APAKAH MANUSIA DIBERI KEBEBASAN
MEMILIH?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah
manusia dibebaskan memilih atau dijalankan?".
Jawaban.
Penanya seharusnya bertanya pada diri sendiri ; Apakah
dia merasa dipaksa oleh seseorang untuk menanyakan
pertanyaan ini, apakah dia memilih jenis mobil yang dia
inginkan ? dan berbagai pertanyaan semisalnya. Maka akan
tampak jelas baginya jawaban tentang apakah dia dijalankan
atau dibebaskan memilih.
Kemudian hendaknya dia bertanya kepada diri sendiri ;
Apakah dia tertimpa musibah atas dasar pilihannya sendiri ?
Apakah dia tertimpa penyakit atas dasar pilihannya ? Apakah
dia mati atas dasar pilihannya sendiri ? dan berbagai
pertanyaan semisalnya. Maka akan jelas baginya jawaban
tentang apakah dia dijalankan atau dibebaskan memilih.
Jawabnya.
Sesungguhnya segala perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang memiliki akal sehat jelas dia lakukan atas dasar
pilihannya. Simaklah firman Allah.
"Artinya : Maka barangsiapa menghendaki, maka
dia mengambil jalan menuju Rabb-Nya" [An-Naba :
39]
Dan firman Allah.
"Artinya : Sebagian dari kamu ada orang yang
menghendaki dunia dan sebagian dari kamu ada orang yang
menghendaki akhirat" [Ali-Imran : 152]
Dan firman Allah.
"Artinya : Barangsiapa menghendaki akhirat dan
menempuh jalan kepadanya dan dia beriman, maka semua
perbuatannya disyukuri (diterima)". [Al-Isra' :
19]
Dan firman-Nya.
"Artinya : Maka dia diwajibkan membayar fidyah,
berupa puasa atau sedekah atau hajji" [Al-Baqarah :
196]
Di mana dalam ayat fidyah di atas, pembayar fidyah diberi
kebebasan memilih apa yang akan dibayarkan.
Akan tetapi, apabila seseorang menghendaki sesuatu dan
telah melaksanakannya, maka kita tahu bahwa Allah telah
menghendaki hal itu, sebagaimana firman-Nya.
"Artinya : Sungguh barangsiapa dari kamu
menghendaki beristiqomah, maka kamu tidak akan
berkehendak kecuali Allah Rabb sekalian alam
menghendakinya" [At-Takwir : 29]
Maka sebagai kesempurnaan rububiyah-Nya, tidak ada
sesuatupun terjadi di langit dan di bumi melainkan karena
kehendak Allah Ta'ala.
Adapun segala sesuatu yang menimpa seseorang atau datang
darinya dengan tanpa pilihannya, seperti sakit, mati dan
berbagai bencana, maka semua itu murni karena Qadar Allah
dan manusia tidak punya kebebasan memilih dan
berkehendak.
Semoga Allah memberi Taufiq.
HUKUM RIDHA' TERHADAP QADAR
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya :
"Bagaimana hukum ridha (rela) kepada Qadar? dan apakah do'a
itu bisa menolak Qadha?
Jawaban.
Ridha pada Qadar hukumnya wajib, karena ha itu termasuk
kesempurnaan ridha akan rububiyah Allah. Maka setiap mu'min
harus ridha pada Qadha' Allah. Akan tetapi Muqadha (sesuatu
yang diqadha') masih perlu dirinci, karena sesuatu yang
diqadha berbeda dengan Qadha itu sendiri. Qadha adalah
perbuatan Allah, sedangkan sesuatu yang diqadha' adalah
sesuatu yang dikenai Qadha'. Maka Qadha' yang merupakan
perbuatan Allah harus kita relakan dan dalam kondisi apapun
kita tidak boleh membencinya selamanya.
Adapun sesuatu yang diqadha' terbagi menjadi tiga
macam.
- Wajib direlakan
- Haram direlakan.
- Disunnahkan untuk direlakan
Sebagai contoh, perbuatan ma'siyat adalah sesuatu yang
diqadha oleh Allah dan ridha pada kemasyiatan hukumnya
haram, sekalipun dia terjadi atas Qadha Allah. Maka
barangsiapa melihat pada kema'siyatan, maka dia harus rela
dari sisi Qadha' yang telah lakukan Allah dan harus
mengatakan bahwa Allah Maha Bijaksana dan kalau
kebijakan-Nya tidak menentukan ini, maka dia tidak akan
pernah terjadi. Adapun dari sisi sesuatu yang diqadha', maka
perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib
menghilangkan kema'siyatan tersebut dari dirimu sendiri dan
orang lain.
Sebagian dari sesuatu yang diqadha' harus direlakan,
seperti kewajiban syar'iyah, karena Allah telah
menentukannya secara riil dalam syar'iyah. Maka kita harus
merelakannya, baik dari sisi Qadha'nya maupun sesuatu yang
diqadha'.
Bagian ketiga disunnahkan untuk merelakannya dan
diwajbkan bersabar karenanya, yaitu berbagai musibah yang
terjadi, Maka semua musibah yang terjadi, menurut para
ulama, disunnahkan untuk merelakan dan tidak diwajibkan.
Akan tetapi wajib bersabar karenanya. Perbedaan antara sabar
dan rela adalah bahwa dalam sabar seseorang tidak
menginginkan apa yang terjadi, akan tetapi dia tidak mencoba
sesuatu yang menyalahi syara' dan menghilangkan kesabaran,
sedangkan rela adalah seseorang tidak membenci apa yang
terjadi, sehingga terjadinya atau tidak terjadinya baginya
sama saja. Inilah perbedaan antara rela dengan sabar. Oleh
karena itu, para ulama Jumhur mengatakan : "Sesungguhnya
sabar itu wajib, sedangkan rela itu disunnahkan".
Adapun pertanyaan : "Apakah do'a itu dapat menolak
Qadha", maka jawabnya demikian :
Sebenarnya do'a merupakan sebab teraihnya sesuatu yang
dicari dan dalam kenyataannya, do'a dapat menolak Qadha dan
tidak dapat menolaknya sekaligus. Artinya terdapat dua sisi
pandang dalam do'a. Sebagai contoh orang sakit terkadang
berdo'a kepada Allah (untuk disembuhkan), kemudian sembuh.
Maka dalam hal ini, seandainya ia tidak berdo'a, maka dia
akan tetap sakit, akan tetapi dengan do'a tersebut dia
menjadi sembuh. Hanya saja kita dapat mengatakan bahwa Allah
telah menetapkan, sembuhnya penyakit tersebut dengan
lantaran do'a dan ini telah tertulis/tersurat. Maka do'a
tersebut secara lahir dapat menolak Qadar, di mana manusia
meyakini bahwa kalau tidak ada do'a tersebut, maka penyakit
tersebut akan tetap diderita. Akan tetapi, hakikatnya, do'a
tersebut tidak menolak Qadha', karena pada dasarnya do'a
tersebut juga telah tertulis (ditakdirkan) dan kesembuhan
tersebut akan terjadi dengannya. Inilah Qadar yang
sebenarnya telah tertulis di zaman azali. Demikianlah,
sehingga segala sesuatu pasti melalui sebab dan sebab
tersebut telah dijadikan Allah sebagai sebab teraihnya dan
sesuatu itu semua telah tertulis sejak zaman azali sebelum
terjadi.
APAKAH DO'A BISA MENGUBAH
KETENTUAN?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah
do'a berpengaruh merubah apa yang telah tertulis untuk
manusia sebelum kejadian?"
Jawaban.
Tidak diragukan lagi bahwa do'a berpengaruh dalam merubah
apa yang telah tertulis. Akan tetapi perubahan itupun sudah
digariskan melalui do'a. Janganlah anda menyangka bila anda
berdo'a, berarti meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan
do'a anda telah tertulis dan apa yang terjadi karenanya juga
tertulis. Oleh karena itu, kita menemukan seseorang yang
mendo'akan orang sakit, kemudian sembuh, juga kisah kelompok
sahabat yang diutus nabi singgah bertamu kepada suatu kaum.
Akan tetapi kaum tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian
Allah mentakdirkan seekor ular menggigit tuan mereka. Lalu
mereka mencari orang yang bisa membaca do'a kepadanya
(supaya sembuh). Kemudian para sahabat mengajukan
persyaratan upah tertentu untuk hal tersebut. Kemudian
mereka (kaum) memberikan sepotong kambing. Maka berangkatlah
seorang dari sahabat untuk membacakan Al-Fatihah untuknya.
Maka hilanglah racun tersebut seperti onta terlepas dari
teralinya. Maka bacaan do'a tersebut berpengaruh
menyembuhkan orang yang sakit.
Dengan demikian, do'a mempunyai pengaruh, namun tidak
merubah Qadar. Akan tetapi kesembuhan tersebut telah
tertulis dengan lantaran do'a yang juga telah tertulis.
Segala sesuatu terjadi karena Qadar Allah, begitu juga
segala sebab mempunyai pengaruh terhadap musabab-nya dengan
izin Allah. Maka semua sebab telah tertulis dan semua
musabab juga telah tertulis.
BAGAIMANA ALLAH MENYIKSA MANUSIA SEDANG ITU
SUDAH DITENTUKAN ALLAH
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Ada
polemik yang dirasakan sebagian manusia, yaitu bagaimana
Allah akan menyiksa karena ma'siyat, padahal telah Dia
takdirkan hal itu atas manusia ?"
Jawaban.
Sebenarnya hal ini bukanlah polemik. Langkah manusia
untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya bukanlah
persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat
jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri
dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di
depannya dan mengatakan : "Lakukanlah perbuatan munkar itu",
akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri. Allah
telah berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah memberi
petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar), maka
adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur"
[Al-Insan : 3]
Maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur,
Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang
benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan
tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya.
Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam
(keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan
(penjelasan).
Dalam hal Ilzam, maka kita dapat mengatakan kepada
seseorang : Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya sama
dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara sama.
Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu
dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan. Yang pertama
kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua
merugikan dirimu. Maka pastilah anda akan memilih pekerjaan
pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di
atas dan tidak mungkin anda memilih pekerjaan kedua, yang
merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan : "Qadar
(Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha kedua). Dengan
demikian, apa yang telah anda tetapkan dalam menempuh jalan
dunia semestinya anda lakukan dalam menempuh jalan ukhrawi.
Kita dapat mengatakan : Allah telah menawarkan di hadapanmu
dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal
yang menyalahi syara' dan amal shalih yang berupa amal-amal
yang sesuai dengan syara'. Maka apabila dalam berbagai
pekerjaan duniawi anda memilih perbuatan yang baik, mengapa
anda tidak memilih amal baik dalam amal akhirat. Karena itu,
seharusnya anda memilih amal baik di dalam mencari akhirat
sebagaimana anda harus memilih pekerjaan baik dalam mencari
dunia. Inilah cara Ilzam.
Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita
semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah kepada
kita. Allah berfirman.
"Artinya : Setiap diri tidak mengetahui apa yang
akan dia kerjakan besok" [Luqman : 34]
Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti
dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan bukan karena
mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut
kepadanya. Oleh karena itu, sebagian ulama' mengatakan :
"Sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup". Dan kita
semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan
begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi.
Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan,
maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa
perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita. Akan tetapi
kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan
ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah
mentakdirkannya untuk kita.
Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan
takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut.
Disebutkan dari Amirul Mu'minin, Umar bin Kahtthab, sebuah
kisah (mungkin benar dari beliau mungkin tidak) bahwa
seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan
dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk
memotong tangannya, dia mengatakan : "Tunggu dulu hai Amirul
Mu'minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena
Qadar Allah". Umar mengatakan : "Aku tidak akan memotong
tanganmu kecuali karena Qadar Allah". Maka Umar
berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri
tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang
Islam. Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan
Syari'at, karena beliau diperintahkan untuk memotong
tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau
berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut
lebih tepat mengenai sasaran.
Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi
berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat ma'siyat kepada
Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan
dalam hal di atas. Allah berfirman.
"Artinya : (Aku telah mengutus) para rasul yang membawa
berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak
punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para
rasul" [An-Nisa : 165]
Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para
rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah. Walaupun Qadar bisa
dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan
terutusnya para rasul selamanya. Dengan demikian jelas bahwa
tidak layak berbuat ma'siyat dengan alasan Qadha' dan Qadar
Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya.
Semoga Allah memberi Taufiq.
APAKAH REZKI DAN JODOH TELAH DI TULIS DI LAUH
MAHFUDZ
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah
rezqi dan jodoh juga telah tertulis di Lauh Mahfudz ?".
