Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

BAGIAN DUA

MUKADDIMAH I

Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. Kita mohonkan pertolongan dan ampun kepada-Nya. Kita berlindung dari keburukan diri dan perbuatan kita. Barangsiapa yang mendapat petunjuk dari Allah, maka tak seorang pun yang akan dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tak seorang pun yang akan dapat menunjukinya. Kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Buku Dialog Sunnah-Syi'ah karangan 'Abdul Husain al-Musawi, termasuk. salah satu buku yang dapat menggoyahkan keyakinan kebanyakan orang Islam Sunni, terutama mereka yang belum tahu tentang akidah kaum Rafildhah dan prinsip-prinsip kepercayaan mereka yang sesat. Juga tidak mengetahui pemikiran mereka yang didasarkan pada dalil-dalil yang palsu, dan mempermain-mainkan dalil-dalil yang sahih, misalnya dengan menambah-nambah atau mengurangi sebagian darinya, atau memberi interpretasi semaunya. Semua itu mereka lakukan untuk mendukung madzhabnya dan menutupi kelemahan-kelemahannya. Dan itulah yang diperbuat al-Musawi dalam bukunya, Dialog Sunnah-Syi'ah, sebagaimana akan diuraikan nanti secara terinci dalam bentuk kritik dan sanggahan terhadap segala kebathilan yang dikemukakannya.

Menurut al-Musawi, buku Dialog Sunnah-Syi'ah itu merupakan kumpulan dialognya dengan Syeikh al-Bisyri, Rektor al-Azhar, pada tahun 1329H. Dialog tersebut dilatarbelakangi oleh renungan dan keprihatinan yang mendalam mengenai pelbagai bencana yang melanda ummat Islam, seperti permusuhan dan sikap saling membenci diantara sesama mereka. Keprihatinan itu kemudian disampaikannya kepada Syeikh al-Bisyri agar supaya ia turut merasakannya pula. Kepadanya, al-Musawi menunjukkan keinginannya untuk mencari titik temu antara kelompok Syi'ah dan Sunnah.

Namun sesungguhnya dialog tersebut bukanlah fakta. Ia hanyalah dusta yang dikarang-karang belaka. Setelah beredar kira-kira 30 tahun lamanya, belum ada seorang pun ulama Sunni yang memberikan tanggapan terhadap buku palsu itu, baik secara terinci maupun global. Buku tersebut kemudian banyak mempengaruhi ummat Islam, baik yang cendekia maupun yang awam. Ini disebabkan karena mereka tidak mengerti tentang akidah kaum Rafidhah dan dasar-dasar kepercayaan mereka yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam, baik yang tertuang dalam al-Qur'an maupun Sunnah yang otentik. Mereka tidak tahu bahwa dalam, buku tersebut terdapat kepalsuan, karena al-Musawi mengemukakan kesepakatan Syeikh al-Bisyri terhadap dalil-dalil palsu yang ia kemukakan. Dan selama itu tidak ada orang yang mampu membuka tabir kepalsuan buku tersebut dan menjelaskan kepada mereka isinya yang sesat dan menyesatkan. Adalah suatu kewajiban untuk mengingatkan ummat Islam akan kejahatan musuh-musuhnya, dan menunjukkan golongan-golongan yang menyimpang dari Islam. Tindakan tersebut merupakan pengabdian yang paling besar dimata Allah, karena dengan itu yang buruk dapat dibedakan dari yang baik, dan jalan yang sesat dapat dibedakan dari jalan yang benar dan lurus.

Atas dasar pemikiran itu, saya terdorong untuk memberi tanggapan terhadap buku al-Musawi tersebut, demi mengharap ridha Allah semata-mata: Semoga karya ini menjadi benteng bagi hamba-hamba-Nya dan menjadi penguat bagi agama-Nya. Juga diharapkan meningkatkan gairah atas Sunnah Rasul.

Pada pendahuluannya, al-Musawi menjelaskan bahwa bukunya itu telah disusun kurang lebih seperempat abad yang lewat, namun karena satu dan lain hal, penerbitan dan penyebarannya tertunda. Setelah pelbagai hambatan dan kendala tersebut lenyap; naskah tersebut lalu dibukukan dan disebarluaskan.

Pembaca mungkin bertanya-tanya, apa yang dimaksud al-Musawi dengan pelbagai kendala yang menyebabkan penerbitan buku itu tertunda sekian lama? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak bisa dijawab, karena al-Musawi tidak menyebutkan apa hambatan-hambatan atau kendala-kendala tersebut.

Kalau kita pelajari sejarah pada masa di mana buku itu siap diterbitkan, kita tidak akan melihat adanya kendala yang dapat dipandang sebagai penghambat disebarkannya buku dialog itu.

Adalah rencana al-Musawi sendiri yang menyebabkan penerbitan buku itu tertunda. Iklim yang ada masa itu memang tidak menunjang keinginan al-Musawi. Masa itu, adalah masa akhir Kerajaan 'Utsmani, di mana pemerintahnya sangat peka terhadap ancaman musuh-musuh Islam dan giat memerangi kelompok-kelompok sesat yang berkedok Islam, termasuk kelompok Rafidhah. Al-Musawi tidak berani menerbitkan bukunya itu di masa itu, karena didalamnya terdapat banyak hal yang berlawanan dengan al-Qur'an dan Sunnah. Kerajaan 'Utsmani jelas tidak akan mentolerir tersebarnya buku seperti itu. Untuk itu, al-Musawi perlu menunggu waktu yang tepat untuk menyebarluaskan bukunya yang penuh kesesatan itu.

Musuh-musuh kemudian Islam berhasil menumbangkan Kerajaan 'Utsmani,' melalui pelbagai tipu daya baik oleh kalangan Yahudi maupun Kristen, dan orang-orang yang terpengaruh gerakan mereka, seperti kelompok-kelompok sesat yang munafik, yang hidup dengan dua muka. Secara lahiriyah mereka Islam, tetapi batin mereka penuh kekufuran. Keberhasilan tersebut juga didukung oleh adanya kelompok tertentu yang berpihak pada musuh Islam dalam setiap peristiwa yang menimpa ummat, seperti kaum an-Nasiriyah dan Isma'iliyah yang berpihak pada bangsa Tartar ketika mereka menyerbu Daulah 'Abbasiyah. Demikian pula sikap mereka terhadap gerakan salibisme.

Setelah Kerajaan 'Utsmani jatuh dan penjajah-penjajah Barat datang untuk membagi-bagi wilayahnya untuk diri mereka, dapatlah al-Musawi bernapas lega. Ia memandang masa ini merupakan momentum yang tepat untuk menyebarkan bukunya. Ini menunjukkan adanya hubungan kelompok al-Musawi dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Kalau tidak, al-Musawi tidak akan mampu menyebar gagasannya. Coba saja lihat, bagaimana al-Musawi memandang Kerajaan 'Utsmani sebagai hambatan dan bencana, sementara penjajahan Barat terhadap Islam dipandang sebagai nikmat dan rahmat!

Hal lain yang menyebabkan penerbitan buku itu tertunda adalah karena dialog yang ada dalam buku itu sesungguhnya tidak pernah ada. Maka jika buku itu diterbitkan setelah penyuSunannya selesai, tentu akan banyak ulama yang membantah keabsahannya, terutama Syeikh al-Bisyri sendiri yang dicatut namanya. Setelah Syeikh al-Bisyri wafat dan beberapa ulama lain sahabatnya wafat pula, dan orang-orang yang hidup pun tidak ingat lagi soal dialog itu, mana yang benar dan bagaimana rinci-rincinya, maka segeralah al-Musawi menerbitkan bukunya yang palsu itu.

Al-Musawi memang tidak berbeda dengan orang-orang Rafidhah lainnya, yang menghalalkan dusta untuk menguatkan madzhabnya. Dusta baginya merupakan agama. Dengan sendirinya ia tidak menjelaskan faktor apa yang menyebabkan penerbitan bukunya itu harus ditunda. Bahkan ia perlu berdusta kepada pembaca dengan menyebutkan banyak kendala, tanpa menjelaskan satu pun daripadanya.

