|
Selasa, 13 Mei 2003, 6:16 WIB
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami
daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di
tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah.
Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah
binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru
kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami.
Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup
beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan
pernyataan "poligami itu sunah".
UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering
digunakan sebagai pembenaran poligami.
Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk
lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk
berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana
ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan
(An-Nisa: 129).
DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena
sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3)
lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara
tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada
konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini
meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim
piatu dan janda korban perang.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti
Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad
al-Madan --ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-- lebih
memilih memperketat.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan
dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan
secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang,
dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman
(Tafsir al-Manar, 4/287).
Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami
dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami.
Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi
Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami
bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang:
semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi
keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima
permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang
sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah," atau
"poligami itu indah," dan yang lebih populer adalah
"poligami itu sunah."
Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik
untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi.
Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini
jelas sangat distorsif.
Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak
melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami
daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di
tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah.
Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah
binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru
kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami.
Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup
beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan
pernyataan "poligami itu sunah".
Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204
H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang
diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan
Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati
dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul
(kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa
poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan
sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup
kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem
sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan
perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah
janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.
Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam,
ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang
sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai
predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri,
atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah
(boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam
tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa
diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa
memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan
mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena
itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu,
lebih memilih mengharamkan poligami.
Nabi dan larangan poligami
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi
adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi'
al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang
diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan
kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7
Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda
sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri
sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik
poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan
menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini
delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan
dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi
kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan
Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam
pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa
batas sama sekali.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak
menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah
ungkapan dinyatakan: "Barangsiapa yang mengawini dua
perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada
keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan
lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII,
168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan,
Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga
perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada
kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan.
Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat
bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi
dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas
menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis
ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks
ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari,
Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau,
Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi
Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung
masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa
keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku
untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak
akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin
Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri
mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang
mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang
menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga."
(Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis:
9026).
Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir
setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu.
Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati
perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa
dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan
poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali
bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah
RA wafat.
Poligami tak butuh dukungan teks
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah
persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan
persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik
poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang
berbeda.
Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris,
poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk
penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah,
lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah.
Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur
masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi,
poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia
disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk
mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.
Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa
poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil
pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks
poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami
mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan,
bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami
penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara
mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan
yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi
karena kesalahannya sendiri.
Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap
mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka
lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan
jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan
perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan
tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah
perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada
usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di
dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49
tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional
tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang
telah memasok data ini).
Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka
sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan
itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan
darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang
diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu
tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang
bisa dimakan kecuali bangkai.
Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami
atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya
akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi
sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan
berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu,
pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip.
Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada
prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa
kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan
(mafsadah).
Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi
nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik
poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek
penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara
langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian
nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris,
interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami
dalam realitas sosial masyarakat.
Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimana disaksikan
Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak
menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah
Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.
Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW:
"Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap
diri atau orang lain." (Jâmi'a al-Ushûl, VII,
412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip
dari pernyataan "poligami itu sunah".
Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN
Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus
Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah (Sumber
Asli)
|