Berhati-hati Dengan Pengkafiran
Deringan suara pedang demikian deras. Tiba-tiba seorang
sahabat menjatuhkan lawannya dari kubu kafir ke atas tanah
Tanpa sangka-sangka, tiba-tiba saja sang kafir berucap "Laa
ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah". Sang sahabat
berfikir, apa yang diucapkannya itu adalah kebohongan
semata. Maka pedangnya pun melebat menebas leher musuhnya
tadi. Ia pun meninggal dengan ucapan terakhir "Kalimah Laa
ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah".
Mendengar kejadian tersebut, Rasulullah SAW memanggil
sahabat yang mulia itu. Seorang sahabat yang dikenal
kekentalan iman dan loyalitasnya terhadap kebenaran dan
pembawanya (Rasulullah SAW). Begitu mendekat, beliau
menanyakan: "Apa gerangan yang menjadikan kamu membunuhnya?"
Dengan hati yang mantap dijawabnya: "Ia mengucapkan itu
karena ketakutan ya Raulullah". Namun Rasulullah kembali
menanyakan dengan suatu ungkapan yang tak perlu dijawab
karena sekaligus merupakan jawaban (Suaal istifhami): "Hal
syaqaqta min qalbih?" (Apakah anda telah membuka hatinya?).
Mendengar itu, sang sahabat agung terdiam seribu bahasa.
Serentak ia berkata kepada rekan-rekannya: "Rasanya saya
baru saja masuk Islam".
Kata kafir dalam bahasa Arab berasala dari
"kafara-yakfuru-kufran" yang berarti "menutupi". Peribadatan
yang dilakukan karena suatu pelanggaran dalam peribadatan
itu sendiri disebut kaffarat. Misalnya "Puasa kaffarah" dll.
Sementara itu, dalam bahasa Arab para petani, selain kata
"fallah" juga disebut dengan istilah "kuffar" sebagaimana
dalam S. Muhammad (Yu'jibuzzurra' al kuffar), karena mereka
dikenal menutupi benih tanaman yang diharapkan tumbuh dan
memberikan buah-buah segar bagi kelangsungan manusia. Dan
banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Dengan demikian, pengingkar kebenaran dinamakan kafir,
karena secara prinsip mereka menutupi kebenaran yang
seharusnya tumbuh subur dan memberikan buah-buah segar dalam
kehiduapn manusia. Benih kebenaran ini dikebal dengan
istilah "Syajarah Thayyibah" dalam S. Ibrahim. "Wa matsalu
kalimatin thayyibatin ka syajaratin thayyibatin ashluha
tsaabitun wa far'uha fissama tu'ti ukulaha kulla hiinin
biidzni Rabbiha". (Perumpamaan kalimah thayyibah seperti
pohon yang bagus. Akarnya menghunjam ke dalam tanah dan
cabang-cabangnya mencakar langit. Memberikan buahnya setiap
saat dengan izin Tuhannya".
Dengan demikian, keimanan atau fitrah manusia seharusnya
tumbuh subur, yang setiap saat buahnya dirasakan oleh
manusia. Buah keimanan ini akan dirasakan oleh semua pihak,
tidak mengenal batas dan lintas golongan maupun teritorial
dalam hubungan internasional "Laa syarqiyah wa laa
gharbiyyah" (tidak hanya timur, dan hanya pula barat). Semua
kalangan, tan discriminasi kulit, suku, bangsa, dan bahkan
agama sekalipun. Konsep ini tentunya membawa pula kita
kepada konsep-konsep manusia yang lain, apakah sosialisme,
kapitalisme, dst.
Hanya saja, bahwa dalam kenyataannya banyak manusia yang
menutupi keberadaan benih-benih kebenaran tersebut. Mereka
ingkar, mereka mendustai, mereka mengaburkan, serta
melakukan berbagai upaya sehingga kebenaran tersebut tidak
nampak ke permukaan bumi ini. Manusia yang melakukan inilah
disebut sebagai manusia yang kafir atau penimbung kebenaran.