Keheranan pembaca akan kedustaan al-Musawi tentu akan segera hilang jika mengetahui bahwa orang-orang Rafidhah memandang Kerajaan 'Utsmani, Daulah 'Umayah dan Khilafah al Rasyidah sebelumnya sebagai bencana atas ummat Islam. Pandangan demikian dinyatakan dalam buku al-Hukumah al-Islamiyah karangan Ayatullah Khumaini.

Dalam pendahuluan buku Dialog Sunnah-Syi'ah, al-Musawi menampakkan rasa gairah pada ummat Islam dan rasa prihatinnya atas permusuhan yang terjadi selama ini diantara sesama Muslim, yang disebabkan adanya perselisihan antara kelompok Syi'ah dan Sunnah. Ia menghendaki kenyataan ini dapat diatasi, sehingga bisa digalang kesatuan dan persaudaraan Muslim.

Menurut hemat saya, yang menjadi biang keladi perpecahan antara kelompok Sunnah dan Rafidhah adalah akidah kaum Rafidhah yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam. Mereka menyimpang jauh dari apa yang ada pada Nabi dan para sahabatnya, dan dari apa yang ada pada tiga generasi pertama yang dinyatakan oleh Rasulullah sebagai generasi terbaik. Ini merupakan kenyataan yang tidak memerlukan bukti, bahkan tidak perlu disebutkan lagi. Pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut apa yang saya katakan tadi, bisa menelaah banyak buku-buku yang menerangkan akidah kaum Rafidhah dan dasar-dasar kepercayaan mereka yang bertolak belakang dengan dasar-dasar Islam yang menjadi prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah. wal Jama'ah. Buku yang paling baik dalam soal ini adalah buku Minhaj as-Sunnah, karya Ibn Taimiyah.

Jika hal di atas telah kita sepakati, maka mungkinkah ada jalan untuk menyatukan dua kelompok tersebut dan menghilangkan permusuhan diantara mereka dengan cara menyelaraskan prinsip-prinsip dasar keduanya yang bertolak belakang, sebagai dikehendaki oleh al-Musawi ?

Apa yang diusahakan oleh al-Musawi itu adalah suatu kemustahilan. Sebab, kalaupun kita mendukungnya, toh tidak mungkin menyeleraskan yang hak dengan yang bathil, atau menyatukan Islam dan Kafir.

Jalan satu-satunya untuk menyatukan ummat dan menghilangkan firqah-firqah yang ada, hanyalah dengan jalan kembali kepada al-Qur'an dan sunnah, serta pemikiran ulama salaf ash-Shaleh, sebagaimana dijelaskan oleh Allah:

Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada. Allah dan hari kemudian. (QS, an-Nisa', 4:59).

Dan sabda Nabi:

Aku tinggalkan untuk kamu sesuatu yang jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan sesat: Kitab Allah dan Sunnahku. (HR. Malik, Tirmidzi dan Ahmad)

Apakah kaum Rafidhah menerima seruan Allah dan Rasul-Nya seperti tersebut dalam ayat dan hadits di atas? Nonsens, jauh panggang dari api. Sebab, andaikata mereka menerima himbauan Allah dan Rasul-Nya, tentu al-Musawi tidak akan menggebu-gebu mencari solusi lain selain yang dikemukakan Allah dan Rasul-Nya. Dan ia tidak akan menjadi pemimpin kekafiran dan kesesatan, serta pembid'ah yang selalu mempromosikan ajarannya dan mengkufurkan orang lain yang tidak sependapat dengan pahamnya.

Pada pendahuluan Dialog Sunnah-Syi'ah, al-Musawi memuji negeri Mesir sebagai negeri tempat berseminya ilmu pengetahuan yang murni dan obyektif, yang tunduk pada kebenaran yang berlandaskan dalil yang kokoh. Ini merupakan kelebihan Mesir yang lebih menonjol daripada kelebihan-kelebihannya yang lain. Menurut hemat saya, pujian ini hanyalah rayuan gombal yang keluar dari mulut seorang Rafidhah yang memimpikan berkembangnya paham rafadh dan tasyayyu' untuk kedua kalinya di Mesir, sebagaimana pernah tumbuh pada pemerintahan Fathimiyah yang pro kebatinan.

Al-Musawi meyakini kema'shuman Para imam. Dia berpura-pura atau melakukan taqiyah, ketika memuji Syeikh al-Bisyri, agar supaya diterima dialognya, dan membuatnya hidup dan nampak seperti benar-benar terjadi, sebab diterima oleh seorang imam yang ma'shum, sebagaimana ia ditawarkan oleh seorang imam yang ma'shum pula.

Sayangnya, al-Musawi tak tahu bahwa kaum Sunni tidak sama dengan Syi'ah. Mereka (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) tidak meyakini kema'shuman manusia selain para Nabi. Mereka yakin bahwa setiap orang bisa diterima atau ditolak pendapatnya, kecuali Rasulullah saw. Kalaupun dialog tersebut memang benar-benar terjadi, kita juga tidak bisa membenarkan isinya begitu saja semata-mata karena Syeikh al-Bisyri telah menerimanya. Sebab Syeikh al-Bisyri juga manusia biasa, yang pikirannya bisa salah. Pendapat beliau tidak biasa dianggap mewakili hujjah syar'iyah yang dapat membedakan yang hak dengan yang bathil, yang benar dengan yang dusta.

Pada pendahuluan bukunya al-Musawi menegaskan demikian: "Kita sepakat bahwa kelompok Sunnah dan Syi'ah sama-sama orang Islam. Agama mereka sama, yaitu Islam, agama yang hanif, condong pada kebenaran. Mereka lama-lama menerima apa yang dibawa oleh Rasul (as-Sunnah). Pendeknya, tidak ada perbedaan prinsipil diantara mereka. Juga tidak ada perselisihan, kecuali dalam hasil-hasil ijtihad para mujtahid mengenai sebagian hukum. Hal ini disebabkan perbedaan dalam cara mengeluarkan hukum (istinbath al-ahkam), baik dari al-Qur'an, Sunnah, Ijma', maupun dalil yang keempat (qias)."

Pernyataan di atas menurut hemat saya tidak dapat diterima, sebab bertentangan dengan komitmen pemuka-pemuka Rafidhah dan kepercayaan mereka yang berbeda dengan dasar-dasar kepercayaan Ahlus Sunnah.

Salah satu kepercayaan kaum Rafidhah yang berbeda dengan Ahlus Sunnah adalah mengenai tauhid asma' dan sifat. Ini terlihat jelas dari pernyataan mereka mengenai dzat Tuhan: "Tuhan itu bukan jauhar (substansi) dan bukan pula 'aradh (sifat). Sebab jauhar dan 'aradh itu bagian dari benda wujud yang mungkin, dan butuh kepada orang atau dzat yang menciptakannya. Atau keduanya itu merupakan kepastian dari segala sesuatu yang ada, sebagaimana kepastian akal, roh, dan nafsu bagi setiap sesuatu (jisim) yang hidup atau bergerak.1

Perbedaan yang lain adalah interpretasi mereka atas sebagian sifat-sifat Tuhan yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab-Nya. Mereka memandang sifat-sifat itu sebagai hal yang majazi (kiasan), tidak hakiki. Ini dapat dilihat dalam pernyataan mereka: "Sekelompok orang Islam, diluar Syi'ah, beranggapan bahwa Tuhan mempunyai tangan, wajah (muka), mata, betis; atau mereka menganggap Tuhan bersemayam berada, (istawa') di atas 'Arasy. Pandangan ini menurut mereka didasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an. Sesungguhnya apa yang mereka katakan itu tidak berdasar, dan tidak benar menurut akidah Syi'ah al-Ja'fariyah.2

Menurut kepercayaan Syi'ah Ja'fariyah Itsna 'Asyariyah, kata wajah, tangan, dan istana, yang dinisbatkan kepada Allah semuanya adalah ungkapan majazi yang tidak menggunakan makna hakekatnya. Mereka bahkan mengkufurkan kaum Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena yang disebut terakhir ini menetapkan sifat-sifat Tuhan sebagaimana yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya. Mereka berkata: "Barangsiapa mengatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, mata, dan wajah, atau bahwa Tuhan turun ke langit dunia, atau hadir dan menampakkan diri kepada penghuni surga, maka ia dapat disamakan dengan orang kafir, yang buta akan hakekat al Khalik yang bersih dari segala sifat kekurangan.3

Perbedaan ketiga adalah kepercayaan mereka akan al-bada'. Yang dimaksud dengan al-bada' ialah menisbatkan kebodohan, alpa dan kelalaian kepada Allah. Dalam kitab al-Kafi, karya al-Kulaini dikatakan: "Tiada keagungan Allah yang melebihi al-bada'. Tuhan tidak mengangkat seorang Nabi, kecuali ia memiliki perjalanan hidup (sejarah) yang baik. Dan Tuhan tidak mengutus seorang Nabi, kecuali dia mengajarkan tentang al-bada'. Tiada keagungan dan kebesaran Allah yang melebihi al-bada'.4

Perbedaan keempat ialah konsepsi mereka mengenai tauhid. Mereka menjadikan tauhid bertingkat-tingkat dan berbilang-bilang. Pertama, tauhid orang awam. Tauhid ini bertumpu pada kalimat Ia ilaha illallah. Kedua, tauhid orang khusus. Tauhid, ini hasil pemahaman dari ungkapan ia huwa illa huwa. Ketiga, tauhid orang yang lebih khusus, dengan rumusan ia haula wala quwata illa billah. Dan keempat, tauhid orang yang paling khusus, atau tauhid akhashshul khawash. Tauhid ini menyatakan bahwa "Tiada yang berpengaruh di alam ini kecuali Allah."

Mereka juga menisbatkan ucapan berikut ini kepada imam 'Ali: Pada mulanya agama itu mengenal Allah. Pengenalan ini menjadi sempurna dengan tasdiq (meyakini ada-Nya). Tasdiq dapat sempurna dengan tauhid (mengesakan-Nya). Tauhid menjadi sempurna dengan ikhlas (memurnikan-Nya). Dan kesempurnaan ikhlas dapat dicapai dengan menegasikan sifat-sifat Tuhan (nafy ash-Shifat).5 Perhatikan, bagaimana mereka menyatakan kesempurnaan ikhlas itu dengan menegasikan sifat Tuhan!

Perbedaan kelima ialah konsep mereka mengenai imamah (kepemimpinan). Mereka memandang imamah sebagai salah satu rukun iman. Setiap orang, menurut mereka, wajib percaya pada dua belas imam. Menurut mereka keimanan mereka itu ditetapkan dengan nash Allah dan Rasul. Mereka juga menyatakan bahwa para imam itu ma'shum, terpelihara dari kesalahan, sebagaimana para nabi.6

Perbedaan keenam, adalah kepercayaan mereka pada raj'ah. Menurut mereka, raj'ah adalah bangkit kembalinya orang-orang yang telah mati, bersamaan dengan datangnya Imam Muhammad ibn Hasan al-Askari. Mereka yang dibangkitkan terdiri dari para pendukung dan musuh-musuh imam. Yang pertama dibangkitkan, supaya memperoleh pahala besar karena membela imam, dan supaya mereka turut berbahagia menyaksikan kedaulatan negara imam. Sedangkan kelompok yang kedua (musuh-musuh imam), mereka dibangkitkan untuk memperoleh siksa atau adzab yang menjadi hak mereka, dan supaya mereka menerima balas dendam dan dibunuh oleh kelompok imam.7

Yang dimaksud dengan musuh-musuh yang dibangkitkan kembali ke dunia untuk menerima balas dendam dari kelompok Syi'ah, di dunia sebelum datangnya siksaan yang lebih berat di akhirat itu adalah kaum Ahlus Sunnah wal Jama'ah dibawah pimpinan Abu Bakar dan 'Umar. Pikirkanlah paham mereka yang satu ini!

