|
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah meraup suara yang
fenomenal. Meski perhitungan akhir suara belum selesai
karena teknologi TI yang ternyata tidak meyakinkan, tapi
sudah tampak dari angka absolutnya, peraihan suara PKS pasti
berlipat dari perolehan PK pada pemilu 1999.
Namun apakah kemenangan PKS ini berarti kemenangan Islam?
Atau keberhasilan dakwah Islam? Dan kira-kira apa yang
terjadi setelah ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita
perlu melihat struktur pemilih PKS.
Profil pemilih PKS terdiri dari lima
kelompok
Yang pertama adalah pemilih klasik, yaitu binaan
gerakan (harakah) tarbiyah di Indonesia, yang sejak era
1980-an marak di kampus-kampus. Mereka inilah kader inti
PKS, dengan ciri-ciri khasnya yaitu: muda, terdidik dan
islamis. Mereka dibina dalam halaqoh-halaqoh dengan pola
yang cukup rapi, mengacu pada gerakan Ikhwanul Muslimin di
Mesir. Rujukan mereka adalah buku-buku karya Hasan Al-Bana,
Said Hawa, dan terutama Yusuf Al-Qardhawi.
Yang kedua adalah simpatisan harakah-harakah lain
dengan karakteristik kader yang mirip, semisal Hizbut
Tahrir, yang meski memiliki massa cukup besar, namun tidak
secara tegas memerintahkan kader atau simpatisannya agar
memilih partai tertentu. Mereka hanya menunjukkan beberapa
kriteria, seperti bahwa parpol yang dipilih harus yang
berasas Islam dan memperjuangkan syariat Islam. Meski PKS
tidak pernah terang-terangan berkampanye untuk syariat
Islam, namun di level bawah, kader-kader inti PKS terus
bergerak dari masjid ke masjid atau di majelis-majelis
taklim, seraya mencoba meyakinkan massa Islam pro syariat
bahwa jalan yang ditempuh PKS ini akan sampai ke penerapan
syariat oleh negara. Maka tak heran bila simpatisan
harakah-harakah ini akhirnya berpikir bahwa PKS adalah salah
satu atau bahkan satu-satunya partai yang memenuhi syarat
tadi. Apalagi juga tidak pernah ada seruan dari
harakah-harakah tadi untuk Golput.
Yang ketiga adalah pemilih pindahan, yaitu
kalangan Islam modernis, yang di Pemilu 1999 memilih PBB
atau PAN, dan karena suatu hal menilai bahwa PKS lebih cocok
sebagai wadah aspirasi mereka. Ini dibuktikan dari perolehan
PBB dan PAN yang merosot jauh di bawah PKS.
Yang keempat adalah orang-orang Islam yang
khawatir pada isu kristenisasi, seperti isu proyek Yusuf
2004 yang diasosiasikan ke PDS, atau isu banyaknya caleg non
muslim di PDIP atau Partai Demokrat --yang belakangan
ternyata memang mendapat cukup banyak suara. Kelompok ini
bukanlah binaan PKS atau harakah lain, juga bukan "pelarian"
PBB atau PAN. Mereka bahkan semula ingin golput, karena
kebingungan dengan tawaran yang ada, atau sudah apatis
dengan sistem pemilu. Namun isu kristenisasi, yang mungkin
juga dihembuskan oleh kader-kader PKS sendiri (meski tidak
resmi dari pimpinan PKS), ternyata cukup ampuh. Orang yang
ingin golput jadi merasa berdosa bila golputnya berakibat
prosentase Kristen di Parlemen terdongkrak. Sekalipun
Islamnya sekedar KTP, masih banyak orang yang tergerak bila
ada ancaman dari kelompok agama lain.
Sedang kelima adalah simpatisan humanisme, yang
tertarik PKS karena track record PKS selama ini di aspek
anti korupsi dan kepedulian menolong sesama yang dilanda
bencana. PKS memiliki Pos Keadilan Peduli Ummat, yang meski
secara formal independen (salah satu Lembaga Amil Zakat
Nasional), namun di lapangan, aksi-aksi kemanusiaannya
dilaksanakan kader-kader PKS, yang hampir selalu beratribut
PKS (paling tidak di topi atau kaos). Yang jelas citra
"bersih" dan "peduli" menjadi melekat pada PKS. Pemilih tipe
ini dapat dikatakan "non-ideologis", bahkan bisa saja non
muslim. Meski demikian, bila ada alternatif selain PKS,
mereka akan mudah pula pindah. Oleh sebagian orang, Partai
Demokrat dan PDS juga dicitrakan bersih. Maka tak heran PKS
bersama Partai Demokrat dan PDS dijuluki Tempo edisi 18
April 2004 dengan istilah "Tiga Menguak Takdir".
Memang perlu ada penelitian lebih lanjut komposisi kelima
jenis pemilih PKS ini.
Isu Agama oleh PKS
Secara terbuka, jurkam PKS memang tidak mengkampanyekan
syariat Islam, juga tidak memakai satupun ayat. Namun di
level bawah, tidak benar kalau sama sekali tidak
membawa-bawa isu agama.
Sebagaimana ditulis di atas, isu kristenisasi banyak
disebarkan baik lewat pamflet yang dipasang di papan
pengumuman masjid ataupun via email dan sms oleh simpatisan
PKS.
Kemudian ustadz-ustadz yang dikenal berafiliasi ke PKS
dalam hampir setiap kesempatan (ceramah, khutbah Jum'at)
sering mengeluarkan dalil atau fatwa yang mewajibkan pemilu
dan memilih partai dengan kriteria tertentu. Tentu saja
jamaahnya mafhum bahwa partai itu tentu partainya sang
Ustadz, habis partai siapa lagi? Meski bukan di saat
kampanye, namun ustadz-ustadz PKS sudah mengenalkan dan
mencitrakan diri. Sejak sebelum reformasi, kader-kader PKS
memiliki puluhan atau bahkan ratusan lembaga mantel, berupa
LSM, kelompok kajian atau yayasan, yang bergerak terus
menerus di segala lini menggarap apa yang disebut "lahan
dakwah", mulai dari soal pengumpulan zakat, pengkajian
kebijakan publik hingga mendidik kader penulis.
Aktivitas lembaga-lembaga ini tak pernah lepas dari
kajian keislaman yang bagaimanapun juga memerlukan disiplin
tertentu, sehingga terkesan agak tertutup. Pemikiran yang
dikembangkan juga relatif khas Ikhwanul Muslimin. Jadi kalau
ada orang menyangka bahwa PKS sekarang lebih moderat, sudah
berakomodasi dengan isu-isu demokrasi, HAM, kesetaraan
gender dan tak lagi eksklusif, maka itu bisa ada dua
kemungkinan: pertama yang bersangkutan dari awal tidak
memahami cara berpikir PKS yang memegang prinsip
maslahatiyah (dalam bahasa Qardhawi disebut Fiqh Muazzanat
dan Fiqh Awlawiyat); atau boleh jadi yang dilakukan PKS
memang sebuah manuver politik agar lebih cepat meraih
kekuasaan dengan metode demokratis, sebelum akhirnya
menerapkan syariat Islam - dalam versi pemahaman mereka. Hal
inilah yang terkadang agak dikhawatirkan oleh tipe pemilih
non ideologis, bahwa PKS punya "hidden agenda". Lebih parah
lagi adalah dugaan hidden agenda ini adalah penerapan
syariat ala Taliban.
Fakta di lapangan, sebagian kader PKS sering lebih keras,
diskriminatif dan intoleran terhadap kader harakah lain yang
berpendapat beda - walaupun dulu sama-sama digolongkan
fundamentalis. Sikap ini bisa berupa pencekalan khatib non
kader ketika kader PKS menjadi pengurus masjid, mendadak
membuat acara tandingan ketika harakah lain mengadakan
kegiatan publik, hingga ke intimidasi fisik. Kita yakin
bahwa ini pasti bukan kebijakan resmi pimpinan PKS, namun
ulah oknum-oknum di level bawah yang belum bisa bersikap
dewasa. Namun hal ini sekaligus indikator bahwa PKS belum
sesolid yang diharapkan. Karena itu PKS masih perlu terus
membuktikan bahwa pengalaman buruk ini tidak akan terjadi
lagi, karena dia terus memperbaiki diri, hingga memang
pantas disebut partai yang inklusif, lebih karena dia
sekarang makin besar dan kuat.
Slogan PKS "demokratis - reformis - islamis" semula
dipakai untuk mengatasi islamo fobia, sehingga PKS kini
dilirik bahkan oleh kaum "abangan". Pemilih PKS memang
melonjak, namun sebenarnya agak dengan mengorbankan mutu
islamisnya. Di lapangan selama kampanye, PKS memang jadi
lebih "terbuka", bahkan sebagian muslimah peserta kampanye
tak lagi berjilbab, yang selama ini menjadi ciri kader PKS.
Ini artinya, dakwah PKS selama ini belum menghasilkan
"santri" baru dalam jumlah yang signifikan, dalam arti
mengubah yang tadinya islamofobi ke non-islamo-fobi. Dakwah
yang belum benar-benar merubah opini publik ini yang membuat
PKS belum berani terang-terangan mengkampanyekan syariat
Islam, sekalipun ala Piagam Madinah --bukan Piagam Jakarta.
Faktor External
Analisis ini tak akan cukup tanpa memperhatikan faktor
eksternal. Ariel Cohen dalam dokumen "An Emerging Threat to
U.S. Interests in Central Asia" (May 30, 2003)
merekomendasikan kepada pemerintah AS bahwa untuk menghadapi
Islam fundamentalis diperlukan politik belah bambu, di mana
suatu kelompok yang relatif lebih moderat diorbitkan,
sementara kelompok lain dicitrakan radikal, intoleran dan
teroris. Kelompok yang moderat itulah yang nantinya "diberi
mandat" untuk menyelesaikan kelompok lain yang radikal.
Penulis mendoakan, agar PKS jangan terpancing oleh agenda
ini. Jangan sampai PKS diangkat dulu, agar ikut mensukseskan
"agenda-agenda demokrasi global" (baca: AS). Karena meraih
kursi cukup besar di Parlemen, PKS dicitrakan
merepresentasikan Islam, sedang Islam yang "di jalanan"
(yang extra Parlemen) akan dianggap sampah yang menghalangi
perjuangan, sehingga harus dibersihkan. Kalau PKS terjebak
pada permainan ini, nantinya PKS akan lebih sibuk mengurusi
harakah-harakah lain, daripada sibuk menangkal sekulerisme,
korupsi atau penjajahan, seperti yang dicita-citakan para
ideolognya, al-Bana atau al-Qardhawi.
Karena itu PKS memang harus waspada, lebih sering
introspeksi, agar tidak mudah diperalat, baik dari dalam
(oportunis, yang dulu juga menunggangi Golkar/PDIP), dan
dari luar (AS).
Karena itu dengan seluruh kelompok Islam dan
harakah-harakah Islam, PKS harus makin erat menjalin
ukhuwah. Kalaupun ada perbedaan pemikiran, maka itu
seharusnya diselesaikan dengan kekuatan logika, bukan logika
kekuatan (sekalipun PKS sekarang lebih kuat). Dengan cara
ini justru wacana keislaman akan semakin publik dan Islam
semakin hangat dibicarakan (secara positif) di
masyarakat.
|