Jawaban.
Segala sesuatu sejak awal terciptanya Qalam sampai tiba
hari Qiyamat telah tertulis di Lauh Mahfudz, karena sejak
permulaan menciptakan Qalam Allah telah berfirman kepadanya
: "Tulislah", Dia (Qalam) bertanya : "Wahai Rabb-ku, apa
yang harus aku tulis?" Allah berfirman : "Tulislah segala
sesuatu yang terjadi". Kemudian dia (Qalam) menulis segala
sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat. Juga diriwayatkan
dari Nabi :
"Artinya : Sesungguhnya janin yang ada dalam
kandungan ibunya ketika telah melewati umur empat bulan,
maka Allah mengutus Malaikat kepadanya yang meniupkan roh
dan menulis rizqi, ajal, amal dan apakah dia celaka atau
bahagia".
Rezqi juga telah tertulis dan ditakdirkan beserta
sebab-sebabnya, tidak bertambah dan tidak berkurang.
Sebagian dari sebab-sebab (rezqi) adalah pekerjaan manusia
untuk mencari rezqi, sebagaimana firman Allah :
"Artinya : Dia (Allah) adalah Tuhan yang telah
menjadikan bumi tunduk (kepadamu), maka berjalanlah dia
atas pundaknya dan makanlah sebagian rezqi-Nya dan
kepada-nyalah tempat kembali" [Al-Maidah : 15]
Sebagian dari sebab-sebab rezqi lagi adalah menyambung
persaudaraan (sillaturrahim), termasuk berbuat baik kepada
kedua orang tua dan menyambung hubungan keluarga, karena
Nabi telah bersabda.
"Artinya : Barangsiapa ingin dilapangkan
rezqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia
menyambung persaudaraan (sillaturrahim).
Sebagian sebab-sebab rezqi lagi adalah bertaqwa kepada
Allah, sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Barangsiapa bertaqwa, maka Dia akan
menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezqi
dengan tanpa disangka-sangka" [Ath-Thalaq : 2-3]
Janganlah anda mengatakan : "rezqi telah tertulis dan
terbatasi dan aku tidak akan melakukan sebab-sebab untuk
mencapainya". Karena pernyataan tersebut adalah suatu
kelemahan. Sedangkan yang disebut kepandaian adalah kamu
tetap berupaya mencari rezqi dan sesuatu yang bermanfaat
bagimu, baik untuk agamamu maupun untuk duniamu. Nabi
bersabda.
"Artinya : Seorang yang pandai adalah orang yang
mengoreksi dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati,
sedangkan orang yang lemah adalah orang hanya mengikuti hawa
nafsunya dan berangan-angan"
Sebagaiamana rezqi telah tertulis dan ditaqdirkan bersama
sebab-sebabnya, maka jodoh juga telah tertulis (beserta
sebab-sebabnya). Masing-masing dari suami istri telah
tertulis untuk menjadi jodoh bagi yang lain. Bagi Allah
tidak rahasia lagi segala sesuatu, baik yang ada di bumi
maupun di langit.
JIKA PERBUATAN ORANG KAFIR TELAH DITULIS MENGAPA
DIA DISIKSA ?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah
perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di Lauh Mahfudz ?
Apabila benar, maka bagaimana Allah menyiksa mereka ..?"
Jawaban.
Benar, perbuatan orang-orang kafir telah tertulis sejak
zaman azali, bahkan perbuatan semua manusia telah tertulis
sejak dia berada di perut ibunya, sebagaimana tertuang dalam
hadits shahih dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu ia
berkata ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang
benar lagi dibenarkan) bercerita kepada kami.
"Artinya : Sesungguhnya salah seorang di antara
kamu dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama
empat puluh hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi
'alaqah selama empat puluh hari pula, kemudian menjadi
mudhghah selama empat puluh hari pula. Lalu diutuslah
kepadanya seorang malaikat, dan diperintahkan dengan
empat kalimat untuk menulis rezekinya, ajalnya,
amalannya, celaka atau bahagia".
Maka perbuatan orang-orang kafir telah tertulis di sisi
Allah Azza wa Jalla, telah diketahui oleh Allah 'Azza wa
Jalla sejak zaman azali dan orang yang berbahagia telah
diketahui pula oleh Allah sejak zaman azali. Akan tetapi
barangkali ada yang bertanya-tanya bagaimana mereka akan
diadzab padahal Allah telah menetapkan atas mereka akan hal
itu sejak zaman azali.?
