|
1. PANDANGAN ULAMA SUNNI TENTANG RIWAYAT
PEMBID'AH
Para ulama membagi pembid'ah ke dalam dua kelompok.
Pertama, pembid'ah yang menjadi kafir akibat bid'ahnya.
Kedua, pembid'ah yang tidak menjadi kafir karena
bid'ahnya.
Pembid'ah yang pertama terbagi pula ke dalam beberapa
golongan, yaitu, (1) Pembid'ah yang memperbolehkan cara
berdusta atau berbohong untuk menguatkan pendapatnya. (2)
Pembid'ah yang tak membolehkan cara berdusta. (3) Pembid'ah
yang mempromosikan sikap bid'ahnya. Dan, (4) pembid'ah yang
tidak mempromosikan hasil bid'ahnya.
Ada sejumlah pembid'ah yang meriwayatkan hadits.
Menghadapi hal ini, sikap para ulama berlainan. Para ulama
bersepakat untuk menolak dan tidak menerima hadits riwayat
pembid'ah yang pertama, yaitu yang menjadi kafir karena
bid'ahnya.
Mereka bersepakat pula untuk menolak riwayat pembid'ah
yang membolehkan cara berdusta untuk menguatkan pendapatnya
sendiri dan pendukungnya. Dan sebagian besar ulama, meskipun
tak semua, bersepakat untuk menolak riwayat pembid'ah yang
mempromosikan bid'ahnya, yang tidak mempedulikan para
pengecam pendapatnya, karena argumentasinya lemah.
Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai pembid'ah
yang tidak melakukan kebohongan untuk menguatkan
pendapatnya. Berikut ini, saya kemukakan pendapat sebagian
ulama Sunni.
Imam Muslim, di dalam kitab Sahih-nya, menulis:
"Ketahuilah, sesungguhnya setiap orang harus mengetahui
perbedaan antara riwayat yang sahih dan riwayat yang lemah
(dha'if), antara perawi yang terpercaya (tsiqat) dan perawi
yang suka berdusta. Ingatlah, anda tak usah menerima
riwayat, kecuali dari para perawi yang adil dan tsiqat. Anda
perlu waspada, siapa tahu ada riwayat datang dari para
pembid'ah, yang suka berdusta dan menentang perintah
Tuhan."
Imam Nawawi, di kitab Syarah Muslim (Komentar atas Kitab
Sahih Muslim), menulis: "Para ahli hadits, fiqih dan ushul
berpendapat bahwa riwayat yang dibawakan seorang pembid'ah,
yang kafir karena bid'ahnya, tidak dapat diterima sama
sekali. Adapun pembid'ah yang tidak kafir, maka ada orang
yang mutlak menolak riwayatnya, karena ia dipandang fasik
dan tak tertolong oleh takwil. Namun sebagian ulama ada yang
menerimanya, dengan syarat ia tidak biasa berdusta untuk
memperkuat madzhabnya atau madzhab kliennya, baik ia
mempromosikan ajaran bid'ahnya, atau tidak. Sementara ulama
yang lain lagi menerima riwayatnya, dengan catatan ia tidak
mempromosikan ajaran bid'ahnya. Katanya, riwayatnya harus
ditolak begitu ia mempromosikannya. Inilah pendapat sebagian
besar ulama, yang dianggap paling adil dan sahih."
Lain lagi ibn Hajar1,
beliau membagi bid'ah ke dalam dua macam. Pertama, bid'ah
yang menyebabkan kekafiran. Kedua, bid'ah yang menyebabkan
kefasikan. Riwayat pembid'ah yang pertama, menurut ibn
Hajar, tidak dapat diterima. Tentang yang kedua, Ibn Hajar
masih menimbang-nimbang. Katanya, "Para ahli berbeda
pendapat mengenai riwayat orang yang menjadi fasiq lantaran
bid'ahnya, dengan syarat ia tidak berbohong, menjaga harga
diri, beragama dan beribadah. Ada ulama yang menerimanya
secara mutlak, dan ada pula yang menolak secara mutlak.
Kecuali itu, ada kelompok ulama ketiga yang merinci, apakah
pembid'ah itu mempromosikan bid'ahnya atau tidak. Bila
tidak, maka haditsnya dapat diterima. Sebaliknya, bila ia
mempromosikannya, haditsnya harus ditolak." Pendapat
terakhir ini, menurut ibn Hajar, adalah yang paling moderat
dan banyak pendukungnya.
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa ulama
Sunni bersepakat menolak riwayat pembid'ah (1) yang menjadi
kafir lantaran bid'ahnya, (2) yang suka berbohong untuk
mendukung pemikiran bid'ahnya, dan (3) yang mempromosikan
ajaran bid'ahnya.
Para ulama berselisih paham mengenai pembid'ah yang tidak
suka berbohong, seperti kaum Khawarij, dan pencipta bid'ah
kecil lainnya, yang tidak menyebabkan ia keluar dari Islam.
Lagi pula, ia tidak mempromosikan ajaran bid'ahnya, seperti
sebagian perawi Syi'ah yang ada di buku-buku ulama Sunni.
Soal ini akan dijelaskan nanti.
Catatan kaki:
1 Ibn Hajar, Hadi as-Sari
dalam mukaddimah Fathul Bari juz 2 hal. 144-145.
|