| |
|
KETIKA kemajuan sebuah kebudayaan dituntut agar setia dengan karakter primordialnya, maka tema tentang "hermeneutika otentisitas" bergaung keras di situ. Sebuah problem tentang cara memahami tradisi dan kemampuan direktifnya bagi kehidupan masa kini. Bagaimanakah menghadapi perubahan zaman berdasar konsepsi diri yang otentik, yang setia pada warisan tradisi? Bagaimana pula warisan tradisi harus diaktualisasi sebagai orientasi nilai bagi masa kini? Persoalannya adalah (orang semacam M Arkoun paham betul hal ini) bahwa tradisi bukanlah sehimpun norma yang dapat dengan gampang ditunjuk. Ibarat rambu, tradisi adalah tanda yang acuannya tidak tentu, remang dan kabur. Makna dari tanda itu tergantung pada siapa yang menafsirkannya. Dan itulah soalnya: penafsiran. Maka, ketika ada banyak tafsir tentang tradisi, ada beragam versi tentang otentisitas Islam, manakah di antaranya yang paling benar? Apakah suatu tafsir dapat menjadi lebih unggul dibanding yang lainnya, dan apa kriterianya? Ataukah tradisi harus tetap terbuka dan biarlah muncul pluralitas tafsir tentangnya? Lalu, bila demikian, mana tafsir yang otentik dan mana yang tidak? Sayangnya, setiap tafsir memiliki kecenderungan yang sama untuk menjadi otoriter dan intoleran. Penafsiran ternyata bukan cuma soal pemahaman dan rumusan; tetapi juga seleksi dan penyisihan. Dalam kata-kata Michel Foucault, penafsiran adalah proses yang mesti dijelaskan "melalui apa, atau siapa, yang ia kecualikan atau tidak dibenarkan masuk". Dalam proses tersebut, sejumlah kemungkinan makna segera disingkirkan. Dan satu pengertian tertentu, yang menguntungkan, ditahbiskan sebagai kebenaran. Kwok Pui Lan, sebagaimana dikutip SJ Samartha (1994), menyebutnya sebagai "politik kebenaran". Sebuah hujah bahwa tentang tafsir landasannya tidak pernah terbatas pada level epistemologis semata, namun lebih pada konteks relasi-relasi kuasa yang ada dan beroperasi dalam masyarakat. Jadi jelasnya, ihwal penafsiran ini cenderung merupakan soal "siapa yang berkuasa menafsirkan" ketimbang soal "kebenaran penafsiran" itu sendiri. Jika demikian, apakah damba akan keotentikan dan hasrat untuk realisasi diri, ini menjadi sesuatu yang sia-sia? Cuma soal pemaksaan kehendak pihak yang lebih kuat? Apakah setiap pencarian otentisitas akan selalu berarti "politik identitas" yang berakhir pada pertentangan secara antagonistik? Ataukah ada sebuah hermeneutika tentang otentisitas yang membawa semua keragaman tafsir ini pada wilayah dialog dengan melalui pengkajian yang bersifat kritis dan reflektif? BUKU Robert D Lee ini menarik karena berhasil menempatkan problem otentisitas di kalangan umat Islam sebagai problem yang bersifat universal dan plural; tidak khas Islam dan tidak pula tunggal dan linear. Dengan begitu, pengalaman Islam dapat ditempatkan sebagai bagian dari diskusi yang lebih luas tentang problem sejenis yang di Barat sendiri sudah dibicarakan semenjak dua abad lalu. Hal ini sekaligus dapat meloloskan Lee dari stereotip konvensional Barat tentang Islam yang biasa memahami fenomena itu sebagai fenomena tunggal dalam kategori-kategori semacam tradisionalisme, fundamentalisme, bahkan reaksionisme. Dalam bukunya Lee mengulas empat pemikir Muslim yang dianggapnya paling menonjol menyuarakan tema otentisitas ini, yaitu M Iqbal, Ali Syariati, Sayyid Qutb, dan M Arkoun. Keempat pemikir ini menurut Lee telah berupaya menegakkan kembali landasan-landasan religius untuk membangun kehidupan yang bermakna, efektif dan modern, serta mengonstruksi masyarakat. Kendati begitu, keempatnya mendapati bahwa tak satu pun model Islam yang dominan saat ini, entah Sunni atau Syiah, mampu memenuhi tugas ini. Mereka semua mengkritik pemikiran arus utama itu karena kekolotan, fragmentasi, dan ketakacuhannya terhadap persoalan kehidupan modern. Bagi Iqbal, otentisitas harus berpangkal pada kesadaran individu sebagai kesadaran yang unik. Keotentikan mengimplikasikan bahwa pencarian kebenaran harus dimulai dari pengalaman manusia dalam keunikannya yang tak berhingga. Penekanan pada keunikan ini justru dapat mengantarkan pada sumber semua individualitas, yakni Tuhan. Kedua "iman" ini bagi Iqbal tidaklah bertentangan tetapi justru saling memperkuat: kebenaran Islam lahir dari kesesuaiannya dengan intuisi potensi diri untuk mengada secara otentik. Dengan kata lain, Islam merupakan jalan yang dengannya seseorang dapat menemukan keunikan dan universalitasnya. Dengan menemukan esensi "diri", seseorang menemukan wujud yang ia miliki bersama dengan Tuhan dan semua makhluk