Jawaban kami.
Mereka disiksa karena hujjah telah sampai kepada mereka,
jalan kebenaran telah dijelaskan, lalu para rasul telah
diutus kepada mereka, kitab-kitabnyapun telah diuturunkan.
Juga telah dijelaskan petunjuk dan kesesatan dan mereka
diberi motivasi untuk menempuh jalan petunjuk, sekaligus
menjauhi jalan yang sesat. Mereka memiliki akal dan kehendak
; mereka memiliki kemampuan untuk berikhtiar. Oleh karena
itu kita mendapati orang-orang kafir ini dan juga selain
mereka, berusaha meraih kemaslahatan dunia dengan kehendak
dan ikhtiarnya. Kita tidak mendapati seorangpun dari mereka
berupaya meraih sesuatu yang membahayakan di dunia atau
meremehkan dan bermalas-malasan dalam perkara yang
bermanfaat baginya, lalu ia mengatakan : ini telah tertulis
sebagai jatahku. Maka selalunya setiap orang akan berusaha
meraih manfaat bagi dirinya. Dengan demikian, seharusnya
mereka berusaha meraih manfaat dalam urusan-urusan agama
mereka sebagaimana mereka berusaha keras meraih manfaat dari
urusan dunianya. Tidak ada perbedaan di antara keduanya,
bahkan penjelasan tentang kebaikan dan keburukan dalam
urusan agama di dalam kitab-kitab suci yang diturunkan
kepada para rasul lebih banyak dan lebih besar daripada
penjelasan tentang urusan-urusan dunia. Maka kewajiban
mereka adalah menempuh jalan yang menghatarkannya kepada
keselamatan dan kebahagiaan, bukan menempuh jalan yang
menyerempet mereka pada kebinasaan dan kesengsaraan.
Kemudian kami katakan, ketika si kafir memilih kekafiran
sama sekali tidak merasa ada orang yang memaksanya. Bahkan
perasaannya mengatakan bahwa bahwa ia melakukan hal itu
dengan kehendak dan ikhtiarnya. Maka apakah ketika memilih
kekufuran ia tahu apa yang telah ditetapkan Allah untuk
dirinya .? Jawabannya, tentu tidak. Karena kita tidak
mengetahui bahwa sesuatu telah ditetapkan terjadi pada kita
kecuali sesudah terjadi. Adapun sebelum terjadi, kita tidak
mengetahui apa yang telah ditetapkan untuk kita karena hal
ini termasuk perkara ghaib.
Selanjutnya, sekarang kami katakan kepada orang itu :
sebelum terjerumus kepada kekafiran, di depan anda ada dua
perkara ; hidayah dan kesesatan. Lalu mengapa anda tidak
menempuh jalan hidayah dengan anggapan bahwa Allah telah
menetapkannya untukmu ? Mengapa anda menempuh jalan sesat
lalu setelah menempuhnya anda beralasan bahwa Allah telah
menetapkannya ? Kami tegaskan kepada anda sebelum memasuki
jalan ini ; apakah anda mempunyai pengetahuan bahwa hal ini
telah ditetapkan kepadamu ? ia pasti menjawab : "Tidak". Dan
mustahil jawabannya : "Ya". Jadi apabila ia mengatakan :
"Tidak". Kami tegaskan lagi ; kalau begitu mengapa anda
tidak menempuh jalan hidayah seraya menganggap bahwa Allah
telah menetapkan hal itu kepadamu. Oleh karena itu, Allah
Ta'ala berfirman.
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling dari
kebenaran, Allah memalingkan hati mereka" [Ash-Shaf :
5]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (jannah). Maka kelak Kami akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta
mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan
menyiapkan baginya jalan yang sukar" [Al-Lail
:5-10]
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahu
para sahabat bahwa tidak ada seorangpun kecuali telah
dicatat tempat duduknya di jannah dan tempat duduknya di
neraka, para sahabat bertanya ; wahai Rasulullah, apakah
kami boleh meninggalkan amalan dan bersandar pada apa yang
telah ditetapkan ? Beliau bersabda.
