| |
|
10. Pemikiran sosial Islam haruslah seperti ini. Karena al 'Adlu (Adil) adalah salah satu nama dari nama-nama Allah yang indah (asmaaul husna). Allah SWT-lah yang menurunkan "Al Mîzân", sebagaimana Dia menurunkan " Al Kitâb". Dan "'amal" dalam Al Quran Karim selalu diiringi dengan "iman". Bahkan pengharaman eksploitasi ribawi dalam Islam terjadi karena ekploitasi ini adalah suatu usaha yang berubah haram dikarenakan ia bukan hasil dari "'amal 'kerja'", dalam mengembangkan uang ini, maka Al Qur'an mengharamkan, dan menghapuskannya.
Pengharaman riba (yaitu harta yang datang dari harta minus kerja) menegaskan dengan pasti bahwa filsafat sosial Islam --yang diwujudkn oleh eksprimen Islam pada masa kenegaran Nabi dan kekhalifahan-- hanya berpihak kepada "usaha", dan menjadikannya sebagai ukuran yang memberikan suatu hakikat dan nilai terbesarnya. Ia ('amal 'kerja') adalah pokok utama dalam usaha manusia, dan faktor yang terbesar dalam menentukan keistimewaan seseorang. Filsafat inilah yang dielaborasikan setelah itu oleh Ibnu Khaldun (732-808H/1332-1406 M), saat ia berkata: "Ketahuilah apa yang memberikan faedah kepada manusia, dan yang ia ambil dari harta, jika dari sesuatu jasa, maka yang ia ambil dan ia raih itu adalah nilai kerjanya, karena yang ada hanyalah kerja... Sedangkan jika di samping jasa dan keahlian itu ada hal lain, seperti pertukangan dan penjahit, di sana ada kayu dan benang, namun dalam keduanya faktor kerja lebih dominan, dan nilainya lebih besar pula... Apa yang didapatkan dan dihasilkan oleh manusia seluruhnya, atau mayoritasnya, adalah nilai kerja manusia..." [Al Muqaddimah, hal. 303, Kairo, 1322 H] Islam menjadikan harta kekayaan sebagai harta Allah. Dari-Nya mengalir dan dari-Nya bersumber. Dia menjadikan seluruh manusia mengemban amanah memegang harta itu, dan menjadikan kerja sebagai cara untuk mendapatkan dan memiliki harta itu. Dan melarang kepemilikan yang berlebihan dari kebutuhan, yang skup dan batasan tertingginya ditentukan oleh tradisi, kebiasaan dan tingkat kekayaan masyarakat. Dia mengingatkan keharusan manusia untuk "berserikat" dalam menikmati dan memiliki sumber-sumber pokok kehidupan. Dengan melihatnya sebagai kekayaan umat dan masyarakat. Sehingga ia tidak hanya berputar di antara segelintir orang, dan kemudian mereka halangi orang lain yang turut mendapat amanah untuk memegang dan menikmatinya. Orang yang memperhatikan pembicaraan Al Qur'an tentang harta, akan menemukan bagaimana ayat-ayatnya menunjukkan sikap yang moderat dan berkeseimbangan ini dalam melihat hubungan manusia dengan harta --dan tidak lupa memberikan dalil-dalil akan keabsahan kepemilikan individual. Pada waktu yang sama, menekankan kenyataan bahwa jama'ah dan umat seluruhnya mempunyai hak menerima amanah harta ini. Dia menisbahkan kata "maal-harta" kepada dhamiir (kata ganti) "individu" dalam tujuh ayat, sementara menisbahkan harta itu kepada dhamiir "manusia secara umum" dalam tujuh puluh tujuh ayat!!. Sehingga Imam Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M) mengomentari petunjuk Al Qur'an tersebut dalam ucapannya: "Dengannya Allah SWT ingin mengingatkan akan "solidaritas umat dalam hak-hak dan kemaslahatan mereka, dan seakan-akan Dia berkata: Harta setiap individu dari kalian adalah harta umat kalian..."!. [Al A'mal al Kamilah, juz 5, hal. 194, kajian dan tahqiq: Dr. Muhamamd Imarah, cet. Kairo, 1993 M] Teori kekhalifahan Ilahi yang diberikan kepada manusia adalah kunci filsafat Islam dalam masalah kekayaan dan harta. Dan dalam petunjuk sosial filsafat ini, Imam Zamakhsyari (467-538 H/1075-1144) berkata saat menafsirkan ayat istikhlaf dalam harta:
Sebagai berikut:
Eksprimen Islam telah mewujudkan (pada masa kenabian dan Khulafa Rasyidin) "kehendak Allah" ini. Saat kehendak itu dibumikan dalam bentuk sistem sosial yang menciptakan keamanan sosial bagi manusia dalam bidang penghidupan mereka. |
|
(sebelum) dari buku: Islam dan Keamanan Sosial ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |