|
Pendahuluan
Tanpa terasa Ramadhan yang kita sambut dengan riang kini
bergegas meninggalkan kita. Rasanya sedih, tamu yang agung
dan penuh berkah itu, yang telah dengan sepenuh hati
memenuhi hajat-hajat keperluan mendasar kita, kini akan
meninggalkan kita. Padahal, sesuai tradisi lama, justeru
tamulah yang seharusnya mendapatkan pelayanan. Tamulah yang
seharusnya dilayani sesempurna mungkin, sehingga kita bisa
dicap sebagai seorang Muslim yang "mukrimun lidhaefih"
(memuliakan tamunya). Sayang, justeru perbekalan yang di
bawa oleh tamu untuk kita jauh lebih besar ketimbang usaha
kita sendiri untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya.
Maka di penghujung Ramadhan ini, seharusnya semua kita
gembira, namun juga seharusnya lebih banyak merenungi diri
akan kegagalan-kegagalan kita dalam memenuhi hak-hak tamu
kita kita. Sehingga sangat wajar kalau Rasulullah SAW
mengajak para sahabatnya untuk berdoa sepanjang tahun ke
depan, agar puasa mereka tahun ini kiranya diterima oleh
Allah Yang Maha Rahman. Adakah perasaan "khawatir" ini ada
dalam diri kita? Atau justeru dengan berlalunya Ramadhan,
seolah kita telah mendapatkan "garansi" kalau kita pasti
akan masuk ke dalam syurga firdaus. Akibatnya, seolah puasa
selama sebulan itu telah menjadi "penutup" dari seluruh
ibadah dan segala dosa-dosa mendatang. Maka sering kita
lihat, di saat Ramadhan masjid-masjid masih melimpah ruah
jama'ahnya, shalat sunnah malam terjaga, demikian pula
bacaan al Qur'an, dst. Tapi setelah Ramadhan terlewatkan,
seolah semua selesai. Maka jangankan yang sunnah-sunnah,
yang wajib sekalipun terkadang cenderung terabaikan.
Untuk itu, sikap yang betul adalah menempatkan diri di
antara "al khauf war Rajaa" (khawatir dan harapan). Kita
khawatir akan kekukarangan-kekukarangan yang ada, namun
kiranya kita patut juga bergembira, walau dengan berbagai
ketidak sempurnaan, kiranya kita juga telah selesai
menunaikannya sesuai daya dan kemampuan yang ada. Untuk
itulah, pada akhirnya kita memang patut berhari raya, untuk
menandai rasa syukur dan kegembiraan kita dengan
sebanyak-banyaknya membesarkan Asma Ilahi. Allah berfirman:
"Dan sempurnakan bilangan puasa, dan hendaklah kamu
membesarkan Asma Allah atas petunjuk yang diberikannya
kepadamu, dan semoga kamu dapat bersyukur kepadaNya" (Al
Baqarah: 185).
Ada banyak tentunya yang harus kita syukuri, termasuk
puasa, tarawih, sadaqah, bacaan Qur'an, dan berbagai ibadah
lainnya, tentu dengan segala kesadaran akan
kekurangan-kekurangannya. Semua kesyukuran ini seharusnya
terkait dengan nilai ibadah yang telah dilakukan. Sayang,
terkadang kegembiraan kita terkait oleh kegerlapan duniawi
yang dipersiapkan sedemikian rupa untuk menyambut Idul
Fitri. Sehingga kegembiaraan kita tidak menggambarkan rasa
syukur "ta'abbudi", melainkan kegembiraan duniawi yang lebih
didominasi oleh kemubadziran atau sikap berlebih-lebihan.
Silaturrahim atau saling mengunjungi terkadang disulap
menjadi ajang pamer makanan, pakaian atau peralatan rumah
tangga lainnya. Akibatnya, dengan berlalunya Ramadhan,
berlalu pula pesan-pesan moral puasa, untuk hidup sederhana
serta semakin sensitive dengan penderitaan sesama di sekitar
kita.
Merayakan Laitul Qadar
Dari sekian banyak hal yang patut kita rayakan di akhir
Ramadhan ini, saya yakin salah satu yang terpenting adalah
merayakan sebuah malam yang telah dilalui. Sebuah malam yang
ternyata lebih bermutu ketimbang seribu bulan di masa-masa
mendatang dalam hidup kita. Malam (Laelatul) Qadar adalah
sebuah malam yang dinanti-nantikan oleh setiap insan Muslim,
dan disambut kedatangannya dengan berbagai bentuk
pengabdian, baik berupa qayamullael (shalat tahajjud),
qiraah al qur'an (bacaan al qur'an) atau bermacam bentuk
ibadah lainnya. Bahkan tidak jarang sebuah masjid melakukan
berbagai kegiatan ibadah semalam suntuk.
Apakah "Malam Qadar" itu? Dan kenapa demikian
penting di mata insan-insan Muslim? Jawabannya tentu
ditemukan pada S. Al Qadar:
"Sungguh Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada
Malam Al Qadr. Tahukah anda apa Malam Al Qadr itu? Malam
Al Qadr itu lebih baik dari seribu bulan".
Pada ayat pertama Allah menegaskan bahwa di malam yang
disebut "Laelatul Qadr" itulah diturunkan Al Qur'an. Lalu
untuk menarik perhatian pembaca surah ini, Allah mengajukan
sebuah pertanyaan: "Dan tahukah engkau apa yang disebut
Malam al Qadr?", yang kemudian dijawabnya sendiri: "Malam al
Qadr itu lebih baik dari seribu bulan".
