E. HAL-HAL YANG MENGURANGI ATAU MERUSAK SIKAP
TAWHID
Karena sikap tawhid ini merupakan sikap mental (hati),
hati yang kurang stabil akan menyebabkan sikap ini: mudah
berubah-ubah. Oleh karena itu do'a yang dianjurkan agar
selalu dibaca ialah: "Wahai Pembolak-balik hati, tetapkanlah
hatiku atas agama-Mu, dan atas ta'at akan Dikau, Mahasuci
Engkau, sesungguhnya aku ini termasuk orang yang menzhalimi
diriku."
1. Penyakit Ria
Sangatlah perlu kita sadari beberapa kelemahan yang ada
dalam diri kita sendiri. Dengan mengetahui serta menyadari
adanya kelemahan dalam diri kita ini semoga kita dapat lebih
mudah mengatasi dan mengontrolnya. Kelemahan-kelemahan ini
pun disinyalir oleh Allah sendiri dalam al-Qur'an sebagai
peringatan bagi manusia. Contohnya:
"Sesungguhnya proses terjadinya manusia
(membuatnya) tak stabil. Bila mendapat kegagalan lekas
berputus asa. Bila mendapat kemenangan cepat menepuk
dada." (Q.70:19.21)
Ciri manusia seperti yang dikatakan al-Qur'an ini membuat
manusia senantiasa merasa cemas akan wujud dirinya. Hal ini
bisa difahami jika kita suka mengenang kembali Asal-usul
kejadian kita. Setiap manusia berasal dari air mani yang
ditumpahkan oleh ayahnya ke dalam rahim ibunya.
Menurut ilmu kedokteran, setiap cc (centim.eter cubic)
air mani ini mengandung seratus juta bibit manusia yang
bernama spermatozoa, yang bentuknya seperti jarum pentul
dengan kepala yang besar dan berekor panjang yang dapat
digerak-gerakkan untuk berenang. Dalam setiap kali
bersenggama seorang laki-laki yang sehat rata-rata
mengeluarkan sebanyak dua setengah cc air mani atau sebanyak
250 juta spermatozoa.
Setiap ekor spermatozoa ini mempunyai sejumlah gene yang
mengandung tabi'at dan sifat serta bakat serta jenis kelamin
masing-masing. Sedang di dalam rahim ibu biasanya hanya
menunggu sebuah sel telur (ovum). Maka setiap manusia pada
dasarnya berasal dari satu sel telur, yang menunggu di dalam
rahim ketika suami isteri bersenggama, dari salah satu dari
250 juta spermatozoa tadi.
Jadi menurut teori kemungkinan, maka kemungkinan
terjadinya seseorang sebagai pribadi dengan bakat dan watak
tertentu ialah 1/250 juta, yang dalam ilmu pasti biasanya
dianggap sama dengan nol.
Keseluruh spermatozoa yang 250 juta ini harus berjuang
mati-matian berenang dari mulut rahim menuju tempat sel
telur yang menunggu di mulut pipa fallopi. Pipa fallopi
(Fallopian tube) ialah pipa yang menghubungkan sarang
telur dengan rahim. Yang paling dulu sampai dan masuk ke
dalam sel telur itulah yang menjadi embryo manusia.
Spermatozoa lainnya (yang 250 juta kurang satu) akan
terbuang dan mati tanpa meninggalkan bekas dan makna.
Padahal jika ketika itu sedang ada dua atau tiga sel telur
di dalam rahim itu, maka akan terjadi dua atau tiga bayi
yang kembar.
Maka yang terbuang karena terlambat sampai tadi, hilang,
tak pernah disebut-sebut, padahal setiap ekornya sudah punya
potensi dan bakat serta pribadi masing-masing. Inilah
barangkali yang dimaksudkan Allah agar kita mencoba
merenungkan dan mcnilai kehadiran kita di dunia ini dengan
firman-Nya:
"Bukankah telah berlalu bagi manusia suatu masa,
bahwa wujudnya tiada bernilai untuk disebut-sebut?
Sesungguhnya telah kami jadikan manusia itu dari setetes
mani campuran, untuk mengujinya; lalu Kami anugerahi
pendengaran dan penglihatan." (Q.76:1,2)
Dari proses ini dapatlah difahami betapa manusia menurut
asal-usulnya tiada bernilai sama sekali, bahkan kepastian
wujudnya pun hampir nol (satu per dua ratus lima puluh
juta). Padahal, dengan kehendak Allah SWT manusia telah
diangkat menjadi wakil atau khalifah-Nya di muka bumi. Kedua
kenyataan ini telah membuat manusia merasa tidak pasti akan
dirinya, karena merasa berada di tengah-tengah antara
keduanya.
Kenyataan yang pertama berupa kehinaan (insignificance =
tidak berarti), sedangkan kenyataan kedua berupa kemuliaan,
yang bagi sebahagian besar manusia baru merupakan harapan,
yang masih perlu diperjuangkan. Jarak antara hakikat
(kenyataan) dan hasrat asli manusia ini menyebabkan ketidak
stabilan watak (sikap mental) manusia. Semakin jauh jarak
ini semakin tidak stabil wataknya; sebaliknya semakin dekat
jarak ini semakin stabillah wataknya.
Mereka yang tidak stabil akan sangat membutuhkan
pengakuan dan pujian atau penghargaan. Dengan perkataan
lain, pada dasarnya setiap manusia sangat senang, bahkan
akan berbuat apa saja yang mungkin sekadar untuk mendapat
penghargaan dan pengakuan (approval and recognition). Inilah
pokok pangkal dari sifat ria (ingin dipuji). RasuluLlah
memperingatkan, bahwa ria ini syirik khafi (syirik kecil).
Tapi syirik kecil ini akan mudah menjadi besar jika lepas
dari kontrol.
Pada mulanya sikap ini timbul sebagai 'ujub, yang artinya
heran atau kagum, yaitu heran atau kagum akan kebolehan atau
kehebatan diri. Sikap ini biasanya timbul ketika orang baru
selesai melakukan sesuatu yang mendapat perhatian dan
kekaguman orang banyak. Di dalam hati akan timbul perasaan:
"Wah, pintar juga saya ini". Inilah yang dinamakan 'ujub,
dan sikap inilah ibarat "bunga"-nya.
Jika dalam keadaan masih "bunga" ini tidak segera
dihapuskan, maka ia akan tumbuh menjadi "putik" nya, yaitu
"ria". Jika ria tadi dibiarkan tumbuh terus, maka ia akan
menjadi "buah", yang dinamai "kibir" atau "takabur" yang
artinya membesarkan diri atau sombong. Inilah sifat Namrud
dan Fir'aun yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena
itu RasuluLlah pun pernah bersabda:
"Tidak mungkin masuk surga seseorang yang punya
penyakit kibir walaupun sebesar zarah." (Muslim dan
Tirmidzhi).
Cara mengontrol sikap ria ini ialah dengan berusaha
senantiasa mengenang (zikir akan) Allah SWT, dan terus
menerus menyadarkan diri, bahwa yang berhak mendapat pujian
dan pujaan hanyalah Allah semata. Bacaan tahmid
(AlhamduliLlah = segala puji hanya bagi Allah) hendaklah
dibiasakan, terutama di saat-saat yang menggembirakan,
ketika mendapat berita yang baik maupun ketika mendapat
sesuatu yang menyenangkan hati terutama ketika dihargai atau
dipujikan orang. Tahmid yang keluar dari hati yang ikhlash
pasti akan mempertebal rasa tawhid dan menipiskan sifat
ria.
Saidina 'Ali RA pernah agak marah kepada seseorang yang
suka memuji beliau dengan mengatakan: "Ana a'lamu bimaa fii
nafsii", yang artinya: "Aku lebih mengetahui tentang
diriku". Dengan teguran itu beliau telah menyatakan, bahwa
beliau tak perlu dipuji, karena pujian itu hanya hak Allah
SWT. Lagi pula pujian itu mungkin akan merusak mental yang
dipuji.
|