Dengan kata lain, kaum kafir sesungguhnya bukan tidak
memiliki kebenaran dalam dirinya, karena kebenaran atau
fitrah dalam diri setiap insan itu abadi sifatnya
"Fitratallah al ladzi fatarannasa 'alaeha, laa tabdiila
likhalqillah" (Itulah fitrah, yang di aatasnya diciptakan
setiap insan. Fitrah itu tidak mungkin terubah) (Rum:30).
Yang terjadi kemudian adalah "kufrun" atau upaya-upaya untuk
menutupi kebenaran Ilahi agar tidak tampil ke atas permukaan
bumi.
Macam-macam Kekafiran
Merujuk ke berbagai ayat maupun hadits, disimpulkan bahwa
kekafiran terbagi kepada dua bagian, yaitu kufrun I'tiqaadi
dan kufrun 'amali.
Pertama, "kurfrun I'tikaadi" adalah penyembunyian
atau pengingkaran dalam hal keimanan (akidah) terhadapa
kebenaran yang datang dari Allah. Inilah yang diungkapkan
misalnya oleh Allah di S. Albaqarah: "Sesungguhnya
orang-orang yang kafir adalah sama bagi mereka, apakah kamu
memberikan petunjuk kepada mereka atau tidak, mereka tidak
akan beriman" (Al Baqarah:6). Mereka memang secara imani
atau I'tikadi menyembunyikan apa yang sesungguhnya sesuai
dengan fitrah atau nurani (mungkin diistilahkan hati
kecil)nya itu sendiri.
Pengingkaran tersebut dapat dirasakan oleh mereka
sendiri, atau memang tidak dirasakan sebagai suatu
pengingkaran. Para pembesar qurays ketika itu sadar dan
bahkan dalam hati kecilnya insaf (mengakui kebenaran) yang
dibawa Muhammad SAW. Namun karena "gengsi" yang disebabkan
oleh "kesombongan" mereka terpaksan mengatakan "tidak".
Sebaliknya, Fir'aun betul-betul tidak menyadari lagi
"nurani"nya saat itu. Ini disebabkan karena "fitrah" yang
bersemayam dalam hatinya itu telah terkungkung oleh jiwa
keangkuhan yang berlebihan. Sehingga ketika Musa dan harun
datang kepadanya, mengajaknya kepada penyembahan Ilahi, ia
berkata: "Wa maa rabbukuma ya muusa wa haaruun" (Siapa sih
Tuhanmu wahai Musa dan harun?"
Namun ketidak sadaran Fir'aun itu menjadi alam kesadaran
pada saat jiwa kesombongannya mencair oleh situasi alam
sekitarnya. Pada saat ia tenggelam di laut merah, tak
seorang pun yang mampu menolongnya, termasuk dirinya sendiri
walau mengaku tuhan, ia pun menjerit dan berucap: "Al aana
amantu birabbil 'alamiin, Rabbi Musa wa harun" (Sekarang
saya beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhannya Musa dan
harun". Ia mengakui Allah, walaupun masih dengan ungkapan
kesombongan, seolah Allah hanya Tuhannya Musa dan Harun
saja.
Kelompok lain dari kategori kufur pertama ini adalah
mereka yang hipokrit (munafik). Mereka, kendati
memperlihatkan amalan-amalan imani dan islami, namun secara
imani atau I'tikadi menolak kebenaran tersebut. Kelompok
manusia seperti ini, jika ditinjau dari sudut pandang
strategi perjuangan justeru lebih berbahaya. Oleh sebab itu,
wajar saja jika S. Albaqarah yang turun dalam konteks
perjuangan Rasulullah SAW menegakkan "Islamic Society"
secara panjang lebar menceritakan kriteri mereka ini.
Kedua, "kufrun 'amali" adalah menyembunyikan
kebenaran dalam perbuatan, tapi secara imani menerimanya
sebagai kebenaran. Oleh para ulama, disimpulkan bahwa siapa
saja yang pernah mengucapkan "kalimah Thayyibah" (Laa ilaaha
Illallah-Muhammadan rasulullah) dengan ikhlas,
sungguh-sungguh dalam pengucapannya, lalu kemudian
terjerumus dalam perilaku yang bertentangan dengan ucapannya
itu, maka ia masuk dalam kategori "Kufrun 'amali". Namun
dengan satu catatan bahwa keterjerumusannya dalam suatu
tindakan yang bertentangan dengan islam tidaklah menyentuh
daerah keyakinannya.
Sebagai misal, di dalam ayat disebutkan bahwa: "Waman
yaqtul Mu'minan muta'ammidan, fajazaauhu jahannam
khaalidanÉdst" (An Nisa: 93) Artinya: "Barangsiapa yang
membunuh mu'min dengan sengaja maka balasannya adalah
jahannam, kekal di dalamnya dstÉ".
Konteks ayat di atas adalah pembicaraan mengenai
hukum-hukum hubungan antar Muslim. Dengan demikian, yang
dimaksud pembunuh pada ayat itu adalah Muslim. Masalahnya
adalah apakah makna dari kekal dalam jahannam? Bukankah
dalam haditsnya, Rasulullah SAW pernah mensabdakan: "Man
Qaala Laa ilaah illaLLah Mukhlisan min qalbih dakhalal
Jannah" (Siapa yang mengucapkan Laa ilaah illallah ikhlas
dari hatinya, akan masuk ke dalam Syurga). Lalu bagaimana
seorang yang membunuh sesama Muslim tapi pernah
mengucapkannya dengan ikhlas? Apakah arti mengucapkan Laa
ilaah illallah dengan ikhlas menytransfer manusia menjadi
malaikat sehingga tidak lagi berbuat salah?
Para Ulama menyimpulkan bahwa hadits tidak dimaksudkan
bahwa jika seseorang mengucapkannya dengan ikhlas lalu tidak
akan lagi terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Bukankah
kesalahan itu sendiri adalah ciri khusus yang tidak
terpisahkan dari hidup manusia? Bakan terkadang menjadi ciri
ketakwaan, asal saja diikuti dengan "pengakuan dan
permohonan ampun" (Dan orang-orang yang jika melakukan
kekejian atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat
Allah dan mereka beristghfar memohon ampunan untuk dosa-dosa
mereka).
Pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman
terhadap sesama Mu'min, selama tidak diyakini bahwa membunuh
itu adalah "halal" dianggap sebagai "kabirah" atau dosa
besar. Jika dalam kehidupannya tidak segera disusuli dengan
"Taubat" maka jelas kata Allah, akibatnya adalah Jahannam
kekal di dalamnya. Kekal di sini adalah kekal dalam arti
waktu yang cukup lama. Sebagaimana Allah berfirman:
"Khaalidiina fiiha ahqaaba" (mereka kekal di dalamnya dalam
beberapa fase yang lama) (An Naba). Artinya kekalnya seorang
pendosa Muslim pasti berbeda dengan kekalnya seorang yang
memang secara "I'tiqaad" tidak beriman. Sebab jika sama,
lalu di mana kita dudukkan sifat Allah yang Maha Adil?
Tentu banyak contoh yang dapat kita ajukan. Namun
kesimpulan yang akan diambil adalah bahwa kekafiran itu ada
dua macamnya. Justeru kita harus berhati-hati melabelkan
kekafiran kepada sesama Muslim, terlepas dari perilaku yang
dialkukannya. Karena sesungguhnya hati dan nuraninya hanya
dia dan Allah yang tahu. Maka kalau kita kembali kepada
cerita di awal tulisan ini, memang seharusnya kita
berhati-hati. Jangan-jangan kita mengkafirkan seseorang,
padahal dalam dirinya masih terbersit serpihan iman sekecil
apapun. Jika ini terjadi, maka sesungguhnya kita sudah
melakukan pelanggaran ketuhanan, sebab hak menilai iman dan
kafirnya seseorang hanyalah hak Allah Yang Maha Tahu.
Wallahu a'lam!
M. Syamsi Ali
New York.
Date: Wed, 19 Apr 2000 11:53:14 EDT
From: MSali95949@aol.com
To: imsa@imsa.nu, mus-lim@isnet.org
|