Kalau seandainya ada yang kemudian mempertanyakan, kenapa
"Laelatul Qadr" itu lebih baik dari seribu bulan? Apa dasar
dan alasannya? Apakah ada kwalitas yang dimiliki secara
khusus tanpa malam yang lain? Apakah "khaeriyah/imtiyaz"
(kebaikan/keistimewaan) malam itu karena malam (sebuah
potongan masa) sendiri? Apakah karena Muslimnya yang sedang
beribadah malam itu? Atau sebenarnya karena apa?
Beragam respon yang diberikan oleh kaum Muslimin.
Sebagian besar, diantaranya, menilai bahwa "keistimewaan"
malam itu adalah karena malamnya tersebut. Sehingga malam
itu dijadikan (seolah) malam yang disucikan secara khusus,
yang memiliki tanda-tanda lahir misalnya malamnya sejuk
dengan terpahan angin lembut, langit di malam itu hampir
tidak berawan dengan bulan yang terang benderang. Demikian
juga di pagi harinya, tiba-tiba saja mentari terang
benderang hampir tak terhalangi oleh sedikit awan pun.
Sebagian lain menilai, keistimewaan malam itu dikarenakan
bahwa beribadah pada malamnya akan menghasilkan pahala
senilai lebih dari beribadah selama seribu bulan pada
malam-malam yang lain. Untuk itu, sebagian umat yang
menafsirkan demikian, beribadah dengan sebanyak-banyaknya
dan sekaligus cenderung mengkalkulasi secara matematis
"nilai" pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT. Dengan kata
lain, sebagian umat ini cenderung bersikap materialistis
dalam menyikapi malam al Qadr ini. Akibatnya, dengan merasa
telah mendapatkan "Laelatul Qadr", cukuplah kiranya ibadah
perbekalan untuk menuju akhirah. Toh, kalau dihitung-hitung
ke depan tidak mungkin lagi hidup seribu bulan untuk
menyamai satu malam tersebut. Maka selepas Ramadhan, rasa
ringan untuk meninggalkan kewajiban bukanlah masalah, karena
semua itu telah tertutupi oleh ibadah semalam (laelatul
Qadr) itu.
Saya melihatnya, bukanlah masalah jika memang cenderung
dinilai demikian. Bukankah disunnahkannya "I'tikaf" di
sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan juga memang terkait
dengan upaya mengoptimalkan ibadah pada malam-malam yang
dianggap "kemungkinan besar" jatuhnya "Malam Besar" itu.
Seorang Muslim termotivasi untuk melakukan ibadah
sebanyak-banyaknya merupakan hidayah tersendiri. Sebab
memang aneh, jika di awal-awal ramadhan masjid pada ramai
tapi di penghujung Ramadhan justeru yang datang hanya
segelintir. Padahal, sebaik-baik nilai amalan itu adalah
"khawatimuha" (penutupnya). Beribadah secara maksimal di
akhir-akhir Ramadan bisa jadi merupakan indikasi "Husnul
Khaatimah" Ramadhan itu sendiri bagi seseorang.
Qadr (Kekuatan) Malam itu pada Kekuatan Al
Qur'an
Hanya saja, saya pribadi cukup menyayangkan kalau
kehebatan malam itu hanya terbatas pada jumlah dan bentuk
ibadah-ibadah yang kita persembahkan. Apalagi kalau
penilaian kita dibatasi oleh malam, dalam arti sepotong masa
dari bulan ini sendiri. Saya sayangkan demikian karena
sesungguhnya Allah Maha Adil, tidak pernah membedakan antara
waktu-waktu yang ada, semuanya tergantung pemanfaatannya
saja. Untuk itu, maksimalisasi "Laelatul Qadr", menurut
saya, justeru tidak terletak pada jumlah dan bentuk
ibadah-ibadah yang kita lakukan. Maksimalisasi "Kekuatan
Malam" itu justeru terletak pada ayat pertama dari Surah Al
Qadr: "Sungguh Kami telah turunkan pada malam Al Qadr".
Sebenarnya, kalau dikembalikan pada urutan-urutan
pertanyaan tadi: "Dan tahukah kamu apa Laelatul Qadr itu?-
Laelatul Qadr lebih baik dari seribu bulan-". Lalu
pertanyaan yang timbul kemudian dari kita: "kenapa kiranya
malam itu lebih baik dari seribu bulan?". Jawaban yang tepat
adalah karena " Sungguh Kami menurunkan al Qur'an pada Malam
Al Qadr itu". Artinya, keistimewaan malam itu sangat erat
terkait dengan diturunkannya sebuah Kitab yang sangat
istimewa (Al Qur'an). Itulah sebabnya, Allah menyebutkan:
"Sungguh Kami turunkan (al Qur'an) pada malam yang
diberkahi" (Ad-Dukhaan: 3). Sekali lagi, Allah mengaitkan
"keberkahan" malam itu dengan diturunkannya Kitab yang
membawa berkah (al Qur'an).
Dengan demikian,
kehebatan/kekuatan/keunikan/keistimewaan/kelebihan Laelatul
Qadr tidak lain karena terkait dengan
kehebatan/kekuatan/keunikan/keistimewaan/kelebihan yang ada
pada "al munazzal" (yang diturunkan berupa al Qur'an) pada
malam itu. Sehingga saya sendiri sangat terkejut menyaksikan
beribu-ribu umat menyatakan menang dengan "Laelatul Qadr",
hanya karena shalat-shalat sunnah yang dilakukan, terlebih
lagi jika dirasakan sebagai penutup dari
kekurangan-kekuarangan di masa depan, sementara "hidayah
qur'ani" diabaikan dalam proses hidup selanjutnya. Saya
justeru menilai bahwa ibadah seseorang pada malam itu, tapi
dalam proses selanjutnya "substansi" (hidaya/al Qur'an)
diabaikan justeru seperti apa yang dikatakan Rasulullah:
"Refleksi akal semalam seorang alim itu lebih baik ibadah
yang dilakukan seorang 'aabid dalam seribu malam".
Dengan demikian, sesungguhnya kalaulah kita ingin untuk
meraih malam yang jauh lebih baik dari seribu malam itu,
sebaiknya selain diperbanyak amalan-amalan ibadah, juga
sangat penting untuk dipergunakan untuk "mentadabburi"
ayat-ayat Ilahi yang datang pada malam itu dan menjadikan
malam itu menjadi istimewa. Satu malam yang dipergunakan
untuk merefleksikan "hidayah" Allah, dihayati, dimengerti
dengan komitmen diamalkan, tentu jauh lebih baik dari
sekedar shalat-shalat sunnah yang terkadang bertujuan
menghitung-hitung pahala semata. Kehidupan semalam dengan
naungan "petunjuk" sebagai bekal dalam menggapai sisa-sisa
kehidupan ke depan, jauh lebih baik dari kehidupan seribu
bulan lagi atau sekitar 84 tahun, namun jauh dari
hidayah-Nya Allah SWT. Karena nilai hidup manusia bukan
pendek dan panjangnya, tapi ditentukan oleh nilai "kesadaran
kebesaran Ilahi (taqwa) yang dimiliki seseorang.
Sisi Qadr (kekuatan) Al Qur'an
Adalah memang sangat wajar kalau Al Qur'an dinilai
sebagai sebuah kekuatan besar. Al Qur'an sendiri dengan
tegas mengatakan: "Kalau seandainya Al Qur'an ini Kami
turunkan di atas sebuah gunung maka gunung itu akan guncang
karena takut kepada Allah" (Al Hasyar: 21). Al Qur'an adalah
kalam Ilahi yang "mu'jiz", yang memiliki kekuatan luar biasa
yang mengalahkan segala tandingan dari sudut dan aspek mana
saja. Saya sangat yakin, hanya akal-akal kerdil saja yang
masih meragukan akan kehebatan Al Qur'an, dan cenderung
untuk meletakkan Al Qur'an pada posisi yang sejajar dengan
akalnya yang terbatas.
Barangkali pada kesempatan ini, saya tidak sempat
membahas semua sisi kekuatan Al Qur'an. Saya rasanya malu
menjadi anak kampungan yang diajak jalan-jalan ke pinggir
pantai, dan serta merta menyatakan bahwa pantai itu tak
bernilai, kotor dan hanya penuh dengan kotoran. Sebab saya
hanya tukang cangkul kebun yang hanya bisa melihat pinggiran
laut yang maha luas itu. Kalaulah saya menjadi ahli laut,
bisa menyelam dan melihat "values" yang ada di kedalaman
laut itu, tentu saya tidak kampungan mengambil kesimpulan
seperti tadi.
Itulah Al Qur'an, sebuah lautan yang seandainya seluruh
laut dijadikan tinta untuk menggalinya, niscaya air laut ini
akan habis walau didatangkan sebanyak itu lagi, tak akan
selesai digali. Kedalaman dan keluasan ilmu yang terkandung
dalam Al Qur'an menjadikan kita semua hanya bisa
terkagum-kagum, justeru tidak semakin menyombongkan diri
menngingkari kehebatannya. Lebih celaka, karena pengingkaran
kita ditambah lagi dengan keangkuhan seolah "pemahaman" kita
jauh lebih hebat dari kandungan Al Qur'an itu sendiri.
Kesombongan insan tidak lagi sebatas menantang "penafsiran"
ulama lain, tapi telah berada pada batas menantang
"kehebatan" Kalam Ilahi itu sendiri. Suatu kesombongan yang
sangat luar biasa, bahkan suatu kenaifan yang sebenarnya
sangat menjijikkan, karena penantangan seperti itu hanya
semakin memperlihatkan "kejahilan" yang hebat dari
seseorang. "Walan taf'aluu" (dan kamu tak akan bisa
melakukan penantangan itu) tantang Al Qur'an. Itulah
sebabnya, semakin direndahkan Al Kitab ini, justeru semakin
menampakkan kemuliaaannya. Allah sendiri meyakinkan: "Wa Qul
Jaa al Haq wa zahaqa al baathilu, innal baathila kaana
zahuhuqa" (dan katakan: sungguh kebenaran telah tiba dan
kebatilan telah lenyap, dan sungguh (jika bertabrakan)
kebatilan itulah yang akan lenyap). Sesungguhnya inilah yang
menjadikan "ahli bathil" terkadang panik dalam menyampaikan
ide-idenya, karena dari hari ke hari ide-ide mereka semakin
tidak populer, walau itu didukung oleh berbagai fasilitas
yang lebih hebat dan canggih.
Kekuatan yang Membawa Perubahan
Kalau bisa saya istilahkan, al Qur'an sebenarnya adalah
"Quwwah Taghyyiriyah" atau kekuatan yang membawa perubahan
(changing power) dalam kehidupan manusia. Barangkali istilah
klasik yang kita kenal, kerubahan dari alam yang gelap
gulita ke alam yang terang benderang, perubahan dari
pengabdian kepada "thaguut" kepada pengabdian semata kepada
"Allah", Pencipta alam semesta. Sebuah kekuatan yang membawa
perubahan dari kehidupan yang "jahiliyah", kebodohan,
kesemprawutan, keterbelakangan, kemiskinan dan penderitaan,
kepada kehidupan yang "illuminated", intelektualitas,
kedisiplinan, kemajuan, kemakmuran dan kebahagiaan.
Mungkin pertanyaan klasik akan muncul. Kalaulah al Qur'an
itu adalah sebuah kekuatan perubahan, tapi kenapa kehidupan
umat ini jauh dari seperti yang diharapkan? Sebenarnya
terjawab dengan kenyataan hidup umat itu sendiri, betapa
umat ini jauh dari al Qur'an. Kenyataan hidup umat yang
menyedihkan saat ini bukan dikarenakan ajaran al Qur'an,
tapi sebaliknya dikarenakan umat ini telah jauh dari ajaran
Al Qur'an yang sebenarnya. Umat Islam dalam sejarah, tidak
pernah dan tak akan pernah menjadi jaya dengan mejauhkan
diri dari Kitab Sucinya. Yang terjadi adalah sebaliknya,
bahwa keterpurukan yang dialami oleh umat Islam tidak lain
disebabkan semakin menjauhnya mereka dari "petunjuk" Allah
SWT. Allah berfirman: "Dan jika datang kepadamu petunjuk
dariKu, maka barangsiapa yang mengikut petunjukKu, maka atas
mereka tiada takut dan sedih. Tapi mereka yang mandustakan
ayat-ayatKu, merekalah ahli "Neraka", mereka kekal di
dalamnya (Al Baqarah: 38-39)
Neraka (penderitaan) yang dialami oleh umat manusia saat
ini, termasuk neraka-neraka duniawi (adzaab al adnaa) adalah
akibat dari kelalaian mengikut kepada petunjuk Allah SWT.
Sebaliknya, mereka mengejar kejayaan dengan bertaqlid buta
kepada "petunjuk-petunjuk" lain (subul), ibarat mengejar
"fatamorgana", sebuah ilusi dalam kehidupan yang tiada
berkesudahan.
Ada tiga perubahan dasar yang dibawa oleh Al Qur'an:
1. Perubahan Hati dan Jiwa (Taghyiir al Quluub/
Nafsiyah)
Dalam Al Qur'an, seringkali Allah sebelum menyebutkan
kemuliaan ayat-ayat KalamNya, disebutkan perumpamaan berupa
"turunnya air hujan dari langit ke bumi dan tiba-tiba
menyuburkan tanah, dan dari tanah tumbuh tumbuh-tumbuhan dan
menghasilkan buah-buahan sebagai rezki bagi manusia" (lihat
Al Baqarah: 22 misalnya). Setelah itu, Allah menantang siapa
saja yang merasa bisa menciptakan petunjuk yang sehebat Al
Qur'an untuk mendatangkan satu pasal saja (surah) yang
seperti salah satu surahnya. (Al Baqarah: 23).
Pertanyaan yang kemudian timbul, kenapa Allah menyambung
kedua hal itu (hujan dan bumi di satu sisi dan ayat-ayat Al
Qur'an dan perilaku manusia di sisi lain)? Jawabannya adalah
Jika air hujan yang diturunkan ke bumi ini merupakan
penyubur tanah dan dari tanah subur yang subur inilah timbul
tumbuh-tumbuhan sehat yang membuahkan buah-buah yang segar.
Buah-buah segar inilah yang diperlukan oleh jasad manusia
untuk tetap sehat lestari memakmurkan bumi ini. Maka wahyu
al Qur'an adalah air hujan ruh, yang diturunkan untuk
menyuburkan jiwa manusia. Dari jiwa yang subur ini, tumbuh
pepohonan yang kokoh kuat, akar-akarnya menghunjam ke dalam
tanah, dahangnya mencakar langit dan menghasilkan buah-buah
setiap saat dengan izin Tuhannya (S. Ibrahim: 24).
Kenyataan ini yang kemudian dikuatkan oleh Rasulullah
SAW: "Sungguh pada diri setiap insan itu ada segumpal darah,
yang jika baik akan baik seluruh amalannya. Namun jika rusak
maka rusaklah seluruh amalannya. Itulah dia hati"
(hadits).
Kenyataan inilah yang menjadikan al Qur'an menjadi sebuah
kekuatan hebat yang secara khusus dirancang oleh "Sahibul
Kalaam" (Allah SWT) untuk merombak jiwa-jiwa yang yang
melenceng. Al Qur'an adalah obat apa yang ada di dada,
penyejuk jiwa, penentram kalbu. Generasi pertama dari umat
ini, adalah hasil bentukan qur'ani. Hati-hati mereka yang
tadinya keras (qaashiyah), menjadi lembut dengan gemblengan
al Qur'an. Hati yang tadinya liar menjadi jinak terhadap
"masalih insaniyah" (kemaslahatan manusia). Inilah yang
menjadikan "penaklukan" kota Makkah (Fath Makkah) tidak
menjatuhkan korban kecuali tiga orang dari kalangan Qurays.
Dalam sejarah kehidupan manusia, penaklukan mana yang tidak
menjatuhkan ratusan, ribuan bahkan jutaan manusia?
Sayang sekali, bahwa hati-hati yang menerima al Qur'an
jauh lebih keras dari sebuah bebatuan yang dijatuhi air
hujan. Allah memberikan perbandingan antara batu-batu yang
dijatuhi air hujan dan hati-hati yang keras yang tak mau
tunduk pada firman Allah:
"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras
seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara
batu-batu itu ada mengalir sungai-singai darinya dan
darinya pula ada yang terbelah lalu keluarlah air dan
dari padanya ada yang meluncur jatuh karena takut kepada
Allah. Dan sekali-kali Allah tiada lengah dari apa yang
kamu kerjakan" (Al Baqarah: 74).
Ayat di atas menjelaskan bahwa betapa batu-batu yang
keras masih dapat diharapkan memberikan manfaat berupa dari
selah-selahnya terpancar sungai-sungai atau batu itu sendiri
yang terpecah dan tiba-tiba keluar air darinya. Namun hati
yang keras, tiada harapan kecuali bahwa hati seperti ini
hanya akan bisa bermanfaat di hari Akhirat nanti karena
dijadikan bagian dari kayu bakar api Neraka (al Baqarah:
24). Dari kenyataan inilah, al Qur'an seringkali menantang
hati-hati yang keras ini. "Tidakkah sudah masanya bagi
orang-orang yang beriman untuk hatinya takut terhadap Allah
dan terhadap apa yang diturunkan dari kebenaran?" (Al Hadid:
16). "Apakah mereka tidak mentadabburi al Qur'an, ataukah
pada hati-hati mereka terdapat penghalang?" (An Nisaa:
82).
Dari kenyataan-kenyataan di atas jelas, bahwa jauhnya
buah-buah keimanan berupa amal-amal kebaikan dalam kehidupan
kaum Muslimin tak lain disebabkan oleh ketumpulan jiwa. Jiwa
tumpul nan gersang, hanya melahirkan buah-buah pahit yang
meracuni kehidupan. Untuk itu, perilaku moral, karakter dan
tindak tanduk umat ini yang semakin jauh dari nilai-nilai
kebenaran sesungguhnya adalah indikator langsung dari
kebekuan jiwa yang tidak tersinari oleh "nur hidayah" Ilahi.
Jika saja korupsi merajalela di kalangan pemimpin Muslim,
suap menyuap menjadi sesuatu yang lumrah, tipu menipu,
memakan riba, pelacuran merebab di mana disusul oleh aborsi
yang mengumum, pamakaian narkotika dan obat-obat terlarang
lainnya,..semua ini merupakan hasil dari hati-hati yang
rusak. Dan pada titik ini pulah al Qur'an sebagai sebuah
kekuatan datang untuk merubahnya. Merubah hati-hati yang
bergelimang dengan kegelapan menuju kepada hati-hati yang
dipenuhi cahaya Ilahi.
2. Perubahan Cara Pandang (Taghyiir 'aqliyah
tsaqafiyah)
Kekeliruan dalam melihat kehidupan ini menjadikan banyak
orang yang keliru dalam mengarungi kehidupan itu sendiri.
Berbagai penderitaan yang menimpa umat manusia, disadarinya
atau tidak, adalah akibat langsung dari kesalahan dalam
menjalani kehidupan yang merupakan buah langsung dari
persepsi yang salah terhadap kehidupan itu sendiri.
Ada tiga cara pandang manusia dalam melihat kehidupan
ini:
- Cara Pandang Materialistik
- Cara Pandang Spiritualistik
- Cara Pandang Islami
Cara pandang pertama adalah cara pandang yang menumpukan
segala sesuatu pada materi duniawi. Kesuksesan, kemajuan,
ketentraman, dan bahkan angan-angan kebahagiaan, semuanya
didasarkan pada pijakan materi. Seseorang dianggap sukses
jika telah mendapatkan keberuntungan materia duniawi yang
tak terbatas, tanpa melihat lagi apakah materi itu diperoleh
dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT atau tidak. Seorang
ayah atau ibu merasa berhasil mendidik anaknya, jika anak
tersebut berhasil meraih gelar pendidikan tertinggi dari
sebuah universitas yang terkenal, walau sang anak tak lagi
sadar atau faham akan agama yang dianutnya. Dalam sebuah
rumah tangga, yang diperhatikan adalah perabot rumah yang
mahal, mewah namun jauh dari ruh hidayah yang mendatangkan
rahmat Allah SWT. Demikian seterusnya, benda atau materi
duniawi menjadi ukuran dalam segala hal.
Ada tiga indikasi utama dari seseorang yang memiliki cara
pandang materialistik atau duniawi ini:
- Selalu lalai akan tibanya masa akhir hidupnya
Allah menegaskan: "Mereka tahu hal-hal lahiriyah dari
kehidupan dunia ini. Namun mereka lalai dari kehidupan
akhirat" (Ar Rum: 3). Allah juga menegaskan: "Yang
mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia menyangka
kalau hartanya itu akan mengekalkannya" (Al Lumazah). Bahkan
Allah secara gamblang mengingatkan, betapa banyak manusia
yang dilalaikan oleh perlombaan mencari harta yang lebih
banyak, hingga masa di mana mereka sadar di alam kuburnya
masing-masing (At Takaatsur). Fakta inilah yang menjadikan
dunia itu seringkali dinamai "Laahii" atau sesuatu yang
mejadikan orang lupa. Dalam S. Al Jumu'ah Allah menegaskan
hal ini.
- Terjadi kedzaliman-kedzaliman dalam hidupnya
Kedzaliman atau ketidak adilan yang terjadi dalam hidup
manusia, diakibatkan oleh persepsi materialistik yang
dimilikinya. Kedzaliman tertinggi tentunya adalah kedzaliman
yang dilakukan terhadap hak-hak Pencipta kita sendiri.
Kalaulah sesat kita berfikir, merefleksikan kebesaran dan
keagungan ni'mat yang Allah karuniakan, lalu kita bandingkan
apa-apa yang telah kita persembahkan untuk mendapatkan
ridhaNya, alangkah naifnya kita. Sehingga, wajar saja kalau
untuk masuk syurgaNya Allah di Hari Akhir nanti, hanya bisa
dengan karunia rahmat Allah dan bukan karena hasil
kerja-kerja yang kita lakukan. Sebab logikanya, kalaupun
kita telah berhasil melakukan secuil kebajikan, bukankah itu
juga karena "kerunia" hidayah dan daya yang Allah berikan?
Lalu di mana letak logikanya jika kita harus merasa "bisa"
melakukannya sendiri?
Kezaliman pada diri sendiri adalah akibat cara pandang
materialistik semata. Bahwa manusia menjadi manusia karena
dua sisi hidupnya yang tidak terpisahkan; materi dan ruh.
Tapi karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan materi (hajah
jasadiyah), kita mengabaikan hajat mendasar yang lain berupa
hajat ruhiyah (spiritual need). Akibatnya, manusia hidup
gersang, kering bathin, walau di tengah-tengah tumpukan
materi. Manusia mati secara spirit, walau sehat sehat secara
jasad. Maka terjadilah kuburan-kuburan yang berjalan.
Mungkin dunia saat ini adalah dunia yang paling merana
karena kezaliman manusia pada dirinya sendiri.
Kezaliman pada keluarga, khususnya anak-anak juga karena
akibat cara pandang materialistik ini. Betapa banyak orang
tua, atas nama masa depan anak, ternyata hakikatnya membawa
bencana besar bagi sang anak itu sendiri. Pendidikan anak
dalam dunianya memang sukses, mencapai tingkat Ph.D, menjadi
seorang lawyer yang terkenal, ahli ekonomi, politisi, dst.
Tapi sadarkah seorang tua, jika semua itu telah dicapai lalu
sang anak tidak sama sekali sadar akan agamanya lagi? Apalah
makna Ph.d atau sederetan gelar yang lain, jika ternyata
pada akhirnya sang anak hanya akan masuk ke dalam neraka?
Mereka ke neraka karena siapa? Kalau ternyata karena
kelalaian orang tua, walau atas nama masa depan anak, maka
orang tua seperti ini adalah orang tua yang zalim, yang di
Hari Akhirat nanti akan dimintai pertanggung jawaban oleh
Allah SWT.
Demikian pula kezaliman-kezaliman yang terjadi di antara
sesama makhluk Allah SWT. Kezaliman telah merajalela dalam
kehidupan manusia, akibat cara pandang yang materilisitk
ini. Zalim pada keluarga dalam hubungan silaturrahim, pada
guru (ahli ilmu), pada tetangga, pada sesama Muslim, sesama
manusia, dan bahkan kepada makhluk-makhluk yang lain.
Kezaliman kepada alam sekitar, termasuk lingkungan hidup
adalah akibat cara pandang materialisitk, termasuk
penebangan hutan secara liar misalnya. Akibatnya, kejahilan
ini kembali kepada umat manusia itu sendiri (lihat Ar Rum:
41).
- Terjadinya pengingkaran (kekufuran)
Logikanya, dunia ini tak akan pernah mendatangkan
kebahagian final. Manusia yang memburu kepuasan dengan dunai
semata, justeru akan semakin tidak puas. Barangkali gambaran
sederhana yang diberikan adalah "ibarat seorang haus yang
meminum air laut, semakin diminum akan semakin mendatangkan
rasa haus". Untuk itulah, justeru manusia yang memiliki cara
pandang duniawi ini, semakin memburunya justeru semakin
tidak puas, dan pada akhirnya tidak akan pernah merasakan
keni'matan Allah SWT. Akibatnya, mereka justeru cenderung
mengingkari kebesaran Allah atas mereka. Allah menegaskan
hal ini:
"Sesunggunya manusia itu sangat ingkar tidak
berterima kasih kepada Tuhannya. Dan sesungguhnya manusia
irtu menyaksikan (pengingkarannya). Dan sesungguhnya dia
sangat bakhil karena cintanya kepada harta" (al 'Aadiyat:
6-8).
Akibat ketidak mampuan mensyukuri, terjadilah
penyelewengan-penyelewengan pamakaian ni'mat Allah. Sebab
mensyukuri ni'mat berarti, salah satu indikasi terpenting,
adalah memakai harta itu di jalan yang diridhai oleh
Pemberinya (al Mu'thii). Sebaliknya, jika ternyata mereka
yang dianugerahi harta memakainya untuk kepentingan yang
justeru mendatangkan "murka" Allah, menandakan bahwa yang
bersagkutan tidak sama sekali bisa mampu bersyukur atas
karunia ni'mat yang didapatkannya.