Perbedaan ketujuh, adalah bahwa mereka tidak percaya pada ijma'. Menurut mereka ijma' itu hanyalah pendapat para imam mereka yang dua belas orang itu. Di samping itu, mereka meremehkan para sahabat secara umum serta memaki-maki dan mengkafirkan mereka, terutama Abu Bakar dan 'Umar. Semua sahabat Nabi mendapat kecaman dari mereka, kecuali beberapa gelintir orang saja, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Dengan penjelasan di atas, dapatkah dibenarkan pernyataan al-Musawi bahwa perbedaan Syi'ah dan Ahlus Sunnah hanya terbatas dalam persoalan furu'iyah semata? Jika anda mau memikirkannya, akan nyatalah kedustaan al-Musawi dan benarlah pernyataan Imam Ahmad: "Syi'ah Rafidhah sama sekali tidak termasuk golongan Islam". Juga pernyataan Ibnu Taimiyah: "Kepercayaan kaum Rafidhah tidak berdasar, baik pada akal maupun naqal".

Dalam mukaddimah Dialog Sunnah-Syi'ah, al-Musawi menyatakan akan menghindari segala bentuk subjektifitas dan fanatisme, agar bisa mencapai kebenaran yang disepakati semua orang. Pernyataan ini memang bagus, tapi sesungguhnya dusta belaka seperti akan terlihat oleh pembaca dalam sanggahan-sanggahan yang akan saya utarakan nanti dengan terinci, di mana akan terlihat bahwa al-Musawi tidak mampu mengemukakan satu dalil pun yang sahih untuk mendukung pendapatnya. Di balik setiap kata yang keluar dari mulutnya terselip fanatisme yang sempit. Dan semua dalil yang ia kemukakan hanyalah dalil-dalil palsu belaka, yang digunakannya untuk mendukung pendapatnya.

Dalam pendahuluan Dialog Sunnah-Syi'ah, al-Musawi melontarkan pernyataan yang menunjukkan bahwa ia tidak punya sifat amanat. Dia tidak menyiarkan semua dialog yang terjadiantara dia dan Syeikh al-Bisyri. Ia hanya mengungkapkan dialog yang memperkuat pendapatnya semata. Karena itu wajar jika terjadi penambahan di sana-sini sesuai dengan tujuan dan kehendak al-Musawi. Ini terlihat jelas dalam pernyataannya: "Sesungguhnya beberapa kejadian yang menyebabkan penerbitan, buku ini tertunda, telah membawa perubahan pada komposisinya." Dengan demikian, al-Musawi bisa mengganti bahasa maupun suSunan kata-kata Syeikh al-Bisyri dengan bahasa, dan suSunan kata-katanya sendiri. Kalau pembaca menyimak dengan cermat dialog yang dinisbatkan kepada Syeikh al-Bisyri dan yang dinisbatkan kepada al-Musawi, pembaca akan melihat bahwa dialog-dialog itu berasal dari satu orang saja, karena gaya bahasanya sama. Apalagi citra Syeikh al-Bisyri dalam dialog tersebut tak lebih dari sekedar seorang murid yang hanya pandai mengajukan pertanyaan saja, dan tak memiliki ilmu sedikit pun untuk bisa berdiskusi atau mengemukakan argumentasi Pikirkanlah hal ini!

Dalam menanggapi buku Dialog Sunnah-Syi'ah, saya --insya Allah-- akan menggunakan metoda verifikasi (tahqiq) dan pengunjukan dalil (takhrij al-adillah) yang dikemukakan al-Musawi untuk menguatkan madzhabnya. Kemudian akan ditunjukkan segi-segi penyimpangannya, dengan mengemukakan sekilas pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengenai kaum Rafidhah. Juga pandangan ulama al-jarh wat-ta'dil terhadap mereka. Demikian itu untuk dialog yang memang memerlukan tanggapan demikian. Semoga tanggapan ini bermanfaat dan menjadi amal saleh di sisi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah pada junjungan kita Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya. Amin.

Catatan kaki:

1 Aqa'id at-Imamiyah al-Itsna Asy'ariyah, Zanjani 3/123.

2 Ibid. hal. 124.

3 Ibid. 1/25.

4 Ibid, 3/149.

5 Ibid. l/24.

6 Ibid. 1/72.

7 Ibid. 3/227.


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.