| |
|
Agama-agama bagaikan pedang bermata dua. Ia bisa tajam menohok dan mengakhiri suatu kekuasaan yang menindas, atau pada sisi yang lain, agama bisa juga dengan tajam melegalisasi serta menjadi alat penindasan suatu rejim. Sejarah umat manusia membuktikan bahwa agama melalui instrumen hegemonik, hirarkhis dan aturan ketaatannya, lebih berperan sebagai alat kekuasaan untuk melegalisasi praktek represif yang dijalankan untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal itulah yang dituliskan oleh KH. Mahfuz Ridwan, Lc., dalam pengantarnya bahwa situasi penindasan yang mengungkung suatu masyarakat biasanya bertahan lama ketika agama mulai ditampilkan sebagai alat untuk melegitimasi situasi yang tidak manusiawi (hlm. xvii). Pesan itu pun kembali disuarakan oleh Muhaimin Iskandar dalam catatan epilognya dengan mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah salah satu bentuk keterasingan manusia dari ketertindasan. Kegagalan agama untuk membawa pembebasan dari ketertindasan itu, telah menyebabkan agama menjadi candu rakyat yang tidak mampu memberikan solusi yang nyata bagi rakyat (hlm. 186). Pendidikan yang Membebaskan Penulis buku ini; Hanif, mencoba untuk menggali kembali hakekat keberagamaan yang seharusnya ditampilkan oleh manusia beragama. Dengan memakai cermin praktek pendidikan yang membebaskan sebagaimana dilakukan oleh Paulo Freire di Brazil pada paruh 1960-an. Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut (hlm. 6), adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut, pen) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid" (hlm. 47). Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence). Kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society). Agama (Islam) yang Membebaskan Berdasarkan cermin Freire sebagaimana diuraikan diatas, Hanif menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk manusia. Menurutnya, pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya (hlm. 12). Lebih lanjut, penulis dengan mengutip Engineer (1993:80) menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter (hlm. 12). Lebih lanjut, Hanif memberikan penegasan yang lebih substansial lagi. Menurutnya, Islam adalah agama pembebasan karena "Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas" (hlm. 14). Dengan mengutip ayat-ayat Al Qur'an, diantaranya "...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. 28:5), penulis menegaskan bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan ketidaksadaran (hlm 109-112). Pengasan yang berikut adalah perihal ibadah. Disebutkan bahwa antara ibadah ritual yang vertikal (hablun mina Allah) seperti sholat, puasa dan haji, dan ibadah sosial (hablun mina an-naas) haruslah dijalankan secara seimbang. Kekhawatiran (atau lebih tepat; keprihatinan) bahwa ketimpangan pelaksanaan kedua bentuk ibadah itu dijalankan di Indonesia diguratkan secara jelas oleh penulis, "Gejala ini nampak pada umat Islam di Indonesia, yang rata-rata&emdash;bangga dan merasa telah menjadi muslim sejati apabila telah melakukan &endash;dengan aktif&emdash;ibadah-ibadah ritual. Bukankah di Indonesia, umat lebih bangga melaksanakan haji lima kali daripada haji satu kali ditambah dengan mendermakan hartanya yang lain untuk kepentingan umat yang lain? Sementara sebagian orang melaksanakan haji hinggal lima kali, sebagian (besar) yang lain terpaksa menjual keimanannya karena kemiskinan" (catatan kaki no. 9, hlm 94). Menurut Hanif, perimbangan keduanya merupakan idealitas bagi seorang muslim yang sejati. Gerakan Pembebasan Setelah mendapatkan basis bahwa pesan substansial Islam adalah pesan pembebasan, selanjutnya penulis memasuki suatu tataran konseptual perihal pembebasan itu sendiri. Menurutnya pembebasan haruslah dijalankan secara dialogis dan demokratis (hlm. 134). Pembebasan dilakukan dengan menjadikan rakyat sebagai subyek pembebasan, dan bukan obyek (hlm. 133). Seperti dituliskan oleh James Y.C. Yen yang juga ditulis dalam buku ini dan telah menjadi motto gerakan-gerakan pembebasan, "...Datanglah kepada rakat. Hidup bersama rakyat. Berencana bersama rakyat. Bekerja bersama rakyat. Mulailah dengan apa yang dimiliki rakyat. Ajarlah dengan contoh, belajarlah dengan bekerja. Bukan pameran, melainkan suatu sistem, bukan pendekatan cerai-berai, melainkan mengubah. Bukan pertolongan, melainkan pembebasan..." (hlm. 134). Dengan mengutip Yen, penulis memberikan pesan yang juga penting bagi gerakan pembebasan di Indonesia, bahwa pembebasan bukanlah pada upaya-upaya karikatif (atas dasar belas kasihan) dan fragmentaris (terpisah-pisah). Pembebasan harus dilakukan sebagai upaya yang transformatif dan struktural, sebagaimana dituliskan, "...yang jelas, bahwa perubahan sosial sulit tercapai hanya dengan menekankan salah satu dari dua dimensi: manusia dan struktur. Kedua-duanya harus diubah, sebab keduanya memiliki sifat ketergantungan antara satu dengan yang lain" (hlm. 139). Penulis juga menganalisis bagaimana pembebasan itu harus dilakukan. Dalam gerakannya, Freire menekankan pendekatan politik untuk pembebasan. Pendekatan politik ini, ternyata telah mampu untuk membekali rakyat dengan analisis struktur yang mapan, dimana tali temali penindasan itu tergantung padanya. Dengan demikian, hal itu sangat memungkinkan untuk melakukan pemetaan secara tepat terhadap kekuatan rakyat untuk mencapai perubahan. Namun, kenyataan juga membuktikan bahwa kekuasaan yang menindas cenderung reaksioner, yang selanjutnya secara dini "memenggal" jalan pembebasan yang dirintis lewat pendekatan politik (hlm. 160). Karena itu, penulis pun menganalisis pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan pendekatan kulturalnya bagi pembebasan yang lebih berupa ajakan untuk menghilangkan sekat-sekat horisontal, daripada pendekatan politis yang mengutamakan analisis kelas dan tesis anti-kekuasaan. Menurut Gus Dur, pendekatan politik akan tidak efektif dilakukan di Indonesia karena akan mendapat "pukulan balasan" dari kekuasaan yang represif (hlm. 157). Pendekatan kultural akan memunculkan kekuatan moral, yang jika dimiliki oleh jumlah cukup manusia dalam masyarakat, akan mengubah corak hidup masyarakat itu sendiri secara total (hlm. 158). Tetapi, Hanif pun tidak mengamini secara total pendekatan kultural tersebut. Menurutnya, "...pendekatan kultural yang memberi tekanan khusus pada kekuatan moral telah terjebak dalam romantisme gerakan. Ia tidak pernah menyelesaikan secara konkrit bentuk-bentuk penindasan manusia. Sebaliknya, tanpa disadari, ia telah memberi peluang kaum penindas untuk menyempurnakan kerja penindasan" (hlm. 161). Karena itu, penulis menawarkan semacam sintesis pada kedua pendekatan itu. Menurutnya, pendekatan politik membawakan program yang berwatak sistematik, sedangkan pendekatan kultural lebih mementingkan program yang senantiasa berkembang dan tidak boleh "dibakukan" hanya dalam sebuah sistem saja (hlm. 162). Sintesis tersebut dinamakannya sebagai "pendekatan komplementer" yang sesungguhnya bertolak dari epos kenabian dalam agama-agama samawi. Gerakan pembebasan Nabi memberi petunjuk pentingnya faktor manusia dan struktur kekuasaan sebagai dua hal yang harus saling dipertimbangkan (hlm 163). Itulah konsep dasar Islam tentang perubahan sosial. Penutup Sebagai suatu upaya untuk mengembalikan agama pada jalan pembebasan, buku ini telah memberikan wacana baru dalam khazanah pemikiran agama-agama. Tidak seperti buku-buku "kiri" pada umumnya yang memakai analisis Marxis dan Leninis, buku Muh. Hanif Dhakiri tersebut, justru memakai "jalur kanan", yaitu pendekatan teks agama, sejarah agama dan riwayat Nabi, untuk membawa pesan pembebasan yang "kiri" tersebut. Meskipun atas pendekatan "kanan"-nya tersebut, penulis malah mengkritik bukunya sendiri dalam kata pengantarnya, "Saya baru sadar jika dimensi liberatif dan waktak revolusioner Islam yang ingin saya munculkan itu ternyata berbau 'modernis', atau malah, lebih ekstrem lagi, bernuansa 'kanan'. Ini bukan soal suka atau tidak suka dengan kedua identitas tersebut, tetapi mengenai kenyataan bahwa pikiran dan gerakan keduanya tidak pernah meletakkan rakyat sebagai pemilik sejarah yang berkarya, mencipta dan dengan demikian harus terlibat dalam setiap proses sejarah" (hlm. viii). Namun, sebagai sebuah buku yang lahir dari seorang yang bergelut di "dunia gerakan" yang berasal dari sebuah skripsi di kampus teologi Islam (IAIN Walisongo Salatiga), buku ini telah mematangkan embrio pemikiran "teologi pembebasan" dalam Islam. Hal itu rupanya ditangkap pula oleh Muhaimin Iskandar dalam epilognya, "...Agama harus melahirkan teologi yang membebaskan... Teologi pembebasan harus menjadi kekuatan tandingan bagi 'teologi konservatif' yang statis, dan menjadikannya sebagai kekuatan revolusioner melawan ketidakadilan yang seringkali diselipkan dalam struktur kemapanan doktrin-doktrin agama" (hlm. 187). Agar timbangan buku ini benar-benar menjadi sebuah "timbangan", tentu kritik harus pula diberikan. Ada tiga kritik mendasar yang harus diberikan, baik pada buku ini, maupun pada pengarangnya. Pertama, kendatipun buku ini telah cukup memberikan dasar-dasar atau pijakan bagi Islam untuk kembali pada fitrah pembebasannya, tetapi Muh. Hanif Dhakiri belum "berani" untuk memberikan "kritik agama" yang komprehensif. Karena itu mungkin "nuansa kanan"-nya menjadi begitu kental, karena penulis hanya berkata-kata sangat sedikit (atau, hampir tidak ada, kecuali tentang pelaksanaan haji sebagaimana disebutkan diatas) perihal pelaksanaan keagamaan ataupun keislaman dalam tataran praktek, teologi dan pengorganisasiannya di Indonesia. Padahal, kritik agama itu telah "disenggol" oleh KH. Mahfudz Ridwan dalam pengantarnya, pun oleh Muhaimin Iskandar dalam epilognya. Kedua, gerakan pembebasan adalah gerakan yang pluralis, melibatkan banyak pihak dan kelompok. Karena itu, seharusnya ketika membahas tentang suatu gerakan pembebasan, dasar-dasar pluralisme hendaknya dapat lebih ditekankan agar pada tataran praktisnya nanti tidak menimbulkan pengelompokan baru berdasarkan sentimen kelompok dan agama. Tanpa pluralisme, gerakan pembebasan cenderung akan menghasilkan suatu kelompok diktator baru yang telah dimenangkan melalui gerakan revolusioner, sebagaimana terjadi di negara-negara komunis. Ketiga, dalam mensinstesiskan pendekatan politik dan kultural dari gerakan pembebasan yang disebutnya sebagai "pendekatan komplementer", penulis belum sampai pada tataran penjelas (deskriptif)-nya. Dalam bukunya tersebut, penulis hanya memberikan "pengesahan" bahwa pendekatan komplementer itu telah dijalankan oleh Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan diatas. Sehingga ketika memasuki bagian akhir buku ini, terasa suatu suasana yang menggantung, belum berpijak pada bumi dimana praktek penindasan itu terjadi. Mungkin, inilah buku dengan suatu proses pemikiran yang belum final. Namun, sebagaimana dikatakan oleh penulis sendiri bahwa bukunya tersebut adalah suatu bentuk ketelanjangan pemikirannya ketika menuliskan skripsi berjudul "Al-Fikratu at-Tarbawiyyatu li-Paulo Freire fi al-Shokhafiyyati al-Islamiyyati" dengan segala kekurangannya. Karena itu, biarlah buku itu menjadi catatan evolusi pemikiran Muh. Hanif Dhakiri, yang tentunya akan dilanjutkan lagi dalam buku-bukunya kemudian.
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |