|
Islam dan Negara
Konsep masyarakat politik (polity) dalam Islam terutama
haruslah didasarkan pada ajaran Al-Qur'an. Dan sejauh
menyangkut kitab suci ini, dapat dimengerti sepenuhnya bahwa
sejak semula Al-Qur'an tidak memberikan konsep tentang
negara, melainkan konsep tentang masyarakat. Perbedaan ini
harus diingat dalam perdebatan tentang negara Islam. Harus
diingat pula, Al-Qur'an lebih bersifat simbolik daripada
deskriptif dan karena itu validitas dan vitalitasnya
terletak pada interpretasi dan reinterpretasi simbol-simbol
ini, sesuai dengan perubahan-perubahan situasi ruang dan
waktu.
Ada perbedaan pandangan tentang konsep negara dan
masyarakat politik dalam Islam.[1] Ali Abd al-Raziq dalam
bukunya "Fundamentals of Government" (al-Islam wa ushul
al-Hukm) berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim
suatu bentuk pemerintahan duniawi; hal ini diserahkan untuk
dipikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya. Lebih
lanjut ia menyebutkan, bahwa Al-Qur'an tidak pernah menyebut
khalifah; artinya kekhalifahan bukanlah bagian dari dogma
Islam. Ide tentang kekhalifahan dibuat oleh kitab-kitab fiqh
yang disusun beberapa abad setelah wafatnya Nabi.[2] Di
pihak lain, ada pula pendapat yang umumnya dianut oleh ulama
kita, bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tak
dapat dipisah-pisahkan dalam Islam. Pendapat ini umumnya
diterima oleh kaum Muslim ortodoks. Namun, persoalannya
menjadi sangat kompleks dan berjalin dengan berbagai faktor
sehingga sangat sulit dipadukan begitu saja dengan pendapat
lain.
Untuk memahami masalah ini secara tepat, kita mesti
mempertimbangkan beberapa kondisi politik yang ada di Mekkah
sebelum Islam dan bagaimana masyarakat Islam secara bertahap
mulai terwujud. Mekkah, sebagaimana telah dikemukakan pada
bab yang lalu, didominasi oleh suku Quraisy, yang terdiri
dari bermacam-maca klan. Tentu, ada beberapa suku lain
selain Quraisy, namun posisi mereka subordinatif dan
pinggiran. Menarik untuk ditelaah, bahwa meskipun merupakan
pusat perdagangan internasional, Mekkah tidak mempunyai
struktur pemerintahannya sendiri. Lembaga kerajaan tidak
dikenal, tidak pula ada perangkat negara yang dapat
dibandingkan dengan negara mana pun.
Tidak ada penguasa turun temurun, juga tidak ada
pemerintahan yang dipilih secara formal. Yang ada hanyalah
suatu dewan suku yang dikenal dengan mala' (semacam senat).
Senat ini terdiri dari perwakilan klan yang ada. Hal penting
yang mesti dicatat mengenai mala' ini, ia hanya berupa badan
perundingan dan tidak mempunyai badan eksekutif. Di samping
itu, setiap unsur klan yang ada di senat secara teoritik
independen, dan karena itu, keputusan yang dilahirkan tidak
mengikat.[3] Mala' tidak mempunyai hak untuk menarik pajak
dan melengkapi dirinya dengan polisi atau angkatan
bersenjata, yang merupakan perangkat bagi sebuah negara
untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum. Namun,
perkembangan dunia perdagangan yang begitu pesat, pada
akhirnya menuntut adanya perangkat kenegaraan. Di tengah
kekosongan negara secara institusional, maka tidak ada teori
politik yang koheren yang bisa menjelaskannya. Paling-paling
orang hanya bisa mengatakan, bahwa sebelum kemunculan Islam
di Mekkah terdapat demokrasi kesukuan primitif.
Di Medinah lah Nabi mulai memberikan perhatian yang cukup
serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima
semua pihak untuk menangani semua urusan yang ada di kota
itu. Menarik untuk dicatat, bahwa masyarakat Medinah adalah
masyarakat pluralistik baik dari segi ras maupun agama. Di
sana terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana, terutama
yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan Khazraj, serta kaum
Muslimin emigran dari Mekkah.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa heterogenitas
masyarakat Medinah waktu itu, sama dengan masyarakat di
negeri-negeri sekuler modern dewasa ini. Negeri dengan ragam
ras, suku dan agama itu dipersatukan di bawah kepemimpinan
Nabi dan itulah yang disebut ummah. Meskipun seringkali kata
ummah diterapkan hanya untuk komunitas Muslim, tapi sulit
bagi kita untuk mendukung klaim seperti itu.