lainnya. Sama dengan Iqbal, Qutb juga berpandangan bahwa penyelesaian problem otentisitas membutuhkan transformasi diri dan masyarakat. Bedanya, Iqbal berkonsentrasi pada bagian pertama permasalahan itu: pemulihan eksistensi diri dari bahaya kepasifan, stagnasi, ritualisme dan dominasi asing. Qutb, sebaliknya, atau kelanjutannya, menggarap masalah transisi dari pemulihan individu menjadi dominasi masyarakat. Dia berusaha mendorong kelompok untuk melakukan tindakan dan menjabarkan alasan rasional bagi kelompok untuk melakukan revolusi melawan masyarakat yang telah ada. Dengan demikian bagi Qutb titik tolaknya bukanlah keunikan diri atau ego tetapi "fitrah" manusia; keumuman kodrat dan bukan individuasi. Setiap orang cuma perlu kepekaan terhadap totalitas alam, bukannya pemahaman terhadap ego, untuk merasakan insting religius. Melalui fitrah yang seragam inilah manusia akan memberikan tanggapan yang serupa dengan menyerahkan kemampuannya untuk mengikuti kehendak Allah. Sementara itu, posisi Syariati dalam memandang problem otentisitas penuh dengan ambiguitas dan kontradiksi --sesuatu yang bukan mencerminkan kekurangannya sebagai pribadi melainkan tingginya tingkat kesulitan upaya yang digelutinya. Sama dengan semua penganjur keotentikan, Syariati memandang pentingnya penelusuran terhadap akar-akar budaya sendiri sebagai dasar bagi pemahaman diri dan landasan bagi aksi massa. Untuk itu Syariati melakukan telaah terhadap figur-figur sejarah Syiah dan peristiwa-peristiwa keagamaan seperti haji sehingga orang-orang Iran bisa memiliki model yang lebih detail, lebih bernuansa bagi perilaku "otentik". Metode Syariati adalah induktif tetapi hasilnya adalah pemikiran yang sangat abstrak dan umum tentang ihwal kondisi manusia. Namun, di atas semua ini, Syariati mesti dipandang sebagai seorang internasionalis, seseorang yang karya-karyanya merupakan ajakan bagi penemuan kembali pertalian manusia melalui penjelajahan atas akar-akar kebudayaan yang berbeda. Meskipun penekanannya adalah tradisi Islam, khususnya warisan budaya Syiah, namun tujuan dan sasaran Syariati tetaplah pembebasan, bukan saja bagi Syiah atau Muslim pada umumnya saja, namun bagi umat manusia dari semua jenis, kebudayaan dan keimanan. Dimensi "universal" ini semakin menonjol dalam model otentisitas yang ditawarkan Arkoun. Ketimbang mencari landasan otentisitas ini pada penggalan-penggalan historis Islam secara semena demi sebuah kenyamanan ideologis, Arkoun mengajak untuk kembali pada apa yang disebutnya "fakta Quran". Dari sini Arkoun menunjukkan pada kerangka pemahaman yang lebih umum, yaitu kesamaan instingtif religius bukan saja di antara masyarakat-masyarakat Muslim namun dalam masyarakat-masyarakat Ahli Kitab secara keseluruhan. Jadi, Arkoun memandang wahyu sebagai hal yang fundamental, tetapi ia memaksa kita untuk tidak menelaah tradisi Islam secara ekslusif melainkan dalam konteks wahyu yang diterima Ahli Kitab dan dalam konteks fenomena wahyu pada umumnya. MELALUI uraiannya atas konsep otentisitas menurut keempat pemikir Muslim tersebut, Robert D Lee berhasil menunjukkan geliat kaum Muslim dalam ikhtiarnya untuk tetap otentik dan pada saat yang sama menjadi modern. Lee juga berhasil menyusun tema-tema yang dibicarakan dalam konsep otentisitas itu secara rinci dan mengonstruksikannya sebagai sebuah dialog tentang problem kemanusiaan uniersal, bukan saja di antara umat Islam sendiri tetapi juga seluruh umat manusia. Kendati begitu, ada beberapa persoalan yang dibiarkan tetap terbuka oleh Lee, misalnya, soal dilema esensialisme dan kecenderungan untuk menjadi landasan universal yang membayangi keempat konsep keotentikan tersebut. Padahal, klaim otentisitas menuntut keunikan ketimbang universalitas, kekonkretan daripada abstraksi, dan keragaman ketimbang kesatuan. Menurut Lee, pencarian keotentikan akhirnya terjebak pada paradoks pengesahan dimensi-dimensi yang bertentangan dengan tuntutan otentisitas itu sendiri. Dilema otentisitas adalah bagaimana bisa menjadi diri sendiri tanpa harus menolak pluralitas dan mengesampingkan "unsur lain". Apakah ini berarti bahwa otentisitas harus berakhir pada relativisme karena setiap orang adalah "anak haram sejarah", seperti kata Salman Rushdie. Apakah otentisitas harus menyediakan keragaman tanpa batas; sebuah (dalam kata-kata Rushdi lagi) "perayaan pemblasteran dan mempertakuti kemutlakan Kemurnian". Setiap pencarian otentisitas rupanya selalu dibuntuti oleh dilema-dilema yang terus menggayut.
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |