| |
|
ENTAH mengapa semenjak tiga petang lamanya Yusuf selalu berdiri di jabal Muqattam, persis di atas sebongkah batu yang konon telah berumur ratusan tahun. Yusuf tertegun menatap wajah sore yang beringas, membaca langit yang retak, melihat gemintang yang berjatuhan tanpa sinar, pucat. Setiap kali menjelang fajar atau senja, sudah dapat dipastikan ia telah duduk santai di atas batu itu. Setidaknya aku hanya menerka, barangkali ia sedang berkontemplasi dengan alam. Mungkin ia tengah merenungi suhu bumi yang makin akselaratif menuju singgasana ozon. Mungkin pula ia sedang mengeja lalu-lalang burung-burung yang berkelebat sana-sini. Entahlah. Tak satu pun di antara teman-temannya yang pernah akrab dengan Yusuf, seperti Somad, Dikida, Bensarkoun, dan Lola betul-betul paham gejolak psikologis yang sedang bergemuruh dalam dirinya. Bukan tak peduli. Bukan pula karena kami tega hati untuk tidak membantunya dari jeratan problema hidup. Melainkan karena masing-masing dari kami tak lain hanyalah sebatas sahabat. Ya, sahabat. Lebih kurang begitu. Aku dan kami merasa takut jika ikut campur-tangan justeru mencelakakan hidupnya, menyakiti hatinya, atau melukai kehormatannya. Tapi memang kehidupan persahabatan kami hanya sebatas rokok, syay, kopi, makan dan jalan-jalan. Ah, lebih baik aku diam. Sama halnya dengan Bensarkoun, Dikida, dan juga Somad. Begitu juga Lola. Kami tak perlu bertanya secara fair kenapa ia melakukan "tirakat" itu penuh kesungguhan dan kebersahajaan. Seperti bulan yang tak pernah lelah membelai bumi. Kami hanya ingat bahwa ketika setahun yang lalu masih sering bersama-sama main scrable, Yusuf pernah berkata: "Aku akan menjadi ksatria di tengah padang pasir ini, besok atau lusa, tahun ini atau akan datang", waktu itu teman-teman hanya terbahak-bahak mendengarnya. Bukankah Yusuf tak menyadari postur tubuhnya berlawanan dengan Arnold Shwarzenegger? Tak ayal lagi, mereka menggojloknya sampai puas. Kata-kata Yusuf tidak dihiraukan, seperti halnya angin yang berhembus, tak perlu ada kata tanya mengapa dan bagaimana ia mampu membelai bumi dengan sepoinya. Kami hanya tertawa, lepas hingga permainan poker usai, ketika malam beranjak menziarahi kesunyian dan berganti dengan dengkur. Aku berusaha memahami karakter dan kejiwaan Yusuf meski tidak akrab betul. Dari perilakunya, juga kesayupan matanya aku dapat memberikan penilaian, bahwa ia adalah orang yang cukup serius memaknai nasib perjalanan hidup. Hari-hari yang telah dilaluinya semenjak Yusuf pertama kali berkenalan dengan konsepsi esensialitas kefanaan, konsepsi tentang hakikat nudawwiluha baina- annas, konsepsi ada dan tidak ada: semuanya telah mendorong Yusuf untuk senantiasa bertapa di puncak bukit kedewasaan dan kearifan. Samudera waktu yang telah ia arungi tiba-tiba menjelmakannya sebagai seseorang yang berwajah "tua," penuh cahaya, bersahaja, tidak nampak sebagai laki-laki, atau banci. Yang kulihat dia adalah dia. Barangkali esensi nilai dirinya jauh melampaui gelombang kejiwaan gender yang hanya nampak lahiri belaka. Penilaianku terhadap sikap Yusuf semakin mendapatkan legitimasi ketika pada suatu senja yang keemasan aku bertandang mendekatinya. Matahari yang hampir saja memasuki kubangannya seakan tersenyum penuh pesona. Bukan terhadap bumi dan semesta pohonan yang sebentar lagi akan lelap di pangkuan malam. Tapi terhadap kesunyian jiwa yang seperti tak kunjung sirna. Toh ternyata aku mulai limbung dengan pendirianku. Aku datangi dia. Begitupula Dikida, Somad dan Bensarkoun, mereka membuntutiku dari belakang. Terpaksa kami meninggalkan Lola karena fasilitas roda empat tak mampu menampung, jika kami akan bersama Yusuf sekembalinya dari Jabal Muqattam. Sesampai di sana, perlahan kudekati dan mencoba untuk bertanya "Kenapa Engkau selalu di sini?" Yusuf tidak beranjak dari posisinya. Tangannya masih memeluk kedua siku kakinya. "Sikap ksatria macam apa yang membuatmu dengan lancang hendak mencampuri urusanku?" Yusuf balik tanya dengan sorot matanya segarang matahari. "Aku ingin menjadi ksatria sepertimu, Yusuf..." jawabku pasti, "...kau pernah katakan, jadilah single fighter atau mati sebagai syahid. Aku ingin menjadi pahlawan sepertimu. Seperti yang kau impikan sejak dulu. Aku ingin menjadi pahlawan buat seorang sahabat sepertimu" kuulangi kata-kataku agar dia tak lagi bertanya penuh sinis. Dia terdiam, tapi bola matanya mengisyaratkan kesal, kecewa. Kedua matanya terasa pedih sebagaimana yang dialami Musa saat ingin melihat wajah Tuhan di Sant Catherine, tapi gagal. Tubuhnya seolah kehilangan bobot, ringan seperti yang dirasakan Isa kala dikudeta Israel. "Aku hanya ingin menjadi orang yang setia pada alam. Tidak untuk mendustainya. Aku ingin sikapku ini sebagai implementasi perjanjianku dengan gugusan bintang-bintang untuk senantiasa bersemayam di atas kekukuhan ta'dzim terhadap fitrah penciptaan semesta." Matanya masih menerawang, jauh di balik awan. "Aku merasa perlu untuk mengetahuinya hingga aku dapat menjelma menjadi dirimu sebenarnya, Yusuf. Mari kita rasakan kepahitan ini bersama-sama." Somad menimpali. "Seberapa jauh yang ingin kau ketahui dari kehidupanku, Somad..." "Bukankah aku seorang kepercayaanmu? Bukankah kita berkelamin sama hingga pantas menjadi sohib atau orang kepercayaan?" kata Bensarkoun. "Kumohon... mari kita hiasi rumah kita dengan canda seperti dulu lagi, Yusuf" sambung Somad. "Hanya itu?" tanya Yusuf sambil membalikkan muka. "Ya. Hanya itu. Dengan demikian aku dapat meraih gelar kehormatan dan bintang jasa dari solidaritas." Mendengar jawabanku Yusuf tertawa getir. Langit kelabu seakan geram sekaligus melas. Tak sedikitpun semburat wajahnya memancarkan jawaban memihak. "Kau perlu beristirahat, Yusuf" Bensarkoun berusaha merayunya. Yusuf tak bergeming. Perlahan namun pasti gerimis, menjelang. Ya, gerimis debu menerpa rambutnya yang dibiarkan acak tak menentu. Yusuf mulai bergerak, menuruni tangga batu yang terjal. Seterjal nelangsa yang mengiris penyesalan yang tak terputus. Aku, Somad dan Bensarkoun menyambut "Sang Nabi" dan membimbingnya penuh hati-hati. Bagaimanapun Yusuf yang sekarang bukanlah Yusuf yang kukenal setahun yang lalu, saat sumpah serapah bertaburan dari mulut ke mulut. Dan canda itulah daya hipnotis yang bisa melumpuhkan daya ingatnya terhadap persoalan yang mencekiknya seberat apapun. Kini, dia bukanlah Yusuf di abad-abad yang telah lama hilang. "Yusuf, Somad, bergegaslah. Angin timur mulai menyerang kita" teriak Dikida di dalam mobil. Benar, debu saat ini tengah berpesta pora, seiring dengan deru Lancer mengiringi Yusuf dan kami, teman-temannya jauh menuju Madinat Nasr sana, tempat Yusuf dan