|
|
UAA: Sent: Tuesday, December 17, 2002 1:42 PM Subject: Re: Mengutip kitab tafsir yang 'kurang tepat' Pak Nur, Saya, mengikuti Dr. Husein Az Zahabi dalam "At Tafsir wal Mufassirun", menganggap bahwa tafsir "Fi Zilal" itu bukanlah tafsir dalam pengertian teknis istilah itu; itu adalah refleksi dan kontemplasi Qutb saja. Kalau anda baca Fi Zilal, persis kayak pidato. Di samping itu, saya mempunyai "paradigma" yang berseberangan total dengan Qutb; saya kurang senang memakai tafsir ini (terutama tafsir dia tentang jihad yang bagi saya "non-sense"). Jadi, kalau anda merujuk Sayyid Qutb, ini juga rujukan yang kurang tepat, sebab dalam "standar tafsir" yang normalpun, dia kurang "diperhitngkan". Soal Mahmud Yunus, saya kurang banyak membaca tafsir dia. Tafsir yang saya kutipkan dalam posting terdahulu atas ayat itu saya kutip dari "Fathul Qadir" karya Imam Asy Syaukani, sebuah tafsir yang dihormati di kalangan para penafsir klasik karena menggabungkan antara metode "dirayah" dan "riwayah". Oke, kalau anda tak puas dengan tafsir-tafsir itu, anda pakai tafsir yang mana? Anda belum menunjukkan, mana konflik dalam ayat itu antara akal dan wahyu? Kalau tafsir-tafsir yang anda rujuk itu tidak memuaskan penjelasannya, apakah dengan sendirinya ada konflik di situ? Di mana konfliknya, Pak? salam, ps. Soal "Abdalla", saya menganut kaidah dalam tradisi pengkajian linguistik Arab klasik, "la musyah-hata fi isthilahat", tak usah mempersoalkan nama-nama. Ada soal lain yang lebih penting: Anda setuju orang-orang yang berpandangan kritis atas "agama" dianggap kafir dan layak dihukum mati, karena anda kemaren mengirim posting dari milis "Sabili" yang menyetujui hukuman mati atas saya (karena telah menghancurkan Islam dari dalam)? Hukuman mati atas orang-orang yang berbeda pendapat dalam soal agama adalah warisan "abad kegelapan Kristen" yang sekarang ditiru sebagian orang Islam, termasuk Imam Khomeini. Apakah Islam sedang mengalami "neo-medievalisme"? Tapi, saya ber-husnuz zan, pastilah Bapak tidak berpandangan demikian. Insya Allah.
Baiklah akan saya tunjukkan konflik antara akal dengan ayat (36:80) tanpa merujuk kepada tafsir siapapun juga. Dari segi pengalaman empiris tidak mungkin didapatkan api jika pohon yang masih basah / hijau digosok. Untuk memperoleh api dari segi pengalaman empiris, kayu itu harus kering betul. Jadi yang menyebabkan konflik itu adanya kata akhdhar. Nantilah apabila anda telah mengemukakan / menjawab sikap anda dalam hal konflik antara akal dengan ayat, baru saya akan menunjukkan kelemahan akal itu kepada anda. Wassalam,
Pak Nur yang baik, Saya harus berkata apa sekarang. Anda jelas, maaf, kurang mengerti bagaimana mendudukkan ayat dalam surah Yasin yang anda kutip itu. Anda memaknai kata "akhdlar" di situ sebagai sesuatu yang mencakup segala jenis dahan dan pepohonan yang masih "hijau" atau basah. Ya nggak bisa dong. Mana ada dahan mangga dipotong jadi dua lalu digesekkan dan keluar api. Itu tak pernah terjadi, baik sekarang atau pada zaman ayat itu turun. Memang ayat itu tidak bicara soal segala jenis dahan yang basah. Ayat itu merujuk kepada satu jenis pepohonan saja; dan untuk itu kita perlu merujuk kepada rekaman sejarah yang ditulis oleh para