"Artinya : Tidak, beramallah kelian, karena
tiap-tiap orang dimudahkan kepada sesuatu yang diciptakan
baginya"
Sesudah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca
firman Allah.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik. Maka kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta
mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak kami akan
menyiapkan baginya jalan yang sukar".
Inilah jawaban kami atas pertanyaan yang disampaikan oleh
penanya tadi, dan betapa banyaknya orang yang beralasan
seperti tadi dari kalangan orang-orang yang sesat. Alangkah
anehnya mereka karena mereka sama sekali tidak pernah
beralasan dengan yang semisal ini dalam masalah-masalah
dunia. Bahkan anda mendapati mereka menempuh sesuatu yang
lebih bermanfaat bagi mereka dalam persoalan-persoalan
duniawi. Manakala dikatakan kepada seseorang ; jalan yang
ada dihadapanmu ini adalah jalan yang sulit lagi rumit, di
sana ada para pencuri dan banyak binatang buas, sedangkan
ini jalan kedua, jalan yang mudah, ringan dan aman, tidak
mungkin seseorang menempuh jalan yang pertama dan
meninggalkan jalan yang kedua. Demikian pula dengan dua
jalan ; jalan neraka dan jalan jannah. Para rasul
menjelaskan jalan ke jannah lalu mereka mengatakan : inilah
jalan ke jannah. Mereka juga mejelaskan jalan ke neraka lalu
menegaskan : inilah jalan menuju neraka. Mereka
memperingatkan dari jalan yang kedua dan menganjurkan untuk
menempuh jalan pertama. Sementara para pendurhaka beralasan
dengan qadha Allah dan Qadar-Nya -padahal mereka tidak
mengetahuinya- atas kemaksiatan dan kejahatan yang mereka
lakukan dengan ikhtiarnya dan dalam hal ini mereka tidak
memiliki hujjah di sisi Allah Ta'ala.
SESUNGGUHNYA MANUSIA BERAMAL DENGAN AMALAN
JANNAH
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "
Tentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
'Sesungguhnya seseorang selalu beramal dengan amalan ahli
jannah sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan jannah
kecuali hanya sehasta. Namun ketetapan telah mendahuluinya
sehingga ia melakukan amalan ahli neraka, lalu iapun
memasukinya. Dan seorang yang senantiasa beramal dengan
amalan ahli neraka sehingga tidak ada jarak antara dirinya
dengan neraka kecuali hanya sehasta. Namun ketetapan telah
mendahuluinya, sehingga ia melakukan amalan ahli jannah dan
iapun memasukinya".
Apakah hadits ini bertentangan dengan firman
Allah Ta'ala : "Sesungguhnya kami tidak menyia-nyiakan
pahala orang yang membaguskan amalannya" [Al-Kahfi :
30]
Jawaban.
-Semoga Allah merahmatinya- dengan ucapannya : Ini adalah
hadits Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu. Di dalamnya
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa ada
seseorang yang beramal dengan amalan ahli jannah sehingga
tidak ada jarak antara dirinya dan jannah kecuali hanya
sehasta, karena dekatnya ajal dan kematian dirinya. Namun
ketetapan telah mendahuluinya yang menegaskan bahwa ia
termasuk penghuni neraka, hingga iapun melakukan amalan ahli
neraka, lalu masuk kedalamnya- kita berlindung kepada Allah
daripadanya. Ini adalah fenomena yang nampak pada manusia
seperti yang dijelaskan oleh sebuah hadits shahih.
"Artinya : Sesungguhnya seseorang beramal dengan
amalan ahli jannah dalam pandangan manusia, padahal ia
termasuk ahli neraka"
Demikian pula persoalan kedua, manusia yang beramal
dengan amalan ahli neraka, lalu Allah memberi karunia
kepadanya dengan taubat dan kembali kepada jalan Allah
menjelang ajalnya, hingga iapun beramal dengan amalan ahli
jannah lalu ia masuk kedalamnya.
Ayat yang disebutkan oleh penanya tidak bertentangan
dengan hadits di atas, karena Allah Ta'ala berfirman :
"Pahala orang yang membaguskan amalannya" Maksudnya,
barangsiapa yang membaguskan amalannya di dalam hati maupun
dhahirnya, maka Allah Ta'ala tidak menyia-nyiakan pahalanya.
Tetapi yang dimaksud oleh kasus pertama yang beramal dengan
amalan ahli jannah lalu ketetapan telah mendahuluinya,
adalah orang yang beramal dengan amalan ahli jannah dalam
pandangan manusia saja. Atas dasar ini, amalannya tidak
termasuk kebaikan. Dengan demikian hadits tadi tidak
bertentangan sama sekali dengan ayat Al-Qur'an.
Wallahul Muwafiq
CARA MENGKOMPROMIKAN FIRMAN ALLAH DALAM SURAT
AL-AN'AM : 125
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "
Tentang bagaimana mengkompromikan antara firman Allah Ta'ala
: "Maka barangsiapa dikehendaki Allah untuk menunjukkannya,
Dia akan melapangkan dadanya kepada Islam. Dan barangsiapa
yang dikehendaki Allah untuk menyesatkannya, Dia akan
menjadikan dadanya sempit lagi sesak, seolah-olah ia sedang
naik ke langit" [Al-An'am : 125]
Dengan firman-Nya : "Maka barangsiapa yang ingin
beriman, hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin
kafir, biarlah ia kafir" [Al-Kahfi : 29]
Jawaban.
Mengkompromikan di antara kedua ayat itu adalah sebagai
berikut ; Allah Ta'ala memberitahukan dalam sebagian
ayat-Nya bahwa semua urusan ada dalam kekuasaan-Nya. Dan
dalam sebagian ayat lainnya memberitahukan bahwa semua
perkara itu kembali kepada mukallaf. Mengkompromikannya
begini : setiap mukallaf memiliki kehendak, ikhtiar dan
kemampuan. Sementara yang menciptakan kehendak, ikhtiar dan
kemampuan tersebut adalah Allah Azza wa Jalla. Maka tidak
mungkin seorang makhluk memiliki kehendak kecuali dengan
kehendak Allah.
Allah Ta'ala berfirman tentang penjelasan kompromi
ini.
"Artinya : Yaitu bagi siapa di antara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Rabb semesta alam" [At-Takwir :
28-29]
Akan tetapi kapan Allah berkehendak untuk menunjuki
manusia atau menyesatkannya ? Inilah yang dimaksud oleh
firmannya.
"Artinya : Adapun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (jannah). Maka kelak Kami akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta
mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan
menyiapkan baginya jalan yang sukar" [Al-Lail :
5-10]
Dan baca firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling, Allah
palingkan hati mereka dan Allah tidak menunjuki kaum yang
fasik" [Ash-Shaf : 5]
Anda mendapati bahwa sebab sesatnya seorang hamba adalah
karena dirinya sendiri. Dan Allah Ta'ala ketika itu
menciptakan kehendak pada dirinya untuk berbuat buruk karena
ia menghendaki keburukan. Adapun orang yang menghendaki
kebaikan lalu berusaha dan berkeinginan kuat memperolehnya,
maka Allah akan memudahkannya kepada kebaikan. Ketika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bercerita kepada
sahabat-sahabatnya bahwa tidak ada seorangpun kecuali telah
ditetapkan tempat duduknya di neraka, para sahabat bertanya
: Apakah tidak sebaiknya kami menyerah kapada ketetapan itu
dan kami tidak beramal ? Nabi menjawab : Jangan. Beramallah
kalian, karena tiap-tiap orang dimudahkan sesuai
penciptaannya. Nabipun lalu membaca ayat ini : "Dan adapun
orang yang memberi dan bertakwa ..dst".
Ketahuilah wahai saudaraku, tidak mungkin terdapat
pertentangan dalam kalamullah atau dalam hadits shahih
selamanya. Maka apabila anda mendapati dua nash yang
dhahirnya tampak bertentangan, perhatikanlah kembali.
Niscaya perkaranya mejadi jelas bagi anda. Jika anda tidak
mengetahuinya, anda wajib bertawaquf dan menyerahkan perkara
itu kepada ahlinya. Dan Allah Maha Mengetahui atas segala
sesuatu.
(sebelum)
Disalin kitab Al-Qadha' wal Qadar
edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin'
terbitan Pustaka At-Tibyan, penterjemah Abu Idris
Dicopy dari milis assunnah@yahoogroups.com
posting oleh Yayat Ruhiyat
dikirim via japri oleh Al Akh Naufal
di posting di milis is-lam@isnet.org oleh Mohammad
Sigit
|