Barakat Ahmad mengatakan, "Para orientalis
membeda-bedakan perkembangan istilah Al-Qur'an tersebut.
Sebagian sarjana Muslim menyatakan bahwa istilah ummah
menggambarkan masyarakat Muslim, tapi ini tidak seluruhnya
benar. Istilah ini menggambarkan kedudukan secara de facto.
Secara teoritik, penggunaan istilah ummah selama karir
kerasulan tidak terbatas pada komunitas Muslim saja.[4] Nabi
membuat suatu masyarakat politik di Medinah berdasarkan
konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang
disusun oleh Nabi itulah yang dikenal dengan Piagam Madinah
atau Sahifah. Dan masyarakat yang terikat dengan perjanjian
itu disebut "masyarakat Sahifah".[5]
Bagi masyarakat Arab yang sebelumnya tidak pernah hidup
sebagai komunitas antar-suku dengan kesepakatan bersama,
dokumen seperti itu tentulah sangat revolusioner dan
mendukung inisiatif Nabi untuk membangun basis bagi
berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai
(co-existence). Nicholson mengkomentari dokumen ini:
"Tidak ada seorang peneliti pun yang tidak
terkesan pada kejeniusan politik penyusunnya. Nyatalah bahwa
memperbaharui dengan hati-hati dan bijaksana, adalah
realitas suatu revolusi. Muhammad tidak menyerang secara
terbuka indenpedensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan
pengaruhnya dengan mengubah pusat kekuatan dari suku ke
masyarakat ..."[6]
Kiranya pada tempatnya, jika kita perhatikan beberapa
ketentuan dari Sahifah itu. Ibnu Hisyam menyampaikan kepada
kita: "Ibnu Ishaq berkata, bahwa Rasulullah menyusun suatu
persetujuan antara Muhajirin dan Anshar, di dalamnya
termasuk orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi diizinkan
untuk tetap memeluk agamanya dan menjaga harta kekayaan
mereka. Dokumen itu dimulai dengan nama Tuhan Maha Pengasih
Maha Penyayang. Ini perjanjian antara Muhammad dan
orang-orang mukmin dan Muslim Quraisy dan Yastrib (Medinah)
dan orang-orang yang mengikuti mereka dan orang-orang yang
terikat padanya dan orang-orang yang mendukung mereka.
Mereka adalah umat yang satu yang berbeda dengan umat yang
lainnya. Orang-orang Yahudi akan berbagi tanggungjawab
dengan orang-orang Muslim selama mereka berjuang.
Orang-orang Yahudi dari Bani Auf akan menjadi satu Ummah
dengan orang-orang Muslim. Bagi orang Yahudi agama mereka
dan bagi Muslim agama mereka pula..."[7]
Dokumen ini meletakan dasar bagi komunitas politik di
Medinah dengan segala perbedaan yang ada: suku,
kelompok-kelompok dan agama -- dengan menghormati kebebasan
untuk mengamalkan agama mereka masing-masing. Dengan
demikian dapat dilihat, bahwa Nabi menyusun suatu
persetujuan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang
disepakati bersama, bukan mendirikan sebuah "negara
teologis."[8] Semua kelompok agama dan kelompok suku
diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi dan
kebiasaan mereka masing-masing. Dengan demikian, persetujuan
tersebut, lebih didasarkan pada konsensus daripada
berdasarkan pada paksaan dan ini mirip dengan perkembangan
politik negara modern. Berbicara secara historis, suatu
kontrak yang berakar dari tradisi kesukuan, toh demokratis,
baik dari segi semangat maupun prakteknya. Selain itu,
aparat negara yang memaksa, belum berkembang di bagian
negeri Arab itu. Meskipun begitu, tekanan-tekanan sosial
sudah berfungsi.
Pendukung "negara teokratik" sering berdalih bahwa
dokumen Piagam Madinah itu dibuat ketika Muslim masih
menjadi minoritas dan hukum Islam memang belum seluruhnya
diwahyukan, dan oleh karena itu terhapus oleh
perkembangan-perkembangan kemudian. Namun dalih ini tidak
dapat dipertahankan, terutama jika kita cermati ayat-ayat
Al-Qur'an yang diturunkan kemudian secara terbuka. Pertama,
dalam hal lain, sunnah Rasulullah tidak dibatalkan,
lebih-lebih lagi dalam persoalan ini, yang merupakan
persoalan yang paling vital dalam kebijakan Islam. Kedua,
ayat-ayat terakhir Al-Qur'an tidak membatalkan apa yang
disepakati di dalam Sahifah. Kalaulah orang-orang Yahudi
dihukum, seperti diperintahkan wahyu terakhir, itu karena
mereka mengingkari kesepakatan. Sahifah tidak pernah
dibatalkan. Semangatnya mempunyai validitas hingga sekarang.
Dokumen itu memberikan landasan, pertama, yang menjamin
otonomi bagi kelompok yang beragama, kebebasan untuk memeluk
dan melaksanakan suatu agama, adat dan tradisi, serta
persamaan hak bagi semua orang. Kedua, dokumen itu jelas
menekankan pada sisi demokrasi dan konsensus, bukan pada
tekanan dan paksaan. Dari sini, juga penting untuk dicatat,
bahwa dalam masalah politik pemerintahan, Nabi tidak
menggunakan otoritas teologis. Dokumen itu, setelah kita
kaji, sama dengan teori kontrak sosialnya J.J Rousseau. Bagi
Rousseau, kebebasan bukanlah kebebasan liberal atau
kebebasan individu 'dari' masyarakat, tapi kebebasan yang
dilaksanakan di dalam dan untuk seluruh masyarakat. Artinya,
manusia dibebaskan oleh masyarakat yang membebaskan.
Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang
lain, tapi merupakan implikasi positif dari kebebasan untuk
semua.[9]
Seperti disinggung di awal bab ini, Al-Qur'an memberikan
konsep tentang masyarakat, bukan konsep pemerintahan. Sekali
lagi ditegaskan, bahwa Al-Qur'an berangkat dari kesadaran
sejarah. Pendekatannya bersifat temporal, namun juga
memperhatikan nuansa spasial. Perintah-perintah Al-Qur'an di
samping bersifat multi-dimensional juga bersifat
transendental. Jika dilihat dalam konteks yang tepat, tidak
ada dalam Al-Qur'an sesuatu yang tidak berlaku. Artinya,
validitas Al-Qur'an tetap terjaga dalam kerangka
spasio-temporal. Dalam mengkaji Al-Qur'an, terasa ada
ketegangan antara yang eksistensial dan yang transendental.
Dari ketegangan itulah dorongan ke arah kemajuan dan gerakan
yang kreatif dapat terpenuhi. Berikut kita sedikit akan
menguraikan masalah ini
Lalu, apa tujuan 'negara' Islam? Dengan kata lain,
masyarakat yang seperti apa yang ingin diwujudkan Islam?
Dalam karya-karya pemikir Islam abad pertengahan yang
diikuti oleh para ulama hingga sekarang, pusat perhatiannya
adalah pada konsep akhirah. Menurut mereka, seluruh
perhatian tertuju pada penciptaan suatu tatanan sosial yang
akan mempersiapkan manusia menuju akhirat itu. Hasi dari
interpretasi seperti itu (yang sudah menjadi jamak pada
periode pertengahan), adalah reduksi agama menjadi murni
'olah spiritual' yang tidak mempunyai muatan transformatif
sama sekali. Sementara itu, elit kekuasaan membangun suatu
aparatur negara yang refresif dan para ulama telah menjadi
bagian dari kekuasaan itu. Akibatnya, Islam harus menjadi
'pelayan' kekuasaan dengan cara melakukan spiritualisasi dan
mistifikasi ajarannya.
Perangkat kenegaraan yang sangat menindas (yang sangat
bertentangan dengan apa yang dicontohkan Nabi dalam dokumen
politiknya) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
masyarakat Islam, bahkan sejumlah hadist telah dibuat untuk
menjustifikasi situasi itu. Ayat Al-Qur'an yang terkenal:
"Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah
Rasul dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) di antara
kamu. Jika kamu berbeda tentang sesuatu, maka kembalikanlah
masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila kamu iman
kepada Allah dan hari kiamat",[10] dijadikan argumen, bahwa
siapapun yang berkuasa, haruslah ditaati. Dalam beberapa
kasus hadist ini diberi catatan tambahan "sepanjang penguasa
itu tetap melakukan shalat".[11] Ibn al-Muqaffa, seorang
pemikir politik Islam yang besar, mengutip beberapa hadits
Nabi untuk menekankan ketaatan yang total dan tidak
bersyarat kepada khalifah. "Siapa yang taat kepadaku", ia
mengutip kata-kata Nabi "sungguh telah mentaati Tuhan; dan
siapa yang mentaati Imam, sungguh telah mentaati aku". (Di
sini, "imam" menunjuk pada khalifah ketika itu). Menurut
hadist lain lagi, "Bahkan andai seorang budak berkulit hitam
dijadikan raja, maka dengarkanlah dan taatilah dia". Ibn
Muqaffa lebih lanjut berpendapat bahwa loyalitas terhadap
imam adalah sesuatu yang esensial, bahkan andaipun ia
menjadi seorang tiran, karena imam bagaimanapun berada pada
'pengawasan' karsa Tuhan. Untuk mendukung pendiriannya, ia
menggelar sebuah hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi pernah
berkata:
"Bila Allah bermaksud baik terhadap suatu
masyarakat, Dia mengangkat bagi mereka seorang penguasa yang
baik dan meletakkan harta benda mereka di tangan orang-orang
yang toleran; dan ketika Dia menghendaki memberikan cobaan
berat kepada mereka, Dia mengangkat untuk mereka seorang
penguasa yang tiran dan mempercayakan harta benda mereka di
tangan orang-orang serakah."[12]
Namun sulit untuk mendapatkan dukungan bagi teori-teori
politik itu di dalam Al-Qur'an sendiri. Al-Qur'an secara
tuntas menekankan pada penciptaan masyarakat yang adil dan
egalitarian. Ia berulang-ulang memperingatkan orang-orang
beriman agar bersikap adil. "Dan jika engkau memutuskan
perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan
adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang adil", kata
Al-Qur'an.[13] Allah jelas tidak akan memberikan
kekhalifahan-Nya kepada orang-orang yang tidak adil dan para
tiran. Lebih lanjut Al-Qur'an mengatakan, "Dan ingatlah
ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu
Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman; Sesungguhnya aku
akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Dan Ibrahim
berkata: "(Dan saya mohon juga) keturunanku (menjadi
pemimpin bagi mereka). Allah berfirman: "janjiku tidak
mengenai orang-orang yang dzalim."[14]
Inilah ayat yang paling bermakna dari Al-Qur'an. Nabi
Ibrahim diangkat menjadi pemimpin (imam) hanya setelah
menunaikan perintah Tuhan dan ketika ia berdo'a untuk
menyertakan juga keturunannya agar menjadi pemimpin kelak,
maka Tuhan menegaskan bahwa hal itu tidak mungkin bagi
orang-orang yang dzalim dan tiran. Politik Islam,
sebagaimana digambarkan Al-Qur'an, tidak mengizinkan
memapankan ketidakadilan dan kekuasaan yang tiranik. Dzulm
(penindasan) dikutuk dengan istilah-istilah yang sekeras
mungkin. "Betapa banyak kota yang telah dihancurkan karena
penduduknya sangat dzalim", kata Al-Qur'an.[15]
Ada kesalahan yang serius mengenai konsep Islam tentang
jihad (perang suci). Jihad tidak dibenarkan untuk
menyebarkan Islam secara paksa, atau untuk menjajah dan
memperbudak orang lain. Apalagi dengan menjarah dan merusak
kota. "Dia berkata, sesungguhnya raja-raja ketika memasuki
sebuah negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina. Dan demikian pulalah yang
akan mereka perbuat.[16] Jihad yang secara harfiah berarti
"berusaha keras", dimaksudkan hanya untuk menegakkan
keadilan dan perang harus dilakukan sampai semua bentuk
penindasan berakhir. Al-Qur'an mengizinkan penggunaan
kekerasan dalam perjuangannya melawan kedzaliman dan
ketidakadilan. Sebenarnya, pembalasan terhadap penindasan
dan kedzaliman dianggap sebagai sebuah kebajikan.
"...Selamatkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh
dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan
sesudah mengalami tindak kedzaliman. Mereka yang berbuat
dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan
kembali", kata Al-Qur'an.[17]
Aspek penting lain dari masyarakat politik Islam adalah,
bahwa Islam menganggap seluruh manusia sama, tanpa perbedaan
warna kulit, ras atau kebangsaan. Kriteria satu-satunya
hanyalah kesalehan (tidak hanya kesalehan religius dengan
melaksanakan ritual agama secara cermat tapi juga kesalehan
sosial karena Al-Qur'an mensejajarkan kesalehan dengan
keadilan),[18] tidak ada yang lain. "Yang paling mulia di
sisi Tuhan adalah orang yang takwa,"[19] demikian Al-Qur'an
menyatakan dengan gamblang. Nabi menegaskan hal ini pada
saat haji terakhirnya di Mekkah. Sabdanya:
"Orang Arab tak lebih tinggi daripada orang
ajam, begitu pula orang ajam tidak lebih tinggi daripada
orang Arab; tidak ada perbedaan antara yang hitam dan yang
putih, kecuali oleh tingkat kesalehan yang diperlihatkan
dalam hubungannya dengan orang lain... Janganlah tunjukkan
kepadaku kebanggaan keturunanmu, tapi tunjukkan perbuatan
baikmu."[20]
Butir pokok dari masyarakat politik Islam adalah dorongan
bagi kelompok lemah untuk terus berjuang melawan
kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat. Nabi dalam
tingkat tertentu mengatakan bahwa, "Jihad yang paling baik
adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa
tiranik."[21] Pidato pertama yang diucapkan Abu Bakar,
khalifah pertama yang terpilih setelah wafat Nabi, adalah
juga merupakan pernyataan yang luar biasa dalam masalah ini.
Setelah memangku jabatan, ia berpidato:
"... Orang-orang lemah di antara kamu bisa
menjadi kuat di hadapanku. Aku akan membuat para penindas
menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu,
bisa menjadi lemah di hadapanku. Insya Allah, aku akan
melihat orang-orang tertindas memperoleh hak-haknya
kembali."[22]
Adalah dalam semangat untuk melindungi orang-orang lemah,
Nabi dalam pesannya pada haji perpisahan, membebaskan semua
orang yang mempunyai hutang dari pembayaran bunga, walaupun
modal yang dipinjam harus tetap dikembalikan.[23]
Banyak ulama dan teolog mempertahankan secara dogmatis,
bahwa negara Islam adalah negara teokratik, dan dalam negara
demikian, tidak ada tempat bagi inisiatif manusia dalam
arena legislasi, karena Tuhanlah satu-satunya pembuat hukum.
Maulana Abul A'la al-Maududi menggambarkan pemerintahan
Islam sebagai "Theo-Demokrasi", dan dalam bentuk
pemerintahan itu, umat Islam hanya memiliki "kedaulatan
rakyat yang terbatas" di bawah kemahakuasaan Allah.[24] Ini
adalah posisi yang hampir tak dapat dipertahankan kecuali
kalau seseorang menerima pendapat ulama' abad pertengahan
sebagai suatu kata akhir dan menganggap tertutup semua
pilihan lain. Karya ulama, dengan segala keterbatasan dan
kelebihan mereka yang manusiawi, tidak bisa disamakan dengan
firman Tuhan.
Jika ditafsirkan dengan tepat, di dalam arena legislasi,
Islam juga tidak melumpuhkan inisiatif manusia. Bila
syari'ah seperti yang dikompilasikan oleh para teolog
zaman-zaman Islam awal diambil sebagai corpus hukum negara
Islam, saya khawatir, kedaulatan Tuhan lalu akan disamakan
dengan kedaulatan ulama'. Ini juga akan menyatakan secara
tidak langsung bahwa semua perkembangan yang akan terjadi di
masyarakat sudah diantisipasi oleh para ulama' dengan
kompilasi hukum Islam di zaman awal Islam ini. Semua
sejarawan hukum Islam sepakat bahwa di dalam mengkompilasi
hukum Islam, para fuqaha dipengaruhi secara dalam oleh
kondisi zaman dan perkembangan yang terjadi setelah
penaklukan wilayah-wilayah, dan itulah sebabnya, mengapa
terjadi perbedaan mazhab pemikiran hukum.[25]
Faruq Abu Zayd dengan tepat menjelaskan bahwa Imam Abu
Hanifah di Irak dengan pertumbuhan masyarakatnya yang cepat,
lebih dihadapkan dengan problem-problem yang kompleks,
daripada para ahli hukum Hijaz yang lebih dekat dengan
kehidupan orang-orang Baduy, sehingga menghadapi problem
yang lebih sederhana. Karena alasan ini Abu Hanifah
seringkali terpaksa menggunakan ra'y danm pertimbangan akal
dibandingkan para ahli hukum Hijaz dalam memutuskan hukum.
Bagi orang-orang Hijaz Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sudah
mencukupi.[26]
Kini kita berada dalam masyarakat yang sedang berubah
cepat. Revolusi Industri telah menimbulkan problem-problem
yang jauh lebih kompleks. Sebagaimana ahli hukum Irak yang
harus berbeda dengan ahli hukum Hijaz mengingat perbedaan
sifat persoalan yang mereka hadapi, maka sesuai dengan
situasi dunia modern yang baru dan jauh lebih kompleks, para
ahli hukum modern harus berusaha merubah, kapan dan di mana
perlu, corpus Islam yang diwariskan kepada mereka. Namun apa
yang diperlukan adalah menegakkan semangat teks wahyu dan
tujuan-tujuan yang diinginkannya. Tidak pernah menjadi
tujuan Tuhan untuk memutuskan hubungan dengan yang
transenden dan membawa kebekuan dalam urusan manusia. Fungsi
ketuhananlah yang harus membawa pertumbuhan teologis dan
pertumbuhan itu membawa serta perubahan. Pertumbuhan dan
perubahan sosial demikian membutuhkan perubahan dalam hukum
yang mencerminkan realitas sosial zaman permulaan.
Lantas muncul persoalan: Apa yang masih tersisa dari
agama yang membentuk hukum-hukum ini? Jawabannya sederhana
dan jelas: religiositas. Apakah religiositas itu? Tentu hal
ini agak abstrak, namun sama sekali bukan istilah yang
mengada-ada. Religiositas menyatakan secara tidak langsung
keterlibatan emosi yang tulus dengan visi moral dan
spiritual yang menyatakan kepada pengalaman yang agung.
Setiap agama jelas menanamkan ke dalam diri pengikutnya
suatu visi moral dan spiritual yang unik. Tekanan-tekanan ke
arah perubahan tidaklah mempengaruhi keunikan visi ini.
Fyzee mendefinisikan keunikan Islam ini dengan tiga
karakteristik: Kebenaran (truth), keindahan (beauty) dan
kebajikan (goodness).[27] Fyzee mengatakan:
"Islam menekankan kebenaran, keindahan dan
kebajikan, nilai-nilai Platonik. Mengenai kebenaran, sedikit
sekali peradaban telah menyelamatkan sastra, sains dan
filsafat seperti yang telah dilakukan Islam. Ia telah
menghasilkan peradaban yang agung. Sarjana-sarjana Islam
telah menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani dan bahasa
Sanskerta dan ilmu pengetahuan Islam adalah Bapak ilmu
pengetahuan modern. Mengenai keindahan, Islam telah
memajukan seni, musik dan arsitektur. Menyangkut kebajikan,
Islam memproklamirkan dan mempraktekkan dengan baik
persaudaraan manusia. Dengan demikian ia telah membuka jalan
bagi konsep demokrasi modern. Ia telah meletakkan fondasi
hukum internasional. Pandangan hidupnya diwujudkan di dalam
syari'ah, gudang hukum, agama dan etika yang kaya. Syari'ah
analog dengan Torah di kalangan orang-orang Yahudi dan
Dharma di kalangan orang-orang Hindu."[28]
Tingkat religiositas yang paling agung adalah pencarian
terus menerus bentuk-bentuk baru untuk perwujudan visi yang
unik ini, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan
penalaran. Hukum bersifat empiris, sedangkan visi bersifat
transendental. Keseimbangan antara keduanya akan hilang jika
terjadi penekanan hanya pada salah satu sisinya. Semata-mata
menekankan pada empirisme membuat hukum tidak berlaku.
Sebaliknya hanya menekankan aspek transendentalnya saja,
membuat ia menjadi terlalu abstrak. Dulu, para ahli hukum
Islam yang besar mencapai keseimbangan antara keduanya di
pandang dari sudut kenyataan empiris pada masa mereka.
Sesuai dengan visi transendental Islam, komponen substantif
dari hukum Islam perlu diubah jika perubahan-perubahan yang
terjadi di lingkungan sosial menghendakinya. Al-Qur'an
menggunakan dua istilah yang sangat bermakna, ma'ruf dan
munkar, yang menghadirkan kembali substansi (quintessence)
moralitas Islam tanpa dirusak oleh kendala-kendala
ruang-waktu.
Ma'ruf adalah sesuatu yang umumnya dapat diterima
masyarakat dan munkar adalah sesuatu yang ditolak masyarakat
demi menjaga tertib moral. Dengan menggunakan konsep-konsep
ini, Al-Qur'an telah membuka peluang yang cukup bagi
penafsiran kembali hukum-hukumnya agar dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat akan tatanan moral yang baik. Konsep
ma'ruf dan munkar akan selalu berubah jika masyarakat
berubah, berkembang dan mengalami kemajuan. Ma'ruf dan
mungkar merupakan istilah yang sangat komprehensif. Dan
keindahan serta keabadian Al-Qur'an terletak dalam
pengungkapannya yang abstrak sehingga generasi-generasi
penerus dapat mendefinisikannya menurut kebutuhan dan
pengalaman mereka. Istilah-istilah ini, yang sangat
fundamental bagi ajaran Al-Qur'an, juga cukup komprehensif
untuk mencakup moralitas politik. Masyarakat politik
(polity) menurut Al-Qur'an adalah masyarakat politik yang
berorientasi moral dan dimaksudkan untuk menekankan
praktek-praktek politik yang akan menghasilkan kebaikan
maksimum bagi masyarakat, yaitu masyarakat Qur'ani yang
secara tegas menerima yang ma'ruf dan menolak yang munkar.
Lagi-lagi untuk membangun tatanan sosial yang sehat,
Al-Qur'an menggunakan dua istilah lain yang sangat bermakna:
mustakbirin dan mustadh'afin yang berarti yang sombong dan
yang dilemahkan. Al-Qur'an mengutuk yang pertama dan
bersimpati kepada yang kedua. Al-Qur'an menyatakan
orang-orang yang sombong (mustakbirin) adalah berdosa.[29]
Al-Qur'an juga menegaskan bahwa mustakbirin (mereka yang
kuat dan arogan) senantiasa tidak beriman, yakni berdosa
karena kufur. Sedangkan mustadh'afin (mereka yang tertindas
dan dilemahkan) selalu merupakan kelompok yang pertama
beriman, (beriman kepada Tuhan dan melakukan yang ma'ruf).
Al-Qur'an menyatakan, "Orang-orang yang menyombongkan diri
berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya
pada apa yang kamu imani itu".[30] Dengan demikian
mustakbirin dalam bahasa Al-Qur'an adalah orang kafir
sejati, sementara mustadh'afin adalah orang mukmin sejati.
Kata kafir merupakan kata yang seringkali disalahartikan.
Kata tersebut selalu dipahami dengan pengertian yang tidak
sejalan dengan terminologi Al-Qur'an. Selama ini ia selalu
digunakan dalam pengertian yang formal sekali. Sesungguhnya
kata kafir dalam Al-Qur'an merupakan istilah yang
fungsional, bukan formal. Orang kafir yang sesungguhnya
adalah orang yang arogan dan penguasa yang menindas,
merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak
menegakkan yang ma'ruf, tetapi sebaliknya membela yang
munkar. Demikian juga sebaliknya. Orang mukmin yang sejati,
bukan mereka yang hanya mengucapkan kalimat syahadat
saja,[31] tetapi mereka yang menegakkan keadilan bagi mereka
yang tertindas dan lemah, yang tidak pernah menyalahgunakan
posisi kekuasaan mereka atau menindas orang lain atau
memeras tenaga orang lain, yang menegakkan kebaikan dan
menolak kejahatan.
Dengan demikian masyarakat Qur'ani tidak memberikan
tempat bagi penindasan dan pemerasan terhadap yang lemah
oleh yang kuat. Perjuangan orang-orang yang lemah
(mustadh'afin) akan terus berlangsung melawan mereka yang
berkuasa dan arogan (mustakbirin), selama perbedaan antara
keduanya tidak dihapuskan. Budaya politik Islam didasarkan
pada simpat kepada mereka yang lemah dan dieksploitasi dan
benci terhadap mereka yang berkuasa dan menindas. Dr.
Habibullah Payman dari Iran mengatakan, "dalam Ideologi
Islam permanensi dan kesinambungan revolusi (sampai
perbedaan antara yang menindas yang ditindas tidak ada lagi)
lebih penting daripada revolusi itu sendiri. Revolusi
merupakan salah satu dari beberapa alternatif bagi manusia
yang bertanggung jawab. Artinya, manusia harus berusaha
mengubah sistem yang didasarkan atas istikbar (keangkuhan
kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (yakni penekanan
dan penindasan) dan penolakan terhadap yang munkar
(ketidak-adilan). "Revolusi yang permanen" semacam itu dan
perlawanan terhadap arogansi kekuasaan secara terus menerus
merupakan bagian dari kultur politik Islam."[32]
Khalifah Ali, salah seorang dari beberapa tokoh terbesar
yang dilahirkan Islam pada masa awal, menggambarkan konsep
revolusi Islam dengan sangat ringkas dalam salah satu
khotbahnya: (Revolusi Islam akan terus berjalan) sampai
mereka yang berada dalam status paling rendah di antara kamu
menjadi yang paling tinggi dan mereka yang paling tinggi di
antara kamu akan menjadi yang paling rendah dan mereka yang
melampaui akan dilampaui".[33]
Dasar-dasar masyarakat politik Islam yang ideal,
sebagaimana yang diderivasikan dari Al-Qur'an, sangat
berbeda dengan apa yang sudah dan masih dilakukan atas nama
Islam oleh kelompok kepentingan yang kuat di negara-negara
Islam dewasa ini.
Catatan
1 Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory on the
State, (Lahore, t.t.), hal. 4
2 Ali Abdul Raziq, Al Islam wa Usul al-Hukm, (Cairo),
bandingkan dengan tulisan Islamolog asal Hongaria, Gyula
Germanus, Contribution of Islam to World Civilization and
Culture, ed. Cyula Wojtilla, (Delhi, 1981) hal. 152.
3 Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of
Islam, (Bombay, 1980), hal 45-46.
4 Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, A Re-Examination,
(Delhi, 1979), hal. 39. Bandingkan dengan Abul A'la Maududi,
Islamic Way of Life (Delhi, 1967), hal. 17.
5 Barakat Ahmad, op. cit., hal. 39.
6 R.A. Nicholson, A Literary History of the Arabs,
(Cambridge, 1907), hal. 173.
7 Lihat Ibnu Hisyam, Sirah, vol. 1. (Cairo, 1332 A.H.)
Lihat juga Alfred Guillaume, The Life of Muhammad: a
Translation of Ibn Ishaq's Sira Rasul Allah, (London, 1955).
8 Penting dicatat bahwa 'Ulama Deobandi yang turut serta
dalam perjuangan kemerdekaan India bersama dengan partai
Indian National Congress, mengambil inspirasi dari dokumen
yang luar biasa ini untuk membentuk negara sekuler di India
dengan minoritas dijamin hak-haknya untuk memeluk dan
mempraktekkan agamanya.
9 Lucio Colleti, From Rousseau to Lenin - Studies in
Ideology and Society, (Delhi, 1978), hal. 151-152.
10 Al-Qur'an 4:59.
11 Asghar Ali Engineer, The Islamic State, (Delhi, 1980)
hal. 69.
12 Lihat Qmaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of the
State, Bazman Iqbal, Lahore, t.t.
13 Al-Qur'an 5:42.
14 Al-Qur'an 2:124.
15 Al-Qur'an 22:45.
16 Al-Qur'an 27:34.
17 Al-Qur'an 26:227.
18 Al-Qur'an 5:8.
19 Al-Qur'an 49:13.
20 Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Vol. V. hal. 411.
21 Al Fath al-Kabir, Vol. I, hal 208. bandingkan Islam at
a Glance, ed. Hakim Abdul Hamid, (Delhi, 1981), "Islam and
Human Rights" oleh V.A. Syed Muhammad, hal. 83.
22 Lihat Ibnu Hisyam, Vol. III, (Cairo, 1332 A.H.), hal.
473.
23 Tabari, Tarikh, Vol. III (Cairo, 1362), hal. 150.
24 Syed Abul A'la Maududi, Islamic Riyasat, Dikumpulkan
oleh Khursyid Ahmad, Lahore (Lahore, 1974), hal. 129-30.
25 Muhammad al-Khudari, Tarikh at Tasyri' al-Islam, edisi
Urdu diterjemahkan oleh Maulana Abdus Salam Nadwi, Azam
Garth, 1973, dan Faruq Abu Zayd, As Syari'at al-Islami Bayn
al-Muhafizin wa al-Mujaddidin, Cairo, t.t.
26 Dr. Faruq Abu Zayd, op. cit., hal. 21.
27 A.A. Fyzee, A Modern Approach to Islam, Asia
Publishing House, (Bombay, 1963), hal. 112.
28 Fyzee, Ibid.
29 Al-Qur'an 7:133.
30 Al-Qur'an 7:76.
31 Formula dasar adalah La ilaha illa Allah, Muhammad
Rasulullah, yakni Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah.
32 Dr. Habibullah Payman, Istidh'af wa Istikbar, Teheran,
1352, hal. 55. Ini adalah terjemahan bebas dari teks Persia.
33 Lihat Ali Bin Abu Thalib, Nahju al-Balaghah, tanda
nomor 14 dan 15. Bandingkan dengan Inqilab az Didgah-i-Ali,
Teheran, t.t. hal. 20.
Date: Fri, 23 Jun 2000 13:13:50 +0700
From: Mohamad Zaki Hussein <zaki@centrin.net.id>
To: is-lam@isnet.org
|