham Rafidhah, sedangkan warga Makkah umumnya pengikut
madzhab Zaidiyah. Baiknya, kaum Zaidiyah tetap menghargai
Abu Bakar dan 'Umar. Jeleknya, mereka lebih mengutamakan
'Ali daripada kedua sahabat tadi. Padahal 'Ali tidak lebih
utama dari Abu Bakar dan 'Umar. Bahkan, mungkin tidak -lebih
utama daripada 'Utsman, menurut paham Sunni yang benar dan
sahih.
Menurut al-Mas'udi,7
Zaid ibn 'Ali pernah berkata kepada kaum Syi'ah yang
menuntut agar Zaid berlepas tangan dari Abu Bakar dan 'Umar.
Kata Zaid: "Abu Bakar dan 'Umar itu pemimpin kakekku. Maka
aku tidak bisa melupakan mereka." Mendengar itu, orang-orang
Syi'ah bubar, menyempal.
Catatan kaki:
1 Mukhtar ash-Shihah, sv.
r-f-dh
2 Idem, sv. sy-y-'
3 Hadi as-Sari,
mukaddimah Fathul Bari, juz 2, hal.
4 Minhaj as-Sunnah, juz
1, hal.8.
5 Zaid ibn 'Ali ibn
Husayn. Peristiwa di atas terjadi sekitar tahun 122 H pada
masa akhir kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik.
6 Al-Bidayah wan-Nihayah,
juz 9, hal. 230 dan 329.
7 Muruj adz-Dzahab,
3/220.
|