Itulah tiga akibat besar yang ditimbulkan oleh cara
pandang manusia yang materialistik terhadap kehidupan dunia
ini. Al Qr'an datang sebagai kekuatan pengrubah, yang harus
mampu merubah cara pandang mereka yang mengimaninya. Untuk
itu, keimanan kepada Al Qur'an tidak mungkin bisa bersatu
dengan cara pandang materialisitk duniawi. Sebab cara
pandang seperti ini adalah sesuatu yang diantipati oleh
kandungannya.
Cara pandang kedua adalah yang menilai bahwa kehidupan
dunia ini hanyalah "ilusi" (bukan realita), dan bahkan
dinilai menjadi penghalang bagi seseorang dan Tuhannya.
Untuk itu, untuk memperoleh ridha Allah, seseorang harus
menghindarkan diri dari kehidupan ini dan mengkonsentrasikan
diri "semata" dalam kehidupan spiritualnya. Bagi seorang
Muslim yang berfikiran seperti ini, akan mengurung diri
sepanjang siang dan malam dirinya dalam rumah-rumah ibadah,
melakukan dzikir dan tasbih, serta bermunajat semoga
diberikan kebahagiaan dunia akhirat.
Cara pandang seperti ini juga adalah cara pandang yang
keliru dari sudut pandang Islam. Sebab dalam agama ini tidak
ada "rahbanisme" (celibacy). Rasulullah bahkan memarahi tiga
sahabat yang seolah tidak ingin lagi melibatkan diri dalam
kehidupan dunia ini. Umar memarahi seorang pemuda yang
berdoa sepanjang hari dalam masjid meminta rezki namun tidak
pergi ke pasar untuk mencari rezki yang telah dimintanya
itu. Bahkan pada saat perang Tabuk yang terjadi di musim
panas, seorang sahabat tetap melakukan ibadah puasa,
Rasulullah menegurnya dengan mengatakan "Laa khaera di
haadza" (tiada kebaikan dengan cara seperti ini).
Dengan fakta-fakta yang banyak dalam Al Qur'an, semuanya
menjelaskan secara gamblang bahwa kehidupan dunia adalah
bagian integral dari ajaran Islam, dan mengingkarinya adalah
juga mengingkari sebagain dari ajaran agama ini. Bahkan
jelas dalam agama ini, menjalani kehidupan dunia ini adalah
juga merupakan ibadah yang tidak kurang nilainya dari
ibadah-ibadah (ritual) sekalipun.
Cara pandang yang ketiga adalah kombinasi kedua cara
pandang di atas dan adalah merupakan cita-cita agung al
Qur'an. Itulah cara pandang Islami, yang mendatangkan
keridhaan Allah SWT. Dalam banyak ayat al Qur'an, Allah
mengingatkan: "Carilah kehidupan akhiratmu, tapi jangan lupa
pula kehidupan duniamu". Bahkan Allah menjelaskan: "Jika
shalat Jum'at dikumandangkan, maka berusaha keraslah untuk
datang kepada dzkrullah (shalat) dan tinggalkan seluruh hal
yang menyibukkan (business). Hal itu lebih baik bagimu jika
kamu tahu". Namun Allah meneruskan perintah ini dengan
firmanNya: "Dan jika shalat telah ditunaikan, maka
bertebaranlah di atas bumi dan carilah rezki Allah dan ingat
Allah sebanyaknya, semoga kamu beruntung" (Al Jumu'ah).
Cara pandang Islami adalah yang menilai kedua perintah di
atas sama-sama memiliki status hukum yang sama. Yaitu
kewajiban yang harus ditunaikan. Seorang Muslim wajib
memenuhi ajakan shalat, namun pada saat shalat telah
ditunaikan, dia merasakan kewajiban yang lain berupa
bertebaran di atas permukaan bumi mencari rezki Allah SWT.
Muslim tidak dikehendaki diskriminatif terhadap kedua
perintah ini. Hendaknya tidak dilihat bahwa perintah
menunaikan shalat adalah kewajiban yang nilainya 100%,
sementara mencari rezki hanya 50%. Tidak ada kewajiban 100%
sementara yang lain 50% atau kurang. Semua kwajiban adalah
100%. Untuk itu, membangun dunia ini, dalam rangka akhirah
kita adalah kewajiban yang juga nilainya 100%.
Al Qur'an sebagai sebuah kekuatan "mughayyir" (changing
power) harus merubah cara pandang kita terhadap "track" yang
benar ini. Umat kita telah lama terbelakang, hampir dalam
segala aspek kehidupan. Dan saya kira masanya kita memburu
keterbelakangan ini, tapi harus menjadi umat yang
materislistik. Kita maju dengan cara pandang dan orientsi
hidup kita sendiri. Kita tidak perlu mengharuskan diri
bercermin kepada "Timur atau Barat" dalam upaya mendapatkan
kemajuan kita. Karena sesungguhnya kemajuan umat ini
terletak dalam ajarannya sendiri. Dan inilah Al Qur'an,
kekuatan yang datang untuk membawa umat ini kepada kemajuan
yang hakiki.
3. Perubahan Peradaban (Taghyiir Hadhary)
Ajaran Al Qur'an adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan
tanpa dinaungi oleh sinar wahyu Ilahi adalah kehidupan hampa
tanpa makna. Untuk itu Allah memanggil umat ini untuk meraih
kembali kehidupannnya lewat ajaran al Qur'an:
"Wahai orang yang beriman, penuhilah ajakan
Allah dan rasulNya jika kamu diajak kepada kehidupanmu"
(Al Anfal:24)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa kehidupan yang dimaksud
di sini adalah Al Qur'an atau Al Islam itu sendiri. Artinya,
kehidupan yang membawa berkah, bermakna, maju, tidak
semrawut, berdisiplin, bercahaya, dan bahagia itu adalah
kehidupan yang mengikut kepada petunjuk Al Qur'an (al
Islam). Maka di saat kita berbicara tentang peradaban, kita
sebenarnya berbicara tentang kehidupan manusia itu sendiri.
