|
Pengantar
Artikel Ulil Abshar-Abdalla (UAA), Koordinator Jaringan
Islam Liberal, di harian Kompas 18 November 2002 berjudul
"Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam",
http://www.islamlib.com/KOLOM/181102ulilkompas.html, menjadi
topik diskusi hangat di berbagai milis.
Satu tanggapan keras datang dari H.M. Nur Abdurrahman
(HMNA), Wakil Ketua Majelis Syura Komite Persiapan Penegakan
Syari'at Islam (KPPSI) Sulsel, ketika mengomentari bagian
pernyataan Ulil dalam artikel Kompas: "Kita harus bisa
membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh
kultur Arab dan mana yang tidak," dapat dilihat misalnya di
milis wanita-muslimah@yahoogroups.com,
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/15860
atau milis sabili@yahoogroups.com,
http://groups.yahoo.com/group/sabili/message/38782
Selanjutnya kedua belah pihak melakukan korespondensi via
email antara tanggal 14-24 Desember 2002 berdialog seputar
ajaran Islam, wahyu, akal dan kultur Arab. Setelah diskusi
berakhir, HMNA mengirimkan berkas diskusi ini kepada saya
(DWS) dan mengijinkan saya mempublikasikannya di beberapa
milis. Saya juga mendapatkan ijin dari UAA untuk publikasi
ini.
Selain itu untuk mempermudah mengikuti diskusi
email-email korespondensi disusun secara kronologis. Tidak
ada penyuntingan lebih dari itu. Ada kemungkinan dialog
masih berlanjut. Mengenai tanggapan dan penjelasan lebih
lanjut dapat berhubungan langsung dengan pihak-pihak yang
berdialog.
Semoga bermanfaat.
salam,
Dwi W. Soegardi
Ulil Abshar-Abdalla (UAA):
Sent: Saturday, December 14, 2002 11:59 PM
Subject: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus!
Pak Nur yang baik,
Semula saya enggan menanggapi posting-posting anda,
karena nadanya yang memperlihatkan seolah-olah andalah
pemegang kebenaran mutlak, dan menempatkan saya sebagai
pihak yang sudah pasti salah (ini sangat tidak sesuai dengan
"adabul khilaf" yang dikenal dalam tradisi pemikiran Islam
klasik); juga kata-kata "kasar" yang anda pakai membuat saya
agak sedikit ogah-ogahan untuk membuat tanggapan balik.
Pelan-pelan anda mulai menggunakan bahasa yang sopan,
sehingga saya mulai percaya bahwa anda menghendaki suatu
"mujadalah billati hiya ahsan". Islam itu agama rahmat, jadi
jangan dibuat seram dan menakutkan, seperti yang dilakukan
oleh Abu Bakar Ba'asyir dan kawan-kawannya itu (anda setuju
dia?).
Saya hendak mencicil dengan menanggapi sedikit demi
sedikit keberatan anda pada pemikiran saya. Pokok soal yang
anda ulang-ulang terus adalah bahwa pernyataan saya tentang
adanya pengaruh kultur Arab dalam ajaran Islam anda anggap
sebagai penghinaan atas Allah. Saya tidak tahu, dari mana
anda berkesimpulan seperti itu. Kalau saya tidak setuju
dengan pendapat seseorang mengenai Islam, saya tidak akan
mengatakan bahwa orang itu telah menghna Allah; sebab,
siapakah yang tahu kehendak Allah secara persis. Kalau saya
tidak sepakat dengan pendapat anda dalam hal "pengaruh
kebudayaan Arab dalam ajaran Islam," dan kemudian karena itu
anda mengatakan bahwa saya telah menghina Allah, maka yang
terjadi adalah: seolah-olah anda mengetahui dengan persis
kehendak Allah; lebih celaka lagi, seolah-olah anda mau
meletakkan pendapat anda setara dengan "Tuhan" itu sendiri,
sehingga orang-orang yang berlawanan dengan pendapat anda
sama dengan melawan Allah. Cara berargumen yang sehat
adalah: jika anda tak setuju dengan penafsiran seseorang
atas Islam, kemukakan kritik dan argumentasi anda, tetapi
tidak usah menuduh bahwa lawan diskusi anda, misalnya, telah
keluar dari "manhaj" Islam, telah menghina Allah, menghina
Rasul, menghina Islam. Kalau mau jujur, saya mau katakan:
bukan melawan Allah, tetapi melawan pendapat anda sendiri.
Dan janganlah "GR" bahwa pendapat anda adalah mewakili
seluruh kebenaran Islam.
Anda mengatakan bahwa, "Budaya bersumber dari akar yang
historis, sedangkan wahyu sumbernya non-historis yaitu Allah
SWT." Oke, itu adalah pemahaman anda, bukan gambaran dari
kebenaran Islam itu sendiri. Saya tak tahu, dari mana anda
mempunyai kesmpulan seperti itu. Pandangan seperti itu
meletakkan seolah-olah antara "budaya" dan "wahyu" adalah
saling bertentangan. Sumber wahyu memang "non-historis",
tetapi ketika Allah hendak berbicara dengan manusia melalui
Rasul-Nya, maka Allah menggunakan peralatan yang "historis"
untuk bisa menyampaikan pesan kepada manusia. Qur'an sendir
berfirman, "wa likullin ja'alna minkum syir'atan wa
minhaja," masing-masing umat suatu rasul diberikan syari'at
dan "manhaj" yang sesuai dengan kondisi sosial mereka
masing-masing. Artinya, wahyu dan firman Tuhan mewujudkan
diri melalui bahasa budaya lokal. Itulah sebabnya, Qur'an
turun secara "tadarruj", gradual, karena Allah tidak bisa
mengabaikan begitu saja konteks historis yang ada. Bagaimana
mungkin Allah yang "non-historis" berbicara dengan manusia
yang "historis" kalau tidak menggunakan piranti-piranti
kultural yang historis. Contoh kongkret: karena Qur'an turun
di tanah Arab, maka dengan sendirinya wahyu Allah turun
dengan menggunakan piranti kultural yang historis, yaitu
bahasa Arab, "Inna anzalnahu qur'anan 'arabyyan la'allaku
ta'qilun". Karena Qur'an turun dalam bahasa Arab, maka
struktur linguistik Arab jelas mempegaruhi ajaran Islam itu
sendiri. Kalau anda mengikuti studi-studi linguistik modern
(karena studi ini berkembang di Barat, mungkin anda tak mau
terima ya? Barat kan "kafir"), maka dengan jelas
diperlihatkan bahwa sesungguhnya bahasa bukan sekedar
deretan kalimat, tetapi juga "pandangan dunia". Jadi, karena
wahyu Islam turun dalam bahasa Arab, maka "pandangan dunia"
orang Arab jelas mempengaruhi ajaran Islam. Dengan
mengatakan ini, saya tidak sedang menghina Allah. Di mana
menghinanya? Kalau Allah menggunakan bahasa Arab (sesuatu
"yang historis") untuk berkomunikasi dengan orang Arab,
apakah Allah menghina dirinya sendiri? Pendapat anda bahkan
tidak pernah saya temukan dalam tradisi kajian hukum Islam
klasik yang paling konservatif pun. Di kalangan juris Islam,
pengaruh budaya atas ajaran Islam itu diakui sebagai sesuatu
yang absah. Itulah sebabnya ada diktum "al 'adah
muhakkamah", adat masyarakat bisa dijadikan sumber hukum
Islam. Artinya: hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur
setempat. Apanya yang salah dengan fakta semacam ini. Contoh
anda tentang "fil", gajah, dan unta sangat superfisial dan
tidak relevan, juga tidak jelas arahnya ke mana.
Anda juga mengatakan, "Artinya menurut uaa-jil-kiuk
==> "Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab", itu sudah
menghina Allah SWT. Artinya juga ==> uaa bervisi "Al
Quran tidak murni terdiri atas wahyu, sebab ada sebahagian
yang dipengaruhi kultur Arab. Artinya ==> uaa telah
mendustakan Nabi Muhammad SAW. ==> uua telah melebihi
ghulam ahmad, nabi palsu dari India itu. Sebab? ghulam
ahmad walaupun mengaku menerima wahyu, masih mengakui bahwa
Al Quran itu murni dari wahyu."
Sekali lagi, kalau saya berbeda pandangan dengan anda,
anda tidak usah menempatkan diri sejajar dengan Nabi
Muhammad, sehingga berlawanan dengan pendapat anda sama
dengan mendustakan Nabi. Kalau wahyu tidak dipengaruhi oleh
budaya lokal, kenapa setiap datang Nabi baru, sebagian
ajaran Nabi sebelumnya dibatalkan? Alasannya jelas: setiap
Nabi membawa wahyu yang sesuai dengan kondisi historis yang
dihadapinya; wahyu, dengan demikian, dikondisikan oleh
konteks yang historis. Wahyu ada "dalam" sejarah manusia,
bukan di "luar" sejarah manusia. Anda akan mengatakan bahwa
Qur'an adalah wahyu terakhir, sehingga hukum-hukumnya tidak
akan mungkin dibatalkan oleh ajaran lain; sebab setelah
Qur'an tidak ada wahyu lagi. Saya setuju bahwa Qur'an adalah
wahyu terakhir; tetapi apa sih yang disebut dengan "hukum
Qur'an" itu? Osamah ben Laden, meniru Hasan Al Banna,
melontarkan semboyan yang ditiru oleh pengikutnya Abu Bakar
Ba'asyir di sini, "Al Qur'an dusturuna," Qur'an adalah
undang-undang kami, konstitusi kami. Itulah landasan
orang-orang yang ingin menegakkan syari'at Islam. Apa sih
yang disebut hukum Qur'an itu? Qur'an memang panduan dan
"guide" bagi kehidupan umat Islam (hudan lin nas), tetapi
dia bukan kitab hukum. Teks-teks Qur'an bisa ditafsirkan
secara berbeda-beda oleh para ulama dan sarjana. Ambil
contoh: apakah bunga bank itu adalah "riba" seperti yang
dimaksud oleh Qur'an, dan kerana itu haram? Ayatnya memang
jelas, "wa ahallahul bai'a wa harramar riba." Tetapi "riba"
didefenisikan secara berbeda-beda oleh ulama, sehingga
status bunga bank-pun diperselisihkan. Kalau ada hukum
Qur'an dalam soal bunga bank, maka pertanyaannya: manakah
pendapat yang paling sesuai dengan hukum Qur'an, pendapat
yang menghalalkan atau mengharamkan. Apakah orang yang
menghalalkan bunga bank adalah menghina Qur'an, Allah, dan
Nabi? Soal riba ini juga memperlihatkan bahwa sebetulnya
wahyu Qur'an itu sangat dipengaruhi oleh budaya Arab
setempat. Sebab, istilah "riba" itu memang sudah ada dalam
masyarakat Arab saat itu; pengertian mengenai "riba" seperti
disebut Qur'an juga merujuk kepada bagaimana istilah itu
dimengerti oleh masyarakat Arab. Karena pengertian "riba"
dalam Qur'an terkait dengan penggunaannya dalam masyarakat
Arab maka para ulama modern berbeda pendapat: apakah bunga
bank termasuk dalam pengertian "riba" dalam Qur'an itu.
Contoh lain: penggambaran sorga dalam Qur'an jelas sekali
dipengaruhi oleh "ekspektasi" yang khas Arab terhadap apa
yang disebut dengan "jannah" atau kebun (sorga). Qur'an
menggambarkan sorga sebagai "mengalir di bawahnya
sungai-sungai". Dalam surah Al Ghasyiyah dikatakan, "fiha
'ainun jariyah, fiha sururun marfu'ah, wa akwabun maudlu'ah,
wa namariqu mashfufah, wa zarabiyyu mabtsutsah ...". Sorga
dalam surah Al Ghasyuyah ini persis seperti bayangan
orang-orang Arab mengenai istana raja-raja yang mereka kenal
pada saat itu. Apakah sorga seperti itu? Kalau anda
berandangan literalistik, dan beranggapan bahwa sorga ya
seperti digambarkan Qur'an itu, maka sorga semacam itu
hanyalah sorganya orang Arab. Kalau anda mengatakan: ya itu
kan ilustrasi saja agar orang Arab paham, maka anda telah
menempuh suatu metode penafsiran yang dalam tradisi tasawwuf
disebut "ta'wil", yaitu memahami kalimat bukan berdasarkan
makana lahiriahnya, tetapi berdasarkan esensi "esoterik"
(bathin)-nya. Metode "ta'wil" inilah yang saya pakai untuk
memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum pidana dan
yang lain. Menurut saya: qishash, rajam, dan lain-lain itu
adalah cara menerjemahkan nilai dasar Islam tentang
"perlindungan nyawa dan keturunan" yang merupakan bagian
dari "al kulliyyatul khamsah" dalam cara yang sesuai dengan
kultur Arab saat itu. Qishash tidak wajib kita ikuti, yang
wajib kita ikuti adalah nilai esensial yang ada di baliknya.
Umat Islam diwajibkan untuk berijtihad untuk mencari
kerangka kelembagaan agar nilai esensial tentang
"perlindungan nyawa" itu bisa terwujud dalam kehidupan yang
kongkret. Itulah ta'wil. Dan janganlah anda kalau tak
seutuju dengan pendapat ini langsung mengecapnya sebagai
"menghina Allah".
Kalau saya mau meradikalkan pendapat saya, maka saya akan
mengatakan: bahwa wahyu tidak bisa tidak kecuali dipengaruhi
oleh budaya setempat. Sebab wahyu sebagai "kehendak" Allah
harus memakai "baju" yang kongkret, yaitu kultur masyarakat
yang ada. Kalau wahyu adalah sepenuhnya "non-historis', maka
dia akan seperti "hantu" yang melayang-layang tanpa tubuh
(Ini tamsil saja Pak, jangan "diambil hati" lalu anda
simpulkan lagi sebagai menghina Allah dan Qur'an; jangan
mudah beranggapan begitu ah....ndak baik). Jadi, struktur
wahyu itu adalah begini:
Pesan universal (seperti tersimpan dalam "Loh Mahfudz")
--> Kultur setempat (sebagai "baju") = wahyu
Kita hanya diwajibkan untuk mengikuti pesan universalnya,
bukan "baju" tempat pesan itu menemukan wadahnya. Jadi,
bukan qishash atau rajam atau jilbab yang wajib diikuti,
tetapi nilai-nilai yang ada di baliknya. Bagaimana
nilai-nilai itu diterjemahkan kedalam kehidupan kongkret,
itu terserah kepada ijtihad manusia.
Salam,
ulil
H. M. Nur Abdurrahman (HMNA):
Assalamu 'alaykum wr.wb.
Pertama-tama kita sepakati dahulu mengenai term
budaya/kultur, atau kalau tidak bisa sepakat
sekurang-kurangnya anda sudah faham apa yang saya maksud
dengan budaya, singkatnya budaya itu adalah 'produk" akal
manusia itulah yang saya maksud dengan kebudayaan itu
sumbernya historis, artinya lahir oleh sejarah pertumbuhan
hasil budi-daya manusia. Wahyu itu non historis, karena
wahyu itu tidak dilahirkan oleh sejarah. Dari sinilah saya
bertitik tolak untuk "menyalahkan" visi anda yang mengatakan
"Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab". Artinya menurut
persepsi saya berdasar atas pengertian istilah "pengaruh"
==> yang dipengaruhi itu posisinya dibawah dari yang
mempengaruhi. Oleh sebab itu visi Ada wahyu yang dipengaruhi
kultur Arab, bukankah itu sudah jelas bahwa posisi kultur
Arab itu "mengatasi" wahyu? ==> Artinya kebudayaan yang
produk akal manusia itu posisinya mengatasi wahyu yang
bersumber dari Allah SWT? Bukankah itu menghina Allah SWT?
Selanjutnya, jika ada wahyu yang dipengaruhi oleh kultur
Arab, maka berarti Al Quran samalah kedudukannya dengan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang ayat-ayatnya
bercampur aduk dengan kultur Bani Israil? ==> Artinya Al
Quran itu tidak murni terdiri dari wahyu. Apakah ini tidak
mendustakan Nabi Muhammad SAW, menuduh Nabi Muhammad SAW
mencampur adukkan wahyu dengan kultur Arab dalam Al Quran?
Ini dulu kita finalkan baru beralih ke substansi yang
lain.
Wassalam,
HMNA
UAA:
Sent: Sunday, December 15, 2002 2:26 AM
Subject: Re: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus!
Pak Nur,
Apapun pengertian yang anda tempelkan pada kata "budaya"
(konon, Kluckhon pernah menghitung defenisi yang pernah
dipakai dalam tradisi kesarjanaan Barat, dan jumlahnya lebih
dari seratus; Terry Eagleton menulis buku khusus tentang
defenisi budaya itu beratus-ratus lembar, dalam buku
berjudul "The Idea of Culture"), tetap saya mengatakan: tak
ada salahnya wahyu dipengaruhi oleh budaya. Apakah wahyu
kurang nilainya kalau dipengaruhi budaya Arab? Tidak! Kalau
anda memaknai wahyu secara general, tidak saja wahyu dalam
Qur'an, maka jelas sekali Qur'an mengatakan bahwa wahyu
Allah kepada setiap Nabi itu dipengaruhi oleh masing-masing
kultur umatnya; "wa likullin ja'alna minkum syir'atan wa
minhaja". Qur'an sendiri menegaskan itu. Karena wahyu Allah
dalam bentuk "minhaj" yang turun pada Nabi Musa sudah tidak
sesuai dengan perkembangan dan kultur masyarakat yang ada,
maka Allah menurunkan wahyu baru dalam bentuk "manhaj" baru,
yaitu wahyu yang turun pada Nabi Isa. Wahyu Isa dkoreksi
oleh wahyu yang turun pada Nabi Muhammad. Kalau wahyu
dipengaruhi oleh kultur Arab, maka kultur Arab mengatasi
wahyu, kata anda. Dari mana anda dapat pemahaman seperti
ini?
Sekarang saya tanya: apa bahasa Allah itu? Apakah Allah
itu berbahasa Arab, Inggris, Belanda, Sunda, atau yang lain?
Jawaban saya: Allah menggambarkan diri-Nya dalam Qur'an,
"Laisa kamitslihi syai'un", Allah tidak menyerupai apapaun.
Artinya: Allah tidak mempunyai bahasa; Allah itu "beyond
languages, beyond symbols," begitulah orang-orang sufi
sering menggambarkan zat Allah. Tetapi ketika Allah hendak
"berbicara" kepada manusia, "terpaksa" Allah memakai bahasa.
Ketika Allah hendak "berkomunikasi" dengan komunitas yang
kebetulan adalah orang-orang Arab, maka "terpaksa" Allah
menggunakan bahasa Arab. Karena "pesan" Allah
dikomunikasikan dalam bahasa yang spesifik, yaitu bahasa
Arab, sudah logis kalau "pesan universal" Allah itu juga
terpengaruh untuk kultur Arab. Seperti sudah saya katakan,
bahasa itu bukan sekedar susunan kata-kata, tetapi juga
membawa pandangan dunia, kultur, dan prasangka-prasangka
masyarakat yang memakainya. Seandainya "pesan Allah" itu
turun di tanah Jawa dan dikomuniakasikan dalam bahasa Jawa,
sudah pasti wahyu Allah akan berbeda.
Saya bertanya: kata-kata Nabi yang terhimpun dalam hadis
itu wahyu atau tidak? Qur'an mengatakan, "wa ma yanthiqu
'anil hawa, in huwa illa wahyun yuha." Nabi tidak pernah
berkata-kata dari hawa nafsunya sendiri, semua yang
diuajarkannya adalah wahyu. Pasti ada perbedaan pemahaman
atas ayat ini. Kalau kita mengikuti pandangan orang yang
mengatakan bahwa berdasarkan ayat itu, hadis-pun adalah
wahyu dari Allah juga, maka saya akan ajukan sebuah hadis
yang terang-terang dipengaruhi oleh kebudayaan Arab: "A'ful
liha", panjangkan jenggot kalian. Ini hadis sahih. Dalam
teori hukum Islam klasik, disebut ushul fiqh, dikatakan:
setiap ketentuan hukum yang disampaikan dalam bentuk "kata
perintah" (fi'il amar), maka hukumnya adalah wajib. Jadi,
memanjangkan jenggot adalah wajib hukumnya. Pemerintah Saudi
pernah membiayai pencetakan ribuan pamflet tentang wajibnya
memanjangkan jenggot berdasarkan hadis itu. Pemerintahan
Taliban ketika masih berkuasa di Afghanistan pernah
menghukum orang-orang yang mencukur jenggotnya, berdasarkan
hadis ini pula. Kalau hadis adalah juga merupakan wahyu
Allah, maka pertanyaan saya: berarti ajaran tentang jenggot
adalah wahyu Allah juga. Bukankah memanjangkan jenggot
adalah khas tradisi Arab? Bukankah wahyu, dalam kasus ini,
sangat dipengaruhi oleh kultur Arab?
Saya telah menunjukkan dengan gamblang, bahwa bahkan
Qur'an pun menyatakan bahwa ajaran Allah itu disesuaikan
dengan masing-masing tahap perkembangan umat yang
menerimanya, dus dengan demikian juga sesuai dengan
kulturnya. Begitulah kata Qur'an. Bagaimana anda ngotot
bahwa statemen semacam itu adalah menghina Allah,
mendustakan Nabi. Anda tidak menunjukkan argumen apapun
kepada saya. Anda mengulang-ulang kesimpulan yang tidak ada
dasarnya sama sekali. Mengatakan "menghina Allah, Rasul,
Islam" kepada orang-orang yang berbeda pendapat itu memang
mudah; tetapi dengan cara begitu, anda menyamakan pemahaman
anda sendiri dengan kebanaran sebagaimana ada dalam kehendak
Allah. Siapa yang tahu kehendak Allah. Setiap mufassir besar
selalu menutup uraiannya dengan mengatakan "wallahu a'lam
bish shawab," dan Allah lah yang paling tahu dengan apa yang
benar dalam penafsiran ayat ini atau itu. Kalau ada orang
datang dengan tafsiran lain, itu bukan berarti menentang
Allah.
Udahlah, jangan terlalu mudah mengobaral kata-kata
semacam itu. Jangan terlalu gegabah menyimpulkan orang yang
berbeda pendapat dengan anda sebagai menghina agama Allah.
Tunjukkan argumen anda, dari mana anda menyimpulkan bahwa
kalau wahyu itu dipengaruhi budaya Arab, maka dengan
demikian wahyu rendah nilainya? bahka mengatakan hal
demikian adalah mendustakan Nabi? Apa agumen anda? Saya
telah tunjukkan ayat dalam Qur'an yang justru menolak
pemahaman anda.
Bagaimana dong, Pak?
salam,
ulil
HMNA:
Tidak perlu ke cabang dahulu, seperti jilbab dsb.
Konsentrasi pada intinya, yaitu : wahyu dan kultur. Dan juga
marilah menghindarkan diri dari permainan semantik. Pada
pokoknya kultur itu bersumber dari "manusia", wahyu
bersumber dari Allah.
Untuk menghindarkan permainan semantik, saya pakai
pendekatan diagram:
input ---------> [proses] --------> output
Maka,
input-----------> wahyu [proses dalam diri Nabi Muhammad SAW]
input----------->-------->output Al Quran
Bedanya dengan kultur
input-------->alam sekitar [proses adaptasi dan pembelajaran dalam
input-------->kumpulan masyarakat Arab] ------>output kultur Arab
Diagram tersebut dahulu anda jawab, mengerti atau tidak.
Kalau mengerti supaya dijawab: sepakat atau tidak. Kalau
sepakat mujadalah dilanjutkan. Kalau tidak sepakat apa
alasan anda. Kalau tidak mengerti, maka metode diskusi
diubah. Saling mengirimkan tulisan tanpa bersoal-jawab.
Wassalam
UAA:
Sent: Sunday, December 15, 2002 7:16 PM
Subject: Re: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus!
=> Konsentrasi pada inti; hindarkan permainan semantik
Pak Nur,
Tidak ada sesuatu yang prinsipil dalam diagram anda.
Meskipun begitu, saya sepakat dengan diagram itu.
Pertanyaannya: kalau diagram itu dipakai, apakah bisa
disimpulkan --seperti anda lakukan dalam posting lalu--
bahwa kalau wahyu dipengaruhi kultur, wahyu akan turun
nilainya?
Dan dari mana anda menyimpulkan bahwa orang yang
berpendapat seperti itu adalah menghina Allah? Dari mana?
Dari diagram itu bisa disimpulkan seperti itu?
Bagaimana anda mengartikan ayat "wa ma arsalna min
rasulin illa bi lisani qaumihi"?
Diagram anda itu, dalam pandangan saya, tak menunjukkan
kesimpulan apa-apa. Kultur dari manusia, wahyu dari Tuhan.
So, what?
salam,
ulil
HMNA:
AlhamduliLlah, anda sepakat dengan diagram itu, walaupun
anda mengatakan tak ada yang prinsipiel. Anda menghendaki
mujadalah ini billatiy hiya ahsan. Suatu diskusi dapat
berlangasung dengan ahsan, apabila ada kesepakatan term-term
substansi terlebih dahulu tanpa larut dalam pertikaian
semantik yang makan banyak energi. Jadi tidak perlu
tergesa-gesa dan impulsif untuk cepat-cepat langsung masuk
ke dalam substansi yang belum kita bicarakan kesepakatan
atasnya, seperti ta'wil misalnya. Ibarat kata pepatah
berjenjang naik. Maka kita upayakan dahulu bersepakat dalam
term-term substansi yang diperbincangkan yang akan kita
jadikan semacam paradigma, di mana di atasnya kita dapat
melakukan mujadalah billatiy hiya ahsan, terhindar dari
pertikaian semantik.
Terlalu banyak ta'rif mengenai kultur / kebudayaan. Akan
saya kemukakan ta'rif yang sederhana saja. Kebudayaan adalah
buah dari semua perbuatan dan usaha yang berpangkal dari
kesadaran manusia. Manusia sadar perlu berlindung dari
teriknya matahari, dari siraman hujan, dari terpaan angin.
Maka tebing-tebing batu dilubangi, gubuk-gubuk, rumah-rumah,
gedung-gedung dibangun. Itulah kebudayaan bangun-membangun
bangunan. Manusia sadar perlu mengisi perut dan berpakaian
dalam kehidupan sehari-hari. Maka ditempuhlah cara-cara
untuk memperoleh rezeki. Itulah kebudayaan yang disebut
ekonomi. Manusia sadar akan perlunya hiburan untuk konsumsi
jiwanya. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut kesenian.
Manusia sadar akan perlunya tata-tertib dalam pergaulan
hidup sehari-hari, maka lahirlah etika dan adat pergaulan,
norma-norma dan aturan-aturan yang mengikat anggota
masyarakat. Itulah kebudayaan hukum. Manusia sadar akan
perlunya lembaga yang mempunyai kekuasaan yang harus ditaati
untuk mengatur masyarakat, yang disebut pemerintah.
Timbullah kelompok-kelompok yang membentuk kekuasaan (macht
vorming) dan mengerahkan kekuasaan (macht aanwending), untuk
dapat mebentuk pemerintahan. Maka lahirlah kebudayaan yang
disebut politik. Dengan demikian kebudayaan suatu komunitas
untuk ruang dan waktu berlangsung secara dinamis yang
diterima sebagai "nilai budaya" dan diakui "kebenarannya"
berdasar atas "kesepakatan" komunitas, sehingga nilai budaya
itu relatif sifatnya.
Mudah-mudahan anda sepakat dengan ta'rif ini. Kalau anda
sepakat, kita bisa lanjutkan lagi.
Wassalam,
Makassar, 16 Desember 2002
HMNA
(bersambung)
|