Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

KESIMPULAN

Setelah kita mengungkap kerancuan penulis Dialog Sunnah-Syi'ah secara terinci mengenai biografi perawi-perawi hadits, kita dapat menyimpulkan bahwa al-Musawi tidak membedakan antara tasyayyu' dan rafadh. Orang Syi'ah ia sebut orang Rafidhah padahal, antara tasyayyu' dan rafadh menurut ulama Sunni berbeda.

Karena itu, haruslah dibedakan pula riwayat orang Syi'ah dengan orang Rafidhah. Sudah saya kemukakan terdahulu bahwa ulama Sunni menerima riwayat orang Syi'ah, dengan catatan ia dikenal jujur, amanah dan tidak mempromosikan bid'ahnya. Adapun riwayat orang Rafidhah, mereka tidak dapat menerimanya sama sekali dalam keadaan bagaimanapun, lantaran terlalu buruknya keyakinan orang Rafidhah itu.

Termasuk kerancuan yang dilakukan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, adalah bahwa ia memandang tsiqat perawi-perawi yang matruk dan dha'if, baik karena buruknya madzhab mereka atau karena cacatnya keadilan mereka lantaran suka berdusta. Ia memandang tsiqat terhadap mereka semua. Ini berbeda dan berlawanan dengan kesepakatan ulama jarh wat ta'dil. Ia menentang keras pendapat ulama yang ahli dalam bidang ini. Hal demikian tidak lain karena madzhab para perawi yang matruk dan dha'if itu sesuai dengan madzhab al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah.

Termasuk kerancuan yang dilakukannya, ialah kecamannya terhadap beberapa perawi hadits yang tsiqat dari kalangan Ahlus Sunnah wal-Jama'ah, seperti Aban ibn Taghlib, 'Abdurazaq ibn Himam, Waqi' ibn Jarah dan 'Ali ibn al-Ja'ad. Ia memandang mereka itu dari kalangan Rafidhah setelah ia mengeluarkan mereka dari ikatan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Itu didasarkan pada pendapat Ibn Quthaibah dalam kitab Ma'arif dan riwayat asy-Syahrastani dalam bukunya al-Milal wan Nihal. Menurut kode etik ilmiah, ia harus menjelaskan bahwa Ibn Quthaibah dan asy-Syahrastani adalah para sarjana yang meneliti berbagai madzhab dan aliran. Mereka menempatkan para perawi atas dasar memihak atau tidaknya kepada 'Ali ibn Abi Thalib dalam pertikaiannya dengan Mu'awiyah. Untuk itu, mereka menyebut seseorang itu Syi'ah manakala ia berpihak kepada 'Ali.

Sudah saya kemukakan dengan jelas bahwa menurut ulama jarh wat-ta'dil, pendapat Ibn Quthaibah dan asy-Syahrastani tidak merusak seorang perawi. Hanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, apakah ia perawi yang suka berdusta, membuat bid'ah dan mempromosikannya serta lain-lain hal yang dapat membuat seorang perawi menjadi cidera atau cacat.

Juga termasuk dalam kerancuan yang dilakukan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, adalah kritik dia terhadap dua Kitab Shahih, Bukhari dan Muslim. Ia mengecam beberapa perawi yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab mereka, tanpa menyebutkan argumen mereka menerima riwayat para perawi itu dan tanggapan Ahlus Sunnah terhadap kenyataan itu.

Padahal, menurut ketentuan ilmiah, seharusnya ia menyebutkan kepada pembaca tentang pendapat Ahlus Sunnah dengan mengutip keterangan dari buku-buku mereka. Mengenai tanggapan Ulama Sunni, telah diuraikan secara panjang lebar dalam Hadi al-Sari (Syarah Shahih Bukhari) dan kitabnya Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Juga dijelaskan dalam berbagai kitab ushul al-hadits lainnya.

Tapi al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, dan pemuka kaum Rafidhah lainnya selalu melontarkan keragu-raguan terhadap kedua kitab sahih itu, dengan tujuan agar mendapatkan peluang besar untuk menjatuhkan Islam dan kaum Muslimin. Dan saya, dengan izin Allah, telah membeberkan beberapa kerancuan dan keraguan yang sengaja mereka ciptakan.

Salah satu kerancuan juga yang dia lakukan adalah bahwa dia tidak membedakan antara para perawi yang hanya diriwayatkan haditsnya tetapi tidak dijadikan hujjah, dengan perawi yang dijadikan hujjah. Karena itu, ketika salah seorang dari ashabus-Sunan menerima riwayat yang lema, ia katakan bahwa dia telah berhujjah dengan riwayat lemah itu.

Padahal, sesungguhnya yang benar dalam masalah ini adalah bahwa orang dapat meriwayatkan hadits dari seorang perawi, walaupun hadits itu tidak dijadikan, hujjah, sebagaimana telah saya terangkan terdahulu. Al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah melakukan hal di atas dengan tujuan memberikan gambaran yang salah kepada pembaca bahwa ulama jarh wa ta'dil dan ulama hadits lainnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memiliki metoda ilmiah yang baku dalam melakukan jarh dan ta'dil. Ini merupakan suatu hal yang dapat menciptakan keragu-raguan ketika mereka mengecam seorang perawi, namun kemudian mereka berhujjah dengan riwayatnya. Di sini pasti akan muncul keragu-raguan itu.

Padahal, hakekat persoalan yang sesungguhnya tidaklah demikian. Para ulama Sunni mengeluarkan hadits darl para perawi yang lemah itu bukan untuk dibuat hujjah, melainkan untuk penguat dan pendukung semata. Dan hal itu dipandang suatu kebajikan di dalam kitab ushul hadits ulama Sunni.

Mengenai pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah bahwa 100 tokoh yang dikemukakannya itu adalah tokoh dan perawi Syi'ah, itu merupakan pernyataan yang penuh kepalsuan dan kebohongan semata. Dengan pernyataan itu, ia bermaksud untuk mengeluarkan mereka dari ikatan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebab menurut dia, Syi'ah adalah sekelompok orang yang berlawanan dengan Ahlus Sunnah. Karena itu, ketika mengklaim 100 perawi itu sebagai perawi Syi'ah, maka menurutnya mereka secara otomatis bukanlah orang Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Padahal, sebenarnya tasyayyu' itu tidaklah menyebabkan seseorang keluar dari ikatan Ahlus Sunnah manakala ia hanya berpihak kepada 'Ali dalam pertikaiannya dengan Mu'awiyah, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa merendahkan para sahabat nabi yang lain, terutama Abu Bakar dan 'Umar. Akan tetapi jika seseorang telah melewati batas ketentuan di atas dan sampai ke tingkat berlebihan dan mengecam para sahabat, termasuk Abu Bakar dan 'Umar; maka seketika itu ia tidak lagi disebut bertasyayyu', melainkan rafadh, dan orang yang memiliki kepercayaan seperti itu tidak lagi disebut Syi'ah, tetapi Rafidhah, yang menyimpang dari kelompok Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Adapun perawi yang 100 itu tidak ada dari mereka yang dipandang rafadh atau ekstrim. Mereka paling tinggi hanyalah disebut bertasyayyu'. Karena itu, mereka masih tergolong Ahlus Sunnah. Tidak benar jika mereka dipandang sebagai kelompok tersendiri yang berbeda dari Ahlus Sunnah walau sekedar nama untuk kelompok mereka, selama pokok-pokok kepercayaan mereka tidak berlawanan dengan Ahlus Sunnah. Tidak ada ulama yang menyebut mereka itu sebagai perawi Syi'ah, kecuali Ibn Quthaibah dan asy-Syahrastani. Dan sudah saya kemukakan secara jelas apa yang dimaksud Syi'ah oleh kedua ulama tersebut.

Mengenai pernyataan al-Musawi bahwa ulama Sunni berhujjah dengan perawi Syi'ah, perlu dijelaskan lebih rinci. Sesungguhnya, menurut ulama Sunni, para perawi yang dipandang Syi'ah itu tidaklah keluar dari ikatan Ahlus Sunnah, dan tidak menyimpang dari prinsip ajaran Ahlus Sunnah. Sebab, yang dimaksud dengan Syi'ah menurut ulama Sunni adalah pemihakan kepada 'Ali dalam pertikaiannya melawan Mu'awiyah, tak lebih dari itu.

Mengenai pernyataannya bahwa orang yang tidak sependapat dengannya akan mengetahui kesalahan mereka, dan seterusnya, sesungguhnya ulama Sunni membedakan antara Syi'ah yang tidak berbeda pokok-pokok ajarannya dengan Ahlus Sunnah, dari Syi'ah ekstrim dan Rafidhah. Mereka menerima riwayat kelompok yang pertama jika itu sesuai dengan kriteria mereka, tetapi tidak menerima riwayat kelompok kedua dalam keadaan bagaimanapun.

Mengenai pernyataannya bahwa "Mereka akan mengetahui bahwa yang terpenting bagi mereka adalah jujur dan amanah, tanpa membedakan antara Sunni atau Syi'ah," ulama Ahlus Sunnah wal

Jama'ah mengakui bahwa kejujuran dan amanah merupakan hal penting dalam menerima dan menolak riwayat. Mereka juga mengakui bahwa mereka tidak membedakan antara Sunni dan Syi'ah. Hanya saja, mereka menetapkan syarat untuk perawi Syi'ah, yaitu bukan yang ekstrim alias ghulat, dan rafadh, dan tidak mempromosikan bid'ahnya.

Mengenai pernyataannya bahwa "Ketahuilah bahwa mereka adalah perawi Syi'ah dari kalangan sahabat," maka hendaklah anda ketahui bahwa kalangan sahabat tidak ada Syi'ah, dalam arti suatu kelompok yang berbeda dari Ahlus Sunnah. Semua sahabat adalah tergolong Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena mereka tidak ada yang menyimpang dari ajaran pokok Rasulullah, kendati terdapat perselisihan diantara mereka setelah terbunuhnya sahabat 'Utsman ibn 'Affan. Juga, walaupun terjadi perpecahan dan saling menyalahkan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, namun masing-masing kelompok yang bertikai tidak keluar dan menyimpang dari pokok ajaran agama. Demikian pula yang terjadi pada kalangan tabi'in. Jika yang dimaksud dengan Syi'ah dari kalangan sahabat itu adalah orang yang mendukung 'Ali ibn Abi Thalib, maka sikap dan tindakan seperti ini tidak dipandang menyimpang dari pokok-pokok agama, demikian pula untuk para sahabat yang mendukung Mu'awiyah.

Mengenai pernyataannya: "Dan orang yang selalu melakukan taqiyyah lantaran takut dan lemah"; dari pernyataan di atas nyatalah pengakuan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah mengenai taqiyyah dan wajibnya dilakukan taqiyyah terhadap Ahlus Sunnah wal Jama'ah sekalipun. Padahal taqiyyah adalah suatu kemurahan Allah kepada orang Muslim supaya selamat dari tekanan dan siksaan orang kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah: illa an tattaqu minhum tuqah. Dengan demikian tidak boleh melakukan taqiyyah terhadap sesama Muslim. Adapun kaum Rafidhah, mereka menganggap wajib melakukannya, walau terhadap Ahlus Sunnah sekalipun. Di sini mereka tidak membedakan antara orang kafir dan Muslim Sunni. Perhatikanlah.

Mengenai pernyataannya: "Ada 100 perawi yang terpercaya, hafidz dan pemuka agama dari kalangan Syi'ah, pendukung keluarga Muhammad, yang ulama Sunni melupakannya; " maka tidak dapat disangkal lagi bahwa di dalam pernyataan ini terkandung kezaliman terhadap ulama-ulama Sunni, juga kedengkian dan iri hati, sebab ia menggambarkan orang Sunni sebagai musuh keluarga Muhammad. Bahkan digambarkan bahwa mereka dan keluarga Muhammad berada di dua kutub yang berlawanan.

Sesungguhnya orang Sunni, walaupun tidak meyakini adanya 'ishmah pada keluarga Muhammad, juga pada manusia lainnya, namun mereka tidak pernah melupakan seorang perawi yang terbukti adil dan tsiqat. Sebab melupakan seorang perawi berarti melupakan sunnah. Tetapi kaum Rafidhah menolak riwayat para sahabat dan melupakannya, sebab mereka menggugurkan sifat adil para sahabat, karena mereka mengkafirkan para sahabat, kecuali beberapa orang saja dari mereka. Dengan demikian, mereka telah menyia-nyiakan banyak hadits Nabi.


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.