|
ANHARUDIN lahir pada 15 Agustus 1958 di
Cilacap dan dibesarkan dalam asuhan keluarga petani. Jenjang
pendidikannya, selain dihabiskan di sekolah-sekolah formal,
juga di Pesantren "Wathaniyah Islamiyah" Banyumas (sejak
tahun 1976). Sebelum merambah kota Yogyakarta pada tahun
1980-an, dia pernah menjadi guru di SMP Muhammadiyah
Majenang dan sejak tahun 1977 aktif di organisasi Pelajar
Islam Indonesia (PII) Majenang. Karirnya di PII mula-mula
ditempuhnya dengan menjadi Ketua Komisariat Kecamatan
Majenang dan berakhir (pada tahun 1983) sebagai Pengurus
Wilayah Yogyakarta Besar. Di samping itu, dia juga aktif
melibatkan diri dalam Kelompok Studi Mahasiswa di
Yogyakarta. Dan kini, bersama istrinya, dia tinggal di
Yogyakarta sembari berkuliah di Jurusan Antropologi,
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, sejak
tahun 1982.
Masa Kecil di Desa
Orang-orang tua di desaku dulu sering menghubungkan
kelahiran seorang anak dengan suatu peristiwa tertentu yang
amat penting. Misalnya, kelahiran anak dipengeti (dikenang)
dengan saat terjadinya banjir, gempa bumi, atau geger
(perang). Itulah mengapa, simbok-ku1 tak pernah tahu persis
kapan tahun dan tanggal kelahiranku. Ketika aku bertanya
soal itu, dia hanya dapat mengingat-ingat kembali bahwa
anaknya yang nomor lima itu lahir ketika terjadi geger
pengacau2, hari Sabtu Pon, dua hari sebelum perayaan
Agustusan (Hari Kemerdekaan). Dari hasil ingatan simbok itu,
kemudian aku perkirakan bahwa aku lahir di sekitar tanggal
15 Agustus, tahun 1958. Maklumlah orangtuaku dulu tak pernah
mencatat atau mendaftarkan tanggal kelahiranku itu ke
petugas pencatatan.
Aku dilahirkan di sebuah desa di perbatasan Jawa
Tengah-Jawa Barat, masih di daerah Kabupaten Cilacap. Desa
itu bernama Pahonjean, Kecamatan Majenang. Di desa itulah
aku dibesarkan oleh orangtua, dalam sebuah lingkungan
keluarga petani. Ayahku, Mohammad Komari, dan simbok-ku,
Siti Khasanah, adalah orang-orang asli kelahiran daerah itu,
dengan latar belakang etnis Jawa. Kakekku dari pihak simbok,
mendiang Dullah Hasan (tak jelas asal-usul keluarganya),
dulu katanya kakekku seorang buruh perkebunan karet Maluwung
yang menikah dengan Siti Romlah, putri seorang "tuan tanah"
di desa itu --mbah buyut3 Haji Ismail. Karena sebab yang
kurang jelas, namun dapat diduga karena kehendak si
tuan-tanah itu, perkawinan Hasan dengan Romlah tidak
berlangsung lama, dan hanya sempat punya seorang anak
perempuan, yaitu Siti Khasanah, simbok-ku itu. Kemudian
Hasan kawin lagi dan bertransmigrasi ke Sumatera, hingga
wafatnya di sana tahun 1965. Sedangkan Siti Romlah, oleh si
tuan-tanah itu dijodohkan lagi dengan Imam Muchtarom,
seorang santri alumnus Pondok Pesantren Jampes yang fasih
berbahasa Arab. Mbah Imam inilah yang kemudian menjadi kiai
terkenal di desaku, yang darinya aku pernah belajar beberapa
kita kuning.
Kakek-nenekku dari pihak ayah, yang meninggal saat aku
masih kecil, juga hidup sebagai petani. Konon mereka
berasal-muasal dari daerah Kebumen, Jawa Tengah juga. Aku
tak banyak mengerti kenapa mereka terdampar di desa
kelahiranku dan beranak-pinak di situ. Hanya ada sedikit
keterangan bahwa kakekku yang ini katanya dulu bekas kuli
kontrak, yang kemudian bertahun-tahun menyakap tanah milik
Haji Ismail, si tuan-tanah itu. Karena asal-usul sosialnya
yang hanya petani penyakap, maka kakekku yang ini tak dapat
mewariskan apa-apa kepada tiga orang anaknya, termasuk
ayahku. Hanya saja, dia berhasil melamar dan mengawinkan
anaknya yang bungsu, ayahku, dengan cucu si tuan-tanah itu.
Mungkin ini salah satu strategi yang dapat ditempuh kakek,
agar anaknya kelak memiliki sebidang tanah guna alat usaha
tani.
Ternyata benar, simbok-ku mendapat bagian tanah sawah
dari orangtuanya seluas sekitar 0,25 hektar, ditambah dengan
sebidang tanah pekarangan yang kini ditempati rumahnya.
Tanah sawah seluas itulah yang kemudian menjadi sarana
produksi bagi ayah-simbok-ku dalam berumah-tangga dan dalam
berusaha tani selama bertahun-tahun. Karena tanah sawah bagi
ayahku hanyalah satu-satunya sumber penghidupan yang dapat
diharapkan, dan tak ada sumber lain yang dikuasainya, maka
jika ada kebutuhan besar yang mendesak, tanah seluas itu pun
kadang harus digadaikan. Yang lebih tragis lagi malah, sawah
seluas itu makin lama makin berkurang, dan kira-kira pada
akhir tahun 70-an sawah itu telah jatuh ke tangan orang
lain, dijual. Sejak itu ayahku telah menjadi petani tak
bertanah, yang meskipun usianya sudah lanjut, masih harus
menyakap sawah milik orang lain guna memenuhi kebutuhan
hidup sehari-harinya.
Ayahku sendiri, yang lahir tahun 1922, memang bukanlah
orang sekolahan (berpendidikan). Dia hanya sempat mondok di
pesantren selama beberapa bulan. Simbok, yang lahir tahun
1933, malah benar-benar tergolong buta huruf. Itulah
jadinya, kedua orangtuaku sungguh berada pada tingkat
literasi yang sangat rendah. Mereka hanya punya pengalaman
pernah hidup dari zaman ke zaman. Dari zaman penjajahan
Belanda, zaman Jepang, hingga zaman kemerdekaan, Orde Lama
dan Orde Baru. Menurut pengakuannya, ayah pernah bergabung
dalam laskar Hisbullah/Sabilillah, mengangkat senjata
menghadapi serangan Belanda. Jadi ayahku sungguh merupakan
salah seorang eksponen angkatan '45 yang telah dimitoskan
sebagai pejuang kemerdekaan.
Meskipun begitu, ayahku tak pernah merasa dirinya terlalu
berjasa kepada bangsa ini, sehingga tak perlu merasa punya
keharusan atau hak untuk ikut serta meraih kekuasaan di
zaman merdeka ini. Cukup baginya untuk menjadi saksi
sejarah, atau menjadi penonton yang merasa dirinya tak
mempunyai perubahan kualitas hidup sejak dari zaman
penjajahan hingga sekarang. Apa yang tetap dia saksikan
sejak dulu sampai sekarang, katanya, hanyalah
keterbelakangan dirinya beserta para warga masyarakat petani
di desanya.
Begitulah asa-usul sosial keluargaku. Aku sendiri lahir
setelah negeri ini merdeka. Aku masih ingat semasa kecil
hidup bersama orang-tua di tahun 60-an. Aku masih ingat
secara persis, waktu itu keluargaku dan para tetangga
sebelah sering sekali kekurangan beras, banyak orang
kelaparan. Aku dan teman-teman mainku di desa sering
merasakan pengalaman yang sama; pagi tidak makan, siang hari
makan gaplek (thiwul),4 dan sore hari baru bertemu dengan
nasi. Tapi nasi itu sering dicampur dengan oyek.5 Bila musik
paceklik datang, maka gaplek dan oyek menjadi makanan
sehari-hari di desaku. Dan karena kekurangan gizi,
keluargaku yang berjumlah delapan orang dan para tetanggaku
juga, sering mengalami sakit-sakitan.
Musim paceklik di desaku adalah saat-saat yang paling
menakutkan. Namun waktu itu aku tak pernah punya pikiran
menanyakan kenapa paceklik itu terjadi. Aku juga tak pernah
menanyakan kepada ayah kenapa keluarga dan masyarakat desaku
itu selalu hidup miskin. Tentu saja karena dimensi pikiranku
saat itu masih sangat sempit, sehingga aku selalu merasakan
keadaan hidup itu sebagai sesuatu yang harus terjadi begitu
saja, sesuatu yang given. Bahkan ayahku sendiri, orang yang
paling merasakan langsung dan bertanggung jawab atas keadaan
hidup keluargaku, juga tak pernah melakukan protes terhadap
keadaan. Malah dia sering berucap di hadapan para jamaah
mushala dekat rumah, bahwa kemiskinan dan kekurangan
hanyalah cobaan orang-orang yang beriman yang harus dihadapi
dengan tawakal dan sabar. Aku pun lama-lama menjadi termakan
oleh doktrin teologis ayah dalam memandang soal hidup ini,
suatu doktrin yang memandang kemiskinan (ketidakadilan
ekonomi) bukan sebagai produk dari proses sosial-historis,
melainkan sebagai manifestasi campur tangan Tuhan dalam
masyarakat manusia. Ayahku memang dapat sedikit berdakwah
atau ndalil.6 Sebagai menantu seorang kiai, dia menjadi
salah seorang yang dianggap memiliki otoritas untuk
memberikan ceramah pengajian di lingkungan tetangga jamaah
mushala. Dalam temu pengajian itulah, aku dulu sering
mendengar bahwa kelaparan, kemiskinan, iman dan Tuhan
terbalut menjadi satu. Sehingga hidup kekuarangan,
kelaparan, dan kemiskinan seolah telah menjadi sesuatu yang
tak perlu digugat lagi. Agaknya betul juga, bahwa Islam yang
berkembang di desaku itu telah menjadi semacam "ideologi"
sosial yang melegitimasi struktur sosial dan kondisi
kemiskinan yang ada. Atau telah menjadi semacam wahana
kompensasi psikologis (hiburan) bagi rakyat kecil yang
terbelakang itu, dalam menghadapi tekanan ekonomi yang
berkepanjangan.
Tapi tidak setiap peristiwa sosial yang terjadi di desaku
begitu saja tak aku persoalkan. Aku pernah mempertanyakan
sesuatu kepada simbok ketika sebuah peristiwa terjadi. Waktu
itu aku belum sekolah. Beberapa hari aku menyaksikan banyak
orang diikat tangannya ke belakang (dibondo)7 dan dibawa ke
balai desa. Aku melihat juga para ibu rumah tangga dari
ujung selatan desaku dikumpulkan di balai desa. Anehnya,
mereka menangis ketakutan karena melihat sebagian dari
mereka diangkut pergi dengan mobil truk. Beberapa hari
kemudian, aku melihat segerombolan orang beramai-ramai
berjalan melewati jalan desa dan masuk ke rumah-rumah
penduduk mencari seseorang yang yang konon akan dibunuh. Aku
lalu mempertanyakan peristiwa ini kepada simbok. Kenapa
orang-orang begitu tega memperlakukan tetangga kita seperti
itu. Kenapa mereka diikat dan katanya akan dibunuh. Kenapa
mereka diperlakukan secara kejam. Lalu simbok bilang:
"Mereka itu orang-orang tak ber-Tuhan, musuh orang Islam."
Karena saking bodohnya, simbok juga begitu sederhana
mengklaim orang-orang yang tergabung dalam sebuah Ormas
Petani itu sebagai musuh Islam. Sama sekali tak terselip
dalam benak simbok suatu pikiran bahwa mereka itu sebenarnya
hanya orang-orang yang telah menjadi kurban dari situasi
politik yang sangat demagogis pada waktu itu. Simbok
kemudian menamakan peristiwa itu sebagai geger Gestok.8
Sebenarnya waktu itu aku hampir tak percaya apa yang
dikatakan simbok, bahwa mereka itu adalah musuh Islam, sebab
aku tahu persis beberapa orang di antara mereka itu sering
pergi sembahyang di mushala dekat rumahku. Mereka justru
orang-orang yang hidup kekurangan yang mendapat cobaan dari
Tuhan seperti ayahku juga.
Setahun kemudian, setelah geger Gestapu, umurku sudah
mencapai kira-kira delapan tahun dan baru masuk sekolah
dasar. Waktu itu awal tahun 1967, aku masuk di sekolah
Muhammadiyah sekitar dua kilometer dari rumahku. Di sekolah
itulah aku mulai mengenal Islam dan Muhammadiyah.
Guru-guruku mengajari bagaimana cara berwudhu dan
bersembahyang yang paling benar sesuai dengan yang
dicontohkan Nabi. Tetapi perkenalanku dengan apa yang
disebut agama, sesungguhnya tidak dimulai saat itu. Sejak
sebelum masuk sekolah, aku sudah terbiasa sembahyang, pergi
ke mushala, bahkan sering mendengarkan ayah bercerita
tentang Tuhan, tentang hidup sesudah mati, dan soal surga
dan neraka. Bersama teman-teman seusia, aku juga sudah biasa
mengaji hapalan atau mengaji kitab turutan.9 Ya, sebab
kegiatan mengaji bagiku saat itu adalah suatu kewajiban dari
ayah yang harus aku lakukan dalam situasi apa pun, baik di
musim paceklik maupu di musim panen. Memang, meskipun
keadaan desaku begitu miskin, tapi kehidupan warganya sangat
diwarnai oleh kegiatan agama. Di waktu petang, sehabis
shalat maghrib, aku selalu mendengar suara anak-anak kecil
mengaji Al-Quran di rumah-rumah, atau di mushala dekat
rumahku. Aku pun menjadi bagian dari mereka, sebab ayah
selalu memukulku jika kedapatan aku mbolos mengaji.
Lingkungan keluarga dan masyarakat seperti itulah yang
telah membuatku mejadi seorang yang beragama Islam. Ayahku,
kakekku, tetanggaku dan lingkungan masyarakatku beragama
Islam juga karena kakek moyang mereka beragama yang sama.
Jadi, dapat saja aku beragama karena kehendak orangtua, atau
kehendak lingkungan dan bukan semata-mata karena
keinginanku. Semasa kecil, sebenarnya aku juga sering malas
ngaji, sembahyang, apalagi puasa. Tapi lantaran ayah selalu
menghukumku bila aku meninggalkan kegiatan-kegiatan itu,
maka lama-kelamaan aku pun menjadi terbiasa dengan kegiatan
seperti itu, bahkan shalat telah menjadi kegiatanku yang
rutin dan membosankan.
Tampaknya aku pernah merasa sama sekali tak berdaya
melawan kehendak masyarakat dan keluarga, khusus mengenai
kehendak yang memaksaku untuk menjadi orang beragama. Ketika
akhirnya aku sadar bahwa aku telah memeluk suatu agama,
Islam, maka aku juga tak pernah mempertanyakan apakah agama
itu memang perlu dan baik untuk diriku. Lagi pula, aku juga
tak pernah merasa bahwa aku harus memilih agama Islam.
Maksudku, ketika masih bocah, aku tak pernah dihadapkan pada
pilihan agama, karena hanya Islamlah agama yang ada di
desaku. Bahkan aku tak pernah membayangkan bahwa di dunia
ini ada agama lain, selain Islam. Aku lahir, simbah sudah
menjadi kiai, di dekat rumahku sudah ada mushala, dan di
situ sudah ada tradisi sembahyang dan pengajian. Jadi, aku
lahir ke dunia ini telah dihadang oleh pranata dan tradisi
agama. Aku menjadi seorang yang beragama, menjadi Muslim,
pertama-tama karena akibat dari proses pembudayaan yang
terjadi secara wajar. Yaitu proses pertemuan antara
pranata-pranata sosial, tradisi dan norma-norma yang secara
objektif telah ada dalam masyarakat, dengan situasi
intelektual-psikologisku yang selalu terbuka bagi masuknya
nilai-nilai dan simbol-simbol. Sebab masa kecilku adalah
saat yang penuh dengan kemungkinan untuk terjadinya
internalisasi nilai-nilai apa pun. Kalau saja waktu kecilku
berada dalam sebuah lingkungan keluarga atau masyarakat yang
tanpa agama, maka dapat saja aku menjadi orang yang tak
beragama.
Pengalaman di sekolah dasar tentu saja membuatku dapat
mengenal lebih jauh keadaan kehidupan di desaku. Sebab,
guru-guru di sekolah itu cukup banyak mewarnai peta
kognisiku dalam mengenal dan mengerti jagat raya ini. Pernah
dalam suatu tingkat perkembangan pikiranku, aku akhirnya
tahu bahwa di desaku sebelah utara ada beberapa orang petani
yang mampu naik haji. Orang-orang itu memang sangat kaya:
rumahnya gedung, punya radio, sepeda dan tanah luas. Padahal
di bagian selatan desaku, atau di sekitar lingkungan
tetanggaku, rumah gedung, radio, sepeda adalah barang-barang
langka, yang jarang dimiliki petani. Aku kemudian mulai
dapat membedakan antara petani kaya dan petani miskin. Tapi
waktu itu aku belum dapat menyimpulkan bahwa orang-orang
Islam di desa yang mampu naik haji ternyata hanya orang yang
berasal dari kelas petani "tuan tanah". Aku juga tak sempat
berpikir bahwa sarana produksi pertanian, terutama sawah,
ternyata di desa-desa lebih banyak dikuasai oleh para haji,
orang-orang Islam yang konon paling getol menentang program
(aksi) landreform.
Enam tahun aku belajar di lingkungan pendidikan
Muhammadiyah, dan cukup bagiku membiasakan diri dengan cara
tertentu dalam mengamalkan agama Islam. Setidaknya, aku
memang merasa telah sejak dini terjaring oleh sebuah
lingkaran pemahaman dan cara beragama tertentu yang
membedakan diriku dengan orang-orang Islam lain yang ada di
desaku juga, yaitu orang-orang NU (Nahdhatul Ulama).
Sesungguhnya, aku sudah mengenal dikotomi NU-Muhammadiyah
sebagai dua varian kelompok Muslim justru di sekolah. Sebab,
apa yang aku peroleh dari pelajaran agama di sekolah
Muhammadiyah justru membuat aku mengerti bahwa di desaku ada
orang lain yang mengamalkan Islam dengan tata cara yang
lain. Pelajaran kemuhammadiyahan yang aku peroleh, juga
membuatku begitu gandrung kepada Muhammadiyah, sehingga
timbul dalam diriku suatu stereotype tertentu terhadap
orang-orang NU.
Kecintaanku terhadap Muhammadiyah, dan konflik
psikologisku terhadap NU, sebenarnya juga tidak beralasan.
Sebab, aku sendiri waktu itu tak pernah mengerti betul apa
perbedaan hakiki antara dua jenis aliran Islam itu. Aku
hanya dapat merasakan seolah-olah di desaku, Muhammadiyah
dan NU telah menjadi dua agama yang saling bertentangan,
saling bentrok. Yang satu, Muhammadiyah, telah menjadi
agamanya orang-orang yang lebih mengutamakan membaca
Al-Quran dan Hadis, bukan kitab-kitab para ulama; atau
agamanya orang-orang yang berjumatan dengan azan satu, dan
shalat tarawih sebelas rakaat. Juga agamanya orang-orang
yang suka mengklaim dirinya anti-bid'ah, atau sebagai
pembaru. Sedangkan yang satu lagi, NU, telah menjadi
agamanya orang-orang yang suka shalat subuh dengan qunut,
suka mengirim doa ke kuburan dan memberikan penghormatan
berlebihan kepada orang yang sudah mati; atau agamanya
orang-orang yang suka membaca shalawat badar dan tahlilan.
Juga agamanya orang-orang yang suka membaca kitab-kitab
kuning. Begitulah pemahamanku tentang NU dan Muhammadiyah
saat itu, suatu persepsi yang amat dangkal dan serampangan.
Celakanya, ayah dan kakekku adalah orang-orang yang masih
kental tradisi NU-nya. Padahal mereka adalah orang-orang
yang paling aku takuti dalam lingkungan keluarga. Aku sangat
sedih ketika aku sudah khatam mengaji Al-Quran, Mbah Kiai
Imam selalu memaksaku untuk mengaji kitab kuning padanya.
Hampir setiap malam, sehabis shalat maghrib dan shubuh, aku
selalu dibebani kewajiban untuk mengaji kitab kepada simbah;
membaca dan menterjemahkan melalui petunjuk dan
bimbingannya. Waktu itu aku sempat mengaji beberapa kitab
kuning, seperti Sulam Taufiq, Sulam Munajat, Jurmiyah,
Taqrib dan Supinah. Aku pernah mempelajari kitab-kitab itu,
membaca dan menerjemahkannya dengan bahasa Jawa, dengan
sistem sorogan, atau cara ngaji gaya khas pesantren
tradisional. Dalam lingkungan keluarga, aku juga sering
mendapat suntikan-suntikan moralitas dan tradisi NU,
terutama dari simbah kiai. Misalnya. aku harus membiasakan
shalat shubuh dengan membaca qunut, aku harus dapat
menghapal teks shalawat badar, dan aku harus dapat menghapal
doa wiridan.
Akhir tahun 1972 aku tamat SD. Namun masih teringat
betapa masa kecilku selama itu berada dalam tarik-menarik
antara dua tradisi agama yang berbeda. Di pagi hari, di
sekolah Muhammadiyah, aku merasa harus menjadi orang
Muhammadiyah yang baik, yang benar-benar memiliki ikatan
primordial-kemuhammadiyahan dengan guru-guru dan
kawan-kawan. Sedangkan di sore hari, di lingkungan tetangga
dan keluarga, di mushala, aku harus menyesuaikan diri dengan
tradisi nahdhiyin yang berporos pada mbah kiai itu. Dan aku
harus tunduk kepada otoritas tradisi mbah kiai yang NU itu.
Bertahun-tahun situasi konflik kultural (psikologis) ini
berlangsung dalam diriku, dan karena begitu kuat pengaruh
cara berpikir Muhammadiyah dalam diriku, ingin rasanya aku
mengubah cara-cara beribadat kaum nahdhiyin yang waktu itu
aku anggap sebagai bid'ah. Tapi aku pun ternyata tak mampu
melawan otoritas simbah dan ayahku yang kolot. Itulah yang
pernah aku rasakan, bahwa Muhammadiyah memang dapat membuat
orang Islam memiliki sifat yang konfrontatif terhadap sesama
orang Islam, terutama di desa-desa.
Suasana konflik agama itu, ironisnya, justru berlangsung
dalam keadaan hidupku yang selalu diliputi kekurangan. Atau
dalam keadaan ekonomi masyarakat desaku yang amat rentan
terhadap bahaya paceklik dan kelaparan yang mengancam setiap
saat. Sehingga sejak itu aku sudah terkondisi untuk berpikir
bahwa antara agama dan ekonomi itu selalu terpisah, sama
sekali tak bersinggungan. Artinya, ketika orang bicara soal
ajaran, soal kebaikan Tuhan, dan soal hidup sesudah mati,
maka ketika itu ia lupa terhadap keadaan konkret
masyarakatnya. Dalam agama yang telah menjadi bagian dari
episteme (cara berpikir) masyarakat, sama sekali tak ada
penjelasan mengenai faktor-faktor sosial-historis mana yang
membuat keadaan masyarakat itu menjadi miskin. Apa yang aku
peroleh dari kitab-kitab kuning, yang pernah aku baca itu,
juga tidak lebih dari sekadar etika hidup, tentang
batal-haramnya suatu perbuatan, atau tentang tata cara
mendekatkan diri kepada Tuhan. Kitab-kitab kuning itu sama
sekali tidak menyinggung soal sejarah dan kondisi konkret
masyarakatku yang selalu dilanda kekurangan makan. Jika
dapat dibilang bahwa kitab-kitab kuning itu adalah warisan
NU yang aku peroleh dari simbah kiai, maka sebenarnya
lingkungan NU tempat aku pernah berada tak pernah memberikan
persepsi apa-apa tentang Islam, kecuali hanya pemahamanku
tentang ajaran Islam yang amat legalistis.
Jika mbah kiai (yang orang NU itu) mengajariku sebuah
Islam yang legalistis, yang berisi kaidah-kaidah hukum fiqh
atau tata cara yang paling absah dalam menyembah Tuhan, maka
guru-guruku di sekolah (yang orang Muhammadiyah itu) juga
memberikan Islam yang sama. Aku merasa bahwa terhadap masa
kecilku, Muhammadiyah juga tak pernah memberikan perspektif
apa-apa tentang Islam, kecuali pengetahuan tentang
jenis-jenis perbuatan bid'ah, takhyul, dan khurafat, serta
pengetahuan tentang bagaimana mencontoh perbuatan ritual
Nabi Muhammad. Dalam setiap pelajaran agama atau pendidikan
moral Islam yang aku terima, tak pernah aku mendengarkan
guruku menjelaskan kenapa keadaan masyarakat desaku begitu
miskin dan terbelakang, sering kekurangan makan. Guru-guruku
malah lebih banyak bercerita tentang kehebatan Muhammadiyah
dalam berjuang menegakkan kemurnian ajaran Islam. Sehingga,
apa yang aku peroleh dari pelajaran agama di sekolahku
akhirnya bukan lagi pengetahuan Islam yang sebenarnya,
melainkan kebingunganku untuk membedakan mana yang Islam dan
mana yang Muhammadiyah. Sebab seolah-olah Muhammadiyah telah
menjadi Islam itu sendiri, dan organisasi telah menjadi
semacam agama, sesuatu yang disakralkan. Memang, ini
bukanlah kesadaran subjektifku yang muncul secara eksplisit
pada waktu itu, karena saat itu aku belum dapat
mentransendensikan pengalaman hidup keluarga dan masyarakat
itu ke dalam suatu rumusan yang sistematis. Namun aku dapat
menilai kembali setidaknya pada saat ini bahwa Islam telah
dihayati oleh orang-orang di sekitarku dulu hanya sebagai
suatu keharusan orang untuk ngaji, sembahyang, dan berwudhu
dengan baik. Begitulah Islam dihayati dan dipahami baik oleh
simbah-ku yang orang NU itu, maupun oleh guru-guruku yang
orang Muhammadiyah. Islam tak pernah menjadi suatu pemahaman
yang dapat menjelaskan proses sejarah masyarakatku yang
miskin, apalagi menjadi alat untuk membebaskan orang-orang
yang hidup miskin tersebut dari masyarakatnya.
Awal tahun 1973 aku memasuki pendidikan menengah pertama
di Sekolah Teknik Negeri (STN) Majenang sekitar empat
kilometer dari rumahku. Waktu itu umurku sudah mencapai
empat belas tahun lebih. Dan seperti layaknya anak seorang
petani di desa, bocah seusia itu telah dianggap memiliki
nilai ekonomis bagi orangtuanya. Aku pun harus sudah mulai
bekerja berat membantu ayah; mencangkul di sawah, mencari
kayu bakar ke gunung, menumbuk padi, bahkan ikut serta
menjadi buruh tani menuai padi di sawah orang lain bersama
simbok. Di hari-hari selama aku menempuh pendidikan
menengah, hidupku diliputi pergulatan ekonomis yang cukup
berat. Aku harus bekerja keras untuk meringankan beban
orangtua. Waktu itu pernah terjadi, ayahku tak dapat
menggarap sawah karena tanah sawahnya terpaksa disewakan
selama beberapa tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, ayah menjadi kusir dokar10 milik tetangga, dan
aku bersama kakakku yang masih sekolah di PGA Muhammadiyah
terpaksa melakukan pekerjaan nderes (menyadap) kelapa. Padi
hari sebelum berangkat sekolah, dan sore hari sebelum shalat
maghrib, aku harus sudah naik turun memanjat pohon kelapa.
Aku memanjat sepuluh pohon, sedangkan kakakku memanjat dua
puluh pohon. Pohon kelapa itu pun sebagian milik orang lain
yang aku sakap hasilnya. Hampir dua tahun aku melakukan
pekerjaan ini, mengambil nira setiap pagi dan sore.
Sedangkan simbok, siang malam memasak nira itu untuk
dijadikan gula, dan dari hasil penjualan gula itulah simbok
dapat membeli beras, minyak dan lauk-pauk untuk dimakan
keluarga yang jumlahnya delapan orang.
Pengalamanku ini hanyalah salah satu saja dari kasus
kehidupan keluarga petani yang ada di desaku. Hampir semua
keluarga sekeng11 yang ada di desaku mengalami penderitaan
yang sama, karena desa itu memang terkenal amat minus. Lahan
sawah di sekitar desaku diliputi rawa-rawa yang hampir
setiap musim hujan tergenang banjir. Seringkali bahkan air
banjir itu naik ke pekarangan desa hingga ketinggian satu
meter. Desa itu jadinya sering sekali tergenang banjir
selama berhari-hari. Dengan kondisi persawahan/pertanian
semacam itu, maka penduduk desa yang sebagian besar petani
gurem dan buruh tani, hanya dapat memanen padi setahun
sekali, yaitu pada musim kemarau. Itulah sebabnya, musim
paceklik dan kekurangan makan di desa itu selalu datang
berkepanjangan, yaitu saat menunggu panen padi musim kemarau
yang hanya setahun sekali.
Desa itu pun amat pada penghuninya. Banyak para buruh
tani yang ngindung,12 mendirikan rumah di atas pekarangan
milik orang lain. Aku masih ingat ketika di akhir tahun
70-an para petani gurem dan buruh tani pengindung itu
berbondong-bondong mengikuti transmigrasi. Banyak tetanggaku
yang tergiur mengikuti program ini karena mereka dijanjikan
akan diberi tanah luas. Kakakku yang sulung juga berangkat
bertransmigrasi ke Kalimantan beserta isteri dan dua orang
anaknya. Adikku perempuan, yang baru tamat SMP, dijodohkan
oleh ayah agar ia dapat ikut bertransmigrasi. Dia berangkat
transmigrasi ke Sumatera tiga hari setelah pernikahannya.
Sebenarnya, kehidupan petani di desaku waktu itu masih
diwarnai oleh tingginya jaminan hak-hak subsistensi untuk
para anggota masyarakatnya yang hidup tak bertanah.
Misalnya, para buruh tani dan petani gurem berhak ikut serta
mbawon (menuai padi) milik tetangga petani penggarap dengan
upah mbawon yang layak. Para pengindung juga berhak bekerja
apa saja di rumah petani pemilik tanah demi sekadar mendapat
makan. Tapi karena sumber-sumber material yang tersedia di
desa itu sangat langka, dan karena nilai output pertanian
juga sangat rendah, maka yang terjadi di desa itu adalah
kemiskinan bersama, atau kemiskinan yang terbagi-bagi di
antara para warga masyarakat. Gambaran realitas di tingkat
mikro ini sebenarnya cukup representatif sebagai suatu
cermin kehidupan petani di desa-desa. Dan ini adalah
refleksi dari keterbelakangan petani di desa. Ironisnya,
keadaan semacam ini di desaku terjadi bertahun-tahun, bahkan
sampai saat negeri ini memasuki masa yang disebut
pembangunan. Dan sampai saat ini, aku tidak menyaksikan
bahwa di desa itu ada ormas, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), apalagi partai politik, yang punya perhatian terhadap
petani yang sekeng itu. Muhammadiyah dan NU, yang ada di
desa itu, hanya sibuk berlomba membangun masjid, dan gencar
berdakwah soal bagaimana cara bersembahyang yang sah menurut
Islam.
Pemahamanku tentang Islam pada waktu itu juga tak berbeda
dengan pemahaman kaum awam yang penuh dengan pengetahuan
tentang keharusan-keharusan orang untuk semata-mata
menyembah Tuhan. Itulah warisan ilmu agama yang kuperoleh
dari masyarakatku, sehingga ketika aku sadar betapa hidupku
selalu kekurangan, Islam pun menjadi sangat tidak menarik.
Jika saja waktu itu aku telah memiliki otoritas untuk
berdakwah, atau telah mampu merumuskan persoalan konkret
yang dihadapi masyarakat dan keluarga, maka aku akan
berdakwah di hadapan para petani Muslim di mushala dekat
rumahku. Bahwa, untuk menyembah Tuhan, untuk bersembahyang
dengan baik, bagi kita sebenarnya tak ada hambatan. Tapi
untuk dapat hidup layak bagi kita saat ini amatlah sulit di
daerah yang kondisi pertaniannya tidak subur. Persoalan
kasat mata yang kita hadapi saat ini bukanlah bagaimana
beragama dengan baik dan benar, melainkan persoalan
sempitnya lahan sawah yang adapat digarap, mahalnya input
pertanian, rendahnya nilai produksi pertanian, dan langkanya
modal buat usaha di luar pertanian. Dan yang penting lagi
bagi kita, sebenarnya adalah perlunya serikat-serikat petani
yang berkepedulian sosial, yang dapat membela hak-hak
politis petani untuk menentukan sendiri jenis tanaman yang
cocok untuk tanahnya, dan untuk melakukan tawar-menawar
dengan yang menentukan harga hasil produksi pertanian.
Begitulah rencana dakwah Islam di mushala dekat rumahku yang
tidak sempat aku sampaikan karena kebodohanku. Sehingga,
para petani di sana masih saja "dicekoki" oleh dakwah Islam
dengan janji-janji surga atau ancaman neraka di akhirat
nanti. Mereka sama sekali tidak dikondisikan untuk berobsesi
meraih kesempatan yang cukup guna memiliki dan menggarap
tanah sawah dengan harga padi yang lebih tinggi.
Itulah hal-hal yang kusaksikan di desa; sedangkan di
sekolah, aku tak pernah menjadi murid yang berprestasi.
Nilai raporku banyak yang merah. Barangkali ini hanyalah
akibat yang wajar, karena tingkat kecerdasanku di sekolah
hanyalah refleksi saja dari basis material yang ada di
lingkungan keluargaku. Artinya, kebodohanku adalah akibat
dari kemiskinanku, bukan sebaliknya. Misalnya, aku tak dapat
belajar di malam hari karena hidupku sehari-hari sudah
terlalu capek bekerja. Makanan yang kusantap setiap hari
juga jauh dari persyaratan gizi, sehingga aku sering
"ngantuk" di sekolah. Aku tak mempunyai sarana penunjang
untuk dapat memperoleh informasi tambahan. Di rumahku tak
ada radio, koran, apalagi televisi. Aku pun sering terlambat
sekolah, karena dari rumah ke sekolah aku tempuh dengan
jalan kaki, dan seterusnya.
Akhir tahun 1975 aku selesaikan sekolah teknik itu. Ingin
rasanya aku dapat melanjutkan sekolah ke STM agar kelak aku
dapat bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan kontraktor.
Aku ingin bekerja dengan gaji tinggi agar aku dapat membantu
para petani di desaku. Tapi keinginan itu kandas lantaran
tak ada jalan bagi ayah untuk membiayai sekolahku. Akhirnya
ayah berusaha agar aku dapat meneruskan belajar, tapi tidak
di STM, melainkan di pesantren. Sambil menunggu kesanggupan
ayah untuk memberangkatkan aku ke pesantren, aku beralih
kerja. Tapi kali ini tidak sebagai penyadap kelapa,
melainkan sebagai buruh di pembangunan jembatan sungai
Cijalu, Majenang. Aku bekerja dari pukul tujuh malam hingga
pukul lima pagi, dengan upah enam ratus rupiah. Tiga bulan
lamanya aku bekerja di situ, hingga aku dapat mengumpulkan
uang untuk bekal keberangkatanku belajar di pesantren.
Pengalaman di Pesantren
Tahun 1976 aku masuk di sebuah pesantren yang sudah cukup
terkenal di daerah Banyumas, yaitu "Wathaniyah Islamiyah",
Kebarongan. Pesantren tersebut terkenal sebagai pesantren
modern. Barangkali karena pesantren ini telah menerapkan
sistem sekolah yang klasikal, dan tak lagi menggunakan
bandongan atau sorogan sebagai suatu cara belajar-mengajar.
Memang sejak awal tahun 70-an, pesantren ini telah
"dimodernkan" oleh pemerintah dengan bantuan berupa
alat-alat pendidikan keterampilan. Dan karena telah
dijadikan sebagai salah satu "pesantren pembangunan", maka
lembaga ini telah kehilangan tingkat keswadayaan serta
identitasnya yang asli demi mendapatkan bantuan dari suatu
kekuatan politik.
Di pesantren inilah aku memasuki sebuah episode baru
dalam perjalanan hidup. Tapi sebenarnya, pergulatanku dengan
"situasi ekonomis" yang selalu mencekik, yang sedikit banyak
telah berpengaruh terhadap kecenderungan berpikir dan watak
intelektualku, tidaklah berakhir sampai di sini. Masih
banyak lagi rentetan peristiwa kemiskinan yang dapat
diungkap selama aku berada dalam pendidikan pesantren. Tapi
itu tidak perlu.
Di pesantren aku belajar menulis Arab, dan sekaligus
mempelajari bahasa itu dari menghapal kosa kata hingga
memahami arti dan struktur kalimat-kalimatnya. Aku belajar
nahw, sharf, balaghah, dan beberapa piranti lain yang dapat
mendukung kefasihanku berbahasa Arab yang konon merupakan
bahasa pengantar ajaran Islam. Agaknya di situlah aku pernah
belajar Islam secara langsung dari sumbernya yang berbahasa
Arab. Ya, aku pernah belajar memahami Al-Quran dan hadis
yang berbahasa Arab itu melalui bahasa sehari-hari yang
lebih dapat dimengerti. Setidaknya, karena telah mengenal
bahasa Arab dengan lumayan, aku pernah dapat secara lancar
mengartikan secara tekstual ayat-ayat Al-Quran dan beberapa
potong hadis.
Tapi sesungguhnya, apa yang masuk ke dalam benak
pikiranku itu bukanlah Islam yang sebenarnya, atau
pikiran-pikiran Tuhan itu sendiri, melainkan pikiran-pikiran
para kiai (ustad). Ketika di pesantren aku memang belajar
Islam, tapi setelah kemudian aku sadar, sebenarnya waktu itu
aku belajar mengenai penafsiran-penafsiran subjektif para
ulama atau kiai tentang ayat. Misalnya, aku pernah tergoda
oleh penafsiran seorang kiai tentang salah satu ayat: bahwa
Tuhan akan membalas setiap perbuatan manusia setimpal dengan
perbuatannya di dunia; setiap orang akan mendapat perlakuan
Tuhan, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang kaya
maupun yang miskin sesuai dengan amal yang ia perbuat di
dunia. Menurut pemahamanku kemudian, penafsiran semacam ini
ternyata tidak menarik, karena tidak mencerminkan keadilan
Tuhan. Ini sama saja dengan pemikiran sosial yang menyatakan
bahwa orang yang bekerja keras berhak dan absah untuk
memperoleh bagian lebih besar dalam masyarakatnya. Sebuah
penafsiran Islam yang bernada individualistis dan
kapitalistis.
Meskipun setiap bentuk penafsiran orang tentang kata-kata
Tuhan itu sah dan boleh jadi benar karena Al-Quran selalu
terbuka bagi siapa saja untuk menafsirkannya, tapi jika
penafsiran itu lucu dan tidak bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat, maka apa yang dikehendaki Tuhan seolah menjadi
tidak menarik, dan Islam menjadi tidak bermanfaat lagi bagi
manusia. Padahal Islam jelas diperuntukkan bagi manusia dan
bukan untuk Tuhan. Memang banyak ayat Al-Quran yang begitu
mudah ditafsirkan secara harfiah, tapi tidak setiap orang
mampu dan mau menafsirkannya dengan bahasa yang bermakna,
yaitu bahasa yang berhubungan langsung dengan realitas
tertentu dalam kehidupan yang kita rasakan sehari-hari.
Itulah jadinya, banyak ayat yang hanya diartikan atau
diterjemahkan secara verbalistis, tak bermakna. Para kiai di
pesantrenku juga tak pernah mengalih-bahasakan ayat-ayat
dalam konteks kehidupan nyata. Mereka malah lebih sering
menafsirkan Al-Quran dari sudut pandang eskatologis yang
sarat dengan bayang-bayang hidup sesudah mati.
Ironisnya, persepsi subjektif tentang diktum-diktum
Al-Quran dari para ulama atau kiai di pesantren sering
dipandang sebagai suatu kebenaran mutlak, sehingga
orang-orang di lingkungan pesantren terkondisi sedemikian
rupa untuk memeluk pikiran ulama atau kiai bagaikan memeluk
agama Islam itu sendiri. Siapa yang menentang pendapat kiai
dapat diklaim sebagai "murtad". Inilah sesungguhnya refleksi
kehidupan orang-orang Islam di lingkungan pesantren yang
masih diwarnai hubungan santri-kiai yang "feodalistis".
Selama beberapa tahun di pesantren, aku pun merasakan betapa
aku harus takluk kepada "hegemoni" pikiran ustad yang kolot
itu. Sehingga pemahamanku terhadap Islam pun tidak diperoleh
melalui suatu proses pencarian intelektual yang berlangsung
secara dialogis. Aku hanya menerima informasi keislaman
secara pasif dan sepihak dan tak pernah memikirkan kembali
informasi itu secara kritis. Itulah salah satu yang
membuatku tidak betah belajar di pesantren, karena setiap
saat aku harus berhadapan dengan feodalisme kiai. Aku
dikeluarkan dari pesantren gara-gara sering "bentrok" dengan
kiai.
Tiga tahun lebih aku belajar Islam di pesantren dan harus
berakhir dengan kekecewaan. Tapi aku merasa bahwa dunia
pesantren itu telah membuatku benar-benar "memiliki" Islam
sebagai agama alternatif. Barangkali saja karena setiap hari
aku selalu mendapat suntikan ajaran Islam dari para ustad,
sehingga kecintaanku terhadap Islam semakin dalam.
Pengalamanku memeluk Islam sejak kecil, berbarengan
dengan pergulatanku menghadapi tekanan-tekanan ekonomi,
akhirnya begitu kuat berpengaruh terhadap persepsiku tentang
Islam. Aku mempunyai pandangan kuat, sejak beberapa tahun
terakhir ini, bahwa esensi keislaman tidaklah terletak pada
kesalehan pribadi yang diekspresikan dalam bentuk ketaatan
menjalankan ritual-ritual Islam. Bagiku, kesalehan yang
sebenarnya terletak pada komitmen seseorang untuk
terus-menerus mengubah dan menciptakan lingkungan
masyarakatnya menjadi lebih manusiawi, jauh dari segala
bentuk penindasan dan pengisapan, baik secara ekonomis,
politis, maupun kultural. Ritual dan pengabdian Islam bagiku
bukanlah shalat dan puasa, melainkan gerak fisik dan
intelektual untuk usaha-usaha pemanusiaan.
Jika dalam Islam terkandung prinsip-prinsip dasar atau
rukun yang harus dijalankan oleh setiap Muslim, maka
prinsip-prinsip itu, bagiku, hanya tiga, yaitu syahadah,
ijtihad dan jihad. Sedangkan prinsip-prinsip lain yang oleh
teologi konvensional telah dijadikan rukun, semacam shalat
atau puasa, hanyalah sarana-sarana suplementer yang boleh
saja diamalkan (tapi tidak untuk dipandangrendahkan) jika
seseorang ingin meningkatkan kondisi moral dan spiritualnya.
Dengan demikian, menjadi seorang Muslim yang "benar" adalah
suatu proses psikologis yang berat. Dalam instansi pertama,
keislaman adalah syahadah, yaitu penerimaan dan sekaligus
penyerahan total terhadap Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa.
Syahadah adalah sesuatu yang "manusiawi" juga, karena
penerimaan dan keyakinan terhadap proses penciptaan alam
raya ini akan memberikan makna bagi seseorang dalam setiap
perbuatannya dalam hidup ini. Namun demikian, karena Keesaan
Tuhan dalam konteks sekularnya adalah keadilan sosial, maka
kesaksian atau syahadah seseorang terhadap Tuhan berarti
"kecintaan" terhadap keadilan dan komitmen untuk menegakkan
keadilan itu ke dalam kehidupan nyata. Syahadah juga berarti
penerimaan atau pengakuan intelektual atas Muhammad sebagai
seorang Rasul Tuhan, atau sebagai "model" untuk umat manusia
dalam menegakkan keadilan sosial. Dialah pemikir sosial yang
telah memberikan dasar-dasar intelektual untuk memahami
struktur-struktur sosial dan ketidakadilan yang ada dalam
masyarakat.
Proses keislaman yang kedua adalah ijtihad, yaitu suatu
upaya intelektual untuk menterjemahkan pesan-pesan Tuhan dan
menyegarkannya dalam dunia pemikiran menjadi
penjelasan-penjelasan mengenai keadaan konkret masyarakat.
Ijtihad di sini bukanlah dalam pengertian konvensional yang
berarti usaha intelektual yang telah menjadi hak monopoli
segelintir orang Islam yang dianggap mampu atau memiliki
kualifikasi tertentu. Bagiku, ijtihad adalah hak dan
sekaligus keharusan bagi setiap Muslim untuk memahami Islam,
dan secara intelektual mengenal posisi-posisi dirinya dalam
lingkungan sosial, mentransendensikan pengalaman hidupnya
dalam mekanisme hubungan-hubungan sosial, serta memahami
kecenderungan-kecenderungan masyarakatnya yang merusak
esensi keesaan Tuhan. Dengan demikian, ijtihad memiliki
spektrum arti yang sangat luas, termasuk di dalamnya aspek
intelektual Islam yang dapat menyingkap tabir ideologis
tertentu yang menutupi struktur-srtuktur ketidakadilan serta
proses-proses dehumanisasi.
Sedangkan esensi keislaman terakhir adalah jihad. Yaitu
suatu keberanian untuk bertindak secara nyata, menghancurkan
struktur-struktur ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.
Jihad adalah aktualisasi pemikiran ijtihadiy demi penegakan
nilai-nilai keadilan, dalam bentuk "gerakan". Dengan
demikian, keislaman yang sebenarnya harus teraktualisasi
dalam bentuk suatu gerakan, baik sosial, politik maupun
kebudayaan, yang berorientasi pada perubahan masyarakat
secara mendasar.
Dengan pemikiran Islam semacam ini maka, menjadi Muslim
berarti proses "refleksi-aksi" dalam konteks keimanan,
pemanusiaan, dan berimplikasi perubahan sosial. Dan keimanan
atau syahadah inilah yang membedakan antara Islam dengan
usaha-usaha pemanusiaan (humanisasi) lain.
Itulah keislaman yang telah aku redefinisi sesuai dengan
perkembangan kesadaran sosial yang ada dalam diriku. Jika
pemikiran ini mendapat peluang untuk berkembang dalam
masyarakat, maka Tuhan yang dihayati setiap Muslim akan
lebih jauh berimplikasi humanistis dalam kehidupan
sehari-hari. Sebab memeluk Islam akan juga berarti memeluk
dan memperjuangkan "ideologi" politik yang memberikan
konsepsi mengenai masyarakat masa depan dengan kerangka
strategi perjuangannya secara jelas. Islam tidak lagi hanya
menjanjikan masa depan berupa insentif eskatologis yang
bersifat metafisis, yaitu masyarakat surga, tetapi juga
menawarkan sebuah masyarakat surga, tetapi juga menawarkan
sebuah masyarakat masa depan yang empiris-duniawi, berupa
masyarakat egalitarianistis yang bersih dari segala bentuk
pengisapan, manipulasi, dan yang mampu memberikan para
warganya lebih dari sekadar hak-hak sosialnya.
Dengan meredefinisikan Islam dan mensosialisasikannya
sebagai semacam alat pemanusiaan atau pembebasan manusia
dari struktur-struktur ketidakadilan dalam masyarakat, maka
berarti kita akan mendeduksi Islam dan ayat-ayat Tuhan
pertama-tama ke dalam suatu rumusan (teori) perubahan
sosial, atau teori pengembangan masyarakat. Namun demikian,
keseluruhan konsep teoretis Islam ini masih harus
dikembangkan dalam konteks realitas masyarakat kita ini yang
tengah mengalami perubahan pesat. Sehingga, Islam tidak lagi
menjadi suatu sistem pengetahuan yang berbicara mengenai
teori-teori moral dan eskatalogi, tetapi juga berbicara
menjelaskan serta mengantisipasi masalah-masalah masa kini
yang muncul akibat perubahan sosial yang kapitalistis dan
economic bias ini; semisal ketimpangan distribusi
pendapatan, kemiskinan struktural, keterbelakangan,
kebergantungan, monopoli, dominasi dan kontrol berlebihan,
depolitisasi dan masa mengambang, kesewenangan dan
pencemaran, dan seterusnya. Berhadapan dengan
masalah-masalah tersebut di atas, posisi Islam tidak hanya
memberikan penilaian moral secara reaktif, atau memberikan
respon intelektual secara apologetis dan arogan, bahwa resep
pemecahan masalah-masalah itu telah ada di dalam Al-Quran.
Sebaliknya, posisi Islam kini akan memberikan jawaban secara
realistis dengan menempatkan masalah-masalah tersebut
sebagai agenda perjuangan politis jangka panjang. Ini
berarti selanjutnya kita akan mendeduksi Islam ke dalam
praktek-praktek rekayasa sosial atau pengembangan
masyarakat. Namun, bentuk-bentuk rekayasa ini tidaklah
sekali-kali didasarkan atas semacam "keprihatinan kelas
menengah" terhadap penderitaan para kurban pembangunan
seperti yang umumnya kini dilakukan, yang kemudian
melahirkan berbagai lembaga dengan aktivitas reformis dan
berperilaku karitatif (charity).
Rekayasa sosial dalam konteks perjuangan Islam
mengantisipasi perkembangan masyarakat yang semakin
kapitalis-monopolistis, dan berkelindan dengan gaya politis
yang represif ini, bagiku, tidaklah dalam bentuk
lembaga-lembaga pengkajian ilmiah yang kerjanya hanya
menemukan rumusan spekulatif-teoretis mengenai Islam atau
sistem-sistem Islam secara formal seperti bank Islam,
ekonomi Islam, dan seterusnya; atau lembaga-lembaga
penelitian sosial yang memperlakukan rakyat hanya sebagai
objek studi dan diskusi. Bentuk rekayasa semacam ini, yang
kini masih urgen sebagai anak kandung pembangunan, telah
terbukti tidak efektif bagi perjuangan Islam atau
perbaikan-perbaikan masyarakat, dan hanya menciptakan
elit-elit intelektual Muslim pinggiran yang kemudian
terjebak pada sikap intelektualisme. Rekayasa sosial dalam
konteks ini juga tidak dilakukan dalam bentuk
lembaga-lembaga pengembangan masyarakat yang memberikan
"pelayanan" kepada rakyat kecil dengan bentuk kegiatan
sektoral yang berorientasi pada peningkatan ekonomi (income
generating). Rekayasa semacam ini juga telah terbukti gagal
berhadapan dengan kekuatan pasar yang dikuasai oleh para
pemilik modal. Akhirnya, rekayasa sosial umat Islam selama
bertahun-tahun yang dikembangkan melalui ormas dengan
mendirikan masjid, rumah-rumah sakit, sekolahan dan
lembaga-lembaga dakwah, juga terbukti hanya menenggelamkan
Islam dan orang-orang Islam yang potensial ke dalam posisi
politis yang subordinatif. Jelaslah, model rekayasa sosial
umat Islam selama ini telah memperkuat status-quo
perangkat-perangkat politis dan ekonomis yang telah ada.
Sampai saat ini aku belum menemukan letak penting dan
urgensi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (suatu istilah
yang umum dipakai saat ini) yang bermunculan sejak hampir
dua dasawarsa belakangan ini sebagai model rekayasa sosial
yang mampu menciptakan perubahan dan perbaikan penting di
tingkat bawah. Atau dalam kontribusinya menciptakan suatu
"gerakan rakyat", atau pemikiran-pemikiran baru mengenai
gerakan semacam itu. Sebaliknya, pengalamanku bergaul dengan
para aktivis LSM justru memberi kesan kuat bahwa
sesungguhnya LSM bukanlah model yang tepat sebagai suatu
bentuk rekayasa sosial yang dibutuhkan saat ini. Sebab
kekurangan yang selalu ada dalam setiap kelompok yang punya
concern terhadap perbaikan masyarakat saat ini adalah
"agenda politik", termasuk kelompok-kelompok yang
dikembangkan umat Islam saat ini. Yaitu suatu
rumusan-rumusan mendasar mengenai semacam ideologi
alternatif, strategi perjuangan, teknik-teknik
pengorganisasian basis massa, isu-isu, pendidikan dan
kaderisasi.
Oleh karena itu, yang perlu bagi kita saat ini barangkali
adalah mempopulerkan kembali Islam sebagai suatu alat
perjuangan politis untuk membebaskan rakyat dari
tekanan-tekanan ekonomi-politik, melalui suatu agenda
politik tertentu. Ini perlu, karena kita sadar bahwa Islam
dan umat Islam di negeri kita kini telah kehilangan agenda
politik. Bahkan tidak lagi memiliki agenda politik karena
umat Islam telah kehilangan wadah yang representatif guna
mengartikulasikan berbagai kepentingan politisnya. Aku kira,
ini bukanlah suatu kecenderungan sejarah yang selalu terjadi
jika kita secara sadar mengantisipasinya di masa yang akan
datang. Karena itu, rekayasa sosial yang dibutuhkan pada
saat ini, dalam tingkat yang elementer, adalah berupa upaya
sistematis yang diarahkan pada terciptanya kesadaran baru di
kalangan masyarakat. Suatu kesadaran yang mendorong rakyat
Islam untuk memiliki serikat-serikat baru yang independen
(berdasarkan isu-isu konkret mereka) untuk mengartikulasikan
hak-hak politis dan kulturalnya. Ketika suatu saat ada
momentum baru dan memberikan peluang bagi munculnya partai
baru, maka kesadaran itu akan menjadi kekuatan subjektif
masyarakat yang mendukungnya.
Barangkali pertanyaan muncul, kenapa mesti politik yang
selalu dipersoalkan dalam konteks ini. Jawabanku, perubahan
masyarakat yang sesuai dengan cita-cita Islam akan mustahil
tanpa melalui perjuangan politik. Untuk menunda pembicaraan
mengenai apakah perjuangan politik Islam itu melalui
strategi perjuangan konstitusional jangka panjang atau
melalui perjuangan kekerasan, sebagai agenda diskusi lebih
lanjut, aku berpikir bahwa perjuangan politik adalah suatu
keniscayaan. Sebab, politik akan berhubungan erat dengan
dengan kebijakan yang bersifat publik, dan memiliki kekuatan
memaksa bagi seluruh masyarakat. Wahana politik harus
dimiliki, sebab politik juga berarti suatu kekuasaan yang
dilegitimasi untuk memaksakan kehendak-kehendak tertentu
kepada setiap orang dalam kehidupan bersama. Dengan
demikian, tanpa umat Islam memiliki alat politis yang dapat
menentukan kebijakan-kebijakan publik, maka umat Islam akan
menjadi bagian masyarakat yang selalu tersubordinasi secara
politis. Hidup mereka akan selamanya "diatur" sesuai
kehendak-kehendak "orang lain", dan tak pernah memiliki
kesempatan untuk "mengatur" dalam mekanisme kehidupan
bersama ini. Namun demikian, perjuangan politik Islam dalam
konteks masyarakat kita sekarang ini, bukanlah berarti
memperjuangkan rumusan-rumusan formal keislaman sebagai
dasar konstitusional, seperti yang pernah dilakukan
orang-orang Islam terdahulu, yang secara ambisius ingin
menempatkan Islam sebagai dasar negara.
Dengan mencoba memahami pikiran-pikiran di atas, maka
tuntutan pertama bagi kita --anak-anak muda yang kini punya
komitmen terhadap Islam-- adalah keterbukaan sikap keagamaan
untuk bersinggungan dengan paradigma lain. Kedua,
keterbukaan pemikiran untuk memperkaya perspektif
Islam dengan pemikiran-pemikiran sosial lain. Kita perlu
menanggalkan simbol-simbol atau konsep-konsep teologis Islam
yang normatif itu dan menggantikannya dengan konsep-konsep
sosiologis yang empiris. Misalnya, apakah kita perlu
menegaskan bahwa para buruh industri yang hidupnya di bawah
standar kelayakan itu tepat dikatakan sebagai kaum
mustadh'afin seperti yang sering disinggung dalam Al-Quran.
Demikian juga para petani gurem yang hasil produksinya di
bawah BEP (break even point). Tambahan pula, kita perlu
memberanikan diri untuk melepaskan cara pandang Islam yang
idealistis itu, dan menggantikannya dengan cara pandang yang
"historis". Dengan demikian, maka mutlak perlu bagi kita
untuk melakukan dialog secara terus-menerus dengan situasi
konkret masyarakat, suatu langkah taktis untuk menghimpun
informasi sebanyak mungkin tentang proses-proses historis
atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam
masyarakat kita saat ini. Tapi sekali lagi upaya ini tidak
dilakukan dalam model LSM yang hanya bermakna proyek atau
dukungan finansial dari lembaga donor asing. Sebaliknya,
aktivitas ini harus memiliki makna long term perjuangan
Islam. Ini artinya kita membutuhkan alat analisis atau
penjelas intelektual yang tidak lagi mengacu kepada
ayat-ayat Al-Quran. Kita membutuhkan suatu metode
analisis-empiris yang mampu menyingkap realitas kehidupan
sosial secara kritis. Di sinilah perlunya kita membuka diri
untuk menerima ilmu-ilmu empiris yang telah ada: sosiologi,
ekonomi-politik, antropologi, dan lain-lain. Kita tidak
perlu phobia terhadap ilmu-ilmu tersebut yang kenyataannya
datang dari Barat dan bersifat "sekular".
Jika kita bersedia untuk bersikap realistis, maka
sesungguhnya kita benar-benar memerlukan pemikiran-pemikiran
Barat yang sekular itu untuk menerjemahkan Islam dan
pesan-pesan Al-Quran dalam konteks perkembangan masyarakat
yang tengah terjadi saat ini. Bukankah Islam yang kita
miliki saat ini sudah terlalu sarat dengan
pemikiran-pemikiran eskatologis yang transendental, yang
penuh dengan pandangan-pandangan spiritual dan misits? Dan
inilah sebenarnya penyebab keterbelakangan Islam, karena
kita selama ini telah memperlakukan kehidupan nyata duniawi
ini secara tidak proporsional. Kita tidak membiasakan diri
berpikir secara sekular, padahal sekularisme sebagai suatu
kerangka metodologi berpikir untuk memahami
persoalan-persoalan duniawi adalah suatu keniscayaan. Justru
dengan pemikiran sekular kita akan memperlakukan dunia ini
secara adil, proporsional, dan apa adanya. Dunia tidak
diperlakukan secara mistis, atau dianggap sebagai sesuatu
yang penuh dengan kekuatan magis.
Islam memang memperkenalkan kepada kita adanya dua
kehidupan yang secara konseptual berbeda, yaitu dunia dan
akhirat. Tapi pemikiran Islam tentang akhirat, tentang
eskatologi dan dunia gaib, aku kira sudah cukup final, tak
ada lagi sisa yang menarik untuk dikembangkan. Sikapku
terhadap kehidupan akhirat juga telah selesai, bahwa akhirat
yang aku yakini adanya itu hanyalah hak mutlak Tuhan, dan
urusan kebijakan-Nya. Aku berserah diri setelah berbuat apa
yang paling baik bagi masyarakatku, dan setelah aku berupaya
melakukan pemanusiaan atas nama-Nya. Yang belum final,
bahkan masih terlampau miskin, adalah pemikiran Islam
tentang dunia, tentang masyarakat, yaitu pemikiran sekular
yang khas duniawi. Karena itulah, orang Islam perlu
menguasai ilmu-ilmu sekular yang kebetulan kini berkembang
di Barat.
Pemikiran tentang dunia, tentang masyarakat, bagiku,
tidaklah harus berpacu dengan kata-kata Tuhan. Manusia telah
diberi hak otonom untuk memperlakukan dunia ini; memikirkan
dan mengelolanya. Urusan dunia adalah hak mutlak manusia
sebagai wakil Tuhan di sini. Tambah lagi, manusia dalam
dimensinya yang selalu terbatas, punya kemampuan intelektual
untuk menjelaskan kompleksitas dunia nyata ini sehingga ia
dapat merumuskan pengalaman intelektualnya itu ke dalam
teori, konsep, bahkan ideologi yang kemudian secara praktis
dapat dipakai untuk mengolah sumber-sumber duniawi ini.
Dengan dasar inilah, aku tak pernah mempersoalkan aspek
"sekular" dari ideologi-ideologi atau ilmu-ilmu Barat itu.
Aku hanya mempersoalkan setiap pemikiran yang mengandung
unsur-unsur imperialistis dan kapitalistis di dalamnya.
Bergabung dengan Kelompok Studi Mahasiswa
Akhir tahun 1983 aku tidak lagi bergaul dengan
kawan-kawan PII, dan sebagai kompensasi aku mencoba
melontarkan potongan-potongan pemikiran Islamku melalui
media massa lokal. Selama tiga tahun lebih, aku menjalani
hidup pasca-PII dan sibuk dengan kesendirianku: kuliah,
membaca, menulis dan melamun. Aku benar-benar merasa
kesepian. Untuk mencairkan kejenuhanku selama itu, maka pada
akhir tahun 1986, bersama kawan-kawan lain, aku bergabung
dalam sebuah kelompok diskusi mahasiswa yang saat itu sedang
populer. Perhatianku kali ini tidak lagi pada
masalah-masalah keislaman secara formal, atau tidak lagi
berbicara mengenai simbol-simbol Islam secara eksplisit
seperti ketika di PII, melainkan lebih pada masalah-masalah
yang urgen di kalangan kelompok studi pada umumnya, yaitu
realitas pembangunan.
Era kelompok studi, bagiku, adalah era penjelajahan
intelektual yang sangat mengesankan. Kelompok studi
mahasiswa telah membawa diriku begitu dekat dengan
pemikiran-pemikiran sosial modern. Tapi betapapun aku telah
berkenalan dengan pandangan-dunia lain, aku merasa perlu
untuk kembali lagi ke daerah kelahiranku semula, yaitu
Islam. Agaknya, komitmenku terhadap Islam sebagai
pandangan-dunia yang "sekular" sekaligus "transenden", yang
memandang dunia-akhirat dalam spektrum kontinum, tidaklah
pernah pudar. Komitmenku terhadap Islam sama saja dengan
keterikatanku terhadap sejarah dan masa lampauku. Adalah
sesuatu yang mustahil bahwa aku akan membenci atau
meninggalkan Islam, sebab Islam adalah bagian tak
terpisahkan dari historisitas diriku. Memang dapat saja
Islamku yang sekarang ini sudah berbeda dengan Islam yang
ada dalam pemikiran khalayak luas, sebab Islam yang ada
dalam kesadaranku kini adalah Islam yang sangat diwarnai
oleh obsesi-obsesi akan perbaikan hidup bagi rakyat banyak
yang tercecer dari masyarakatnya. Tapi apa pun bentuk Islam
yang ada dalam pikiranku adalah sah dan berhak untuk hidup.
Janganlah aku dipersalahkan karena berpikir begini atau
begitu tentang Islam, sebab pikiranku adalah anak kandung
dari keadaan masyarakatku, yang lahir dari situasi konkret
sejarah masyarakatku. Masa kecilku, pergulatanku, kondisi
masyarakatku, semua itu merupakan preseden historis yang
melahirkan dan menentukan corak pemikiranku tentang Islam.
Maka sungguh suatu kesewenangan politis yang pernah menimpa
diriku, ketika di akhir Juli 1988 aku dipaksa meringkuk
selama seminggu di tahanan militer Yogya, karena dicurigai
berindikasi "kiri", "Islam komunis", dan sebagainya. Dua
orang kawanku aktivis kelompok studi malah telah benar-benar
menjadi kurban kesewenangan. Memang banyak aktivis kelompok
studi yang memiliki pikiran-pikiran "kritis". Tapi amatlah
berlebihan menuduh pemikiran tersebut sebagai "kiri".
Bagiku, sangatlah ironis mengklaim pikiran-pikiran anak muda
yang kritis itu sebagai begitu saja turun dari langit.
Kritisisme tak pernah dilihat sebagai buah pikiran yang
lahir dari keadaan nyata masyarakatnya. Maka itu sangatlah
lucu, mengadili buah pikiran tanpa pernah mengadili
sebab-sebab yang melahirkan pikiran itu.
Sampai saat ini aku tak dapat mengerti apa kesalahan
kelompok studi sehingga ada alasan untuk mencurigai para
aktivisnya, dan menyeretnya ke tahanan. Padahal, sebagai
anak muda yang cinta kebenaran dan gemar membaca, aktivis
kelompok studi hanyalah orang-orang yang punya kuriositas
tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Mereka hanya
melakukan penajaman persepsi dengan mengulas berbagai
persoalan yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Tak ada
masalah hebat yang menjadi agenda diskusi kelompok studi
kecuali masalah-masalah kasat-mata yang dapat kita rasakan
setiap hari. Misalnya, kita merasakan bahwa kini kebebasan
telah harus dikurbankan demi stabilitas, sehingga hampir
setiap orang dengan sadar menganggap bahwa stabilitas itu
baik. Kita sering membaca di koran-koran, bahwa pembangunan
ekonomi telah menimbulkan ketimpangan, sehingga kemiskinan
dan pemiskinan menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Kita
sering mendengarkan pidato, bahwa pembangunan memerlukan
pengurbanan, sehingga penggusuran, pengangguran,
pembantaian, dan kekerasan adalah sesuatu yang diperlukan.
Kita merasakan sekarang bahwa massa mengambang kini telah
berhasil menyapu-bersih daya kritis masyarakat. Lalu apakah
kelompok studi sebagai kumpulan para intelektual muda
diharamkan untuk membahas soal-soal itu, sehingga ketika
benar mereka tetap mendiskusikan masalah-masalah tersebut,
dengan gebuk-rata mereka dicurigai sebagai berindikasi
subversif, atau dicurigai sebagai embrio kekuatan politik
yang membahayakan.
Selama aktif di kelompok studi, aku memang tak banyak
berbicara tentang masalah-masalah dalam konteks teologi
secara eksplisit. Namun bukan berarti aku tidak lagi
berteologi. Sebaliknya aku justru berteologi secara praktis,
menempatkan Islam sebagai pengetahuan yang dapat menjelaskan
realitas. Aku juga menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang
memberikan makna bagi tindakan dan aktivitasku sehari-hari.
Aku menginginkan teologi Islam dalam dirinya terkandung
teori-teori perjuangan, berisi pemikiran-pemikiran yang
bernada pemihakan dan pembelaan terhadap manusia-manusia
konkret yang ada di sekelilingku yang hidup sengsara. Aku
menginginkan suatu teologi Islam yang berbicara mengenai
bagaimana sebaiknya petani, buruh, dan nelayan itu
diperlakukan dalam usaha-usaha perbaikan hidup.
Sesungguhnya, teologi semacam ini bukanlah barang baru,
melainkan telah pernah menjadi bagian dari sejarah pemikiran
Islam di negeri kita ini. Teologi ini telah pernah menjadi
milik sekelompok kecil umat Islam, meskipun tidak populer.
Bahkan teologi Islam yang bercorak historis-populis ini,
sesungguhnya merupakan watak asli dari teologi yang secara
langsung dikembangkan dan dipraktekkan oleh Muhammad saw.,
yaitu Islam yang diaktualisasikan dalam bentuk pemerdekaan
kaum budak dari cengkeraman eksploitatif kaum bangsawan
pemilik tanah pada waktu itu. Tak dapat disangkal bahwa
Muhammad adalah salah seorang pemikir sosial yang telah
meletakkan dasar-dasar intelektual dalam menganalisis
struktur-struktur ketidakadilan masyarakat. Dan sekaligus
dia telah menjadi aktivis politik yang memberikan contoh
praktis bagaimana menghancurkan struktur-struktur tersebut.
Kita dapat mengambil intisari bagaimana teologi Islam telah
menjadi aktivitas praktis seorang Nabi. Misalnya, Nabi
Muhammad memandang bahwa sendi-sendi ekonomi-politik di
zamannya itu terletak pada pengisapan berlebihan terhadap
kaum budak, dan kelompok mustadh'afin lain yang merupakan
jumlah terbesar dari keseluruhan populasi. Mereka inilah
yang menjadi salah satu kekuatan produktif bagi perkembangan
masyarakat di zamannya. Nabi sendiri sebenarnya juga salah
seorang yang terlibat langsung dalam pergulatan ekonomis
sejak kecil, sehingga dia mampu mengantisipasi secara tepat
kebutuhan nyata kaum lemah. Itulah mengapa, teologi yang
dikembangkan Nabi sebagai praktek rekayasa sosial dalam
tahap awal adalah teologi populis yang diwujudkan dalam
bentuk gerakan sosial untuk membebaskan kaum budak dan kaum
mustadh'afin lain melalui pengorganisasian mereka menjadi
suatu kekuatan politis.
Memang, masyarakat yang diciptakan Nabi melalui suatu
perjuangan politik dan revolusi teologis (intelektual)
bukanlah masyarakat yang telah final, melainkan masih perlu
peningkatan kualitas. Dan ini sebenarnya menjadi tugas para
pengikut dan orang-orang Islam sesudah Nabi untuk
memperjuangkannya menjadi masyarakat yang sempurna. Namun
apa yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat itu mengalami
penurunan kualitas dan semakin jauh dari cita-cita Nabi. Ini
disebabkan pertama-tama oleh karena teologi Islam seperti
yang dipraktekkan Nabi mengalami distorsi dalam perkembangan
berikutnya. Terutama setelah bermunculan kaum intelektual
('alim-'ulama') baru yang berasal-usul "kelas menengah",
yang dianggap memiliki otoritas untuk mengembangkan
pemikiran Islam. Teologi Islam kemudian hanya berisi
soal-soal esensi ketuhanan dan kehendak-kehendak-Nya.
Teologi bahkan menjadi alat legitimasi bagi para penguasa
politik yang nepotis. Dan teologi itulah yang kemudian
diwariskan secara turun-temurun hingga generasi Muslim kaum
tua di negeri kita ini.
Kita sadar bahwa kaum Muslim generasi tua di negeri kita
ini sebenarnya merupakan pewaris langsung dari teologi Islam
yang telah mengalami distorsi itu. Ciri khas teologi ini
adalah kecenderungannya yang antipopulis dan tidak merakyat.
Kaum Muslim generasi tua di Indonesia, setidaknya selama
dekade belakangan ini, berkecenderungan beraliansi dengan
kekuatan ideologis-politis dominan yang dengan mudah
mengecap setiap gerakan rakyat yang konfrontatif sebagai
sempalan, Khawarij, dan sebagainya, yang dalam sejarah Islam
dipandang sebagai bertentangan dengan mainstream teologi
Sunni. Barangkali ini merupakan sifat dasar dari setiap
pemikiran "kelas menengah". Sebab para alim-ulama dan
cendekiawan Muslim di negeri kita ini adalah orang-orang
yang diuntungkan oleh sistem yang ada, sehingga kepentingan
utama bagi mereka adalah mempertahankan kemapanan sosial
yang mereka miliki.
Ciri khas lain, sebagai konsekuensi dari ciri di atas,
adalah bahwa teologi Islam punya kecenderungan oportunis.
Kaum Muslim di negeri kita kini benar-benar telah kehilangan
keberaniannya untuk mengungkapkan kritik-sosial vis-a-vis
kekuatan politik dominan. Banyak perlakuan politis pihak
berkuasa semisa penggusuran, pembantaian, bersih diri, dan
seterusnya, yang tidak manusiawi itu sama sekali tidak
mengundang kaum Muslim untuk angkat bicara, apalagi
melakukan advokasi secara langsung terhadap para kurban
pembangunan. Misalnya saja, kita tahu bahwa "bersih diri dan
lingkungan" adalah kebijakan yang sungguh bersifat
diskriminatif, yang membuat banyak orang tak berdosa itu
menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan hak-hak mereka
untuk hidup sebagaimana orang-orang kebanyakan. Tapi
siapakah dari kaum Muslim yang berani menggugat soal ini.
Lebih parah lagi, kita menyaksikan banyak orang Islam atau
alim-ulama yang justru bersedia menjadi "pemain" bayaran
yang dikayakan guna melegitimasi kemauan politis para
pemegang kuasa.
Ciri selanjutnya dari teologi Islam kaum tua dewasa ini
adalah sikapnya yang selalu reformis. Mereka masih
mempercayai dan bersikap optimis terhadap kemungkinan
terjadinya perbaikan-perbaikan masyarakat secara gradual
dalam kerangka sistem politik yang ada. Barangkali saja ini
merupakan sikap politis yang muncul sebagai akibat dari
kekalahan yang dialami oleh umat Islam dalam percaturan
politisnya dari masa ke masa, sehingga teologi Islam menjadi
regresif, mundur ke belakang. Kini umat Islam generasi tua
malah telah terhibur oleh suatu slogan yang membenarkan
mereka untuk kembali ke wilayah kemasyarakatan: Di luar
percaturan politik praktis, masih terbentang luas lahan
pengabdian untuk umat Islam. Inilah slogan yang
mempertahankan status-quo perangkat-perangkat politik yang
ada, dan membenarkan kekalahan umat Islam.
Itulah Islam yang telah menjadi bagian dari kesadaran
kaum Muslim generasi tua "kelas menengah" di Indonesia.
Suatu kesadaran yang merefleksikan kefrustasian dalam
kekalahan. Karena itu, jika kita --anak-anak muda-- yang
ingin menjadi generasi yang dapat mewarnai sejarah Islam dan
memberikan banyak kontribusi bagi masa depan yang lebih
cerah, kita perlu cepat-cepat lari dari "hegemoni" pemikiran
teologis Islam kaum tua itu. Barangkali saja, pemikiran
singkat yang telah aku beberkan dalam tulisan ini dapat
dikembangkan lebih jauh menjadi sebuah pemikiran teologi
alternatif, suatu teologi yang insya Allah bakal memberikan
ilham bagi kemungkinan munculnya kekuatan baru Islam yang
lebih populis dan bermanfaat bagi rakyat banyak.
Penutup
Date: Wed, 21 Jun 2000 14:31:54 +0700
From: Mohamad Zaki Hussein <zaki@centrin.net.id>
To: is-lam@isnet.org
|