Peradaban adalah kehidupan manusia secara menyeluruh, dalam
segala aspeknya. Dan Al Qur'an pun datang untuk memberikan
petunjuknya dalam upaya membangun peradaban yang bermutu
ini.
Dalam menyikapi peradaban ini, umat Islam terkadang hanya
bisa bangga dengan masa lalunya. Kita bangga dengan kajayaan
Islam hingga ke Eropa ketika itu, dan akhirnya kita hanya
mengakui "turats" yang sekarang jusetru dimiliki orang lain.
Sementara yang lain sibuk mendialogkan apa yang dinamakan
"dialog antar peradaban", namun peradaban tidak akan
tercipta dalam sebuah ruangan ber AC.
Manusia muslim menjadi manusia yang beradab, karena dalam
kehidupan individunya mempraktekkan moralitas. Keimanan
kepada Allah, tidak melanggar hak-hak sesama, menjaga
keharmonisan rumah tangga, dst. Tapi sayang, peradaban kita
masih terbatas kepada peradaban individuil, kalaupun ada,
dan belum menyentuh kehidupan manusia yang lebih luas.
Akibatnya, terkadang ketika peradaban kita rasakan
dipaksakan dalam kehidupan kita, seperti dunai senia (film,
dll.) kita hanya bisa reaktif, tapi belum mampu memberikan
pengganti atau alternatif.
Inilah barangkali yang harus dirubah oleh kekuatan
pengrubah (changing power), Al Qur'an. Al Qur'an sebagai
kekuatan harus diterima sebagai petunjuk sempurna, yang
mampu melakukan perumbakan total kehidupan manusia dalam
segala aspeknya. Al Qur'an memberikan alternatif sisitm
hidup yang syamil-kamil-mutakamil, yang diterapkan secara
logis dan praktis, serta menempuh jalur menusiawi yang
diterima secara konsensus. Artinya, kalaulah ajaran Islam
ini diterapkan secara benar, maka ia akan dilihat oleh umat
manusia sebagai ajaran penyelamat dari penderitaan panjang
yang telah diderita oleh manusia sejak berabad-abad. Sayang,
sekali lagi, umat ini sendiri yang ragu terhadap ajarannya,
dan kalaupun meyakininya mereka mempraktekkannya secara
keliru dan terkadang dikotori dengan kecenderung-kecenderung
hawa nafsunya sendiri. Maka terjadilah perjuangan atas nama
Islam, tapi sesungguhnya diperuntukan untuk
kepentingan-kepentingan sesaat.
Kedamaian Hingga Fajar
Menyambut Laelatul Qadr dengan pengertian seperti inilah
yang kemudian membawa kehiduoan "rabbany", yaitu suatu
kehidupan yang senantiasa menjaga nilai-nilai kesuciannya
bersama Ilahi. Kehidupan yang di dalamnya tidak merajalela
kemungkaran, dan bahkan terkadang menjadi bagian dari
kehidupan yang dianggap normal (kasus lokalisasi pelacuran
dan perjudian). Penggambaran kehidupan seperti ini yang
disebutkan dalam ayat: "Turunlah para malaikat pada malam
itu dan juga Ruh (jiblril) dengan izin Tuhanya dengan segala
urusan". Suatu kehidupan yang jauh dari cahaya Ilahi tidak
mungkin akan diasosiasikan dengan malaikat karena malaikat
adalah simbiol kesucian, makhluk yang tidak pernah
bersentuhan dengan dosa-dosa. Gambaran ini diperkuat dengan
ayat Allah: "Seandainya penduduk negeri itu beriman dan
bertakwa, sungguh Kami akan bukakan bagi mereka pintu-pintu
berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami), maka Kami adzab mereka atas upaya mereka
sendiri" (al A'raaf: 96).
Kehidupan yang penuh berkah inilah, yang di dalamnya
dipenuhi ketaatan, ketakwaan, kesadaran ilahiyah, kehidupan
Rabbany, akan membawa kedamaian sejati. "Salaam" (kedamaian,
ketentraman, kesejukan) hidup akan dirasakan oleh semua
pihak "hingga terbitnya fajar" di pagi hari. Fajar kematian,
menemui ajal dengan tenang pada tataran individu, dan
mengakhiri peradaban manusia dengan datangnya Kiamat pada
tataran kehidupan sosial. Dan ketenangan seseorang dalam
menghadapi maut, serta ketentraman peradaban hingga
datangnya Kiamat hanya bisa diraih dengan kesuksesan kita
meraih "Buah" Laelatul Qadr; Al Qur'an al Kariim.
Allahumma ar hamnaa bil Quraan, waj'alhu lanaa imaaman wa
nuuran wa hudaan warahma. Allkahumma 'allimnaa minhu maa
jahilna wadzakkirnaa minhu maa nasiina. War zuqnaa
tilaawatahu 'anaal lael wa athraafan nahaar. Waj'alhu lanaa
hujjatan ya Rabbal'aalamiin. Amin ya Rabbal 'aalamiin!!
*(catatan-catatan ceramah Laelatul Qadr
dan nuzul al Qur'an).
New York, 4 Desember 2002
|