Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran | |
|
Selasa, 11 April 2000 Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun. "Kolonialisme secara fisik memang telah berakhir. Namun, paling tidak, pemikiran kita masih terjajah, tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh umat Islam," ujar guru besar Universitas Sorbonne, Paris, itu dalam pembukaan seminar "Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi" di Jakarta, Senin (10/4), yang disesaki pengunjung yang sebagian besar kalangan muda. Seminar ini diselenggarakan oleh Yayasan 2020 bekerja sama dengan Goethe Institute, Friedrich Naumann Stiftung, British Council, dan Departemen Agama. Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran, pada saat munculnya gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam Majelis Malam. Ketika berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka, yang dikenal dengan istilah munadharah. Namun, memasuki abad ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, bahwa Islam adalah daulah (kerajaan). "Sebagai seorang ahli sejarah pemikiran Islam, bukan sebagai seorang politisi, saya katakan bahwa itu keliru," kata Arkoun. Dalam Islam klasik, kata Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan Alquran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci. Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam. Menurut Arkoun, umat Islam bisa membandingkan dengan agama Kristen secara teologis dan agama Katolik secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak dikontrol oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi modern, karena setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci. Sebenarnya, umat Islam menemukan periode yang bisa memberikan harapan besar akan munculnya kembali keragaman dalam berpikir pada saat munculnya negara-negara baru pascakolonial. Namun, sayang, kesempatan itu hilang. Islam kemudian dipergunakan lebih sebagai alat politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keragaman. Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, di mana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada manusia. Menurut dia, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada sebuah ruang baru kewarganegaraan dengan membuka kesempatan manusia dari seluruh belahan bumi untuk mendapatkan kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan yang berdiri di atas bangsa. "Ini revolusi dalam level politik," kata Arkoun seraya menambahkan bahwa model ini bisa diadopsi oleh negara-negara muslim dan bertemu dengan pengalaman Eropa dalam perspektif humanisme. Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa asing, sejarah ,dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. "Marilah kita terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua pemikiran," ujarnya. Menjawab pertanyaan tentang keinginan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Ketetapan (Tap) No 25/MPRS/ 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menyebarkan ajaran marxisme/komunisme, Arkoun mengatakan, komunis merupakan model politik yang digunakan Uni Soviet untuk mengalahkan demokrasi modern yang berkembang di Eropa. "Jika Anda membaca filsafat Karl Marx dan Hegel, Anda akan berhenti mengutuk filsafat yang dijadikan dasar paham komunis. Ini yang mungkin diperkenalkan Presiden Indonesia sebagai langkah awal menuju demokrasi yang modern," ujarnya. Arkoun mencontohkan keinginan pemerintah Maroko meningkatkan status perempuan. Partai Islam menolak rencana pemerintah, tetapi sebagian yang lain menerimanya. "Hukum modern didasarkan pada kedaulatan individu. Apakah kita mau meninggalkan Sariat Islam dengan menghargai kedaulatan individu itu?" ujarnya. Dalam Islam, tegas Arkoun, ada yang disebut munadharah (tukar pikiran). "Munadharah adalah jantung demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa munadharah, karena dalam munadharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya," tegasnya. (wis/mba) |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |