KESIMPULAN
Setelah kita mengungkap kerancuan penulis Dialog
Sunnah-Syi'ah secara terinci mengenai biografi perawi-perawi
hadits, kita dapat menyimpulkan bahwa al-Musawi tidak
membedakan antara tasyayyu' dan rafadh. Orang Syi'ah ia
sebut orang Rafidhah padahal, antara tasyayyu' dan rafadh
menurut ulama Sunni berbeda.
Karena itu, haruslah dibedakan pula riwayat orang Syi'ah
dengan orang Rafidhah. Sudah saya kemukakan terdahulu bahwa
ulama Sunni menerima riwayat orang Syi'ah, dengan catatan ia
dikenal jujur, amanah dan tidak mempromosikan bid'ahnya.
Adapun riwayat orang Rafidhah, mereka tidak dapat
menerimanya sama sekali dalam keadaan bagaimanapun, lantaran
terlalu buruknya keyakinan orang Rafidhah itu.
Termasuk kerancuan yang dilakukan al-Musawi, penulis
Dialog Sunnah-Syi'ah, adalah bahwa ia memandang tsiqat
perawi-perawi yang matruk dan dha'if, baik karena buruknya
madzhab mereka atau karena cacatnya keadilan mereka lantaran
suka berdusta. Ia memandang tsiqat terhadap mereka semua.
Ini berbeda dan berlawanan dengan kesepakatan ulama jarh wat
ta'dil. Ia menentang keras pendapat ulama yang ahli dalam
bidang ini. Hal demikian tidak lain karena madzhab para
perawi yang matruk dan dha'if itu sesuai dengan madzhab
al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah.
Termasuk kerancuan yang dilakukannya, ialah kecamannya
terhadap beberapa perawi hadits yang tsiqat dari kalangan
Ahlus Sunnah wal-Jama'ah, seperti Aban ibn Taghlib,
'Abdurazaq ibn Himam, Waqi' ibn Jarah dan 'Ali ibn al-Ja'ad.
Ia memandang mereka itu dari kalangan Rafidhah setelah ia
mengeluarkan mereka dari ikatan Ahlus Sunnah wal
Jama'ah.
Itu didasarkan pada pendapat Ibn Quthaibah dalam kitab
Ma'arif dan riwayat asy-Syahrastani dalam bukunya al-Milal
wan Nihal. Menurut kode etik ilmiah, ia harus menjelaskan
bahwa Ibn Quthaibah dan asy-Syahrastani adalah para sarjana
yang meneliti berbagai madzhab dan aliran. Mereka
menempatkan para perawi atas dasar memihak atau tidaknya
kepada 'Ali ibn Abi Thalib dalam pertikaiannya dengan
Mu'awiyah. Untuk itu, mereka menyebut seseorang itu Syi'ah
manakala ia berpihak kepada 'Ali.
Sudah saya kemukakan dengan jelas bahwa menurut ulama
jarh wat-ta'dil, pendapat Ibn Quthaibah dan asy-Syahrastani
tidak merusak seorang perawi. Hanya perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut, apakah ia perawi yang suka
berdusta, membuat bid'ah dan mempromosikannya serta
lain-lain hal yang dapat membuat seorang perawi menjadi
cidera atau cacat.
Juga termasuk dalam kerancuan yang dilakukan al-Musawi,
penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, adalah kritik dia terhadap dua
Kitab Shahih, Bukhari dan Muslim. Ia mengecam beberapa
perawi yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab
mereka, tanpa menyebutkan argumen mereka menerima riwayat
para perawi itu dan tanggapan Ahlus Sunnah terhadap
kenyataan itu.
Padahal, menurut ketentuan ilmiah, seharusnya ia
menyebutkan kepada pembaca tentang pendapat Ahlus Sunnah
dengan mengutip keterangan dari buku-buku mereka. Mengenai
tanggapan Ulama Sunni, telah diuraikan secara panjang lebar
dalam Hadi al-Sari (Syarah Shahih Bukhari) dan kitabnya Imam
Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Juga dijelaskan dalam berbagai
kitab ushul al-hadits lainnya.
Tapi al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, dan pemuka
kaum Rafidhah lainnya selalu melontarkan keragu-raguan
terhadap kedua kitab sahih itu, dengan tujuan agar
mendapatkan peluang besar untuk menjatuhkan Islam dan kaum
Muslimin. Dan saya, dengan izin Allah, telah membeberkan
beberapa kerancuan dan keraguan yang sengaja mereka
ciptakan.
Salah satu kerancuan juga yang dia lakukan adalah bahwa
dia tidak membedakan antara para perawi yang hanya
diriwayatkan haditsnya tetapi tidak dijadikan hujjah, dengan
perawi yang dijadikan hujjah. Karena itu, ketika salah
seorang dari ashabus-Sunan menerima riwayat yang lema, ia
katakan bahwa dia telah berhujjah dengan riwayat lemah
itu.
Padahal, sesungguhnya yang benar dalam masalah ini adalah
bahwa orang dapat meriwayatkan hadits dari seorang perawi,
walaupun hadits itu tidak dijadikan, hujjah, sebagaimana
telah saya terangkan terdahulu. Al-Musawi, penulis Dialog
Sunnah-Syi'ah melakukan hal di atas dengan tujuan memberikan
gambaran yang salah kepada pembaca bahwa ulama jarh wa
ta'dil dan ulama hadits lainnya dari kalangan Ahlus Sunnah
wal Jama'ah tidak memiliki metoda ilmiah yang baku dalam
melakukan jarh dan ta'dil. Ini merupakan suatu hal yang
dapat menciptakan keragu-raguan ketika mereka mengecam
seorang perawi, namun kemudian mereka berhujjah dengan
riwayatnya. Di sini pasti akan muncul keragu-raguan itu.
Padahal, hakekat persoalan yang sesungguhnya tidaklah
demikian. Para ulama Sunni mengeluarkan hadits darl para
perawi yang lemah itu bukan untuk dibuat hujjah, melainkan
untuk penguat dan pendukung semata. Dan hal itu dipandang
suatu kebajikan di dalam kitab ushul hadits ulama Sunni.
Mengenai pernyataan al-Musawi, penulis Dialog
Sunnah-Syi'ah bahwa 100 tokoh yang dikemukakannya itu adalah
tokoh dan perawi Syi'ah, itu merupakan pernyataan yang penuh
kepalsuan dan kebohongan semata. Dengan pernyataan itu, ia
bermaksud untuk mengeluarkan mereka dari ikatan Ahlus Sunnah
wal Jama'ah. Sebab menurut dia, Syi'ah adalah sekelompok
orang yang berlawanan dengan Ahlus Sunnah. Karena itu,
ketika mengklaim 100 perawi itu sebagai perawi Syi'ah, maka
menurutnya mereka secara otomatis bukanlah orang Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.
Padahal, sebenarnya tasyayyu' itu tidaklah menyebabkan
seseorang keluar dari ikatan Ahlus Sunnah manakala ia hanya
berpihak kepada 'Ali dalam pertikaiannya dengan Mu'awiyah,
tanpa berlebih-lebihan dan tanpa merendahkan para sahabat
nabi yang lain, terutama Abu Bakar dan 'Umar. Akan tetapi
jika seseorang telah melewati batas ketentuan di atas dan
sampai ke tingkat berlebihan dan mengecam para sahabat,
termasuk Abu Bakar dan 'Umar; maka seketika itu ia tidak
lagi disebut bertasyayyu', melainkan rafadh, dan orang yang
memiliki kepercayaan seperti itu tidak lagi disebut Syi'ah,
tetapi Rafidhah, yang menyimpang dari kelompok Ahlus Sunnah
wal Jama'ah.
Adapun perawi yang 100 itu tidak ada dari mereka yang
dipandang rafadh atau ekstrim. Mereka paling tinggi hanyalah
disebut bertasyayyu'. Karena itu, mereka masih tergolong
Ahlus Sunnah. Tidak benar jika mereka dipandang sebagai
kelompok tersendiri yang berbeda dari Ahlus Sunnah walau
sekedar nama untuk kelompok mereka, selama pokok-pokok
kepercayaan mereka tidak berlawanan dengan Ahlus Sunnah.
Tidak ada ulama yang menyebut mereka itu sebagai perawi
Syi'ah, kecuali Ibn Quthaibah dan asy-Syahrastani. Dan sudah
saya kemukakan secara jelas apa yang dimaksud Syi'ah oleh
kedua ulama tersebut.
Mengenai pernyataan al-Musawi bahwa ulama Sunni berhujjah
dengan perawi Syi'ah, perlu dijelaskan lebih rinci.
Sesungguhnya, menurut ulama Sunni, para perawi yang
dipandang Syi'ah itu tidaklah keluar dari ikatan Ahlus
Sunnah, dan tidak menyimpang dari prinsip ajaran Ahlus
Sunnah. Sebab, yang dimaksud dengan Syi'ah menurut ulama
Sunni adalah pemihakan kepada 'Ali dalam pertikaiannya
melawan Mu'awiyah, tak lebih dari itu.
Mengenai pernyataannya bahwa orang yang tidak sependapat
dengannya akan mengetahui kesalahan mereka, dan seterusnya,
sesungguhnya ulama Sunni membedakan antara Syi'ah yang tidak
berbeda pokok-pokok ajarannya dengan Ahlus Sunnah, dari
Syi'ah ekstrim dan Rafidhah. Mereka menerima riwayat
kelompok yang pertama jika itu sesuai dengan kriteria
mereka, tetapi tidak menerima riwayat kelompok kedua dalam
keadaan bagaimanapun.
Mengenai pernyataannya bahwa "Mereka akan mengetahui
bahwa yang terpenting bagi mereka adalah jujur dan amanah,
tanpa membedakan antara Sunni atau Syi'ah," ulama Ahlus
Sunnah wal
Jama'ah mengakui bahwa kejujuran dan amanah merupakan hal
penting dalam menerima dan menolak riwayat. Mereka juga
mengakui bahwa mereka tidak membedakan antara Sunni dan
Syi'ah. Hanya saja, mereka menetapkan syarat untuk perawi
Syi'ah, yaitu bukan yang ekstrim alias ghulat, dan rafadh,
dan tidak mempromosikan bid'ahnya.
Mengenai pernyataannya bahwa "Ketahuilah bahwa mereka
adalah perawi Syi'ah dari kalangan sahabat," maka hendaklah
anda ketahui bahwa kalangan sahabat tidak ada Syi'ah, dalam
arti suatu kelompok yang berbeda dari Ahlus Sunnah. Semua
sahabat adalah tergolong Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena
mereka tidak ada yang menyimpang dari ajaran pokok
Rasulullah, kendati terdapat perselisihan diantara mereka
setelah terbunuhnya sahabat 'Utsman ibn 'Affan. Juga,
walaupun terjadi perpecahan dan saling menyalahkan sebagian
mereka terhadap sebagian yang lain, namun masing-masing
kelompok yang bertikai tidak keluar dan menyimpang dari
pokok ajaran agama. Demikian pula yang terjadi pada kalangan
tabi'in. Jika yang dimaksud dengan Syi'ah dari kalangan
sahabat itu adalah orang yang mendukung 'Ali ibn Abi Thalib,
maka sikap dan tindakan seperti ini tidak dipandang
menyimpang dari pokok-pokok agama, demikian pula untuk para
sahabat yang mendukung Mu'awiyah.
Mengenai pernyataannya: "Dan orang yang selalu melakukan
taqiyyah lantaran takut dan lemah"; dari pernyataan di atas
nyatalah pengakuan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah
mengenai taqiyyah dan wajibnya dilakukan taqiyyah terhadap
Ahlus Sunnah wal Jama'ah sekalipun. Padahal taqiyyah adalah
suatu kemurahan Allah kepada orang Muslim supaya selamat
dari tekanan dan siksaan orang kafir. Hal ini berdasarkan
firman Allah: illa an tattaqu minhum tuqah. Dengan demikian
tidak boleh melakukan taqiyyah terhadap sesama Muslim.
Adapun kaum Rafidhah, mereka menganggap wajib melakukannya,
walau terhadap Ahlus Sunnah sekalipun. Di sini mereka tidak
membedakan antara orang kafir dan Muslim Sunni.
Perhatikanlah.
Mengenai pernyataannya: "Ada 100 perawi yang terpercaya,
hafidz dan pemuka agama dari kalangan Syi'ah, pendukung
keluarga Muhammad, yang ulama Sunni melupakannya; " maka
tidak dapat disangkal lagi bahwa di dalam pernyataan ini
terkandung kezaliman terhadap ulama-ulama Sunni, juga
kedengkian dan iri hati, sebab ia menggambarkan orang Sunni
sebagai musuh keluarga Muhammad. Bahkan digambarkan bahwa
mereka dan keluarga Muhammad berada di dua kutub yang
berlawanan.
Sesungguhnya orang Sunni, walaupun tidak meyakini adanya
'ishmah pada keluarga Muhammad, juga pada manusia lainnya,
namun mereka tidak pernah melupakan seorang perawi yang
terbukti adil dan tsiqat. Sebab melupakan seorang perawi
berarti melupakan sunnah. Tetapi kaum Rafidhah menolak
riwayat para sahabat dan melupakannya, sebab mereka
menggugurkan sifat adil para sahabat, karena mereka
mengkafirkan para sahabat, kecuali beberapa orang saja dari
mereka. Dengan demikian, mereka telah menyia-nyiakan banyak
hadits Nabi.
|