B. TAWHID dan KEMERDEKAAN
Mentawhidkan Allah adalah ajaran pokok yang disampaikan
oleh setiap Nabi dan Rasul, yang diutus oleh Allah sejak
awal sejarah kemanusiaan. Namun sejarah kemanusiaan penuh
dengan kegagalan-kegagalan manusia dalam menghayati ajaran
tawhid ini, sehingga setiap kali ajaran yang murni dan exact
ini perlu diperbaharui atau dikoreksi oleh Rasul-rasil
berikutnya sesudah mengalami beberapa distorsi yang
membahayakan nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan.
Kemerdekaanlah satu-satunya nilai yang membedakan manusia
dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan manusia
sebenarnya tidak mungkin menjalani hidupnya sebagai manusia.
Dengan perkataan lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya
manusia berhenti jadi manusia atau tidak lagi berfungsi
sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap manusia
justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati
dan dipertahankan manusia itu.
Secara individu setiap manusia dilahirkan merdeka. Namun
dalam mempertahankan hidupnya manusia pada tingkat awal dari
kehidupannya itu terpaksa tergantung kepada manusia lain,
yaitu ibunya. Akan tetapi, setiap ibu telah dianugerahi
Allah SWT suatu rasa kasih sayang kepada anak yang
dilahirkannya sedemikian sempurnanya, sehingga setingkat
hanya di bawah sifat Rahman (kasih sayang) daripada Allah
sendiri.
Oleh karena kasih sayang ibu yang ditujukan kepada
anak-anaknya ini demikian murninya (ikhlash) dan tanpa
pamrih sama sekali, maka nilai kemerdekaan si anak tidak
akan tercemar oleh sifat ketergantungannya kepada kasih
sayang ibu pada awal hidupnya itu. Kasih sayang ibu ini
ditopang pula oleh kasih sayang ayah yang tingkat
kesempurnaannya setingkat di bawah kasih sayang ibu.
Dengan landasan kasih sayang yang tulus antara sesama
anggota keluarga ini, seorang anak akan mulai menjalani
hidupnya di tengah-tengah pergaulan sesama manusia. Oleh
karena itu pula maka durhaka kepada ibu adalah merupakan
dosa yang terberat sesudah syirik, dan tak akan diampunkan
Allah selama ibu sendiri tidak mengampunkannya.
Oleh karena kehidupan antar sesama manusia ini senantiasa
merupakan proses memberi-dan-menerima (give-and-take) secara
terus menerus (langgeng), kehidupan di tengah-tengah
keluarga haruslah bisa merupakan persiapan yang cukup untuk
menghantarkan seseorang agar dapat hidup ke tengah pergaulan
masyarakat dalam proses memberi-dan-menerima secara
seimbang.
Apabila ketidak-seimbangan terjadi --ia lebih banyak
menerima atau lebih banyak memberi-- maka dengan sendirinya
ia dihadapkan dengan suatu tantangan yang menentukan nilai
kemerdekaannya, yang akan sebanding dengan nilai dirinya.
Kalau ia memberikan response terhadap ketidak-seimbangan ini
sedemikian, sehingga ia mengorbankan nilai kemerdekaannya,
misalnya menjadi tergantung kepada pihak yang telah terlalu
banyak memberi kepadanya, maka harga dirinya sebagai manusia
dengan sendirinya jatuh atau sedikitnya menurun. Seberapa
jauh jatuhnya ini sebanding dengan seberapa jauh nilai
kemerdekaan yang telah dikorbankannya.
Sebaliknya jika dalam memberikan response tadi ia sampai
merugikan orang lain berarti ia telah merampas nilai
kemanusiaan (kemerdekaan) orang itu, sehingga ia dengan
sendirinya telah menobatkan dirinya menjadi penindas hak
orang lain itu. Kedua hal yang tak seimbang ini dikutuk oleh
Allah, karena berarti manusia yang bersangkutan telah tidak
mensyukuri nikmat Allah yang paling utama, yaitu kemerdekaan
yang wajib dipertahankan dengan segala pengorbanan yang
perlu untuk itu. Oleh karena itu, pergaulan hidup yang
seimbang (harmoni) senantiasa menjadi dambaan setiap manusia
yang Islam.
Namun dalam kenyataannya, lebih sering terjadi dalam
kehidupan manusia di dunia ini, proses pergaulan yang tidak
seimbang, sehingga sejak dahulu telah tercipta dalam sejarah
kemanusiaan kehidupan masyarakat yang tindas menindas, hisap
menghisap, peras memeras dengan segala taktik dan tehnik
yang bersangkutan dengan itu. Semua ini merupakan
bentuk-bentuk dari proses memberi-dan-menerima yang tak
seimbang.
Dapat dipastikan pula, bahwa terjadinya kelas-kelas dan
tingkat-tingkat kebangsawanan di dalam masyarakat manusia
senantiasa disebabkan oleh mengalahnya kemanusiaan terhadap
rencana iblis yang suka menganggap dirinya lebih baik dan
lebih mulia dari yang lain, sebagaimana dijelaskan di
atas.
Mungkin mengalahnya kebanyakan manusia, anggota sesuatu
masyarakat, terhadap tuntutan sebahagian kecil dari
anggotanya akan hak-hak istimewa ini pada mulanya disebabkan
oleh rasa takut kepada kelompok yang menuntut, karena
kegagahan atau kekuasaan para penuntut ini.
Mungkin pula oleh karena kekaguman masyarakat yang agak
berlebih-lebihan kepada kelompok penuntut ini disebabkan
jasa-jasa mereka dalam menyelamatkan bangsa atau tanah air
ketika berada dalam keadaan bahaya, dan sebagainya. Bukankah
yang menjadi idola setiap bangsa di dunia ini biasanya para
pahlawan bagi bangsa yang bersangkutan, baik pahlawan di
medan perang atau pahlawan di bidang-bidang lain, yang
disangka sangat menentukan nasib dan "nama baik" bangsa
tersebut?
Iblis, dalam hal ini, hanya tinggal memperbesar saja rasa
kekaguman dan penghormatan ini sedemikian, sehingga menjadi
"penyembahan". Penulis sengaja memberi tanda kutip pada kata
penyembahan di sini, karena ma'na "penyembahan" di sini
tidaklah mesti harfiah: rasa hormat dan kagum, yang diiringi
sikap patuh-tanpa-tanya, misalnya, termasuk juga dalam arti
"penyembahan" ini. Sikap patuh karena kelebihan rasa takut,
bahkan rasa ketergantungan kepada sesuatu atau seseorang pun
tercakup dalam pengertian "penyembahan" ini.
Oleh karena mudahnya manusia terseleweng ke arah pemujaan
akan tokoh-tokoh yang sangat berjasa dan dikagumi serta
dihormati inilah maka sejak dahulu Rasul Allah sangat
berhati-hati di dalam mendidikkan sikap tawhid ini kepada
para shahabat beliau.
Beliau sampai menolak dan melarang para shahabat
memanggil beliau dengan "Saidina" yang artinya "Tuan Kami"
(Our Master) demi untuk mencegah pengkultusan pribadi
beliau. Walaupun demikian, kita bisa membaca di dalam
sejarah, bahwa di antara shahabat ada juga yang hampir
tergelincir, maka segera dikoreksi yang lain dengan tegas
dan tepat. Salah satu kejadian kiranya perlu dikemukakan
sebagai contoh akan betapa halus dan dalamnya sikap tawhid
ini tertanam di hati sanubari para shahabat terdekat
beliau.