kami mengisi hari dan menjalani kehidupannya dengan bangga. Dan senja...senja itu seolah kehilangan daya pesonanya. Keperawanannya telah dirobek oleh guntur dan gempa, yang selalu diproduksi oleh manusia dan kemudian dijejalkan di sela gang-gang sempit kehidupannya. Aku merasa semua itu merupakan realisasi dari pementasan suatu episode prahara di antara ribuan atau bahkan jutaan episode lainnya yang telah dan bakal terjadi di keluasan bumi ini. "Katakan Yusuf, apa yang terjadi?" Dikida memulai percakapan. Kupandangi Yusuf beku laksana salju. Mungkin juga ia sedang diselimuti kabut-kabut tebal keprihatinan. Tapi kemudian Yusuf melanjutkan sabdanya dengan suara lirih: "Aku sebenarnya tidak pernah yakin bahwa perjalanan spiritualku ini akan sanggup mengubah keangkuhan sahara menjadi rintik embun di pagi hari, sejuk dan damai. Akupun tak pernah meyakini bahwa riyadoh yang sedang kutempuh akan menjadikanku sebagai bapak yang kelak akan membuahi anak yang sedigdaya Arjuna. Karena aku sendiri tahu bahwa sembahyangku ini betapapun langgengnya tidaklah berbeda dengan sebuah kereta himar yang ada di rel metro anfaq. Jauh dan tidak saling bersentuhan. Namun entahlah kalau ternyata Gusti Nu Maha Suci menghendaki sesuatu yang lain yang bersembunyi di luar jangkauan daya nalar pikiranku." "Aku tak mengerti, Yusuf" Somad merangsak penuh investigasi. "Baik, dengarkan baik-baik..." kata Yusuf sambil membetulkan posisi duduknya. "Aku merasa sebagai Musa alaihissalam, seorang anak kecil yang dilemparkan ibunya ke kedalaman Nil lantaran takut akan kekejian Firaun. Ketika isteri Firaun memungutnya, betapa relung hati sang isteri disirami keindahan, penuh bahagia. Tapi sang bocah kecil itu tak pernah menyusui di payudara siapapun. ia lebih memilih untuk menolak semua payudara." "Lalu?" "Datanglah ibunya menyodorkan kasih sayangnya... dan begitulah yang terjadi" Yusuf menghela nafas untuk kemudian melanjutkan untuk menumpahkan seluruh isi perutnya: "Aku tidak sendirian di Nil ini. Bukan hanya ibu. Tidak pula berjanji untuk mencari sepersusuan baru. Saya terima semua orang yang hendak menyusuiku, saya mencicipi semua susu, aku nikmati puting susu, bersandar di samping dada setiap ibu-ibu saya yang lain. Aku kehilangan lezatnya kelembutan ibu, tempat ibu, agama ibu. Akh..." Matanya menerawang jauh. Lantas dengan sigap Yusuf bangkit, menuju sebuah rak buku dan membawa sebuah buku kecil. "Ini bukan buku, Andis. Ini mushaf," bentaknya kepadaku sambil membuka dan seperti mencari-cari halaman tertentu. "Sekarang coba kau baca ini, Dikida" Yusuf menyodorkan mushaf yang terbuka itu tepat di atas di depan matanya. "Ada apa dengan surat Yusuf ini, Yusuf?" Dikida bengong tak mengerti. "Bodoh! Dungu! Bukankah kau tahu aku adalah Ahmad Yusuf? Mengapa kau tak mengerti dengan persoalan kawan seiring? Bukankah kau katakan hendak mencampuri urusanku, dan dengan begitu kau akan menjadi pahlawan kesiangan? Atau minimal menjadi pahlawan yang sok pahlawan?" suara Yusuf meninggi dengan bibir bergetar menahan marah. "Kalau tidak salah Yusuf alaihissalaman pernah mengalami krisis moneter. Dan itu berarti relevan dengan keadaanmu sekarang ini. Bukankah itu yang kau maksud, Yusuf?" Bensarkoun turun tangan laksana mufassir. Kami menahan tawa. Sayup lagu "Mencari Alasan" terdengar menghiasi suasana.
Potensi pikiranku tidak sepenuhnya dapat mencerna perkataan-perkataan Yusuf meski di sela-selanya seolah terkandung kekuatan magis yang dahsyat. "Lantas mengapa kau lakoni juga perjalanan konyol ini?" tanyaku seperti menggugat. "Sama sekali saya tidak pernah mengharapkan keuntungan-keuntungan eksternal dengan menjalani lakon mulia ini. Mendambakan bukti konkret keterperosokan ke kekelaman jurang kapitalisme spiritual yang mencekam dan mengerikan." "Lalu?" potongku. "Padang-padang kehidupan yang sedang kita huni ini telah disesaki oleh berbagai jenis duri dan kemarung. Di televisi, koran, kantor kaum birokrat, keramaian kota, gedung-gedung bertingkat, di jalan-jalan protokol, di hotel berbintang, dan apalagi di tengah pasar, di warnet, di dunia chatting. Tidak ada yang steril. Semuanya tidak murni dan tidak asri lagi. Semua dijamah. Dan semua menjamahi" "Aku semakin tak mengerti, Yusuf" "Sekali lagi bacalah ayat ini. Aku adalah Yusuf yang ditelantarkan Zulaikha. Aku bukanlah Nabi, tapi masa-masa kenabian tak kan surut bersama putaran masa. Nilai-nilainya akan terus berjalan laksana air yang mengalir deras bersama kehidupan" "Ya, ya. Aku mengerti. Teruskan!" Dikida memotong. "...Zulaikha menawan hati, tapi dengan murahnya mengumbar syahwat hewani. Malang baginya, sang suami memergoki. Dan kau bisa menerka apa yang meluncur dari mulut bulusnya?" Yusuf melemparkan pertanyaan tanpa perlu adanya jawaban. "Coba teruskan ayat selanjutnya, Bensarkoun" "Inna kaidahunna 'adziim" Bensarkoun membacakannya keras-keras. "Ya. inna kaidahunna 'adzim. Perangkapnya amat jitu. Mereka yang dimaksud bukan hanya mereka. Tapi juga dia. Majaz Mursal min ithlaaqil kull wa iraadatil juz, Metafora dengan menyebut secara kolektif tapi yang dimaksud sebagian sebagian." "Oleh karena itu, dengan sisa kemampuanku kukobarkan heroisme, kemanusiaanku yang fana namun meng-Ilahi. Dengan demikian rimba kehidupan ini masih bisa dikatakan memiliki pamor yang sanggup menyelamatkannya dari berbagai amukan badai duka, nestapa dan nelangsa, maka senantiasa kujala dan kumaknai waktu yang makin tercemari dan tergerogoti perenialitas dan kefitriannya. Aku merangkum dan memusatkannya pada satu titik yang bernama kepasrahan sekaligus ketulusan terhadap Muara Agung yang ditujunya." kata Yusuf seakan menyelesaikan khotbahnya. Lamat-lamat lagu "Mencari Alasan" itu terdengar lagi, semakin lama semakin nyata:
Kini kutambah lagi catatan harianku bahwa Yusuf memang bukan Nabi. Namun aku semakin terdiam merasakan keterasingannya yang menjadi sangat kukenali, sahabatku Ahmad Yusuf. Tak lagi mendengkur, ia terjaga dari tidurnya sambil merasakan hawa dingin yang masuk ke sela-sela punggungnya,"Oh..., ternyata pakaianku terkoyak...Dasar Zulaikha!" teriaknya setengah mati di balik terali besi ketidakberdayaan. Di jeruji kelaliman itu, Yusuf menemukan dirinya seorang yang mampu meneropong apa dan bagaimana yang terjadi suatu saat kelak. Dikida, Bensarkoun dan Somad sudah tersungkur membenahi mimpi-mimpi. Ya. Aku, sahabatmu: Andis Pondak, telah mencatat itu semua dalam cerita yang bukan hanya sekedar mimpi. (Lola tidak terlibat, karena sedari tadi memang ia sibuk dengan bantalnya sendiri). Dedicated to: Dikida L. Hariri, Uca Bensarkoun dan Rosa Ospina (Plonto, como estas, te quierro...).
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |