|
Pengantar
Menyambung Dialog UAA-HMNA yang telah diposting
sebelumnya, saya kirimkan lanjutan dialog tersebut dengan
kiriman HMNA kepada UAA berupa artikel berjudul "Textual,
Kontextual, Konsepsional Mengenai Keadilan"
salam, DWS
From: H. M. Nur Abdurrahman
To: Ulil Abshar-Abdalla
Sent: Tuesday, December 24, 2002 12:59 PM
Subject: Textual, Kontextual, Konsepsional Mengenai Keadilan
Assalamu 'alaykum wr.wb.
Ini saya posting sekadar untuk menjawab laki-laki :
perempuan = 2:1, yang menurut hemat saya tidak perlu kita
diskusikan/dipublikasikan, karena anakda sudah tetap(?) pada
paradigma ta'wil menghapus pemahaman textual, sedangkan saya
tetap (!) berfaham di atas paradigma ya textual, ya ta'wil.
Maksud postingan ini hanya sekadar "sharing
information".
Wassalam,
HMNA
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
054. Textual, Kontextual, Konsepsional Mengenai Keadilan
Ada yang bertanya kepada saya. Ini dalam hubungannya
dengan acara rutin da'wah Islamiyah di TPI setiap pagi.
Yaitu dalam salah satu acara rutin tersebut pernah
dikemukakan tentang pembagian warisan 2 berbanding satu
antara laki-laki dengan perempuan. Lalu saya berpikir,
mungkin banyak yang bertanya-tanya pula, yaitu dihubungkan
dengan nilai keadilan. Dan sayapun masih ingat beberapa
tahun lalu Menteri Agama Munawir Syadzali pernah
mengemukakan pendapatnya pribadi, bahwa dua berbanding satu
tidak cocok, artinya dirasa tidak adil kalau dilihat
masyarakat di Jawa Tengah, yang perempuannya aktif mencari
nafkah, sedang laki-lakinya pasif saja di rumah. Dalam S.Al
Baqarah, 208 Allah berfirman: Yaa ayyuha lladziena aamanuw
udkhuluw fissilmi kaaffah, artinya, Hai orang-orang beriman
masukilah Islam secara keseluruhan. Untuk memasuki Islam
secara keseluruhan, haruslah dahulu memahaminya pula secara
keseluruhan, tidak secara berkotak-kotak. Artinya ajaran
Islam harus difahami secara kaffah (keseluruhan, totalitas),
secara nizam (sistem), mempergunakan pendekatan sistem.
Secara gampangnya, sistem adalah suatu totalitas yang
mempunyai fungsi dan tujuan, yang terdiri atas
komponen-komponen yang mempunyai kaitan yang tertentu dan
erat antara satu dengan yang lain.
Adapun keadilan menurut ajaran Islam, bukanlah sama rata
sama rasa, bukan pula hanya sekadar keseimbangan antara hak
dengan kewajiban, melainkan bermakna: menempatkan sesuatu
pada tempatnya, dan mengeluarkan sesuatu dari yang bukan
tempatnya. Dengan pengertian keadilan seperti itulah, kita
akan membahas mengenai keadilan dalam hubungannya dengan
pembahagian harta warisan: dua bahagian untuk laki-laki dan
satu bahagian untuk perempuan, seperti ditegaskan dalam nash
dan adat.
Menurut nash yaitu dalam S. An Nisaa, 11: Yuwshiekumu
Llaahu fie awlaadikum lidzdzakari mitslu hazhzhi luntsnayn,
Allah mewajibkan dalam hal anak-anak kamu untuk seorang
laki-laki seperti bagian dua orang perempuan. Dan menurut
adat: Laki-laki memikul di atas bahu, perempuan
menjunjung.di atas kepala.
Masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri atas berbagai
komponen. Salah satu komponennya adalah sub-sistem nilai.
Nilai ada yang utama ada yang tidak utama atau pendukung,
instrumental. Nilai utama bersumber dari wahyu dan nilai
yang instrumental berasal dari akar yang historis, yaitu
produk akal-budi manusia. Dengan perkataan lain, nilai utama
adalah nilai agama dan nilai yang instrumental adalah nilai
budaya. Menurut istilah Al Quran, nilai utama disebut Al
Furqan (Al Quran 2:185). Nilai agama adalah mutlak, tidak
bergeser dan nilai budaya tidak mutlak dapat bergeser,
karena nilai budaya lahir dari kesepakatan komunitas. Nilai
budaya dapat saja tidak bergeser, jika nilai budaya itu
larut dalam nilai agama.
Sub-sistem nilai sebagai salah satu komponen masyarakat,
menjadi kerangka dasar bagi komponen-komponen lainnya
seperti sub-sistem: politik, ekonomi, hukum, estetika dlsb.
Atau dengan perkataan lain, sub-sistem nilailah yang
menentukan corak, mewarnai, memberikan nada dan irama
sub-sistem sub-sistem atau komponen-komponen lainnya. Salah
satu sub-sistem nilai adalah keadilan, dan ini termasuk
dalam klasifikasi nilai utama. Secara pendekatan sistem,
nilai ini tidak dapat dipisahkan dari nilai utama yang lain,
yang meyangkut konsep kepemimpinan. Nilai tersebut tercantum
dalam S. An Nisaa, 34: Ar rijaalu qawwaamuwna 'ala nnisaai,
Laki-laki itu adalah pemimpin perempuan. Nilai kepemimpinan
di atas itu memberikan corak dalam sub-sistem hukum faraid:
dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak
perempuan. Dengan pendekatan sistem tersebut, ditambah pula
lagi dengan kriteria keadilan yang berupa: tanggung-jawab,
kebutuhan, kesanggupan, prestasi / kinerja, historis, bahkan
selera, kita tidaklah akan bingung jika menghadapi suatu
keadaan yang menurut hasil observasi kita selayang pandang,
perbandingan dua dan satu itu tidak cocok menurut kondisi
suatu masyarakat tertentu. Yaitu suatu keadaan khusus dari
masyarakat tertentu yang menyimpang dari yang normal.
Perempuannya mencari nafkah, sedangkan yang laki-lakinya
hanya mempertele burung perkutut di rumah. Kita tidaklah
akan begitu saja jika melihat masyarakat yang tidak normal
itu, lalu membuat resep yang gampangan, yaitu rumus: Jangan
lihat ayat itu secara textual, melainkan lihatlah secara
kontextual. Dengan pendekatan sistem kita tidaklah akan
secara gampangan untuk mempertentangkan yang textual dengan
yang kontextual. Dengan pendekatan sistem kita akan
menjangkau bukan hanya sekadar yang kontextual saja,
melainkan jangkauannya adalah yang konsepsional. Dengan
konfigurasi ayat di atas rasio, akal dituntun oleh wahyu dan
pendekatan sistem yang konsepsional, kita akan melihat bahwa
nilai keadilan, maupun nilai kepemimpinan yang memberikan
corak pada hukum faraidh, dua berbanding satu, tidak ada
pertentangan antara yang textual dengan yang kontextual.
Menurut nilai utama dalam hal kepemimpinan, laki-laki yang
memimpin perempuan, maka dalam sebuah rumah tangga,
laki-lakilah penanggung jawab secara keseluruhan.
Termasuklah di sini antara lain tanggung jawab memberi
nafkah anak isteri. Dan menurut ketentuan hukum Islam, pihak
isteri mempunyai hak penuh atas hak miliknya yang dibawa
bersuami. Artinya sang isteri mempunyai kebebasan penuh
dalam mengelola harta miliknya itu tanpa persetujuan suami.
Berbeda misalnya dengan hukum barat, sang isteri tidak bebas
untuk mengelola sendiri hak milik yang dibawanya dalam
perkawinan. Sang isteri harus minta persetujuan suaminya.
Kesimpulannya, laki-laki sebagai penanggung jawab rumah
tangga, isteri yang mempunyai hak penuh atas pengelolaan hak
milik yang dibawanya, dengan perbandingan dua untuk
laki-laki satu untuk perempuan, maka tercapailah keadilan,
menempatkan hal itu pada tempatnya.
Lalu bagaimana dengan permasalahan yang pernah
dikemukakan Munawir Syadzali di Jawa Tengah itu? Jawabannya
itu adalah distorsi. Masyarakat yang menyimpang itu harus
diluruskan dengan Social Engineering, yang mekanisme
utamanya dalam bidang hukum, peraturan perundang-undangan.
Sekadar tambahan informasi, Social Engineering, adalah suatu
upaya mengubah kondisi masyarakat agar sesuai dengan tatanan
yang diinginkan. Dan ini jangan dikacaukan dengan Societal
Engineering, yaitu engineering yang dibutuhkan oleh suatu
masyarakat. Jadi Social Engineering termasuk dalam ruang
lingkup Ilmu-Ilmu sosial, sedangkan Societal Engineering
termasuk dalam ilmu-ilmu keteknikan (engineering). Itulah
dia textual + kontextual = konsepsional. Di samping rumus
tersebut, laki-laki : perempuan = 2:1, dapat pula
dita'wilkan bahwa itu suatu isyarat, yakni dari sudut
genetika laki-laki itu terdiri atas dua jenis khromosom,
sedangkan perempuan hanya terdiri dari satu jenis, sebab
bukankah khromosom laki-laki terdiri atas xy, sedangkan
perempuan hanya xx? Bahwa pemahaman textual dapat
"beriringan" dengan ta'wil, maksudnya pemahaman textual
tidak menutup upaya ta'wil, demikian pula ta'wil tidak
menghapuskan pemahaman textual dapat dilihat dari peristiwa
Isra Nabi Muhammad SAW. Difahamkan secara textual RasuluLlah
SAW betul-betul menunggang binatang buraq sambil dituntun
Jibril. Pemahaman textual itu tidak menutup ta'wil tentang
konfigurasi naluri - akal - wahyu, akal mengendalikan
naluri, dan wahyu menuntun akal, dan bahwa itu merupakan
isyarat bahwa peristiwa Isra itu akan diproyeksikan dalam
sejarah, yaitu hijrah dari masjid ke masjid (masjidulHaram
ke masjidNabawi), RasuluLlah SAW naik unta dituntun oleh Abu
Bakr ashShidiq RA orang tepercaya, sebagaimana halnya Jibril
adalah malaikat tepercaya.
WaLlahu a'lamu bishshswab.
***
Makassar, 8 November 1992
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
(sebelum)
|