Di akhir hayat Rasulullah, sesudah turunnya ayat terakhir
dari al-Qur'an, beliau menyusun suatu barisan yang akan
dikirim ke Utara demi mengamankan daerah itu dari incaran
dan gangguan tentara Romawi Timur. Namun sebelum barisan ini
terkirim beliau jatuh sakit, sehingga pengiriman ini
terpaksa ditunda sampai beliau sembuh. Tapi taqdir Allah SWT
telah menentukan bahwa beliau tidak sembuh lagi. Setelah
beberapa hari sakit, beliau wafat.
Kebetulan ketika itu shahabat terdekat Abubakar Shiddiq
sedang keluar kota Madinah mencari nafkah, sehingga Siti
'Aisyah menyampaikan berita wafatnya Rasul itu hanya kepada
orang yang kebetulan ada di dekat masjid Rasul itu. Ketika
usaha orang ini menyiarkan berita duka ini kepada yang lain
terdengar oleh 'Umar, maka 'Umar sebagai orang yang berdarah
militer, yang senantiasa berfikir dalam rangka keamanan dan
ketertiban segera memberikan reaksi yang agak
berlebihan.
"Barangsiapa yang mengatakan Muhammad wafat akan
kupenggal lehernya", katanya sambil menghunus dan
mengacungkan pedang dengan mata yang galak, karena 'Umar
menyangka, bahwa berita buruk seperti itu di saat Rasul
sedang berusaha menyusun barisan untuk menyerang Romawi
Timur, mesti datang dari agen-agen subversive. Karena semua
orang mengenal 'Umar sebagai pahlawan, yang tak kenal mundur
berhadapan dengan siapapun, maka tidak ada yang berani
meneruskan penyebaran berita wafatnya RasuluLlah itu.
Seorang yang hadir di tempat itu akhirnya mendapat akal
dan segera menyelinap meninggalkan suasana tegang yang
dibuat oleh 'Umar itu untuk menemui Abubakar. Ketika
Abubakar datang beliau segera bisa melihat suasana tegang di
sekitar masjid Rasul, dan setelah melihat 'Umar dengan mata
yang galak mengacungkan pedang itu, maka beliau segera faham
kira-kira apa yang telah terjadi. Beliau segera masuk ke
kamar Siti 'Aisyah untuk melayat Rasulullah, yang sudah
ditutupi oleh 'Aisyah.
Beliau membuka penutup wajah Rasul, menciumnya dan
berdo'a. Setelah menutup kembali wajah Rasul, maka beliau ke
luar dan masih mendapati suasana tegang oleh sikap 'Umar
yang masih berdiri dengan pedang terhunus dan diacungkan
tinggi. Maka Abubakar berbicara dimulai dengan membaca ayat
Ali 'Imran 144: "Muhammad itu hanya seorang Rasul;
Sebelumnya telah berlalu Rasul-rasul. Apabila ia wafat atau
terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tapi
barangsiapa berbalik menjadi murtad, sedikit pun tiada ia
merugikan Allah. Allah memberi pahala kepada orang yang
bersyukur."
Setelah membacakan ayat ini beliau lantas mengatakan
dengan suara lantang: "Barangsiapa menyembah Muhammad,
ketahuilah, bahwa Muhammad telah wafat, tetapi barangsiapa
menyembah Allah, ketahuilah Allah hidup selama-lamanya."
Mendengar ayat dan pidato yang tepat dan tajam ini tangan
'Umar menjadi lemas, pedang dan tangannya jatuh ke bawah dan
sambil mengucap istighfar pedang itu segera disarungkannya
kembali. Walaupun ayat yang dibaca Abubakar itu telah lama
dihafalnya di dalam kepalanya, ketika itu seolah-olah ia
baru mendengarnya kali itu.
Kalau pribadi seperti 'Umar bisa tersilap dalam keadaan
genting, konon pula kita yang beriman tipis ini. Ini
membuktikan bahwa bertawhid secara konsisten itu memang
tidak mudah. Ia memerlukan latihan berat dengan disiplin
pribadi yang ketat.
|