Islam, ketika ia memihak, dalam masalah keamanan sosial
atas penghidupan manusia, kepada kelompok umat, dan
menjadikan faktor jumlah harta yang dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan individual sebagai ukuran kepemilikan
individu, maka, pada saat itu, Islam bertujuan (sambil
mewujudkan manfaat, yaitu manfaat kepentingan keamanaan atas
penghidupan bagi semua orang) menghindari dan mencegah
bahaya dan ancaman yang timbul dari penumpukan kekayaan dan
harta Allah (harta dan kekayaan umat) pada segelintir orang
kaya raya, yang memonopoli kepemilikan harta itu di antara
mereka sendiri. Karena jika hal itu terjadi, akan timbul
kerusakan yang besar dalam bidang materi, pemikiran,
masyarakat, ekonomi, politik, dunia dan negara. Oleh karena
itu, Islam dengan tegas memberikan batasan dan mengajukan
contoh, nasehat, serta pelajaran sejarah dari eksprimen
manusia sepanjang sejarahnya yang panjang.
Yang terpenting, dalam distribusi kekayaan dan harta
harus diperhatikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umat,
setelah itu baru terjadi perbedaan dalam kepemilikan harta.
Sehingga dapat dihindari situasi orang kaya menjadi semakin
kaya, dan harta kekayaan hanya menjadi milik khusus kalangan
kaya itu:
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya."
[Al Hasyr: 7].
Dalam banyak surah, ayat-ayat Al Quran menampilkan
gambaran yang tidak baik, bahkan buruk, terhadap orang-orang
kaya yang berlebihan dan memonopoli harta dan kekayaan. Baik
mereka itu dalam masyarakat nabi-nabi, atau dalam masyarakat
lainnya pada masa lalu.
Satu di antara sunnah dan undang-undang Allah SWT yang
tidak dapat digantikan dan diubah dalam masyarakat manusia
adalah, sikap monopoli kekayaan dan kekuasaan hanya
menjerumuskan orang yang bersikap seperti itu kepada
tindakan korup dan aniaya!!
"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup."[
Al 'Alaq: 6-7].
Fenomena "Qarun sang monopolis kekayaan" dan "Fir'aun
yang lalim" tidak lebih dari buah pahit monopoli kekuasaan
atas harta dan negara.
Saat Qarun menolak untuk menempatkan dirinya sebagai
khalifah atas harta kekayaan yang diberikan Allah SWT
kepadanya, kemudian ia memonopoli dan bertindak aniaya
karena kepemilikannya itu, karena menyangka ia memiliki
semua semata karena usahanya, maka semua itu akhirnya
membawanya kepada sikap lepas kendali dan lupa diri, yang
berakhir dengan turunnya adzab Tuhan, kebinasaan.
"Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum
Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah
menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang
kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang
yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya:
"Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan." [Al Qashash: 76-77].
Qarun menolak kedudukan khalifah terhadap harta dan
kekayaan, dan mencampakkan point-point kesepakatan dan janji
amanah kekhalifahan atas harta kekayaan itu. Point-point itu
adalah:
- "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan
diri."É sementara ia menjadi orang yang aniaya dan lalim,
karena harta yang ia miliki itu
- "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat ."É sehingga dunia
tidak menjadi tujuan utamamu dalam penggunaan harta itu.
- "dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi ." É harta yang engkau miliki
hanyalah "sebagian" darinya, bukan seluruhnya.
- "dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu."ÉAmanah kekhalifahan
yang Allah SWT berikan kepadamu atas harta kekayaan
adalah sebagai perantara dan tugas sosial, tempat
berjalannya harta kepada orang-orang yang berhak, dari
sekalian khalifah yang diberikan amanah atas harta itu
oleh Allah SWT.
- "dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi."Édengan kekuasaan harta. Ia adalah ujian dengan
kenikmatan, yang dengannya Allah SWT menguji manusia:
"Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)."[ Al Anbiyaa:
35].
Qarun jatuh dalam ujian ini. Ia tidak menjalankan
point-point transaksi dan perjanjian amanah kekhalifahan
atas kekayaan dan harta itu. Bahkan ia menolak prinsip
kekhalifahan atas harta, dan membiarkan dirinya bertindak
sebebasnya dan memonopoli harta kekayaan. Hingga:
"Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku."[ Al Qashash:
78].
Maka, ia-pun mendapatkan kebinasaan, yang merupakan akhir
pasti bagi orang-orang yang berlebihan dan bertindak aniaya
atas harta dan kekayaan yang Allah SWT amanahkan kepadanya.
Baik individu atau kelompok masyarakat:
"Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya
Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang
lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta?
Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa
itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karun kepada
kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita
mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun;
sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang
besar". Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu:
"Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih
baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan
tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang
sabar". Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke
dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang
menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk
orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). Dan jadilah
orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun
itu. berkata: "Aduhai. benarlah Allah melapangkan rezki bagi
siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan
menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya
atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula).
Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang
mengingkari (nikmat Allah)". Negeri akhirat itu, Kami
jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan
diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan
(yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa."[ Al
Qashash: 78-83].
Kepastian dan nasib seperti itu pula yang menjadi nasib
akhir orang-orang yang despotik dan lalim seperti Fir'aun
dalam memegang kekuasaan dan kenegaraan. Fir'aun demikian
sombongnya dengan kekuasaannya itu, sehingga:
"Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya)
berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini
kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di
bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)?."[ Az
Zukhruf: 51].
Ia bertindak lebih jauh lagi dalam keangkuhan
kekuasaannya itu:
"Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan
perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena
sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik."[ Az Zukhruf:
54]
Ia pun memonopoli kekuasaan pendapat, politik dan
keputusan:
"Fir'aun berkata: "Aku tidak mengemukakan
kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada
menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar." Ghaafir: 29]
Sehingga sikap angkuh, lalim dan monopolis ini membawa
Fir'aun dan kaumnya kepada kebinasaan:
"Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami
tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan
ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan
ayat-ayat Kami itu"[ Al A'raaf: 136].
Itu adalah sunnah Allah SWT dan undang-undang-Nya dalam
masyarakat manusia, baik dalam bidang harta maupun politik.
Yaitu sikap monopolis dan menindas dalam kekuasaan apapun
(harta, administrasi atau politik) hanya akan membawa kepada
disorder dan kekacauan, yang berakhir pada hancur dan
binasanya bangunan masyarakat.
Al Qur'an menggunakan kisah-kisah orang terdahulu untuk
menegaskan bahwa sunah dan undang-undang ini selalu berlaku
sepanjang masa dan tempat. Tidak ada yang menggantikan dan
merubahnya. Hal itu untuk mengajarkan kaum Muslimin (yang
merupakan umat penutup) bahwa pemuliaan mereka dengan
mendapatkan syari'ah penutup tidak membuat mereka bebas dari
aturan ketentuan dan undang-undang Allah ini:
"(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut
angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut
angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan
itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula)
penolong baginya selain dari Allah."[ An Nisaa: 123]
|