| |
|
Sikap yang diambil oleh Islam terhadap "orang-orang yang memperkaya diri" dan "orang-orang yang bermewah-mewahan", dan gambaran buruk yang dilukiskan oleh Al Qur'an terhadap mereka, serta ancaman nasib buruk yang akan menimpa mereka dan masyarakat mereka, tidak berarti Islam memuji dan memilih kefakiran, kemiskinan dan kehinaan. Juga tidak berarti Islam melarang manusia untuk memiliki harta-kekayaan dan mengumpulkannya. Namun yang dilarang oleh Islam adalah tindakan "menimbun" harta dan menumpuk-numpuk kekayaan itu, serta menghalanginya untuk dimanfaatkan oleh manusia secara umum. Dan Islam mengajak insan Muslim untuk memegang harta hanya sesuai kadar kebutuhan pribadinya, untuk kemudian menginfakkan apa yang berlebih dari kebutuhannya itu. Dengan kadar infak yang tidak sebatas ukuran sedekah saja, seperti disangka sebagian orang, namun juga infak yang mempergunakan kelebihan harta dari kadar kebutuhan pribadinya itu bagi kepentingan umat, dalam bentuk investasi dan usaha apapun. Sedangkan menimbun harta dan memonopoli kekayaan, adalah dilarang oleh Islam. Status kaya yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi adalah perintah serta tujuan yang dibidik syari'at Islam, bukan sekadar "boleh" saja. Untuk kemudian mempergunakan apa yang berlebihan dari kekayaan itu --yang telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi-- dalam bentuk usaha dan investasi bagi kepentingan masyarakat luas dan pembangunan, dan untuk mengangkat orang-orang miskin menjadi kelompok orang yang tercukupi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka. Itulah makna Islami atas tindakan menginfakkan "al 'afwu" (artinya menginfakkan apa yang berlebih dari kadar kebutuhan-kebutuhan pribadi) yang dibicarakan dalam ayat Al Qur'an berikut ini:
Maksudnya: "infakanlah harta yang berlebihan dari kebutuhan-kebutuhan pribadimu, namun jangan sampai membuat dirimu menjadi merugi sehingga menjadi orang miskin," seperti diriwayatkan dalam tafsir ayat itu dari imam Abdullah bin Abbas (3 SH-68 H/ 619-687 M), Hasan Al Bashri (21-110 H/642-728 M) serta Qatadah bin Du'amah as Sadusi (61-118 H/693-765 M)...[Al Qurthubi, Al Jami li Ahkam al Quran, juz 3, hal 61, cet. Dar Kutub al Mishriah] Sedangkan tindakan menumpuk-numpuk harta dan memonopoli kekayaan, adalah tindakan "al kanzu" 'menimbun harta' yang dibicarakan oleh ayat Al Qur'an berikut ini:
Sebagaimana tindakan menimbun harta diharamkan dan dilarang, karena menahan manfaat harta dari orang lain, tidak mempergunakannya sama sekali, dan tidak pula menginvestasikannya, ia juga diharamkan dan dilarang jika dipergunakan bukan untuk "fi sabilillah" dan kemaslahatan umat. Seperti menginvestasikannya dalam suatu proyek yang tidak memberi manfaat kepada umat. Apalagi jika diinvestasikan dalam suatu proyek yang merugikan dan membahayakan umat. Baik investasi itu dilakukan di dalam negara-negara Islam atau di luar negeri Islam!! Pengggunaan dan penginvestasian "al 'afwu", harta yang berlebih dari kebutuhan pribadi itu, harus dilakukan dalam bidang "fi sabilillah," atau dalam pembangunan umat yang sedang berjuang di jalan Allah! Inilah filsafat Islam tentang harta, kekayaan dan penghidupan manusia:
Inilah filsafat Islam dalam bidang kekayaan dan harta, yang telah dikristalisasikan oleh masyarakat dan negara Islam, pada masa kenabian dan khulafaur rasyidin, dalam "konsep politik," untuk kemudian mereka wujudkan dalam realitas kehidupan, yang menciptakan keamanan sosial dalam pelbagai bidang penghidupan manusia. 1. Sistematisasi keamanan sosial dalam bidang penghidupan, telah dimulai oleh negara Islam, pada fase setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dimulai dengan "mengikat persaudaraan", yang mencerminkan kontrak sosial realistis dan sebenarnya antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Bukan kontrak sosial ilusif, teoritis an sich, dan utopian, seperti "kontrak-kontrak sosial" yang diusung oleh teori-teori pemikiran non Islam! Pada awalnya, Rasulullah Saw "mempersaudarakan" antara kalangan Muhajirin satu sama lain. Kemudian beliau "mempersaudarakan" antara mereka dengan kalangan Anshar. Kaum Muhajirin telah dipaksa oleh keadaan untuk meninggalkan kampung halaman dan harta mereka untuk menyelamatkan aqidah dan keimanan mereka dari fitnah agama yang dilakukan oleh kaum Musyrikin. Sementara kalangan Anshar, dari suku Aus dan Khazraj, hidup di kampung halaman mereka dan disertai harta mereka. Maka persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar itu "menyatukan mereka", dan sistem sosial yang baru itu memberikan hak bagi kalangan Muhajirin untuk turut menikmati harta kalangan Anshar, seperti halnya mereka yang berada dalam hubungan satu keluarga dan nasab. Persaudaraan ini adalah kontrak sosial yang "menserikatkan" di dalamnya "orang-orang yang telah dipersaudarakan" itu, dalam tiga bidang:
Kemudian, setelah itu, Allah SWT memfirmankan kepada Rasulullah Saw:
Ayat ini memberikan ketentuan syari'at baru, yang menyempitkan pewarisan itu hanya antara kalangan saudara satu nasab saja. Sementara dua point sebelumnya tetap dipertahankan dalam kontrak persaudaraan itu. Persaudaraan dalam "hak" dan "solidaritas", atau dalam dua bidang kehidupan, maknawi dan materi. [Ibnu Abdil Barr, Ad Durar fi Ikhtishar al Maghazi wa Siyar, hal. 96, tahqiq: Dr. Syauqi Dhaif, cet. Kairo, 1966 M] |
|
dari buku: Islam dan Keamanan Sosial ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |