BAGIAN DUA
MUKADDIMAH I
Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. Kita mohonkan
pertolongan dan ampun kepada-Nya. Kita berlindung dari
keburukan diri dan perbuatan kita. Barangsiapa yang mendapat
petunjuk dari Allah, maka tak seorang pun yang akan dapat
menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka
tak seorang pun yang akan dapat menunjukinya. Kita bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya.
Buku Dialog Sunnah-Syi'ah karangan 'Abdul
Husain al-Musawi, termasuk. salah satu buku yang dapat
menggoyahkan keyakinan kebanyakan orang Islam Sunni,
terutama mereka yang belum tahu tentang akidah kaum
Rafildhah dan prinsip-prinsip kepercayaan mereka yang sesat.
Juga tidak mengetahui pemikiran mereka yang didasarkan pada
dalil-dalil yang palsu, dan mempermain-mainkan dalil-dalil
yang sahih, misalnya dengan menambah-nambah atau mengurangi
sebagian darinya, atau memberi interpretasi semaunya. Semua
itu mereka lakukan untuk mendukung madzhabnya dan menutupi
kelemahan-kelemahannya. Dan itulah yang diperbuat al-Musawi
dalam bukunya, Dialog Sunnah-Syi'ah, sebagaimana akan
diuraikan nanti secara terinci dalam bentuk kritik dan
sanggahan terhadap segala kebathilan yang
dikemukakannya.
Menurut al-Musawi, buku Dialog Sunnah-Syi'ah itu
merupakan kumpulan dialognya dengan Syeikh al-Bisyri, Rektor
al-Azhar, pada tahun 1329H. Dialog tersebut dilatarbelakangi
oleh renungan dan keprihatinan yang mendalam mengenai
pelbagai bencana yang melanda ummat Islam, seperti
permusuhan dan sikap saling membenci diantara sesama mereka.
Keprihatinan itu kemudian disampaikannya kepada Syeikh
al-Bisyri agar supaya ia turut merasakannya pula. Kepadanya,
al-Musawi menunjukkan keinginannya untuk mencari titik temu
antara kelompok Syi'ah dan Sunnah.
Namun sesungguhnya dialog tersebut bukanlah fakta. Ia
hanyalah dusta yang dikarang-karang belaka. Setelah beredar
kira-kira 30 tahun lamanya, belum ada seorang pun ulama
Sunni yang memberikan tanggapan terhadap buku palsu itu,
baik secara terinci maupun global. Buku tersebut kemudian
banyak mempengaruhi ummat Islam, baik yang cendekia maupun
yang awam. Ini disebabkan karena mereka tidak mengerti
tentang akidah kaum Rafidhah dan dasar-dasar kepercayaan
mereka yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam, baik
yang tertuang dalam al-Qur'an maupun Sunnah yang
otentik. Mereka tidak tahu bahwa dalam, buku tersebut
terdapat kepalsuan, karena al-Musawi mengemukakan
kesepakatan Syeikh al-Bisyri terhadap dalil-dalil palsu yang
ia kemukakan. Dan selama itu tidak ada orang yang mampu
membuka tabir kepalsuan buku tersebut dan menjelaskan kepada
mereka isinya yang sesat dan menyesatkan. Adalah suatu
kewajiban untuk mengingatkan ummat Islam akan kejahatan
musuh-musuhnya, dan menunjukkan golongan-golongan yang
menyimpang dari Islam. Tindakan tersebut merupakan
pengabdian yang paling besar dimata Allah, karena dengan itu
yang buruk dapat dibedakan dari yang baik, dan jalan yang
sesat dapat dibedakan dari jalan yang benar dan lurus.
Atas dasar pemikiran itu, saya terdorong untuk memberi
tanggapan terhadap buku al-Musawi tersebut, demi mengharap
ridha Allah semata-mata: Semoga karya ini menjadi benteng
bagi hamba-hamba-Nya dan menjadi penguat bagi agama-Nya.
Juga diharapkan meningkatkan gairah atas Sunnah Rasul.
Pada pendahuluannya, al-Musawi menjelaskan bahwa bukunya
itu telah disusun kurang lebih seperempat abad yang lewat,
namun karena satu dan lain hal, penerbitan dan penyebarannya
tertunda. Setelah pelbagai hambatan dan kendala tersebut
lenyap; naskah tersebut lalu dibukukan dan
disebarluaskan.
Pembaca mungkin bertanya-tanya, apa yang dimaksud
al-Musawi dengan pelbagai kendala yang menyebabkan
penerbitan buku itu tertunda sekian lama? Pertanyaan ini
sesungguhnya tidak bisa dijawab, karena al-Musawi tidak
menyebutkan apa hambatan-hambatan atau kendala-kendala
tersebut.
Kalau kita pelajari sejarah pada masa di mana buku itu
siap diterbitkan, kita tidak akan melihat adanya kendala
yang dapat dipandang sebagai penghambat disebarkannya buku
dialog itu.
Adalah rencana al-Musawi sendiri yang menyebabkan
penerbitan buku itu tertunda. Iklim yang ada masa itu memang
tidak menunjang keinginan al-Musawi. Masa itu, adalah masa
akhir Kerajaan 'Utsmani, di mana pemerintahnya sangat
peka terhadap ancaman musuh-musuh Islam dan giat memerangi
kelompok-kelompok sesat yang berkedok Islam, termasuk
kelompok Rafidhah. Al-Musawi tidak berani menerbitkan
bukunya itu di masa itu, karena didalamnya terdapat banyak
hal yang berlawanan dengan al-Qur'an dan Sunnah.
Kerajaan 'Utsmani jelas tidak akan mentolerir
tersebarnya buku seperti itu. Untuk itu, al-Musawi perlu
menunggu waktu yang tepat untuk menyebarluaskan bukunya yang
penuh kesesatan itu.
Musuh-musuh kemudian Islam berhasil menumbangkan Kerajaan
'Utsmani,' melalui pelbagai tipu daya baik oleh
kalangan Yahudi maupun Kristen, dan orang-orang yang
terpengaruh gerakan mereka, seperti kelompok-kelompok sesat
yang munafik, yang hidup dengan dua muka. Secara lahiriyah
mereka Islam, tetapi batin mereka penuh kekufuran.
Keberhasilan tersebut juga didukung oleh adanya kelompok
tertentu yang berpihak pada musuh Islam dalam setiap
peristiwa yang menimpa ummat, seperti kaum an-Nasiriyah dan
Isma'iliyah yang berpihak pada bangsa Tartar ketika
mereka menyerbu Daulah 'Abbasiyah. Demikian pula sikap
mereka terhadap gerakan salibisme.
Setelah Kerajaan 'Utsmani jatuh dan
penjajah-penjajah Barat datang untuk membagi-bagi wilayahnya
untuk diri mereka, dapatlah al-Musawi bernapas lega. Ia
memandang masa ini merupakan momentum yang tepat untuk
menyebarkan bukunya. Ini menunjukkan adanya hubungan
kelompok al-Musawi dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Kalau
tidak, al-Musawi tidak akan mampu menyebar gagasannya. Coba
saja lihat, bagaimana al-Musawi memandang Kerajaan
'Utsmani sebagai hambatan dan bencana, sementara
penjajahan Barat terhadap Islam dipandang sebagai nikmat dan
rahmat!
Hal lain yang menyebabkan penerbitan buku itu tertunda
adalah karena dialog yang ada dalam buku itu sesungguhnya
tidak pernah ada. Maka jika buku itu diterbitkan setelah
penyuSunannya selesai, tentu akan banyak ulama yang
membantah keabsahannya, terutama Syeikh al-Bisyri sendiri
yang dicatut namanya. Setelah Syeikh al-Bisyri wafat dan
beberapa ulama lain sahabatnya wafat pula, dan orang-orang
yang hidup pun tidak ingat lagi soal dialog itu, mana yang
benar dan bagaimana rinci-rincinya, maka segeralah al-Musawi
menerbitkan bukunya yang palsu itu.
Al-Musawi memang tidak berbeda dengan orang-orang
Rafidhah lainnya, yang menghalalkan dusta untuk menguatkan
madzhabnya. Dusta baginya merupakan agama. Dengan sendirinya
ia tidak menjelaskan faktor apa yang menyebabkan penerbitan
bukunya itu harus ditunda. Bahkan ia perlu berdusta kepada
pembaca dengan menyebutkan banyak kendala, tanpa menjelaskan
satu pun daripadanya.
Keheranan pembaca akan kedustaan al-Musawi tentu akan
segera hilang jika mengetahui bahwa orang-orang Rafidhah
memandang Kerajaan 'Utsmani, Daulah 'Umayah dan
Khilafah al Rasyidah sebelumnya sebagai bencana atas ummat
Islam. Pandangan demikian dinyatakan dalam buku al-Hukumah
al-Islamiyah karangan Ayatullah Khumaini.
Dalam pendahuluan buku Dialog Sunnah-Syi'ah,
al-Musawi menampakkan rasa gairah pada ummat Islam dan rasa
prihatinnya atas permusuhan yang terjadi selama ini diantara
sesama Muslim, yang disebabkan adanya perselisihan antara
kelompok Syi'ah dan Sunnah. Ia menghendaki kenyataan
ini dapat diatasi, sehingga bisa digalang kesatuan dan
persaudaraan Muslim.
Menurut hemat saya, yang menjadi biang keladi perpecahan
antara kelompok Sunnah dan Rafidhah adalah akidah kaum
Rafidhah yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam.
Mereka menyimpang jauh dari apa yang ada pada Nabi dan para
sahabatnya, dan dari apa yang ada pada tiga generasi pertama
yang dinyatakan oleh Rasulullah sebagai generasi terbaik.
Ini merupakan kenyataan yang tidak memerlukan bukti, bahkan
tidak perlu disebutkan lagi. Pembaca yang ingin mengetahui
lebih lanjut apa yang saya katakan tadi, bisa menelaah
banyak buku-buku yang menerangkan akidah kaum Rafidhah dan
dasar-dasar kepercayaan mereka yang bertolak belakang dengan
dasar-dasar Islam yang menjadi prinsip-prinsip dasar Ahlus
Sunnah. wal Jama'ah. Buku yang paling baik dalam soal
ini adalah buku Minhaj as-Sunnah, karya Ibn Taimiyah.
Jika hal di atas telah kita sepakati, maka mungkinkah ada
jalan untuk menyatukan dua kelompok tersebut dan
menghilangkan permusuhan diantara mereka dengan cara
menyelaraskan prinsip-prinsip dasar keduanya yang bertolak
belakang, sebagai dikehendaki oleh al-Musawi ?
Apa yang diusahakan oleh al-Musawi itu adalah suatu
kemustahilan. Sebab, kalaupun kita mendukungnya, toh tidak
mungkin menyeleraskan yang hak dengan yang bathil, atau
menyatukan Islam dan Kafir.
Jalan satu-satunya untuk menyatukan ummat dan
menghilangkan firqah-firqah yang ada, hanyalah dengan jalan
kembali kepada al-Qur'an dan sunnah, serta pemikiran
ulama salaf ash-Shaleh, sebagaimana dijelaskan oleh
Allah:
Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar
beriman kepada. Allah dan hari kemudian. (QS, an-Nisa',
4:59).
Dan sabda Nabi:
Aku tinggalkan untuk kamu sesuatu yang jika kamu
berpegang kepadanya, kamu tidak akan sesat: Kitab Allah dan
Sunnahku. (HR. Malik, Tirmidzi dan Ahmad)
Apakah kaum Rafidhah menerima seruan Allah dan Rasul-Nya
seperti tersebut dalam ayat dan hadits di atas? Nonsens,
jauh panggang dari api. Sebab, andaikata mereka menerima
himbauan Allah dan Rasul-Nya, tentu al-Musawi tidak akan
menggebu-gebu mencari solusi lain selain yang dikemukakan
Allah dan Rasul-Nya. Dan ia tidak akan menjadi pemimpin
kekafiran dan kesesatan, serta pembid'ah yang selalu
mempromosikan ajarannya dan mengkufurkan orang lain yang
tidak sependapat dengan pahamnya.
Pada pendahuluan Dialog Sunnah-Syi'ah, al-Musawi
memuji negeri Mesir sebagai negeri tempat berseminya ilmu
pengetahuan yang murni dan obyektif, yang tunduk pada
kebenaran yang berlandaskan dalil yang kokoh. Ini merupakan
kelebihan Mesir yang lebih menonjol daripada
kelebihan-kelebihannya yang lain. Menurut hemat saya, pujian
ini hanyalah rayuan gombal yang keluar dari mulut seorang
Rafidhah yang memimpikan berkembangnya paham rafadh dan
tasyayyu' untuk kedua kalinya di Mesir, sebagaimana
pernah tumbuh pada pemerintahan Fathimiyah yang pro
kebatinan.
Al-Musawi meyakini kema'shuman Para imam. Dia
berpura-pura atau melakukan taqiyah, ketika memuji Syeikh
al-Bisyri, agar supaya diterima dialognya, dan membuatnya
hidup dan nampak seperti benar-benar terjadi, sebab diterima
oleh seorang imam yang ma'shum, sebagaimana ia
ditawarkan oleh seorang imam yang ma'shum pula.
Sayangnya, al-Musawi tak tahu bahwa kaum Sunni tidak sama
dengan Syi'ah. Mereka (Ahlus Sunnah wal Jama'ah)
tidak meyakini kema'shuman manusia selain para Nabi.
Mereka yakin bahwa setiap orang bisa diterima atau ditolak
pendapatnya, kecuali Rasulullah saw. Kalaupun dialog
tersebut memang benar-benar terjadi, kita juga tidak bisa
membenarkan isinya begitu saja semata-mata karena Syeikh
al-Bisyri telah menerimanya. Sebab Syeikh al-Bisyri juga
manusia biasa, yang pikirannya bisa salah. Pendapat beliau
tidak biasa dianggap mewakili hujjah syar'iyah yang
dapat membedakan yang hak dengan yang bathil, yang benar
dengan yang dusta.
Pada pendahuluan bukunya al-Musawi menegaskan demikian:
"Kita sepakat bahwa kelompok Sunnah dan Syi'ah
sama-sama orang Islam. Agama mereka sama, yaitu Islam, agama
yang hanif, condong pada kebenaran. Mereka lama-lama
menerima apa yang dibawa oleh Rasul (as-Sunnah). Pendeknya,
tidak ada perbedaan prinsipil diantara mereka. Juga tidak
ada perselisihan, kecuali dalam hasil-hasil ijtihad para
mujtahid mengenai sebagian hukum. Hal ini disebabkan
perbedaan dalam cara mengeluarkan hukum (istinbath
al-ahkam), baik dari al-Qur'an, Sunnah, Ijma',
maupun dalil yang keempat (qias)."
Pernyataan di atas menurut hemat saya tidak dapat
diterima, sebab bertentangan dengan komitmen pemuka-pemuka
Rafidhah dan kepercayaan mereka yang berbeda dengan
dasar-dasar kepercayaan Ahlus Sunnah.
Salah satu kepercayaan kaum Rafidhah yang berbeda dengan
Ahlus Sunnah adalah mengenai tauhid asma' dan sifat.
Ini terlihat jelas dari pernyataan mereka mengenai dzat
Tuhan: "Tuhan itu bukan jauhar (substansi) dan bukan
pula 'aradh (sifat). Sebab jauhar dan 'aradh itu
bagian dari benda wujud yang mungkin, dan butuh kepada orang
atau dzat yang menciptakannya. Atau keduanya itu merupakan
kepastian dari segala sesuatu yang ada, sebagaimana
kepastian akal, roh, dan nafsu bagi setiap sesuatu (jisim)
yang hidup atau bergerak.1
Perbedaan yang lain adalah interpretasi mereka atas
sebagian sifat-sifat Tuhan yang telah ditetapkan sendiri
oleh Allah dalam Kitab-Nya. Mereka memandang sifat-sifat itu
sebagai hal yang majazi (kiasan), tidak hakiki. Ini dapat
dilihat dalam pernyataan mereka: "Sekelompok orang
Islam, diluar Syi'ah, beranggapan bahwa Tuhan mempunyai
tangan, wajah (muka), mata, betis; atau mereka menganggap
Tuhan bersemayam berada, (istawa') di atas 'Arasy.
Pandangan ini menurut mereka didasarkan pada ayat-ayat
al-Qur'an. Sesungguhnya apa yang mereka katakan itu
tidak berdasar, dan tidak benar menurut akidah Syi'ah
al-Ja'fariyah.2
Menurut kepercayaan Syi'ah Ja'fariyah Itsna
'Asyariyah, kata wajah, tangan, dan istana, yang
dinisbatkan kepada Allah semuanya adalah ungkapan majazi
yang tidak menggunakan makna hakekatnya. Mereka bahkan
mengkufurkan kaum Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena yang
disebut terakhir ini menetapkan sifat-sifat Tuhan
sebagaimana yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah dan
Rasul-Nya. Mereka berkata: "Barangsiapa mengatakan
bahwa Tuhan memiliki tangan, mata, dan wajah, atau bahwa
Tuhan turun ke langit dunia, atau hadir dan menampakkan diri
kepada penghuni surga, maka ia dapat disamakan dengan orang
kafir, yang buta akan hakekat al Khalik yang bersih dari
segala sifat kekurangan.3
Perbedaan ketiga adalah kepercayaan mereka akan
al-bada'. Yang dimaksud dengan al-bada' ialah
menisbatkan kebodohan, alpa dan kelalaian kepada Allah.
Dalam kitab al-Kafi, karya al-Kulaini dikatakan: "Tiada
keagungan Allah yang melebihi al-bada'. Tuhan tidak
mengangkat seorang Nabi, kecuali ia memiliki perjalanan
hidup (sejarah) yang baik. Dan Tuhan tidak mengutus seorang
Nabi, kecuali dia mengajarkan tentang al-bada'. Tiada
keagungan dan kebesaran Allah yang melebihi
al-bada'.4
Perbedaan keempat ialah konsepsi mereka mengenai tauhid.
Mereka menjadikan tauhid bertingkat-tingkat dan
berbilang-bilang. Pertama, tauhid orang awam. Tauhid ini
bertumpu pada kalimat Ia ilaha illallah. Kedua, tauhid orang
khusus. Tauhid, ini hasil pemahaman dari ungkapan ia huwa
illa huwa. Ketiga, tauhid orang yang lebih khusus, dengan
rumusan ia haula wala quwata illa billah. Dan keempat,
tauhid orang yang paling khusus, atau tauhid akhashshul
khawash. Tauhid ini menyatakan bahwa "Tiada yang
berpengaruh di alam ini kecuali Allah."
Mereka juga menisbatkan ucapan berikut ini kepada imam
'Ali: Pada mulanya agama itu mengenal Allah. Pengenalan
ini menjadi sempurna dengan tasdiq (meyakini ada-Nya).
Tasdiq dapat sempurna dengan tauhid (mengesakan-Nya). Tauhid
menjadi sempurna dengan ikhlas (memurnikan-Nya). Dan
kesempurnaan ikhlas dapat dicapai dengan menegasikan
sifat-sifat Tuhan (nafy ash-Shifat).5
Perhatikan, bagaimana mereka menyatakan kesempurnaan ikhlas
itu dengan menegasikan sifat Tuhan!
Perbedaan kelima ialah konsep mereka mengenai imamah
(kepemimpinan). Mereka memandang imamah sebagai salah satu
rukun iman. Setiap orang, menurut mereka, wajib percaya pada
dua belas imam. Menurut mereka keimanan mereka itu
ditetapkan dengan nash Allah dan Rasul. Mereka juga
menyatakan bahwa para imam itu ma'shum, terpelihara
dari kesalahan, sebagaimana para
nabi.6
Perbedaan keenam, adalah kepercayaan mereka pada
raj'ah. Menurut mereka, raj'ah adalah bangkit
kembalinya orang-orang yang telah mati, bersamaan dengan
datangnya Imam Muhammad ibn Hasan al-Askari. Mereka yang
dibangkitkan terdiri dari para pendukung dan musuh-musuh
imam. Yang pertama dibangkitkan, supaya memperoleh pahala
besar karena membela imam, dan supaya mereka turut
berbahagia menyaksikan kedaulatan negara imam. Sedangkan
kelompok yang kedua (musuh-musuh imam), mereka dibangkitkan
untuk memperoleh siksa atau adzab yang menjadi hak mereka,
dan supaya mereka menerima balas dendam dan dibunuh oleh
kelompok imam.7
Yang dimaksud dengan musuh-musuh yang dibangkitkan
kembali ke dunia untuk menerima balas dendam dari kelompok
Syi'ah, di dunia sebelum datangnya siksaan yang lebih
berat di akhirat itu adalah kaum Ahlus Sunnah wal
Jama'ah dibawah pimpinan Abu Bakar dan 'Umar.
Pikirkanlah paham mereka yang satu ini!
Perbedaan ketujuh, adalah bahwa mereka tidak percaya pada
ijma'. Menurut mereka ijma' itu hanyalah pendapat
para imam mereka yang dua belas orang itu. Di samping itu,
mereka meremehkan para sahabat secara umum serta memaki-maki
dan mengkafirkan mereka, terutama Abu Bakar dan 'Umar.
Semua sahabat Nabi mendapat kecaman dari mereka, kecuali
beberapa gelintir orang saja, yang jumlahnya bisa dihitung
dengan jari.
Dengan penjelasan di atas, dapatkah dibenarkan pernyataan
al-Musawi bahwa perbedaan Syi'ah dan Ahlus Sunnah hanya
terbatas dalam persoalan furu'iyah semata? Jika anda
mau memikirkannya, akan nyatalah kedustaan al-Musawi dan
benarlah pernyataan Imam Ahmad: "Syi'ah Rafidhah
sama sekali tidak termasuk golongan Islam". Juga
pernyataan Ibnu Taimiyah: "Kepercayaan kaum Rafidhah
tidak berdasar, baik pada akal maupun naqal".
Dalam mukaddimah Dialog Sunnah-Syi'ah, al-Musawi
menyatakan akan menghindari segala bentuk subjektifitas dan
fanatisme, agar bisa mencapai kebenaran yang disepakati
semua orang. Pernyataan ini memang bagus, tapi sesungguhnya
dusta belaka seperti akan terlihat oleh pembaca dalam
sanggahan-sanggahan yang akan saya utarakan nanti dengan
terinci, di mana akan terlihat bahwa al-Musawi tidak mampu
mengemukakan satu dalil pun yang sahih untuk mendukung
pendapatnya. Di balik setiap kata yang keluar dari mulutnya
terselip fanatisme yang sempit. Dan semua dalil yang ia
kemukakan hanyalah dalil-dalil palsu belaka, yang
digunakannya untuk mendukung pendapatnya.
Dalam pendahuluan Dialog Sunnah-Syi'ah, al-Musawi
melontarkan pernyataan yang menunjukkan bahwa ia tidak punya
sifat amanat. Dia tidak menyiarkan semua dialog yang
terjadiantara dia dan Syeikh al-Bisyri. Ia hanya
mengungkapkan dialog yang memperkuat pendapatnya semata.
Karena itu wajar jika terjadi penambahan di sana-sini sesuai
dengan tujuan dan kehendak al-Musawi. Ini terlihat jelas
dalam pernyataannya: "Sesungguhnya beberapa kejadian
yang menyebabkan penerbitan, buku ini tertunda, telah
membawa perubahan pada komposisinya." Dengan demikian,
al-Musawi bisa mengganti bahasa maupun suSunan kata-kata
Syeikh al-Bisyri dengan bahasa, dan suSunan kata-katanya
sendiri. Kalau pembaca menyimak dengan cermat dialog yang
dinisbatkan kepada Syeikh al-Bisyri dan yang dinisbatkan
kepada al-Musawi, pembaca akan melihat bahwa dialog-dialog
itu berasal dari satu orang saja, karena gaya bahasanya
sama. Apalagi citra Syeikh al-Bisyri dalam dialog tersebut
tak lebih dari sekedar seorang murid yang hanya pandai
mengajukan pertanyaan saja, dan tak memiliki ilmu sedikit
pun untuk bisa berdiskusi atau mengemukakan argumentasi
Pikirkanlah hal ini!
Dalam menanggapi buku Dialog Sunnah-Syi'ah, saya
--insya Allah-- akan menggunakan metoda verifikasi (tahqiq)
dan pengunjukan dalil (takhrij al-adillah) yang dikemukakan
al-Musawi untuk menguatkan madzhabnya. Kemudian akan
ditunjukkan segi-segi penyimpangannya, dengan mengemukakan
sekilas pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengenai
kaum Rafidhah. Juga pandangan ulama al-jarh wat-ta'dil
terhadap mereka. Demikian itu untuk dialog yang memang
memerlukan tanggapan demikian. Semoga tanggapan ini
bermanfaat dan menjadi amal saleh di sisi Allah. Shalawat
dan salam semoga terlimpah pada junjungan kita Muhammad saw,
keluarga dan para sahabatnya. Amin.
Catatan kaki:
1 Aqa'id at-Imamiyah
al-Itsna Asy'ariyah, Zanjani 3/123.
2 Ibid. hal. 124.
3 Ibid. 1/25.
4 Ibid, 3/149.
5 Ibid. l/24.
6 Ibid. 1/72.
7 Ibid. 3/227.
|