mufassir. Seperti saya kutip dalam posting sebelumnya, Asy Syaukani dalam "Fathul Qadir" menyebutkan bahwa kata "akhdlar" di situ merjuk kepada jenis pepohonan yang ada di Arab saat itu, yaitu pohon "marakh" dan "'ifar". Saya sendiri tak tahu bagaimana terjemahan dua kata itu, karena saya juga tak tahu jenis pepohonan seperti apa keduanya itu. Ini persis seperti ayat dalam surah 'Abasa, "Wa fakihatan wa abba." Umar sendiri, salah seorang sahabat utama, tidak tahu apa arti "abba" dalam ayat tersebut, dan baru paham ketika diberi tahu oleh sahabat lain. Kata "abba" itu merujuk kepada makna tertentu dalam tradisi penggembalaan binatang piaraan di padang pasir. Jadi, sekali lagi, anda tidak bisa mengartikan kata "akhdlar" itu kecuali merujuk kepada makna kata itu sebagaimana dipahami oleh sahabat pada saat mendengar ayat tersebut. Artinya: hingga sekarang anda tidak bisa menunjukkan adanya konflik antar akal dan wahyu dalam ayat yang anda kutip itu. Saya sudah sarankan ayat lain yang jauh lebih tepat anda jadikan contoh. Karena itu, maaf, saya belum bisa meneruskan diskusi. Lebih baik anda akui bahwa anda sebetunya salah kutip. Dan itu tak apa-apa. Dengan begitu saya bisa melanjutkan diskusi ke jenjang berikut yang anda inginkan. Kalau soal kelemahan akal, tanpa harus menunggu kelanjutan "jenjang argumen" yang akan anda pakai nantinya, saya akan mengatakan sejak awal: memang akal punya kelemahan atau keterbatasan. Tetapi dalam posting yang lalu saya sudah katakan: yang terbatas bukan saja akal tetapi juga wahyu yang telah menjadi "verbal" dan mengambil bentuk bahasa manusia tertentu (Ibrani, Siriac, Arab, dan lain-lain). salam,
Assalamu 'alaykum wr.wb. Baiklah kalau begitu, saya tunjukkan ayat-ayat lain. Salah satunya masih di S. Yasin, yaitu ayat 40: Laa sysyamsu yanbaghiy lahaa an tudrika l qamar. Menurut intizhar setiap bulan terjadi asysyamsu tudrika lqamar, yatiu tatkala terjadi ijtima'. Seperti baru-baru ini, pada 4 Desember jam 15.30 (waktu Makassar- WIT) 2002, bahkan pada waktu matahari menyusul bulan di bola langit jalur matahari dengan jalur bulan berpotongan sehingga terjadi gerhana matahari, jadi sebenarnya pada hari Rabu petang itu bulan sudah dapat "diru'yah", karena bagian matahari yang gelap itu ditutup bulan. Jadi bagian yang gelap itu adalah bulan, sehingga sebenarnya bagi penganut ru'yah seharusnya lebaran pada tgl.5 Desember 2002. Ini satu lagi: Awa lam yaraw ila ththayri fawqahum sha-ffa-tin wayaqbidhna (S. Al Mluk, 19). Bukankah sha-ffaa-t dengan yaqbidhna itu kontradiktif? Burung yang bersaf itu ialah tatkala terbang melaju, tidak pernah ada burung bersaf pada waktu hinggap, yaitu tatkala sayapnya yaqbidhna. Bagaimana burung bisa terbang kalau sayapnya menguncup ke dalam tubuhnya? Biarlah supaya mujadalah ini dapat berlanjut, tidak usah saya menanyakan sikap anda menghadapi konflik akal dengan ayat tersebut, jika dilihat secara literal. Kalau mengenai sikap saya, saya tidak akan tergesa-gesa meninggalkan pemahaman yang literal, cukup dipending saja dahulu, hingga akal saya mendapatkan informasi tambahan yang cukup untuk dapat mencernanya secara literal. Tetapi sayapun tidak menyalahkan mereka yang "malas" (saya pinjam term anda) mencari tambahan informasi, lalu meninggalkan sama sekali usaha untuk dapat memahami ayat secara literal, terus melangkah menta'wilkan saja ayat itu. (AlhamduliLlah, saya sudah mendapatkan informasi tambahan sehingga akal saya dapat mencerna ayat itu secara literal, namun tidak di sini saya ungkap, nanti selingannya terlalu panjang sehingga mengganggu jalannya diskusi). Yang penting, SALAH SATU kelemahan dalam menggunakan akal ialah tidak selamanya dan terkadang sulit untuk mendapatkan informasi dari lapangan / lingkungan, sehingga akal itu (buat sementara) mandeg jadinya. Saya akan pindah untuk melanjutkan pendekatan diagram. Yang anda sudah sepakati input ==> [proses] ==> output wahyu ==> [proses dalam diri Nabi Muhammad] ==> Al Quran (ayat qawliyah) surroundings ==> [proses adaptasi & pembelajaran oleh komunitas Arab] ==> kultur Arab Kultur Arablah yang mula-mula mendapat "suntikan" ayat qawliyah, secara berangsur-angsur, sehingga ayat qawliyah itu haruslah dalam bahasa Arab. Innaa anzalnaahu qur.a-nan 'arabiyyan, la'allkum TA'QILUWN. Mengapa Allah menekankan pada akhir ayat supaya kita mempergunakan 'akal. Di sinilah perbedaan saya dengan anda dalam mempergunakan akal.Hasil suntikan ayat qawliyah pada kultur Arab, BUKANLAH muatan lokal. Kalau di Universitas Muhammadiyah mempelajari suatu proses ayat kawniyah dalam bahasa matematika di laboratorium fisika, maka hasil kajian itu tidaklah bermuatan lokal khusus Makassar saja. (Ini akan dilanjutkan setelah tiba dipuncak, sekarang baru mendaki lereng mendekati puncak). Anda sudah menyatakan kesepakatan mengenai diagram itu. Alirannya berjalan sendiri sendiri. Ada aliran dari wahyu ke dalam diri Nabi Nuhammad SAW berakhir di Al Quran. Ada aliran dari surrounding (ayat kawniyah) ke proses adaptasi dan pembelajaran komunitas Arab, berujung pada kultur Arab. Jadi tidak ada "pengaruh" kultur Arab terhadap ayat qawliyah, oleh karena suntikan ayat qawliyah ke dalam kultur Arab alirannya satu arah. Saya akan berikan illustrasi mengenai suntikan itu, yaitu asbabun nuzul S.Al Kafiurwn, S.Al Fiyl dan S.Quraisy. Setelah penguasa Quraisy tidak dapat meredam perkembangan Islam dengan cara terror, maka mereka mengadakan pendekatan politik, yang seperti biasa dalam politik umumnya berlaku kebiasaan koe handel./ dagang sapi, to take and to give. Penguasa Quraisy bersedia to give, yaitu seluruh penduduk Makkah artinya kaum kafir quraisy dengan ummat Islam bersama-sama menyembah. Apa yang diinginkan (to take) penguasa Quraisy dari Nabi Muhammad SAW , ialah jika hari ini bersama-sama menyembah Allah esoknya bersama-sama pula menyembah dewa-dewa yang dipelambangkan sebagai patung-patung yang diletakkan sekitar Ka'bah. Maka turunlah S.Al Kafirun menyuntikkan "obat" aqidah lakum diynukum wa liya diyn. Suntikan berikutnya berupa "illustrasi" tentang upaya Abrahah ingin meruntuhkan Ka'bah dengan pasukan bergajahnya yang dibinasakan oleh thayran abaabiyl yaitu S. Al Fiyl. Adapun maksud suntuikan illustrasi riwayat itu untuk mengingatkan penguasa Qurasy, bahwa sejak itu qabilah Quraisy dapat membawa kafilah dagang sepanjang tahun tanpa kekuatiran di serang qabilah lain di luar bulan-bulan yang telah disepakati oleh kultur Arab untuk tidak saling menyerang. Hal ini dillustrasikan dalam suntikan S. Quraisy, yang ditutup dalam surah itu suntikan berupa "koreksi" kultur Arab penyembah berhala, supaya jangan menyembah berhala yang ada di seputar Ka'bah: Falya'buduw rabba ha-dza lbayt. (Inilah yang dipelintir oleh para orientalist yang berteori "anekdot semantik" bahwa kata Allah berasal dari al ilah, yang juga lagi memplintir bahwa: The Divine Name Allâh was used by the pre-Islamic pagan Arabs with pagan connotations, notwithstanding the fact that they considered Allâh as the Supreme Deity in their polytheistic pantheon and that Allâh was for them the "Lord of the Ka`ba"). Demikianlah dengan aliran satu arah dari ayat qawliyah ke kultur Arab berupa suntikan dalam jenis "obat" aqidah, ilustrasi dan koreksi, menunjukkan SAMA SEKALI TIDAK ADA PENGARUH KULTUR ARAB KEPADA AYAT QAWLIYAH. Saya telah ada pada bagian puncak sekarang.Selanjutnya saya mendaki menuju bagian puncak yang tertinggi dari perbincangan, yang merupakan KATA akhir dari saya. Hal yang kita tidak (atau belum?) dapat sepakati ialah apa yang anda katakan muatan lokal utamanya hudud. Kalau anda sepakat dengan saya, alhamduLlah, kalau tidak, ya kita sepakat dalam ketidak sepakatan. Saya hanya dapat berdoa kepada Allah semoga anda surut langkah dalam hal hudud ini. Kata akhir saya ialah: Saya berpendapat tidak ada muatan lokal, seperti halnya hasil kajian laboratorium di Unismuh dalam bahasa matematika, itu bukan muatan lokal Makassar. Al Quran hudan linnaas. AnNaas adalah makhluq pribadi dan makhluq sosial. Maka Syari'at Islam mengandung hukum Syari'ah yang ritual dan non-ritual. Syari'ah yang ritual untuk manusia sebagai makhluq pribadi. Inilah yang disebut dengan religie, religoin, gosdienst oleh "rasa bahasa" dalam mother language orang barat. Syari'ah yang non-ritual adalah porsi bagi manusia sebagai makhluq sosial. Pada Syari'ah yang ritual akal sama sekali tidak bebas dalam konteks menjawab pertanyaan mengapa. Akal hanya berurusan dengan yang deskriptif, bagaimana (caranya), bilamana dan di mana (dilakukan). Dalam Syari'ah yang non-ritual, akal bebas terkendali, yaitu dikendalikan oleh: wa athiy'u Lla-ha wa rasuwlahu- wa laa tanaaza'uw (S. Al Anfaal, 46). Akal bebas di atas paradigma ayat (Al Anfaal, 46). Artinya silakan berolah akal, termasuk menta'wilkan sebebasnya asal tidak dilarang / tidak bertentangan dengan Nash. Sebagai ilustrasi: Bagaimana nizam dan teknis distribusi modal usaha? Akal boleh bebas mencari nizam beserta teknisnya, tetapi tidak boleh melanggar larangan: Kay laa yakuwna duwlatan bayna la.ghniya-i minkum. Bagaimana cara mengambil keputusan politik? Akal boleh bebas asal tidak bertentangan dengan wa syaawirhum fi l'amr. Bagaimana Syari'ah non-ritual hudud? Apa boleh menta'wikan dengan mengambil "jiwa"nya saja? Di sinilah perbedaan kita. Boleh menta'wilkan sanksi potong tangan itu dengan misalnya membuat uu yang dapat memotong kekuasaan pejabat sehingga tidak mampu melakukan korupsi, seperti misalnya rencana uu anti korupsi yang dibawa sendiri ke DPR oleh Jaksa Agung Baharuddin Lopa almarhum, yang memakai prinsip anna- laka hadza, bukan jaksa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa, melainkan sebaliknya terdakwalah yang harus membuktikan kebesihan dirinya dari korupsi. Sekali lagi boleh membuat ta'wil potong tangan yang demikian, akan tetapi (dan di sinilah perbedaan kita lagi), potong tangan secara literal tetap harus dijalankan, oleh karena Nabi Muhammad SAW telah bersabda, bahwa Fatimahpun kalau mencuri akan kupotong tangannya.Sabda beliau itu menunjukkan bahwa hudud itu difahamkan secara literal Jadi hudud secara lteral jalan terus ditunjang oleh ta'wil memotong kekuasaan melalui uu anti korupsi. Tampaknya bagi akal anda menerima hudud itu secara literal sama sulitnya akal menerima secara literal ayat-ayat (36:80), (36:40) dan (67:19). Itu perlu mendapatkan informasi dari lapangan. Anda sudah baca Laporan Khusus - Tempo 15 Desember 2002, antara lain seperti berikut Tapi ada juga yang "berat" seperti yang terjadi di Gowa dan Jeneponto, Sulawesi Selatan. .Mereka menerapkan hukum potong tangan pada pelaku kejahatan di kawasan tersebut. Sebenarnya bukan hanya di Kabupaten Gowa dan Je'neponto saja, tetapi sampai ke ujung selatan yaitu Kab.Bantaeng dan Bulukkumba. Sejak Forum Bersama (Forbes), yang tokoh-tokohnya dari anggota KPPSI, bergerak membantu polisi, sudah tidak ada lagi perampok ternak yang ganas, yang tidak segan membunuh korbannya, yang sangat meresahkan dan ditakuti penduduk. Ini merupakan pilihan antara HA perampok yang tertangkap tangan dengan HA warga yang menjadi korban perampok itu. Saya sendiri sudah mengalami bagaimana aman dan tenteramnya daerah kuasa defacto DI-TII dahulu (FYI saya menjabat salah seorang menteri waktu itu). Dari pengalaman lapangan itu juga, saya mengambil sikap mundur selangkah, yaitu memperjuangkan tegaknya Syari'at Islam secara damai, demokratis, tanpa kekerasan melalui jalur konstitusi, dengan melalui wadah KPPSI memperjuangkan "rumah politik" yaitu otonomi khusus Provinsi Sulawesi Selatan, yang kekhusususannya itu berlakunya Syari'at Islam. Ini adalah yang terakhir dari kata akhir yang menjadi titik puncak mujadalah. Bolehkah saya memanggil anda sebagai anakda? Umur saya sekarang 71 tahun liwat beberapa bulan dalam hitungan kalender Miladiyah, atau 73 setengah tahun menururt tahun Hijriyah. Panggilan anakda ini juga saya pakai kepada Dr Qasim Mathar. Saya pernah diduai oleh Qasim Mathar bersama Dr Taufiq Adnan berdiskusi ttg Islam Liberal di IMMIM Makassar. pada 12 Oktober 2002 (intermesso, sebelum berdiskusi karena duduk berdekatan kursi dengan Qasim Mathar dan juga lama baru berjumpa, kami berdekapan bercium ala kultur Arab di depan peserta diskusi, walaupun ada beberapa hal pendapatnya berseberangan dengan saya). Anakda Ulil, anakda minta kepada saya hukuman apa yang patut dijatuhkan atas anakda karena faham yang anakda anut itu? Menururt saya, itu terpulang kepada anakda sendiri. Al Hawa anakda sendiri yang menjadi jaksanya, Fuad anakda sendiri yang menjadi pembelanya dan Qalbu anakda sendiri yang menjadi hakimnya. Saya hanya berdo'a kepada Allah mudah-mudahan Allah menurunkan hidayahNya kepada anakda, sehingga mengambil langkah surut ke liberal terkendali, akal bebas di atas paradigma: wa athiy'u Lla-ha wa rasuwlahu- wa laa tanaaza'uw Amin Wassalam, |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |